Wulan mengerjap, bulu mata panjang dan lentiknya ikut bergetar. Cantik.
"Kamu bagaimana? Nyuruh aku naik, istirahat di kamar. Nah, Ali, sendiri pakai kursi roda gimana naiknya kalo kutinggal. Yakin?"
Aku tersenyum simpul. Semarahnya seorang wanita ia akan tetap peduli dan khawatir pada kita. Itu jika kita benar-benar di hatinya.
"Ya, kamu bantuin aku naik dululah!"
Wulan memanyunkan bibirnya, "Sudah kuduga."
Wulan mendorong kursi roda menuju tangga. Ia mendongak, menatap ke lantai dua, "Wulan papah Ali, ke atas, ya? Naik pelan-pelan?"
Aku mengangguk menerima sarannya.
<Keesokan malamnya.Sebuah musik pop mengalun di atas stage. Penyanyi muda dengan suara yang khas. Wajahnya tampan dengan rambut gondrong sebahu. Cengkok melayu dipadukan dengan musik pop.Aku melirik jam Rolex emas di tangan. Pukul delapan kurang lima menit. Belum waktunya Shanum datang. Semua ini ulah mama, sejak pukul tujuh ia sudah datang ke kamar. Bahkan pakaianku ini dipilihkannya."Assalamualaikum …."Suara halus menyapa tepat di sampingku, "Oh, hai, wa'alaikumussalam."Seorang wanita dengan gamis berwarna merah muda dan jilbab maroon berdiri di samping meja. Ia tersenyum dengan ramah menatapku.
"Sebenarnya aku …."Aku menatap gadis di depanku dengan tajam. Mulai mencurigai kehadirannya sebagai sesuatu yang memang direncanakan sejak awal.Wajah Shanum tetap tenang. Ia balik menatapku, seakan-akan mencoba mengerti isi dalam otak."Cepat katakan.""Oke, aku ngaku. Tante dan mama menjodohkan kita. Ini murni keputusan sepihak para orang tua, bukan aku yang meminta. Sebenarnya aku juga terpaksa. Ada seorang lelaki soleh di sana yang menjauh karena perjodohan ini.""Maksud kamu?""Kedatanganku kemari untuk bertemu denganmu Alex, atas perintah kedua orang tuaku. Aku pun terpaks
"Sebentar lagi sudah sampai, Tuan."Suara bariton Pak Malik lagi-lagi membuatku terkesiap. Entah sudah berapa lama perjalanan dari restoran ke rumah kediaman Ibrahim. Mungkin malam mulai larut dan gerimis yang membuat jalanan lebih lengang. Kami tiba lebih cepat dari waktu awal berangkat tadi."Oh, Iya.""Den Alex, mau mampir ke tempat lain?""Tidak, Pak."Mobil berhenti di depan gerbang. Tak berapa lama besi putih itu mulai bergeser pelan."Malam Tuan Alex," sapa salah seorang security.Aku mengangguk membalas sapa
Keesokan paginya ….Aku tak dapat tidur barang sedetik. Otak berpikir dengan keras hingga kantuk sirna, terjaga hingga pagi."Da*n. Aku tak bisa menunggu lagi."Aku segera menyibakkan selimut. Mengambil tongkat penyangga di samping ranjang. Berjalan menuju pintu. Matahari belum nampak, di luar masih gelap.Kamar Wulan. Tujuanku adalah kamar gadis cempreng itu. Berharap dia sudah kembali di kamarnya.Mengangkat telapak kaki kanan lebih tinggi agar tak membentur lantai. Mencengkeram dengan erat pegangan besi penyangga.Ceklek.
BERISIK!Semua orang terlalu berisik. Apa mereka tak tahu Wulanku hilang?Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?"Alex, berhenti atau jangan pernah kembali ke rumah ini lagi." Suara bariton Papa mengiringi langkah kakiku yang sedikit bergetar."Kakak, hati-hati. Nanti, jatuh."Sial!Detik berikutnya aku terguling di anak tangga. Tak kuasa menghentikan tubuh yang terus meluncur turun. Kaki bodoh, kenapa harus terpeleset!"Alex …."Apakah
~Lebih baik aku melalui hari dengan beribu rintangan dan masalah asal bersama orang yang kucintai. Daripada hidup tenang, tetapi dalam kesepian dan kesendirian~"Arrrghhh … pergi dari kamarku!"Aku menghempaskan gelas dan piring dalam nampan asisten rumah tangga kami. Peralatan makan di atas nampan itu jatuh berserakan dan pecah. Nasi dan lauknya berhamburan di lantai.Perempuan berumur sekitar awal tiga puluhan itu langsung berjongkok memunguti pecahan dan isi piring yang berserakan. Wajahnya ketakutan, "Maaf Den," katanya."Sudah kubilang, saya gak mau makan.""Te-tetapi, ini perintah Tuan dan Nyonya besar, Den."&nb
Sekitar satu jam mengendarai Pa*ero hitam tujuanku mulai terlihat di depan mata. Kuinjak pedal gas, mobil berhenti bergerak perlahan. Memutar kunci mobil 180 derajat ke kiri lalu mencabutnya. Sejenak memandang ke sekeliling. Mengenakan kacamata hitam di wajah, bersiap untuk turun.Tak lupa segera mengeluarkan ponsel dalam saku. Mencari sebuah nomor, mendekatkan ponsel ke telinga, "Tolong mulai acaranya sekarang!"Kumasukkan kembali benda pipih berwarna hitam ke dalam saku celana. Segera melangkah turun dengan membusungkan dada. Memakai kemeja putih lengan panjang dengan celana kain hitam dari satu merk brand pakaian mahal yang berpusat di kota Paris.Beberapa mahasiswi yang berpapasan menatapku tanpa berkedip.
"Ini micnya!" Seorang mahasiswa dengan ransel di punggungnya memberikan microphone padaku.Aku memegang mic di tangan bersiap melanjutkan kata-kata dekan di depan, "Kamu telah pergi dari hidupku. Berpura-pura menghilang agar aku menemukanmu!"Seisi ruang aula pertemuan bergemuruh. Tepuk tangan serta sorak sorai para mahasiswa bersahutan.Kini, perhatian dan seluruh penonton di aula menyorotku."Lihat itu, itu Alexander Ibrahim penyumbang dana terbesar di Universitas Avicenna," teriak seorang Mahasiswa lelaki dari arah kanan aula.Wulan membalikkan badan. Matanya berbinar lebar menatap kedatanganku di belakangnya, "Ali?"