~Lebih baik aku melalui hari dengan beribu rintangan dan masalah asal bersama orang yang kucintai. Daripada hidup tenang, tetapi dalam kesepian dan kesendirian~
"Arrrghhh … pergi dari kamarku!"
Aku menghempaskan gelas dan piring dalam nampan asisten rumah tangga kami. Peralatan makan di atas nampan itu jatuh berserakan dan pecah. Nasi dan lauknya berhamburan di lantai.
Perempuan berumur sekitar awal tiga puluhan itu langsung berjongkok memunguti pecahan dan isi piring yang berserakan. Wajahnya ketakutan, "Maaf Den," katanya.
"Sudah kubilang, saya gak mau makan."
"Te-tetapi, ini perintah Tuan dan Nyonya besar, Den."
&nb
Sekitar satu jam mengendarai Pa*ero hitam tujuanku mulai terlihat di depan mata. Kuinjak pedal gas, mobil berhenti bergerak perlahan. Memutar kunci mobil 180 derajat ke kiri lalu mencabutnya. Sejenak memandang ke sekeliling. Mengenakan kacamata hitam di wajah, bersiap untuk turun.Tak lupa segera mengeluarkan ponsel dalam saku. Mencari sebuah nomor, mendekatkan ponsel ke telinga, "Tolong mulai acaranya sekarang!"Kumasukkan kembali benda pipih berwarna hitam ke dalam saku celana. Segera melangkah turun dengan membusungkan dada. Memakai kemeja putih lengan panjang dengan celana kain hitam dari satu merk brand pakaian mahal yang berpusat di kota Paris.Beberapa mahasiswi yang berpapasan menatapku tanpa berkedip.
"Ini micnya!" Seorang mahasiswa dengan ransel di punggungnya memberikan microphone padaku.Aku memegang mic di tangan bersiap melanjutkan kata-kata dekan di depan, "Kamu telah pergi dari hidupku. Berpura-pura menghilang agar aku menemukanmu!"Seisi ruang aula pertemuan bergemuruh. Tepuk tangan serta sorak sorai para mahasiswa bersahutan.Kini, perhatian dan seluruh penonton di aula menyorotku."Lihat itu, itu Alexander Ibrahim penyumbang dana terbesar di Universitas Avicenna," teriak seorang Mahasiswa lelaki dari arah kanan aula.Wulan membalikkan badan. Matanya berbinar lebar menatap kedatanganku di belakangnya, "Ali?"
"Aku tak bisa, Ali." Wulan menggelengkan kepalanya."Kenapa?""Aku telah berjanji, akan menjadi seorang wanita yang pantas saat bersanding denganmu. Mamamu bukan tak merestui kita, tetapi aku sadar diri … aku belum pantas.""Dengar, aku tak memintamu menjadi sempurna saat bersanding denganku. Aku ingin kita bersama melewati semuanya, saling melengkapi dan menerima kekurangan masing-masing."Wulan tak berkata apapun lagi. Ia mendekapku, membenamkan wajah dalam pelukan, "Wulan, kangen …."Masih dapat kudengar gumaman Wulan di antara isak tangis itu. Aku mengelus pelan rambut hitamnya.
Secepat apa aku berusaha berjalan. Kakiku kalah langkah dari Wulan. Saat aku sampai di depan lobby universitas dia sudah tak terlihat lagi."Kemana aku harus mencarimu lagi, Wulan?"Aku menoleh ke kiri dan kanan. Tiap mahasiswi yang lewat kuperhatikan dengan seksama. Namun, itu bukan Wulan."Cepat sekali larinya," gumamku.Ada rasa ngilu mulai menjalar di kaki. Aku segera mencari tempat duduk, beristirahat. Bukankah kata dokter banyak berjalan melancarkan peredaran darah juga baik melatih otot-otot tulang. Apa aku terlalu lelah?Merogoh ponsel, mencoba menghubungi nomor Wulan. 'Nomor yang anda tuju di luar jangkauan.' Sial!
"Wulan, semua ini tidak seperti yang kamu pikirkan."Gadis bercardigan itu mendekati Wulan. Berusaha menjelaskan bahwa apa yang kami dengar. Memangnya kami tak bisa mengerti apa yang terjadi?"Sekar, jadi kamu mengenal Wildan? Jadi semua ini rencana kalian?""Sudahlah Wulan, tak ada gunanya berbicara dengan mereka."Aku menarik Wulan terus berjalan keluar, sebelum Wildan atau Sekar mencekokinya dengan teori dan fakta yang tak bermutu.Keduanya hanya terdiam menyaksikkanku dan Wulan menjauh."Jadi selama ini kamu tidur di asrama?"
~Ada satu nama yang diam-diam selalu menyebutmu dalam doanya, meminta Tuhan menjodohkan kalian. Ada hati lain yang diam-diam berusaha dengan keras agar kalian dapat bersama.~***Menurunkan kaca hitam mobil, menatap ke luar jendela dengan malas. Dari banyak tempat kenapa Wulan memilih tempat ini?"Ali, ayo keluar?"Wulan sudah turun terlebih dulu. Langkahnya cepat dan ringan. Sekejap saja ia sudah berada di teras rumahnya."Abaaah …." Suara cemprengnya terdengar sampai ke dalam mobil. Padahal jarak antara rumah di depan dan tempat mobil parkir sekitar lima meter."Ali, lama pisan! Cepetan turun," teriak Wu
"Saya terima nikah dan kawinnya Wulan Kirana binti Dadang dengan mas kawin seperangkat alat salat dan sebuah rumah lengkap dengan isinya dibayar tunai."Aku berkata dengan lancar kalimat ijab yang dibimbing pak penghulu dalam sekali tarikan napas."Alhamdulilah." Abah melepas jabat tanganku. Kami berpelukan. Gadis dengan balutan kebaya berwarna kunyit di sebelah Abah tersenyum malu-malu.Akhirnya acara ijab Qabul berjalan dengan lancar. Prosesi sakral ini hanya dihadiri beberapa orang kerabat dekat dari pihak Wulan."Selamat Bro," bisik David."Thanks a lot buat semuanya," kataku sambil memeluk David.
~Hidup adalah pilihan. Bahagia ataupun sedih kita yang menentukan, bukan orang lain. Hidupmu yang sekarang adalah perjuanganmu untuk masa depan.~***"Tidak, Pa."Aku menatap papa dengan tajam,"Alex hanya akan bersama Wulan. Dimana ada Wulan, disana Alex akan berada.""Alex?" Mama memekik dengan lantang, "begini caramu membalas kebaikan orang tua?""Pilihan Alex tidak akan berubah Pa, Ma," ucapku lagi.Segera mundur selangkah. Meraih tangan Wulan, ia akan menjauh jika kali ini aku tidak menangkap tangannya, "Jangan pergi, Wulan."
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad