Sekitar satu jam mengendarai Pa*ero hitam tujuanku mulai terlihat di depan mata. Kuinjak pedal gas, mobil berhenti bergerak perlahan. Memutar kunci mobil 180 derajat ke kiri lalu mencabutnya. Sejenak memandang ke sekeliling. Mengenakan kacamata hitam di wajah, bersiap untuk turun.
Tak lupa segera mengeluarkan ponsel dalam saku. Mencari sebuah nomor, mendekatkan ponsel ke telinga, "Tolong mulai acaranya sekarang!"
Kumasukkan kembali benda pipih berwarna hitam ke dalam saku celana. Segera melangkah turun dengan membusungkan dada. Memakai kemeja putih lengan panjang dengan celana kain hitam dari satu merk brand pakaian mahal yang berpusat di kota Paris.
Beberapa mahasiswi yang berpapasan menatapku tanpa berkedip.
"Ini micnya!" Seorang mahasiswa dengan ransel di punggungnya memberikan microphone padaku.Aku memegang mic di tangan bersiap melanjutkan kata-kata dekan di depan, "Kamu telah pergi dari hidupku. Berpura-pura menghilang agar aku menemukanmu!"Seisi ruang aula pertemuan bergemuruh. Tepuk tangan serta sorak sorai para mahasiswa bersahutan.Kini, perhatian dan seluruh penonton di aula menyorotku."Lihat itu, itu Alexander Ibrahim penyumbang dana terbesar di Universitas Avicenna," teriak seorang Mahasiswa lelaki dari arah kanan aula.Wulan membalikkan badan. Matanya berbinar lebar menatap kedatanganku di belakangnya, "Ali?"
"Aku tak bisa, Ali." Wulan menggelengkan kepalanya."Kenapa?""Aku telah berjanji, akan menjadi seorang wanita yang pantas saat bersanding denganmu. Mamamu bukan tak merestui kita, tetapi aku sadar diri … aku belum pantas.""Dengar, aku tak memintamu menjadi sempurna saat bersanding denganku. Aku ingin kita bersama melewati semuanya, saling melengkapi dan menerima kekurangan masing-masing."Wulan tak berkata apapun lagi. Ia mendekapku, membenamkan wajah dalam pelukan, "Wulan, kangen …."Masih dapat kudengar gumaman Wulan di antara isak tangis itu. Aku mengelus pelan rambut hitamnya.
Secepat apa aku berusaha berjalan. Kakiku kalah langkah dari Wulan. Saat aku sampai di depan lobby universitas dia sudah tak terlihat lagi."Kemana aku harus mencarimu lagi, Wulan?"Aku menoleh ke kiri dan kanan. Tiap mahasiswi yang lewat kuperhatikan dengan seksama. Namun, itu bukan Wulan."Cepat sekali larinya," gumamku.Ada rasa ngilu mulai menjalar di kaki. Aku segera mencari tempat duduk, beristirahat. Bukankah kata dokter banyak berjalan melancarkan peredaran darah juga baik melatih otot-otot tulang. Apa aku terlalu lelah?Merogoh ponsel, mencoba menghubungi nomor Wulan. 'Nomor yang anda tuju di luar jangkauan.' Sial!
"Wulan, semua ini tidak seperti yang kamu pikirkan."Gadis bercardigan itu mendekati Wulan. Berusaha menjelaskan bahwa apa yang kami dengar. Memangnya kami tak bisa mengerti apa yang terjadi?"Sekar, jadi kamu mengenal Wildan? Jadi semua ini rencana kalian?""Sudahlah Wulan, tak ada gunanya berbicara dengan mereka."Aku menarik Wulan terus berjalan keluar, sebelum Wildan atau Sekar mencekokinya dengan teori dan fakta yang tak bermutu.Keduanya hanya terdiam menyaksikkanku dan Wulan menjauh."Jadi selama ini kamu tidur di asrama?"
~Ada satu nama yang diam-diam selalu menyebutmu dalam doanya, meminta Tuhan menjodohkan kalian. Ada hati lain yang diam-diam berusaha dengan keras agar kalian dapat bersama.~***Menurunkan kaca hitam mobil, menatap ke luar jendela dengan malas. Dari banyak tempat kenapa Wulan memilih tempat ini?"Ali, ayo keluar?"Wulan sudah turun terlebih dulu. Langkahnya cepat dan ringan. Sekejap saja ia sudah berada di teras rumahnya."Abaaah …." Suara cemprengnya terdengar sampai ke dalam mobil. Padahal jarak antara rumah di depan dan tempat mobil parkir sekitar lima meter."Ali, lama pisan! Cepetan turun," teriak Wu
"Saya terima nikah dan kawinnya Wulan Kirana binti Dadang dengan mas kawin seperangkat alat salat dan sebuah rumah lengkap dengan isinya dibayar tunai."Aku berkata dengan lancar kalimat ijab yang dibimbing pak penghulu dalam sekali tarikan napas."Alhamdulilah." Abah melepas jabat tanganku. Kami berpelukan. Gadis dengan balutan kebaya berwarna kunyit di sebelah Abah tersenyum malu-malu.Akhirnya acara ijab Qabul berjalan dengan lancar. Prosesi sakral ini hanya dihadiri beberapa orang kerabat dekat dari pihak Wulan."Selamat Bro," bisik David."Thanks a lot buat semuanya," kataku sambil memeluk David.
~Hidup adalah pilihan. Bahagia ataupun sedih kita yang menentukan, bukan orang lain. Hidupmu yang sekarang adalah perjuanganmu untuk masa depan.~***"Tidak, Pa."Aku menatap papa dengan tajam,"Alex hanya akan bersama Wulan. Dimana ada Wulan, disana Alex akan berada.""Alex?" Mama memekik dengan lantang, "begini caramu membalas kebaikan orang tua?""Pilihan Alex tidak akan berubah Pa, Ma," ucapku lagi.Segera mundur selangkah. Meraih tangan Wulan, ia akan menjauh jika kali ini aku tidak menangkap tangannya, "Jangan pergi, Wulan."
"Jangan pura-pura tak tahu." Aku memeluk Wulan masuk ke rumah.Di dalam masih ada beberapa orang yang membersihkan ruang tamu Abah. Saat Wulan akan menuju mereka sengaja kueratkan pelukan di pundaknya. Menggiring istriku menuju kamar tidur."Apa'an sih, Ali?""Masak pengantin baru mau bersih-bersih?"Wulan mengerutkan keningnya, "Iya, juga ya. Gak pantes."Aku merogoh saku celana, mengeluarkan amplop putih yang kulipat menjadi dua bagian, "Kira-kira apa isinya?""Buka, Ali," ucap Wulan dengan semangat.Aku menoleh, menata