"Saya terima nikah dan kawinnya Wulan Kirana binti Dadang dengan mas kawin seperangkat alat salat dan sebuah rumah lengkap dengan isinya dibayar tunai."
Aku berkata dengan lancar kalimat ijab yang dibimbing pak penghulu dalam sekali tarikan napas.
"Alhamdulilah." Abah melepas jabat tanganku. Kami berpelukan. Gadis dengan balutan kebaya berwarna kunyit di sebelah Abah tersenyum malu-malu.
Akhirnya acara ijab Qabul berjalan dengan lancar. Prosesi sakral ini hanya dihadiri beberapa orang kerabat dekat dari pihak Wulan.
"Selamat Bro," bisik David.
"Thanks a lot buat semuanya," kataku sambil memeluk David.
<~Hidup adalah pilihan. Bahagia ataupun sedih kita yang menentukan, bukan orang lain. Hidupmu yang sekarang adalah perjuanganmu untuk masa depan.~***"Tidak, Pa."Aku menatap papa dengan tajam,"Alex hanya akan bersama Wulan. Dimana ada Wulan, disana Alex akan berada.""Alex?" Mama memekik dengan lantang, "begini caramu membalas kebaikan orang tua?""Pilihan Alex tidak akan berubah Pa, Ma," ucapku lagi.Segera mundur selangkah. Meraih tangan Wulan, ia akan menjauh jika kali ini aku tidak menangkap tangannya, "Jangan pergi, Wulan."
"Jangan pura-pura tak tahu." Aku memeluk Wulan masuk ke rumah.Di dalam masih ada beberapa orang yang membersihkan ruang tamu Abah. Saat Wulan akan menuju mereka sengaja kueratkan pelukan di pundaknya. Menggiring istriku menuju kamar tidur."Apa'an sih, Ali?""Masak pengantin baru mau bersih-bersih?"Wulan mengerutkan keningnya, "Iya, juga ya. Gak pantes."Aku merogoh saku celana, mengeluarkan amplop putih yang kulipat menjadi dua bagian, "Kira-kira apa isinya?""Buka, Ali," ucap Wulan dengan semangat.Aku menoleh, menata
Menatap manik hitam mata bulat Wulan. Ada getar di dada tak tertahan. Bibir tebal bergincu merah milik istriku ini terlihat begitu ranum.Kali ini aku tak perlu meminta izin atau berkata permisi untuk menciumnya. Dia sudah resmi menjadi istriku. Mendekatkan wajah pada bibir sensual itu. Kutangkup pipinya agar menatapku. Setiap inci tubuh Wulan kini adalah milikku.Mengecup pelan bibir Wulan. Dia memejamkan mata menikmatinya. Dorongan liar mulai menguasai, meminta lebih dari apa yang tersaji.Kami berpagutan cukup lama. Aku ingin lebih, kubaringkan istriku pelan. Mulai menciuminya di atas ranjang. Menghujani ciuman dari bibir hingga leher jenjang yang hangatnya. Membuka resleting di bagian belakang kebayanya pelan.
Wulan dan Abah menatap takjub sebuah villa berlantai dua lengkap dengan kolam renangnya di hadapan kami. Bangunan mewah dengan gaya arsitektur Eropa. Satu balkon menghadap tepat ke arah kolam renang.Sebuah menara cerobong asap ada di dekat dapurnya. Sederhana, agar asap saat memasak langsung terarah keluar rumah. Jendela kaca berukuran besar ada di tiap sudut, membuat pencahayaan rumah lebih terang."Ini rumah kita, Ali?"Wulan berbalik dan bertanya padaku. Aku mengangguk dan tersenyum menjawab pertanyaan istriku itu, "Ayo, kita masuk dan melihat-lihat."Abah ikut berjalan masuk dan melihat-lihat. Namun, tak ada senyum di wajahnya. Mungkin dia belum siap beradaptasi dengan tempat baru.
~Hidup itu mudah dan murah, yang mahal adalah gaya. Semakin banyak gaya, maka pengeluaranmu membengkak. Semakin sederhana gaya hidup, tabunganmu menumpuk.~***"Paket!"Seseorang berseru di depan pintu masuk. Wulan dan Abah saling pandang. Aku tersenyum melihat ekspresi mereka."Kita baru pindah rumah, udah ada paket datang?!" Wulan mengernyitkan kening menatapku."Salah rumah mungkin," tebak Abah."Ayo, kita lihat keluar bersama."Wulan menaruh bantalan tempat duduk yang dipangkunya. Kami bertiga berdiri dari
Aku menyibakkan tirai, menatap ke luar jendela. Lampu penerangan jalan juga rumah ini sudah dinyalakan. Ini adalah malam pertama kami di villa ini.Sekitar villa ada beberapa villa dan rumah penduduk lain. Lokasi yang kupilih strategis dan terjangkau. Sekitar tiga puluh menit menuju kota, ada pusat perbelanjaan, rumah sakit dan sekolah. Sebelum pergi akan kuantar pelayan untuk berbelanja kebutuhan dapur dan sehari-hari sebelum perjalanan bulan madu.Terdengar bunyi pintu dibuka. Wulan keluar dari kamar mandi. Ia ingin berendam air hangat, "Lama sekali?"Ia hanya membalas dengan senyum. Membuka lemari dan matanya melebar, "Ali? Kenapa modelan baju tidurnya begini semua?""Sudah saatnya kamu berganti baju tidur,
"Bangun Sayang," ucap Wulan pelan. Ia tersenyum menatapku.Keesokan paginya, kami bangun kesiangan. Entah berapa ronde pertunjukkan yang kumainkan bersama Wulan. Istriku terlihat sangat lemas. Suaranya saat membangunkanku pun terdengar lemah.Aku mengecup kening Wulan. Rasa cintaku padanya semakin dalam setelah pergumulan semalam, "Iya."Wulan beranjak lebih dulu dari ranjang. Ia menuju kamar mandi. Membersihkan diri kurasa. Ingin aku menyusulnya kembali, tetapi menimbang tubuh istriku yang terlihat kelelahan kuurungkan niatku, Mungkin nanti!Aku sudah meminta izin cuti kuliah untuk Wulan selama beberapa bulan. Aku ingin dia menemaniku dulu. Urusan pekerjaan ada Om Pramudya dan David yang bisa meng
"Bagaimana kalau sekarang saja belanja keperluan dapur dan rumah, mumpung masih pagi enih?" Abah membalikkan sendok dan garpu. Ia sudah selesai makan."Abah gak capek?" Wulan balik bertanya pada sang ayah."Yaelaaah, kagak ngapa-ngapain juga seharian. Abah bosen, di rumah terus. Kalian enak berduaan ngedem di kamar waeeh." Abah melirik padaku dan Wulan.Ah, seperti tidak tahu pengantin baru saja mertuaku itu. Aku melirik Abah Dadang yang tersenyum menggoda Wulan.Aku merogoh saku celana, "Ini untuk Abah, silakan digunakan!""Apa ini, teh?"Aku mengulurkan kartu ATM berwarna