Secepat apa aku berusaha berjalan. Kakiku kalah langkah dari Wulan. Saat aku sampai di depan lobby universitas dia sudah tak terlihat lagi.
"Kemana aku harus mencarimu lagi, Wulan?"
Aku menoleh ke kiri dan kanan. Tiap mahasiswi yang lewat kuperhatikan dengan seksama. Namun, itu bukan Wulan.
"Cepat sekali larinya," gumamku.
Ada rasa ngilu mulai menjalar di kaki. Aku segera mencari tempat duduk, beristirahat. Bukankah kata dokter banyak berjalan melancarkan peredaran darah juga baik melatih otot-otot tulang. Apa aku terlalu lelah?
Merogoh ponsel, mencoba menghubungi nomor Wulan. 'Nomor yang anda tuju di luar jangkauan.' Sial!
"Wulan, semua ini tidak seperti yang kamu pikirkan."Gadis bercardigan itu mendekati Wulan. Berusaha menjelaskan bahwa apa yang kami dengar. Memangnya kami tak bisa mengerti apa yang terjadi?"Sekar, jadi kamu mengenal Wildan? Jadi semua ini rencana kalian?""Sudahlah Wulan, tak ada gunanya berbicara dengan mereka."Aku menarik Wulan terus berjalan keluar, sebelum Wildan atau Sekar mencekokinya dengan teori dan fakta yang tak bermutu.Keduanya hanya terdiam menyaksikkanku dan Wulan menjauh."Jadi selama ini kamu tidur di asrama?"
~Ada satu nama yang diam-diam selalu menyebutmu dalam doanya, meminta Tuhan menjodohkan kalian. Ada hati lain yang diam-diam berusaha dengan keras agar kalian dapat bersama.~***Menurunkan kaca hitam mobil, menatap ke luar jendela dengan malas. Dari banyak tempat kenapa Wulan memilih tempat ini?"Ali, ayo keluar?"Wulan sudah turun terlebih dulu. Langkahnya cepat dan ringan. Sekejap saja ia sudah berada di teras rumahnya."Abaaah …." Suara cemprengnya terdengar sampai ke dalam mobil. Padahal jarak antara rumah di depan dan tempat mobil parkir sekitar lima meter."Ali, lama pisan! Cepetan turun," teriak Wu
"Saya terima nikah dan kawinnya Wulan Kirana binti Dadang dengan mas kawin seperangkat alat salat dan sebuah rumah lengkap dengan isinya dibayar tunai."Aku berkata dengan lancar kalimat ijab yang dibimbing pak penghulu dalam sekali tarikan napas."Alhamdulilah." Abah melepas jabat tanganku. Kami berpelukan. Gadis dengan balutan kebaya berwarna kunyit di sebelah Abah tersenyum malu-malu.Akhirnya acara ijab Qabul berjalan dengan lancar. Prosesi sakral ini hanya dihadiri beberapa orang kerabat dekat dari pihak Wulan."Selamat Bro," bisik David."Thanks a lot buat semuanya," kataku sambil memeluk David.
~Hidup adalah pilihan. Bahagia ataupun sedih kita yang menentukan, bukan orang lain. Hidupmu yang sekarang adalah perjuanganmu untuk masa depan.~***"Tidak, Pa."Aku menatap papa dengan tajam,"Alex hanya akan bersama Wulan. Dimana ada Wulan, disana Alex akan berada.""Alex?" Mama memekik dengan lantang, "begini caramu membalas kebaikan orang tua?""Pilihan Alex tidak akan berubah Pa, Ma," ucapku lagi.Segera mundur selangkah. Meraih tangan Wulan, ia akan menjauh jika kali ini aku tidak menangkap tangannya, "Jangan pergi, Wulan."
"Jangan pura-pura tak tahu." Aku memeluk Wulan masuk ke rumah.Di dalam masih ada beberapa orang yang membersihkan ruang tamu Abah. Saat Wulan akan menuju mereka sengaja kueratkan pelukan di pundaknya. Menggiring istriku menuju kamar tidur."Apa'an sih, Ali?""Masak pengantin baru mau bersih-bersih?"Wulan mengerutkan keningnya, "Iya, juga ya. Gak pantes."Aku merogoh saku celana, mengeluarkan amplop putih yang kulipat menjadi dua bagian, "Kira-kira apa isinya?""Buka, Ali," ucap Wulan dengan semangat.Aku menoleh, menata
Menatap manik hitam mata bulat Wulan. Ada getar di dada tak tertahan. Bibir tebal bergincu merah milik istriku ini terlihat begitu ranum.Kali ini aku tak perlu meminta izin atau berkata permisi untuk menciumnya. Dia sudah resmi menjadi istriku. Mendekatkan wajah pada bibir sensual itu. Kutangkup pipinya agar menatapku. Setiap inci tubuh Wulan kini adalah milikku.Mengecup pelan bibir Wulan. Dia memejamkan mata menikmatinya. Dorongan liar mulai menguasai, meminta lebih dari apa yang tersaji.Kami berpagutan cukup lama. Aku ingin lebih, kubaringkan istriku pelan. Mulai menciuminya di atas ranjang. Menghujani ciuman dari bibir hingga leher jenjang yang hangatnya. Membuka resleting di bagian belakang kebayanya pelan.
Wulan dan Abah menatap takjub sebuah villa berlantai dua lengkap dengan kolam renangnya di hadapan kami. Bangunan mewah dengan gaya arsitektur Eropa. Satu balkon menghadap tepat ke arah kolam renang.Sebuah menara cerobong asap ada di dekat dapurnya. Sederhana, agar asap saat memasak langsung terarah keluar rumah. Jendela kaca berukuran besar ada di tiap sudut, membuat pencahayaan rumah lebih terang."Ini rumah kita, Ali?"Wulan berbalik dan bertanya padaku. Aku mengangguk dan tersenyum menjawab pertanyaan istriku itu, "Ayo, kita masuk dan melihat-lihat."Abah ikut berjalan masuk dan melihat-lihat. Namun, tak ada senyum di wajahnya. Mungkin dia belum siap beradaptasi dengan tempat baru.
~Hidup itu mudah dan murah, yang mahal adalah gaya. Semakin banyak gaya, maka pengeluaranmu membengkak. Semakin sederhana gaya hidup, tabunganmu menumpuk.~***"Paket!"Seseorang berseru di depan pintu masuk. Wulan dan Abah saling pandang. Aku tersenyum melihat ekspresi mereka."Kita baru pindah rumah, udah ada paket datang?!" Wulan mengernyitkan kening menatapku."Salah rumah mungkin," tebak Abah."Ayo, kita lihat keluar bersama."Wulan menaruh bantalan tempat duduk yang dipangkunya. Kami bertiga berdiri dari