Bunyi melengking panjang terdengar seiring layar monitor yang tak lagi membentuk grafik naik turun. Hanya sebuah garis mendatar terlihat di sana.
"Lilis …." Bik Asih menjerit. Ia mengelus pipi tirusnya lalu mengguncangkan tubuh Lilis Septiani.
"Lilis!" Wulan menutup mulutnya tak percaya pada apa yang terjadi.
Ruang rawat Lilis Septiani hening.
"Kami sudah berusaha sebaik mungkin, mohon maaf." Lelaki berjas putih itu menelangkupkan tangan di dada. Meminta maaf, sebuah tindakan terbaik untuk menunjukkan rasa empati pada keluarga pasien. Dokter itu lalu berlalu pergi dari ruangan.
Bik memeluk sosok terbujur kaku di balik kain put
***Happy Reading***"Kamu tak akan pernah bisa pergi dariku." Agustian Waluyo langsung membalas dengan cepat, "Karenamu aku rela melakukan banyak hal. Setelah kamu mendapatkan semua yang kamu inginkan, bagaimana bisa kamu ingin membuangku, hah?""Kalian berdua, sama jahatnya. Demi ambisi dan kekayaan kalian rela melakukan semua hal jahat. Kalian yang membuatku hadir di dunia ini, tetapi kenapa kalian menelantarkan aku?""Lilis tak minta lahir dari rahim Mama, jika boleh memilih lebih baik Lilis tidak dilahirkan di dunia ini. Daripada dilahirkan tapi tak dianggap."Air mata Lilis luruh berjatuhan. Mata gadis berumur tujuh belas tahun itu sangat merah. Kontras dengan kulit wajah yang putih kepucatan.
Selesai berpamitan pada Bik Asih dan Lilis kami segera menuju mobil. Pak Malik sudah menunggu di lobby rumah sakit. Kami harus segera kembali ke Jakarta.Matahari sudah menghilang dari angkasa. Lampu-lampu penerangan di sepanjang jalan sudah dinyalakan."Jam berapa kira-kira kita akan sampai rumah?""Sekitar pukul sepuluh malam, Tuan." Papa kembali menatap ke arah depan setelah mendengar jawaban supir pribadi kami.Membuka dua kancing paling atas dari kemeja putih yang kukenakan. Sudut mata memicing pada Wulan yang juga melirikku. Tatapan mata kami tak sengaja bertemu.Wulan mengerjapkan mata, bulu mata lentiknya ikut bergetar. Ia me
***CEO Yang Hilang Ingatan***Aku sedang duduk di depan meja kerja. Menatap layar komputer dengan sangat puas. Di sampingku ada secangkir cofelatte yang masih mengepulkan asap. Aroma arabika bercampur dengan krim serta susu menggelitik indera.Seorang lelaki kutugaskan untuk hadir di ruang persidangan. Ia harus meliput jalannya persidangan. Tak ada bagian yang tertinggal atau dipotong.Seorang wanita yang berada di ujung meja panjang bertutup kain hijau mulai berbicara, dia mendekat ke mikrofon yang ada di hadapannya, "Pembacaan keputusan sidang pidana antara pihak keluarga Ibrahim sebagai penuntut dan saudara Jhonny Prince Abraham, Paula Stephanie dan Agustian Waluyo sebagai tersangka pada tanggal dua puluh delapan November 2021 akan segera dilaksanakan. Kepada
Aku memelotot penuh amarah, "Cerewet!" "E-eh, apa? Ali, bilang apa tadi?" Wulan mengernyit, kedua alis tebalnya hampir bertaut. "Kamu cantik, Wulan." Wulan tak lagi mendebat kata-kataku. Pipinya merona merah. Mata bulat Wulan mengerjap beberapa kali. Pandai bersilat lidah adalah satu kemampuan yang harus dimiliki para lelaki. Jika berbicara jujur situasi akan semakin runyam, maka jalan satu-satunya kita harus pandai merangkai kata. Gadis bermata bulat itu memasukkan kedua tongkat besi penyangga ke bawah lengan ketiak, "Coba pusatkan berat badanmu bertumpu pada kedua tongkat penyangga, Ali."
"Loe ngerjain, gue?" Refleks kata loe-gue keluar dari mulutku. Padahal aku sudah berjanji menyebut panggilan antara kami aku dan kamu. "Hahahhaha …." Wulan masih tertawa terbahak-bahak. Ia kini memunggungiku, menyembunyikan tawa. "Wulan?" "Ampun, lucu. Sakit perut Wulan, aduh!" Wulan kembali menghadap ke arahku. Kini wajahnya rata berwarna merah, menahan tawa. Kedua tangannya meremas perut. Suasana romantis yang baru saja terjadi antara kami menguap, hilang tak tersisa. Seperti setetes air hujan yang tersisa di pucuk daun lalu terbakar sinar mentari. "Bisa salah
Papa, Mama sudah meninggalkan kamarku. Kedatangan mereka tadi hanya untuk memberikan kabar bahagia. Keluarga kriminal itu telah dijatuhi hukuman dua puluh tahun penjara. Hukuman yang kurang untukku, tetapi cukup untuk menikmati hidup tanpa gangguan mereka.Aku menatap dua besi penyangga yang disandarkan pada nakas. Tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi. Ada untungnya juga aku patah kaki. Wulan jadi lebih sering berada di dekatku."Sial! Aku lupa mematikan layar monitor komputer." Menatap ke arah meja kerja yang masih bersuara.Tanganku mencoba meraih tongkat besi penyangga tubuh. Tak jauh, hanya sekitar satu meter dariku. Satu sudut bibirku terangkat naik.Aku mencoba berdiri tanpa tongkat. Lam
~Tentang Cinta, aku buta. Yang kutahu di mana pun aku melihat hanya dia. Dalam pikiran hanya tentangnya.~ Tangan kanan meraih ponsel di sela bantal. Aku memotret foto itu, mengirimkannya ke nomor wha**aap Wulan. [Kamu meninggalkannya ->] Aku menyelipkan foto itu. Lengkap dengan emoticon menggaruk kepala. Ingin tahu apa tujuan Wulan. Apa ia sengaja meninggalkan fotoku? [Itu teh, buat kamu. Simpen buat kenang-kenangan.] Tak berapa lama sebuah notifikasi masuk. Wulan sengaja menaruh fotoku tadi. [ILY] Iseng aku mengirimkan tiga huruf itu. Wulan tak akan mengerti apa artinya.
***Happy Reading***"Rahasia Ma, kalau Alex bilang sekarang gak special dong."Mama mengembuskan napas perlahan dan sangat berat, seakan-akan ada beban di pundaknya, "Alex, selama ini Mama diam dan mendukung semua keputusanmu semata-mata demi kebahagiaan kamu. Tak ada seorang ibu yang ingin anaknya menderita ….""Maksud, Mama?" Aku memutus perkataan mama. Terlalu berbelit-belit dan melebar. Bingung apa yang sebenarnya ingin disampaikannya."Mama punya seorang calon perempuan yang lebih pantas dibandingkan, Wulan."Oh, jadi ini adalah inti dari semua perkataan Mama. Dibalik kediaman ibu kandungku ini ternyata ia menyimpan isi hatinya. Dengan dal