***Happy Reading***
Ketakutan dan keraguanku pada Wulan tak terbukti. Hanya lima menit mengutak atik kruk di kakiku ia bisa melepasnya. Menaruh besi hitam sepanjang tungkai kaki di atas sofa.
Setelah menaruh alat bantu jalanku ia kembali, "Sebagai dokter fisioterapy pribadimu, saya tidak menyarankan kamu banyak berjalan." Wulan melipat tangan di atas dadanya. Berlagak menjadi seorang dokter.
"Dengarkan itu, Alex!" Mama ikut memarahi.
Papa tertawa, "Hahaha."
Dari jauh Bik Asih datang dengan membawa nampan, "Silakan Tuan, Nyonya, Den Alex, Non Wulan, ini minumannya." Bik Asih menurunkan minuman dari nampan.
"Hey, apa yang kalian lakukan di sana? Wulan, kenapa belum mengantarkan Alex ke kemarnya?"Segera kutekan tombol pada papan kursi roda. Membalikkan alat bantu jalanku. Di ujung koridor lain ada Papa yang membelalakkan matanya menatap kami berdua.Langkah kaki terdengar pelan, Mama menyusul di belakang Papa. Ikut memperhatikan aku dan Wulan."Alex, Wulan sepertinya kita perlu berbicara serius."Papa masuk ke ruang kerjanya. Aku terpaksa menyentuh tombol dan menggerakkan kursi roda."Ini semua akibat ulahmu, Wulan." Aku memicingkan mata ketika melewati gadis cempreng itu. Tingkahnya sungguh konyol dan kekanakan kali ini.
***Happy Reading*** ~Setinggi apapun standar kamu tentang pasangan. Akan kalah saat kamu jatuh cinta mendadak~ "Wulan, Alex … jangan pergi." Mama berteriak dari atas tangga kami sudah berada di lantai dasar. Wulan menghentikan laju kursi roda, "Sebentar, Ali." Mama menuruni anak tangga dengan cepat, "Jangan pergi, kalian tak boleh pergi dari rumah ini." "Papa, gak setuju dengan hubungan Alex dan Wulan, Ma." "Tetapi, Mama setuju." Mama menganggukkan kepala. Ia tersenyum sembari mengambil pergelangan tangan Wulan yang mendorong kursi roda.
Hening. Mama tak lagi dapat berkata. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kecewa, kaget, sedih terlihat di wajah Mama. Ia sudah mati-matian membelaku sejauh ini. "Maafkan Wulan, Om. Ini bukan salah Ali," ucapnya dengan menunduk. Anak Abah Dadang ini bicara apa? Dia mengambil tanggung jawabku, Wulan mengaku bersalah untuk menyelamatkanku. "Wulan, jangan meminta maaf. Kita tidak punya salah apapun. Cinta kita benar, hanya mereka yang salah menerimanya." Papa merunduk, memeluk tubuhku di atas kursi roda, "Maafkan, Papa. Kalian benar, Papa tak seharusnya keras kepala dan memaksakan kehendak." Apa?
***Happy Reading*** "Lilis kenapa, Bik?" Wulan ikut panik melihat ekspresi wajah Bik Asih. "Lilis Suryani kritis. Baru saja Bibik, dapat telepon dari pihak rumah sakitnya." Secara biologis Lilis Suryani bukan anak dari Bik Asih, tetapi rasa sayang dan kekhawatirannya benar-benar terlihat tulus. "Bagaimana kalau kita menjenguk Lilis sekarang, Pa, Ma?" "Usul yang bagus Alex, sekalian ada yang ingin Papa ketahui." "Bik Asih, setelah menyiapkan makanan, kamu segera bersiap dan ikut kami ke rumah sakit tempat Lilis Suryani dirawat."
***Happy Reading*** Dari luar pintu aku menyaksikkan sebuah pertunjukkan. Kasih sayang tulus, tidak selalu harus berhubungan darah. Darah memang selalu lebih kental dari air, tetapi tanpa air dalam kandungan darah apa jadinya? Darah tanpa air akan menggumpal. Jika sudah menggumpal pasti mengganggu jalannya peredaran darah, bisa menyebabkan kematian. Sejatinya darah dan air selalu menyatu. Lihatlah dua orang perempuan berbeda generasi di sana. Yang satu terlihat menatap penuh harap di atas ranjang dengan mata sayu dan penuh penderitaan. Sementara wanita paruh baya satunya tak henti menangis. Sesekali cobalah melihat bukan dengan mata, gunakan hati agar semua emosi juga terasa.
"Tolong tunggu di luar dulu." Pintu ruang rawat Lilis ditutup rapat. Kini, kami hanya bisa menunggu dengan cemas di luar ruangan, duduk pada kursi kayu memanjang yang disediakan. Dokter menyuruh kami semua keluar. Mereka sedang berupaya menyelamatkan Lilis di dalam sana. Bik Asih menyandar dengan lemas pada dinding. Wulan terlalu panik, sebentar ia duduk kemudian berdiri. Berjalan hilir mudik dari kursi tunggu ke pintu beberapa kali. "Wulan, duduklah. Kamu membuat semua orang semakin panik." "Aku benci harus menunggu tanpa bisa melakukan apapun untuk membantu," jawab Wulan. "Benar yang dikatakan Alex. Wulan, duduklah dan tenangka
***Happy Reading*** "Arrrggghh … dasar ba*ingan, lelaki jahat." Bik Asih memukuli Agustian Waluyo dengan kesetanan. Ia tetap menjambak rambutnya walaupun kedua polisi berbadan kekar memisahkan mereka. "Dasar bia*ab, kubunuh kamu!" "Berhenti, Buk. Harap tenang!" Salah seorang polisi memperingatkan. "Jangan halangi saya, Pak." Bik Asih menangis, ia meraung dan terus berusaha memukul Agustian Waluyo. "Heh, Babu! Hentikan!" Agustian Waluyo memaki Bik Asih. Ideku mengundang Agustian Waluyo dan Paula Stephan
Bunyi melengking panjang terdengar seiring layar monitor yang tak lagi membentuk grafik naik turun. Hanya sebuah garis mendatar terlihat di sana."Lilis …." Bik Asih menjerit. Ia mengelus pipi tirusnya lalu mengguncangkan tubuh Lilis Septiani."Lilis!" Wulan menutup mulutnya tak percaya pada apa yang terjadi.Ruang rawat Lilis Septiani hening."Kami sudah berusaha sebaik mungkin, mohon maaf." Lelaki berjas putih itu menelangkupkan tangan di dada. Meminta maaf, sebuah tindakan terbaik untuk menunjukkan rasa empati pada keluarga pasien. Dokter itu lalu berlalu pergi dari ruangan.Bik memeluk sosok terbujur kaku di balik kain put
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad