Berhenti di depan pintu ruang persidangan. Sengaja menatap Jhonny di dalam sana yang tak dapat berkutik lagi. Paula Stephanie hanya menunduk dengan lemas. Wajah mereka sama pucatnya.
Sengaja memelankan langkah, menikmati pemandangan di dalam ruang sidang sana. Sekaligus menjaga keseimbangan. Kakiku semakin sakit, tak dapat melangkah lagi.
Wulan berada di belakangku sekitar tiga meter. Lama sekali dia berjalan. Melirik pada Wulan, "Cepatlah Wulan!"
"Sebentar! Ada apa, Ali?"
"Berjalanlah di sampingku," bisikku.
Wulan menurut, ia berjalan tepat di sampingku. Segera kurangkul pundaknya.
***Happy Reading***Pesan Wulan terlanjur terkirim. Lagi-lagi aku harus merepotkan David. Malu rasanya, seorang teman bukan orang yang harus selalu ada saat kita kesulitan. Lain kali akan ku traktir David, sudah terlalu sering menyusahkannya."Ali? Kok diem aja, sih?""Kakiku berdenyut nyeri, Wulan. Saat menginjak tanah serasa ada ribuan jarum yang menancap," sahutku.Mataku juga mulai terasa berat dan mengantuk. Efek obat yang diberikan Wulan tadi, kurasa mulai bekerja. Perlahan rasa sakit di kaki tak begitu kurasa.Setidaknya hari ini, aku telah melakukan sesuatu yang takkan kusesali seumur hidup. Datang dan memberikan semua bukti kejaha
Kedua security di pos mengikuti mobil David masuk ke garasi. Keduanya membantu menurunkanku dari mobil David. Wulan memegangi kursi roda, "Pelan-pelan, Pak!" perintah Wulan.Selepas memaksa berjalan kini kakiku tak bisa digerakkan sama sekali.David menatap jam digital di layar ponsel, "Gue harus cepet ke kantor nih, izin satu jam doang tadi.""Thanks, Bro.""Your wellcome, lain kali kita ngobrol lebih lama. Ada banyak hal yang ingin kudiskusikan sama loe, Lex. Cepat sembuh.""Pasti. Kapan pun loe butuh gue, telepon aja."Kami bersalaman. David memelukku sebentar sebelum akhirnya
***Happy Reading***Ketakutan dan keraguanku pada Wulan tak terbukti. Hanya lima menit mengutak atik kruk di kakiku ia bisa melepasnya. Menaruh besi hitam sepanjang tungkai kaki di atas sofa.Setelah menaruh alat bantu jalanku ia kembali, "Sebagai dokter fisioterapy pribadimu, saya tidak menyarankan kamu banyak berjalan." Wulan melipat tangan di atas dadanya. Berlagak menjadi seorang dokter."Dengarkan itu, Alex!" Mama ikut memarahi.Papa tertawa, "Hahaha."Dari jauh Bik Asih datang dengan membawa nampan, "Silakan Tuan, Nyonya, Den Alex, Non Wulan, ini minumannya." Bik Asih menurunkan minuman dari nampan.
"Hey, apa yang kalian lakukan di sana? Wulan, kenapa belum mengantarkan Alex ke kemarnya?"Segera kutekan tombol pada papan kursi roda. Membalikkan alat bantu jalanku. Di ujung koridor lain ada Papa yang membelalakkan matanya menatap kami berdua.Langkah kaki terdengar pelan, Mama menyusul di belakang Papa. Ikut memperhatikan aku dan Wulan."Alex, Wulan sepertinya kita perlu berbicara serius."Papa masuk ke ruang kerjanya. Aku terpaksa menyentuh tombol dan menggerakkan kursi roda."Ini semua akibat ulahmu, Wulan." Aku memicingkan mata ketika melewati gadis cempreng itu. Tingkahnya sungguh konyol dan kekanakan kali ini.
***Happy Reading*** ~Setinggi apapun standar kamu tentang pasangan. Akan kalah saat kamu jatuh cinta mendadak~ "Wulan, Alex … jangan pergi." Mama berteriak dari atas tangga kami sudah berada di lantai dasar. Wulan menghentikan laju kursi roda, "Sebentar, Ali." Mama menuruni anak tangga dengan cepat, "Jangan pergi, kalian tak boleh pergi dari rumah ini." "Papa, gak setuju dengan hubungan Alex dan Wulan, Ma." "Tetapi, Mama setuju." Mama menganggukkan kepala. Ia tersenyum sembari mengambil pergelangan tangan Wulan yang mendorong kursi roda.
Hening. Mama tak lagi dapat berkata. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kecewa, kaget, sedih terlihat di wajah Mama. Ia sudah mati-matian membelaku sejauh ini. "Maafkan Wulan, Om. Ini bukan salah Ali," ucapnya dengan menunduk. Anak Abah Dadang ini bicara apa? Dia mengambil tanggung jawabku, Wulan mengaku bersalah untuk menyelamatkanku. "Wulan, jangan meminta maaf. Kita tidak punya salah apapun. Cinta kita benar, hanya mereka yang salah menerimanya." Papa merunduk, memeluk tubuhku di atas kursi roda, "Maafkan, Papa. Kalian benar, Papa tak seharusnya keras kepala dan memaksakan kehendak." Apa?
***Happy Reading*** "Lilis kenapa, Bik?" Wulan ikut panik melihat ekspresi wajah Bik Asih. "Lilis Suryani kritis. Baru saja Bibik, dapat telepon dari pihak rumah sakitnya." Secara biologis Lilis Suryani bukan anak dari Bik Asih, tetapi rasa sayang dan kekhawatirannya benar-benar terlihat tulus. "Bagaimana kalau kita menjenguk Lilis sekarang, Pa, Ma?" "Usul yang bagus Alex, sekalian ada yang ingin Papa ketahui." "Bik Asih, setelah menyiapkan makanan, kamu segera bersiap dan ikut kami ke rumah sakit tempat Lilis Suryani dirawat."
***Happy Reading*** Dari luar pintu aku menyaksikkan sebuah pertunjukkan. Kasih sayang tulus, tidak selalu harus berhubungan darah. Darah memang selalu lebih kental dari air, tetapi tanpa air dalam kandungan darah apa jadinya? Darah tanpa air akan menggumpal. Jika sudah menggumpal pasti mengganggu jalannya peredaran darah, bisa menyebabkan kematian. Sejatinya darah dan air selalu menyatu. Lihatlah dua orang perempuan berbeda generasi di sana. Yang satu terlihat menatap penuh harap di atas ranjang dengan mata sayu dan penuh penderitaan. Sementara wanita paruh baya satunya tak henti menangis. Sesekali cobalah melihat bukan dengan mata, gunakan hati agar semua emosi juga terasa.