“Sayang, mungkin sore nanti aku pamit sebentar. Ada yang harus aku urus. Tapi, jangan khawatir. Di luar nanti tetap ada polisi yang menjagamu.” Lelaki itu berdiri sambil meletakkan bekas makan Tias di meja. Setelah Tias selesai makan, datanglah suster membawa suntikan untuk di berikan kepada Tias.
“Kita suntik dulu, ya ibu Tias? Bagaiman rasanya? Sudah lebih baik atau ada keluhan?” tanya salah satu suster yang membawa buku. Mungkin wanita itu akan mencatat sesuatu yang dirasakan oleh pasien. Sedangkan yang satunya lagi menyuntikkan cairan di infus Tias. Wanita itu mulai merasakan kantuk saat para suster itu sudah keluar dan obat mungkin sudah masuk ke aliran darahnya. Ilham membetulkan selimutnya, saat wanita itu mulai tertidur.
Ilham membuka laptopnya saat Tias mulai tertidur. Dia bekerja menyelesaikan beberapa laporan perusahaan dan juga kedinasan yang belum selesai karena terbengkelai menjaga Tias. Wanita itu memang lebih dari segalan
“Tunggu saja! Kau akan mendapatkan ganjaran karena sudah membuatku menderita dan menolakku. Aku tidak mendapatkanmu, maka siapapuntidak.” Galih meremas gelasnya yang berada di tangan. Dia melemparkan gelas itu hingga hancur berkeping-keping. Kemarahannya sudah sampai puncak yang tertinggi sekarang. Tabiatnya yang lembut dan penuh kasih sudah hilang berganti dengan arogansinya yang membuncah dan menguat.Lelaki itu mulai berencana untuk membunuh kedua insan itu. Ilham dan juga Tias. Kedua orang itu sudah di cetak fotonya kemudian dia letakkan di samping cermin. Baju-baju Tias sudah di kumpulkan jadi satu. Barangnya juga demikian. Dia akan mengubur semua kenangan itu. Kenangan manis saat bersamanya. Semua akan dia jadikan hanya kenangan saja. Hatinya akan dia batukan sehingga hanya rasa benci yang mengarat di dalam benaknya.Foto tersebut yang dipajang dia teliti kembali, kemudian dia beri coretan di samping dindingnya. Dia m
“Ck, untung saja kaya. Kalau miskin, mana mau gue sama lo. Ck, jam segini teler. Dasar! Ck, ini gue cari uang di mana? Mana cicilan mobil belum ke bayar lagi,” rutuk Milea. Wanita itu melihat dompet Galih yang tergeletak di lantai. Dia tersenyum bahagia dan mengambilnya. Setelah mengambil uang yang di butuhkan, dia melenggang pergi. Wanita itu tertawa dan mengibaskan uang yang ada di tangannya, setelah itu melenggang pergi meninggalkan rumah Galih.Lelaki itu menjadi kacau-balau sekarang. Untung tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak . Semua hancur. Harapannya musnah. Wanita yang dulu ia impikan, dengan kebodohannya di sia-siakan dan sesalpun kini hanya menguap bagai asap yang membumbung ke langit.Dua hari telah berlalu. Galih bangun. Hari ini adalah sidang perdana dengan agenda mediasi. Lelaki itu mencukur brewoknya yang sudah tumbuh ke mana-mana. Tias paling tidak suka melihat brewok dan kumisnya tidak teratu
“Wow! Fuhhh ...” teriak Galih. Rambut Milea sudah acak-acakan tak berbentuk. Wanita itu bagai singa yang surainya baru terkena badai tursina. Galih tertawa melihatnya. Setidaknya, ada yang membuat dirinya tertawa hari ini. Ya, melihat Milea yang acak-adul seperti itu membuat Galih tertawa sangat puas.“Ih, malah ketawa lagi. Tahu nggak, ini dandannya sudah maksimal,” cicit Milea. Wanita itu membuka tas jinjingnya, kemudian mengambil sisir untuk menyisir rambutnya. Setelah dirasa rapih, maka dia meletakkan kembali ke dalam tas jinjingnya dan menutup kembali resletingnya.“Lapar, nggak?” tanya Milea, sepertinya wanita itu sudah kelaparan dari tadi. Pagi tadi, dia belum sarapan. Jadi, sekarang sangat lapar.“Kita makan!” Galih melajukan kembali mobilnya untuk mencari restoran Jepang. Mereka berdua memang menyukai restoran masakan Jepang. Milea berseri, karena har
Ilham membuka pintu kemudi, membuat Tias terperanjat karena kaget. Lelaki itu duduk dengan rapi di kusi kemudi dan memakai seat beltnya. Sementara itu, Tias lupa memakai sabuk pengamannya. Melihat hal itu, Ilham punya ide jahil untuk mengerjai wanita itu. Dia tersenyum, kemudian mncondongkan tubuhnya.Tias yang melihat Ilham mencondongkan tubuhnya memundurkan tubuhnya, sehingga justru dadanya yang menggunung yang menempel pada dada Ilham. Wanita itu memejamkan matanya, sehingga Ilham tak hentinya menjahilinya. Dia meniup telinga Tias sehingga wanita itu merasakan gelenyar indah dalam dada yang sudah bergetar sempurna menajdikan suara detakannya sampai ke telinga Ilham. Bunyi klik terdengar, namun Ilham masih saja belum beranjak dari posisi terdekat itu, hingga menikmati wajah khawatir Tias yang terpejam.“Aku tidak akan menciummu, jika kau belum menyerahkannya. Aku hanya membantumu memakaikan seat belt,” bisik Ilhan di telinga Ti
“Kenapa berhenti?” Jantung Tias sudah memburu lebih kencang dari pertama salah sangkanya, karena dia kira tadi lelaki itu akan menciumnya, tidak tahunya hanya membantunya memakikan sabuk pengaman.“Kamu ingin jalan terus? Tidak lelah?” tanya Ilham. Lagi-lagi, lelaki itu menggodanya.“Aku ... aku,” gagap Tias. Lelaki itu tertawa ngakak. Rasanya puas menggoda wanita itu.“Mau turun tidak? Kita sudah sampai.” Wanita itu tergagap kemudian mengangkat wajahnya. Terlihat rumah mewah berlantai dua terpampang jelas di depan matanya. Rumah moderen gaya Yunani dengan pilar-pilar besar dan berwarna putih dan gold itu mendominasi, sehingga rumah dua lantai itu nampak manis dan mewah.“Ini rumah siapa?” tanya Tias. Sambil terus mengitari rumah tersebut dengan binar matanya. Ilham membukakan pintu untuknya. Terlihat wanita itu belum selesai mengagumi tempa
“Siapa bilang? Cowok lo tuh yang nggak ngebolehin. Untung saja, bukan Galih. Kalau Galih yang menyuruhku, sudah ku omelin tujuh oktaf tuh bocah. Sayangnya yang nggak ngebolehin adalah atasan kita jadi, ya sudah. Kamu sudah sembuh? Kapan pulang dari rumah sakit? Aku sudah kangen tau?” cibik Lita. Wanita itu memang selalu heboh sendiri.“Aku sudah pulang. Tapi, mas Ilham tidak mengijinkan pulang ke rumah. Aku ada di rumahnya di daerah Cihanpelas. Kamu main kemari, deh.” Tias memberi tahu alamatnya. Selain Lita, tidak ada lagi yang dia beri tahu. Ini rahasia, agar Lita juga menjaganya. Atau Galih akan mengetahuinya dan menyeretnya untuk pulang. Lelaki itu sudah menjelma menjadi monster sekarang ini. “Ih, keren emang. Lo sudah mengajukan gugatan? Kenapa sih, Yas masih bertahan? Hempaskan saj
“It’s ok, Baby. Hentikan air matamu. Aku bersamamu. Aku akan usahakan secepatnya kamu lepas dari si keparat itu. Kamu akan menjadi milikku segera,” ucap Ilham. Lelaki itu memeluk tubuh Tias, sehingga getaran tangis Tias dapat di redam oleh dada Ilham. Tias belum menutup ponselnya, sehingga Lita dengan jelas mendengar pembicaraan Ilham. Lita tersenyum sangat manis mendengar hal itu. Lita memeluk gawainya dalam dadanya. Dia bahkan membayangkan tubuh Tias yang di peluk oleh Ilham dengan gagah. Sehingga mesam-mesem sendiri.“Eh, ngapain hayo senyam-senyum sendiri?” Lita tergagap mendengar suara itu. Ternyata suaminya sudah memeluknya dari belakang.“Eh, ini Tias.” Lita memperlihatkan ponselnya.“Kenapa lagi dia?” tanya suami Lita.“Dia mau move on. Ini lagi bermesraan dengan pak Ilham. Dia sudah mengajukan gugatan tinggal sidang saja. Tadi sudah
“Pakai helmnya. Kita makan nasi goreng? Atau kau punya rencana untuk makan apa?” tanya Rendra. Lelaki itu telah siap dengan motor yang sudah di starter. Lita membonceng di belakang. Karena lama ditunggu tidak juga memeluknya, Rendra meraih tangan Lita agar memeluknya. Lita menepuk punggung suaminya tersebut karena merasa malu.“Kita ke nasi goreng bang Doel seperti biasa?” tanya Rendra.“Iya, dong.” Lita semakin posesif memeluk suaminya. Bagi Rendra, saat seperti ini yang selalu dia tunggu. Lelaki itu menyetir sambil tersenyum. Tentu saja, orang lain tidak melihatnya karena mulutnya tertutup masker.Demikian juga dengan Lita. Mereka menutup rapat wajahnya dengan masker. Masa gawat seperti sekarang tentu saja jangan lengah. Mereka sudah sampai di tenda biru penjual nasi goreng. Rendra memesan dua nasi goreng untuk dia dan istrinya makan. Sedangkan minumnya, STMJ dan segelas