Lelaki itu terus mengaduk hingga asap mengepul lebih banyak dari dalam nasi yang sudah berwarna kecoklatan itu. Tandanya, nasi sudah matang. Ilham mengambil sendok, kemudian menyendok nasi goreng yang masih panas itu dan meniupnya. Kemudian, mengarahkan ke mulut Tias. Wanita itu, membuka mulutnya.
“Bagaimana? Enak nggak?” tanya Ilham.
“Bagiamana, ya?” Tias memberi teka-teki.
“Asin, ih ....” Tias menggoda lelaki itu.
“Benarkah?” Ilham menyendok nasi goreng yang masih ada di piring itu, kemudian memasukkan ke mulutnya. Tias berlari keluar dari dapur. Kemudian Ilham mengejarnya, karena wanitaq itu sudah membohonginya.
“Ah, kamu ...” Ilham mengegelitiki tias, sehingga wanita itu menggelinjang karena merasa sangat deli.
“Sudah ... sudah ... tobat, hahaha.” Wanita itu terus tertawa.
<“Entar cantiknya hilang, lho?” ucap Ilham. Dia mencoba merayu. Ilham jalan mendekat ke arah Tias berada. “Biarin, jangan ganggu aku!” sarkas Tias. Ketika Ilham Mendekat dan duduk di sampingnya. Ilham mencolek dagu Tias tapi ditepisnya. Dia malah meringsut menghadap ke lain tempat. “Duh, galak banget. Entar aku tambah cinta lho kalau galak-galak. Kayaknya, kalau dicium sembuh nih marahnya.” Ilham bangkit memutar menghampiri Tias agar berada di depannya. Melihat Ilham mulai mendekat, wanita itu melotot kemudian pasang kuda-kuda dan kepalan tangan. “Duh, aku jadi bergairah. Rupanya kekasihku meminta fighting. Oke, aku lebih tertarik dengan fighting bibir tapi,” goda Ilham sambil tertawa ngakak. Ilham masih saja bercanda membuta Tias semakin keki. “Jangan bercanda, aku sedang marah!” Bentak Tias. Dia menepis tangan Ilham yang berada di kedua pipinya. Ilham menciumnya singkat, kemudian membungkuk
“Kita berangkat ke kantor sekarang siapkan dirimu. Kita akan mampir ke butik untuk beli bajumu,” titah Ilham.“Tapi ....”“Hus, nggak pakai tapi, dilarang membantah. Paham!” Tias mengikuti saja. Ilham meninggalkan Tias agar siap-siap dia sendiri juga harus siap-siap. Merekaq bertemu kembali di depan kamar. Ilham mengerutkan kening, saat Tias masih menggunakan baju yang sama.“Kamu nggak ganti baju? Waduh, sebentar aku carikan.” Ilham kembali ke dalam untuk mengambilkan Tias bajunya. Tidak ada pilihan lain, selain meminjami baju pada wanita itu.“Pakai ini dulu coba.”Ilham menyodorkan kaos oblong berwarna putih yang masih ada dalam plastik bungkus. Wanita itu menerima, kemudian masuk ke dalam kamar kembali dan memakainya. Setelah beberapa saat, mereka keluar bersama.Dua cicitan terdengar, berarti sebuah kunci terbuka. Le
Setelah mencoba satu baju berwarna merah muda, dia keluar. Aura kecantikannya tidak diragukan lagi. Baju itu membuat dirinya nampak sangat mempesona. Hingga Ilham tersenyum melihatnya. Dia merasakan sangat perfek baju tersebut berada di tubuh Indah Tias.“Bagus. Cantik. Bungkus yang itu. Warna lain juga, Sya. Kamu pakai itu sekarang untuk pergi ke kantor. Yang lain kamu kirim ke rumah. Alamatnya aku chat entar.” Lelaki itu berjalan beriringan dengan Tias. Mereka berdua menuju ke mobilnya. Lelaki yang menyadari buruannya sudah keluar, ia melepaskan wanita pelayan itu dan mengejar buruannya.Namun, bukan Ilham namanya. Lelaki itu sudah menyadari bahwa ada penguntit yang mengikutinya. Ilham menyetir mobilnya dengan sangat kencang. Untung kali ini dia menggunakan mobil sport dengan mesin ganda. Jadi, bisa dibilang sulit untuk penguntit mengejarnya.“Done, kita lolos ... wuih,” teriak Ilham.&nb
Melihat sang mulut ular itu sudah terpaku, Tias memilih untuk meninggalkannya. Tutukan sepatu dari belakang menyadarkan Ajeng untuk menoleh.Wanita itu tergagap karena suara sepatu iru milik Ilham. Lelaki itu makin lama-makin mendekat dengan Ajeng. Wanita itu berusaha untuk lari, akan tetapi Ilham memanggilnya.“Tunggu!” teriak Ilham.“Aduh! Mati aku!” gumam Ajeng ambil memukul jidadnya dengan telapak tangan kanannya.“Mau ke mana? Kamu salah lewat. Itu lift khusus,” tegur Ilham. Ajeng nyengir mendapat teguran seperti itu. Dia mengangguk minta maaf. Ilham tidak menghiraukannya. Dia langsung masuk ke lift itu. Sebenarnya, lelaki itu memang ingin memberi pelajaran sama wanita yang sok tahu itu. Ilham sudah melihat dari kejauhan, bahwa wanita itu sudah mengintimidasi kekasihnya.Ilham tersenyum miring ketika melihat muka pucat pasi milik Ajeng
“Ada apa, Mas?” sinis Tias.“Kenapa cemberut?” tanya Ilham.“Nggak papa. Kepalaku pusing,” tukas Tias.Ilham memandang wanita itu dengan lekat. Wanita itu memang terlihat pucat. Ilham menelpon satpam untuk dimintai tolong.“Pak, tolong ke ruangan saya,” perintah Ilham dalam sambungan. Tanpa mendengar jawaban, lelaki itu memutus sambungan.“Ada apa sih? Pakai mengundang satpam segala? Aku salah apa?” Rasa penasaran Tias sangat tinggi. Dia tidak merasa melakukan apapun, tapi Ilham mengundang satpam. Tidak lama kemudian, satpam datang. Makin bingunglah Tias.“Pak, anterkan bu Tias pulang, ya?” perintah Ilham.“Baik, Pak. Silakan, Bu Tias.” Satpam itu mengulurkan tangan untuk menyilakan wanita itu. Tias mengerutkan ken
Tias mengepalkan tangannya lebih kencang, hingga kukunya menancap ke panggal tangannya dan berdarah. Tapi, wanita itu tidak merasakannya. Darah mulai mengalir dari pangkal telapak tangannya itu. Tapi, Tias tidak bisa merasakan perih sama sekali. Hatinya penuh dengan duka-lara karena mulut pedas lelaki itu.“Ada apa ini?” Ilham keluar dari dalam gedung itu.“Ah, sang Rahwana penculik Dewi Sinta keluar,” sarkas galih. Ilham mengeratkan rahang-rahangnya. Merasa sangat marah. Lelaki itu sungguh sangat memuakkan. Dia melebihi seorang perempuan yang tidak punya otak.“Jaga bicara anda, Tuan Galih.” Galih tertawa terbahak kemudian menunjuk ke arah Ilham.“Aku? Suruh jaga bicaraku? Kau yang jaga kelakuanmu. Kau seorang pegawai pemerintah. Jabatanmu tertinggi pula. Tapi, kelakuanmu minus. Kau bawa istriku lari! Hai semua anak buah Ilham. Dengarkan sabdaku lelaki
“Cepat panggil ambulance! Cepat!” Lita langsung menelpon ambulance tangannya gemetar tak menentu. Darah Tias sudah membanjiri tempat itu. Betapa paniknya Ilham rasanya sangat takut kehilangan Tias. “Bertahan untukku, kumohon! Cepat! Kalian lelet!” bentak Ilham. Lita tergagap kemudian berkata, “ segera, Pak. Sudah saya hubungi.” Suara sirine memekakan telinga. Mereka yang tadinya berkerumun abai akan protokol kesehatan, minggir untuk memberi jalan ambulance mendekat. Ilham mengangkat butuh yang bersimpah darah. Dia tidak peduli dengan baju putihnya yang tertimpa darah. Petugas berpakaian serba putih langsung memasangkan selang oksigen untuk Tias. Sura sirine memekakan telinga meninggalkan tempat kejadian perkara. Tias sedikit masih sadar ketika Ilham mengangkat tubuhnya tadi. Tepatnya, dia berusaha sadar agar lelaki itu dapat sedikit ringan mengangkat tubuhnya. Tapi, setelah tubuhnya men
Tiba-tiba pintu kamar operasi terbuka. Terlihat sosok tinggi dengan pakaian APD khas ruang operasi keluar.“Bagaimana keadaan, Tias? Apakah baik-baik saja?” tanya Ilham dengan penuh harap.“Keadaannya ....” Dokter menjeda perkatannya. Perasaan Ilham makin tegang dengan raut muka yang sangat serius. Dokter menjeda perkataannya. Dia menghirup nafasnya dalam-dalam. Kemudian mengulangi perkataannya lagi.“Keadaannya lumayan baik. Peluru sudah berhasil kami keluarkan dari punggugnya. Akan tetapi, pasien masih tak sadarkan diri karena pengaruh anastesi.” Dokter tersebut masih mengenakan maskernya, ketika berbicara. Namun, masih jelas dapat ditangkap dengan baik perkatannya.“Apakah kami boleh menjenguknya, Dok?” tanya Ilham.“Boleh, tapi setelah dipindahkan ke ruang inap. Nanti petugas akan mengurusnya,” tukas dokter. Lelaki d