Melihat sang mulut ular itu sudah terpaku, Tias memilih untuk meninggalkannya. Tutukan sepatu dari belakang menyadarkan Ajeng untuk menoleh.Wanita itu tergagap karena suara sepatu iru milik Ilham. Lelaki itu makin lama-makin mendekat dengan Ajeng. Wanita itu berusaha untuk lari, akan tetapi Ilham memanggilnya.
“Tunggu!” teriak Ilham.
“Aduh! Mati aku!” gumam Ajeng ambil memukul jidadnya dengan telapak tangan kanannya.
“Mau ke mana? Kamu salah lewat. Itu lift khusus,” tegur Ilham. Ajeng nyengir mendapat teguran seperti itu. Dia mengangguk minta maaf. Ilham tidak menghiraukannya. Dia langsung masuk ke lift itu. Sebenarnya, lelaki itu memang ingin memberi pelajaran sama wanita yang sok tahu itu. Ilham sudah melihat dari kejauhan, bahwa wanita itu sudah mengintimidasi kekasihnya.
Ilham tersenyum miring ketika melihat muka pucat pasi milik Ajeng
“Ada apa, Mas?” sinis Tias.“Kenapa cemberut?” tanya Ilham.“Nggak papa. Kepalaku pusing,” tukas Tias.Ilham memandang wanita itu dengan lekat. Wanita itu memang terlihat pucat. Ilham menelpon satpam untuk dimintai tolong.“Pak, tolong ke ruangan saya,” perintah Ilham dalam sambungan. Tanpa mendengar jawaban, lelaki itu memutus sambungan.“Ada apa sih? Pakai mengundang satpam segala? Aku salah apa?” Rasa penasaran Tias sangat tinggi. Dia tidak merasa melakukan apapun, tapi Ilham mengundang satpam. Tidak lama kemudian, satpam datang. Makin bingunglah Tias.“Pak, anterkan bu Tias pulang, ya?” perintah Ilham.“Baik, Pak. Silakan, Bu Tias.” Satpam itu mengulurkan tangan untuk menyilakan wanita itu. Tias mengerutkan ken
Tias mengepalkan tangannya lebih kencang, hingga kukunya menancap ke panggal tangannya dan berdarah. Tapi, wanita itu tidak merasakannya. Darah mulai mengalir dari pangkal telapak tangannya itu. Tapi, Tias tidak bisa merasakan perih sama sekali. Hatinya penuh dengan duka-lara karena mulut pedas lelaki itu.“Ada apa ini?” Ilham keluar dari dalam gedung itu.“Ah, sang Rahwana penculik Dewi Sinta keluar,” sarkas galih. Ilham mengeratkan rahang-rahangnya. Merasa sangat marah. Lelaki itu sungguh sangat memuakkan. Dia melebihi seorang perempuan yang tidak punya otak.“Jaga bicara anda, Tuan Galih.” Galih tertawa terbahak kemudian menunjuk ke arah Ilham.“Aku? Suruh jaga bicaraku? Kau yang jaga kelakuanmu. Kau seorang pegawai pemerintah. Jabatanmu tertinggi pula. Tapi, kelakuanmu minus. Kau bawa istriku lari! Hai semua anak buah Ilham. Dengarkan sabdaku lelaki
“Cepat panggil ambulance! Cepat!” Lita langsung menelpon ambulance tangannya gemetar tak menentu. Darah Tias sudah membanjiri tempat itu. Betapa paniknya Ilham rasanya sangat takut kehilangan Tias. “Bertahan untukku, kumohon! Cepat! Kalian lelet!” bentak Ilham. Lita tergagap kemudian berkata, “ segera, Pak. Sudah saya hubungi.” Suara sirine memekakan telinga. Mereka yang tadinya berkerumun abai akan protokol kesehatan, minggir untuk memberi jalan ambulance mendekat. Ilham mengangkat butuh yang bersimpah darah. Dia tidak peduli dengan baju putihnya yang tertimpa darah. Petugas berpakaian serba putih langsung memasangkan selang oksigen untuk Tias. Sura sirine memekakan telinga meninggalkan tempat kejadian perkara. Tias sedikit masih sadar ketika Ilham mengangkat tubuhnya tadi. Tepatnya, dia berusaha sadar agar lelaki itu dapat sedikit ringan mengangkat tubuhnya. Tapi, setelah tubuhnya men
Tiba-tiba pintu kamar operasi terbuka. Terlihat sosok tinggi dengan pakaian APD khas ruang operasi keluar.“Bagaimana keadaan, Tias? Apakah baik-baik saja?” tanya Ilham dengan penuh harap.“Keadaannya ....” Dokter menjeda perkatannya. Perasaan Ilham makin tegang dengan raut muka yang sangat serius. Dokter menjeda perkataannya. Dia menghirup nafasnya dalam-dalam. Kemudian mengulangi perkataannya lagi.“Keadaannya lumayan baik. Peluru sudah berhasil kami keluarkan dari punggugnya. Akan tetapi, pasien masih tak sadarkan diri karena pengaruh anastesi.” Dokter tersebut masih mengenakan maskernya, ketika berbicara. Namun, masih jelas dapat ditangkap dengan baik perkatannya.“Apakah kami boleh menjenguknya, Dok?” tanya Ilham.“Boleh, tapi setelah dipindahkan ke ruang inap. Nanti petugas akan mengurusnya,” tukas dokter. Lelaki d
Tidak berapa lama, tim medis datang untuk menjawab panggilan Ilham. Dua orang berseragam putih menyambangi ruangan itu.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita berbaju putih itu.“Tolong diperiksa. Jemarinya menjentik tadi,” tukas Ilham sambil berbinar.“Sebentar, Pak. Kami ambil tindakan.” Kedua suster itu keluar kmbali, mungkin akan mengambil peralatan. Setelah beberapa menit, dia kembali dengan membawa dokter yang tadi menangani Tias.“Ada perubahan, Pak?” tanya dokter tersebut.“Iya, Dok. Tadi, jemarinya menjentik. Mohon maafd, Dok. Apakah dia mulai dapat merespon suara atau gerakan dari luar?” tanya Ilham.“Sepertinya begitu. Beri stimulus terus. Ajak dia bicara, agar cepat sadar.” Dokter memeriksa seluruh keadaan wanita itu. Ilham menyaksikan dengan seksama yang dilakukan oleh dokt
“Sementara, itu dulu. Gue akan pastikan bahwa lo akan membuat bajingan itu membusuk di penjara, atau gue akan memutuskan persendiannya, hingga untuk bernafas pun dia nggak ingat.” Ilham dengan segala kekuatan dan juga kekauasaannya sangat mudah melumpuhkan seseorang. Jangankan seorang Galih, bahkan siapa pun tidak akan membuatnya takut. Tapi, tunggu dulu. Apakah Ilham tahu siapa Galih? Bagaimana sepak terjangnya? Mungkin lelaki itu akan membuatnya kerepotan.Di saat Tias berjuang dengan seluruh kekuatan dan juga kelemahannya untuk lolos dari kematian, Galih di suatu tempat merasa gelisah. Dia tidak menyangka, tindakannya akan melukai istrinya. Sedangkan yang ingin dia bidik adalah lelaki yang telah membawa istrinya kabur. Beribu perasaan menghujani jiwanya membuat dirinya tidak bisa duduk tenang.“Bos, mondar-mandir saja kayak setrikaan. Duduk lebih enak.” Seorang lelaki dengan tubuh mungil tidak tahan dengan ke
Lelaki itu meraih gelas yang sudah dituangkan setengah cairan wisky. Gelas cristal berwarna bening itu ditenggak isinya sampai tandas. Kemudian dengan kekuatan penuh dia melemparkannya ke dinding. Suara gelas pecah memenuhi ruangan itu. Tubuh dari gelas itu berserakan di lantai sampai memenuhi lantai yang dilapisi permadani itu.Anak buah Galih merasa kaget dengan gerakan Galih yang tiba-tiba. Dia kemudian berbisik sama temannya, “dengar! Lama-lama gelas mahal itu habis. Kurang kerjaan amat si bos banting-banting gelas. Tinggal diletakkan ‘kan beres.”“Hus, namanya juga horang kaya. Jangan berisik, nanti kena semprot!” balas lelaki yang bertubuh cungkring itu.“Baron!” panggil Galih. Lelaki itu akan menyuruh anak buahnya bergerak malam ini. Dia tidak akan memberi ampun pada lelaki bajingan yang telah mencuri istrinya. Rupanya, sampai dtik ini dia belum menyadari, bahwa lepasnya T
“Sepertinya, aku pernah bertemu beberapa kali. Hanya saja, pacarnya tidak tahu orangnya. Makanya aku tanya. Nanti kita salah ngebunuh orang malah berabe,” tukas Baron. Mereka melaju` dengan cepat ke arah rumah Basuki sang sopir Galih yang beberapa waktu lalu sudah mengantarkan Galih saat terjadi insiden di depan gedung dinas pendidikan. Rumah sederhana dengan model gaya leter L terlihat oleh mereka.“Basuki ... Basuki,” teriak Baron sambil mengetok pintu.“Ada apa? Teriak-teriak kayak nangkep maling. Ada apa?” tanya Basuki.Mereka duduk di depan rumah yang disediakan bangku panjang dari bambu.“Ini gawat, Bas. Lo kemarin nganter si bos ‘kan?” tanya Baron.“Iya, gawat kenapa?”“Lo malah balik nanya. Lo tahu kagak orang kemaren yang di tembak si bos?”&ldquo