“Loh, Mas Ervan?”Gea yang baru saja pulang dari pasar pun terkejut melihat kehadiran Ervan di rumah. Padahal ini belum waktunya pulang kerja.“Darimana aja kamu? Kenapa periksa aja lama banget pulangnya?” Pertanyaan Ervan terdengar menuntut dan nada bicaranya juga ketus.Gea menunjukkan beberapa belanjaan di kedua tangannya. Memang, setelah pemeriksaan di rumah sakit, Gea meminta Abdi untuk mampir ke pasar, membeli beberapa keperluan dapur. Ada banyak sekali yang Gea beli untuk stok selama sebulan.Tak lupa, Gea menyempatkan diri untuk membeli seblak karena ia sedang ingin makan makanan pedas. Abdi juga dibelikan oleh Gea, meski awalnya sempat menolak. Itu sebabnya, Gea lambat tiba di rumah.“Aku belanja bulanan di pasar, Mas. Sekalian tadi mampir beli seblak. Ini seblaknya aku bawa pulang,” ujar Gea sambil menunjukkan bukti bahwa dirinya memang tidak berbohong.Ervan mengambil alih semua belanjaan yang ada di tangan Gea, termasuk seblaknya. Setelah itu, ia pergi ke dapur dan meletak
Sore hari, setelah selesai mandi, Ervan bergegas keluar kamar dan pergi ke dapur. Ia sadar dirinya belum makan sejak tadi. Pantas saja tubuhnya lemas dan perutnya keroncongan.Ervan menuruni anak tangga satu per satu, dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana training hitam miliknya. Baru saja kakinya tiba di anak tangga terakhir, Ervan mencium bau masakan yang sangat harum dari arah dapur. Ia pun mempercepat langkahnya menuju asal bau masakan itu.Sesampainya di dapur, Ervan melihat Gea sedang sibuk menata makanan di atas meja makan. Ervan mendekati Gea, lalu mencium kening istrinya untuk beberapa saat. Gea hanya bisa diam dan tidak menolak.“Maafin aku ya, Sayang,” ucap Ervan setelah selesai mencium kening Gea. “Maaf karena aku terlalu posesif sama kamu. Padahal aku yang salah. Aku tadi masih rapat dan handphone aku dalam mode silent. Aku nggak tahu kalau kamu hubungi aku. Maafin aku ya.”“Nggak perlu dibahas, Mas. Dibahas pun percuma. Keputusan aku tetap sama, kita harus pisah
“Kenapa kamu nggak cerita dari awal sama Mama?” Nurma bertanya pada putra tercintanya, setelah mendengar cerita sebenarnya dari Ervan. “Kenapa kamu pendam semuanya sendirian? Kamu udah nggak anggap Mama sebagai orang tua kamu?” lanjutnya.Ervan hanya bisa menundukkan kepala. Air matanya masih saja mengalir di pipi. Sejak tadi, Ervan tidak berani menatap mata Nurma. Ia terlalu malu saat mengakui kenakalannya di depan Nurma. Kenakalan yang berakibat fatal. Hingga menghancurkan masa depan Gea.Nurma menggenggam kedua tangan putranya. Mencoba memahami apa yang sedang dirasakan putranya saat ini. Nurma juga mencoba menempatkan diri jika berada di posisi Ervan. Pasti rasanya sakit sekali.“Kamu udah terlanjur sayang sama Gea?” tanya Nurma dengan nada suara yang lembut.“I-Iya, Ma,” jawab Ervan terbata.Nurma tersenyum manis, meski awalnya ia sempat merasa kecewa setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Tapi, menanggapi dengan kemarahan juga percuma saja. Semuanya sudah terjadi. Fakta in
Pagi hari, tepatnya pukul 05.00, Gea terbangun dari tidurnya. Ia merasakan pusing di kepala saat ingin membuka mata. Gea mengerjap beberapa kali sambil memijat pelan pelipisnya. Hingga kedua matanya terbuka sempurna, barulah Gea sadar, dirinya sedang berada di tempat asing. Bau obat-obatan begitu menyengat.Gea menoleh ke kanan sejenak, lalu ke kiri. Saat menoleh ke kiri, ia terkejut melihat suaminya tertidur di sampingnya, dengan kedua lengan dijadikan sebagai bantal. Wajah tenang Ervan menghadap ke arah Gea, sehingga Gea bisa melihat dengan jelas wajah tampan suaminya itu.“Mas Ervan,” gumamnya lirih.Seketika, Gea kembali teringat dengan masalah yang menimpa keluarga kecilnya. Andai saja waktu bisa diulang, Gea tidak akan gegabah untuk membuat surat perjanjian pra-nikah itu. Tapi, semuanya sudah terlanjur terjadi.Jika saat itu Gea tidak membuat surat perjanjian, kemungkinan besar Ervan akan menolak bertanggung jawab. Lalu, dirinya akan dicap buruk oleh orang lain.“Maafin aku, Mas
Ervan tiba di depan sebuah showroom mobil yang jaraknya cukup jauh dari rumah sakit tempat istrinya dirawat. Ervan memang sudah janjian dengan calon pembeli apartemennya di showroom itu. Semula, Ervan ingin bertemu di kafe saja. Akan tetapi, sang calon pembeli sedang ada urusan penting di showroom tersebut. Mau tidak mau, Ervan harus menuruti keinginan calon pembelinya.Pria itu turun dari mobil, lalu merapikan sedikit kemejanya. Kedua lengannya sengaja Ervan gulung hingga ke siku karena cuaca yang sangat panas. Kancing kemeja atasnya juga terbuka, hingga menampilkan leher jenjangnya yang sangat mempesona. Bahkan beberapa karyawan wanita di showroom itu sampai tidak berkedip melihat ketampanan dan kegagahan seorang Ervan.Sesampainya di dalam showroom, Ervan celingukan kesana kemari. Mencari keberadaan calon pembeli apartemennya.“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya salah satu karyawan wanita di tempat itu.“Oh, saya lagi ada janji ketemu sama seseorang di sini. Namanya Pak Indra,” jaw
Keesokan harinya, Bagus yang baru saja selesai rapat, bergegas mencari keberadaan Ervan di ruangannya. Saat rapat dimulai sampai selesai, Ervan tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Padahal rapat kali ini sedang membahas hal penting tentang proyek terbaru mereka yang rencananya akan launching pada akhir bulan ini. Akan tetapi, Ervan justru tidak hadir dalam rapat tersebut.Bagus melangkah cepat ke arah ruangan Ervan, mengabaikan beberapa karyawan yang menyapanya. Sesampainya Bagus di depan ruangan Ervan, ia langsung membuka pintu tersebut tanpa diketuk. Namun sayang, ruangan itu kosong. Tidak ada Ervan di sana.“Kemana anak itu?” gumam Bagus.Pria paruh baya itu melangkah masuk ke dalam ruangan Ervan, mencari Ervan di ruangan pribadinya. Namun hasilnya tetap nihil. Ruangan itu memang kosong.“Jangan bilang dia nggak mogok kerja hari ini,” ujar Bagus lalu menghubungi Fahri melalui sambungan telepon kantor yang ada di ruangan Ervan.‘Halo, selamat pagi.’“Selamat pagi,” balas Bagus.
“Mas, kita kok pergi diam-diam gini sih? Kenapa nggak ngabarin Papa sama Mama kamu, Mas?” tanya Gea.Mereka berdua sudah tiba di sebuah rumah tipe 45 yang di desain minimalis, dengan halaman yang cukup luas, sejak pagi tadi. Rencananya, lahan kosong itu akan dibangun sebuah kios kecil untuk berjualan sembako. Ervan sudah merencanakan semua ini dengan cepat, tentunya dibantu oleh Herman.Mereka berangkat dari Jakarta Pusat menuju Semarang melalui jalur penerbangan pada pukul 06.00 pagi. Hanya menempuh waktu sekitar satu jam lebih sepuluh menit, mereka sudah sampai di bandara Kota Semarang. Dan jarak dari bandara menuju rumah mereka sekarang cukup jauh, sekitar 500 meter.Ervan sengaja merahasiakan kepergian mereka agar Bagus tidak sempat melarangnya. Bisa makin gawat urusannya jika Bagus tahu bahwa Ervan sedang menghindar.“Sayang, kalau kita pamit sama mereka, otomatis mereka bakal ngelarang kita. Makanya aku sengaja nggak kasih tahu ke mereka,” ujar Ervan setelah selesai merapikan is
Dua minggu sudah berlalu, namun Bagus dan Nurma tak kunjung menemukan Ervan dan Gea. Hampir setiap hari mereka mengunjungi kediaman lama Ervan dan hasilnya tetap sama saja. Rumah itu kosong dan Abdi tidak bisa ditanyai karena ia juga tidak tahu kemana majikannya pergi.Karena sudah terlalu lelah mencari, dan nomor Ervan serta nomor Gea juga tidak bisa dihubungi, Bagus beserta Nurma berinisiatif menemui Lastri. Mereka yakin, Lastri pasti mengetahui dimana keberadaan Ervan dan Gea.Hingga sampai tiba di hari Minggu pagi, Bagus dan Nurma benar-benar berkunjung ke rumah Lastri. Lastri yang baru pulang dari pasar pun terkejut melihat keberadaan dua besannya itu.“Loh, Pak Bagus? Bu Nurma?”“Pagi, Bu Lastri,” Nurma menyapa dengan ramah. “Habis darimana, Bu?”“Oh, saya habis belanja di pasar, Bu. Ayo, silahkan masuk. Kita ngobrol di dalam aja,” ucap Lastri dan bergegas membuka pintu agar kedua besannya bisa masuk.Mereka bertiga masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tamu. “Saya tinggal ke da