But you never know unless you walked on my shoes.
Setiap keputusan tentunya memiliki resiko. Aku sudah berpikir terlalu panjang dan terlalu jauh hingga akhirnya lelah dan tersadar bahwa aku tertidur di sofa.
Pantas saja badanku terasa sakit.
Pagi ini, bahkan aku bangun terlalu awal. Matahari bahkan belum bersinar. Ruangan ini juga gelap.
Sudah seminggu sejak aku bertemu dengan Kakek Damian. Aku sama sekali tidak mengontak mereka. Dan mereka juga tidak berusaha untuk menghampiriku.
Aku melihat dapur yang berantakan. Kemarin aku memanggang kue, pesanan temanku untuk acara ulang tahun anaknya. Aku melihat jam di layar gawai.
Pukul 05:00 AM.
Aku meregangkan badan,mengambil udara sebanyak-banyaknya dan segera menuju dapur. Aku mencuci bersih semua tempat yang di gunakan untuk membuat kue semalam.
Bekerja sambil mendengarkan musik adalah hal yang biasa aku lakukan. Suara air mendidih dari ketel listrik membuatku bergegas mengambil kopi instan dari dalam laci.
Aroma kopi yang menguar nikmat memberikan kekuatan lebih bagiku untuk menjalani hari.
Ini pagi yang tenang.
Awalnya memang tenang, namun suara Taylor Swift yang berkumandang menyanyikan lagu Holy Ground membuatku bergegas meraih gawai yang ku simpan di atas meja makan.
Nada panggilan ini sengaja ku buat khusus untuk keluarga di kampung.
Hatiku berdetak kencang, ada sedikit keraguan dan kegelisahan yang merasuk.Banyak pikiran tidak baik yang berkeliaran di otakku ini.
Aku menarik napas dalam sebelum menghembuskan dengan cepat.
“Halo.”
*
Aku memilih mengepak barang-barangku, kali ini keputusan sudah bulat. Aku akan menerima tawaran pekerjaan dari Kakek Damian.
Awalnya memang tidak, daripada menguras emosi untuk bertarung dengan laki-laki iblis, lebih baik aku memanggang kue.
Aku bahkan sudah menyusun rencana terbaik untuk menjalankan bisnis ini,jika bisa hidup lebih irit dari sebelumnya, mungkin aku akan baik-baik saja.
Namun memang hidup tidak ingin aku menjalani hidup dengan tenang dan damai. Panggilan telepon yang ku akhiri tiga jam yang lalu membuatku harus mengambil keputusan ini.
Nak, ingat kakakmu ini. Dia yang menjagamu saat kecil. Bantulah dia sedikit.
Aku meremas rambutku, berharap rasa sakitnya bisa menghilangkan pikiran berlebihan pada keluargaku di kampung.
Kan mereka yang hendak menikah, kenapa aku juga harus memikirkan biayanya.
Aku menaikkan nada suara pada ibu. Ibu hanya bisa mendesah. Ia mengharapkan aku mau menyumbang untuk pernikahan kakak laki-laki yang pertama.
Jika saja kakakmu tidak melakukan kesalahan, tentu tidak ada denda yang harus dibayarkannya. Ibu mohon, tolong mengertilah. Ibu tidak ingin keluarga kita dipermalukan.
Dasar kakak sialan.
Aku mengumpat dalam hati. Suara ibu terdengar serak, mungkin airmatnya sudah luruh. Hatiku pedih membayangkan wajah keriput ibu yang sembab.
Aku berjanji membantu biaya pernikahan semampuku. Ibu berterimakasih dan menutup panggilan.Aku menarik napas panjang, setelah itu segera mengirimkan uang pada rekening bapak.
Tidak ada lagi tabungan yang tersimpan.
I’ts okay Alina, kamu akan baik-baik saja.
Memang apa susahnya sih, jadi asisten pribadi Sang Iblis?
Aku menguatkan hati, berharap bahwa ini adalah keputusan terbaik yang aku ambil.
*
Aku tahu keluarga Swift adalah keluarga kaya, tapi aku tidak menyangka bahwa mereka akan sekaya ini. Aku bahkan aku ternganga melihat betapa megahnya gerbang menuju rumah besar dan bertingkat.
Setelah mengirim uang, aku segera menghubungi Kakek Damian.Aku menerima tawarannya. Suaranya yang bersemangat mendengar kesediaanku membuat perasaanku lega.
Aku masih harus melapor terlebih dulu di Pos Penjaga sebelum gerbang di bukakan dan beruntung karena tidak perlu ada drama karena penjaga sudah mendapatkan informasi tentang kedatanganku.
"Silakan masuk Nona, sudah di tunggu Tuan Damian di ruang tamu." Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada penjaga.Halaman rumah ini begitu indah, ada kolam besar di tengahnya dengan pancuran air yang keluar dari patung perempuan bersayap yang memegang kendi, begitu estetik karena banyak bunga dan tanaman hias yang mengelilingi kolam besar itu.
Sungguh, aku tidak bisa menutupi kekaguman pada taman seluas ini.Ada beberapa pohon rindang yang berjarak, menciptakan kesan sejuk dan menenangkan.
Perhatianku teralih saat taxi berhenti tepat di depan teras rumah.
Wow, terasnya luas sekali.
Setelah membayar, aku di bantu supir mengeluarkan bawaanku.Barangku tidak banyak,hanya satu koper besar dan ransel. Di depan pintu ganda berukiran rumit, aku kebingungan mencari bel.Sama sekali tidak terlihat.
Pintu yang terbuka tiba-tiba membuatku tersentak.
"Selamat datang, Alina. Senang melihatmu disini. Aku tidak menyangka bahwa kamu sungguh akan menyetujui untuk bekerja di kediaman ini."Kakek Damian menyambutku dengan hangat dan mempersilakan masuk.
"Saya juga tidak menyangka, kek. Saya berterimakasih pada kakek yang sudah memberikan kesempatan. Saya berjanji akan bekerja dengan baik." Aku menatap Kakek Damian dengan pasti.
"Baiklah, baiklah. Pengurus rumah akan mengantar ke kamarmu. Aku berharap kamu bisa bertahan lebih dari sebulan disini."Sebulan? Memangnya ada yang bekerja hanya sebulan?
Meskipun agak bingung dengan ucapan Kakek Damian, aku tidak mengutarakan rasa penasaran itu. Aku tersenyum dan mengikuti seorang pria yang berpakaian rapi. Jas hitam dan dasi kupu-kupu yang dikenakan membuat takjub.
Penampilan seperti ini biasanya aku temukan di komik-komik kerajaan.
"Nona Alina. Perkenalkan saya kepala pengurus rumah ini. Nama saya Ardy Peat. Dan ini adalah kamar Nona Alina.”Aku berjabatan tangan dengannya, ia lalu mengambil alih koperku.“Mari ikut saya, Nona Alina.” Aku mengekor pria itu.Kami melewati lorong yang cukup panjang.Ada beberapa pintu yang terlewati, hingga akhirnya tiba di ruangan paling ujung.
“Untuk sekarang, saya harap Nona Alina beristirahat dan besok saya akan mengajak Nona berkeliling dan memperkenalkan Nona pada pekerja yang lain.”
Ia berhenti sejenak dan membalikkan badan.
“Juga akan saya jelaskan tugas dan kewajiban serta hak Nona Alina dengan lebih rinci."
“Oh, ya Nona Alina.Besok juga Nona akan menandatangani kontrak kerjasama.”Lanjutnya.Pria itu lalu membuka pintu putih. Kemudian menyerahkan kunci juga koperku.
Ardy Peat, pria ini aku yakini berusia empat puluh-an tahun. Suaranya tenang dan sopan.Aku mengangguk lalu mengucapkan terimakasih.
“Kalau begitu, selamat beristirahat Nona Alina.”Ia membungkukkan badan sedikit lalu berlalu dari hadapanku.
Untuk ukuran asisten pribadi, aku mendapatkan fasilitas yang melebihi ekspektasi. Padahal aku merasa tidak perlu untuk tinggal di kamar semewah ini.
Tapi di rumah sebesar ini, memangnya ada kamar yang tidak mewah?
Aku segera membongkar koper lalu memindahkan ke lemari kayu yang mewah. Terlalu besar untuk diisi pakaianku yang tidak seberapa.
Aroma yang asing terhirup, namun bukan berarti membuatku tidak nyaman. Melebihi itu, aku merasa akan baik-baik saja.
Ya, ini keputusan yang baik. Aku sudah melakukan yang terbaik. Mari kita berusaha untuk tetap hidup dan sebisa mungkin tidak menyusahkan orang lain.
*Mungkin karena tidur di tempat baru, aku bangun lebih awal. Masih ada satu jam sebelum alarm di gawai berbunyi. Suasana kamar ini begitu asing.Ada baiknya aku mempersiapkan diri. Sambil bersenandung lagu Until I Think of You.Sang penyanyi, Tori Kelly, adalah salah satu penyanyi favorit. Terkadang aku berandai-andai memiliki suara seindah itu.Mungkin saat ini aku sudah menjadi penyanyi.Tapi mari kita abaikan pikiran itu, karena ketukan terdengar.Ardy Peat terlihat segar di hadapanku.“Selamat pagi Nona Alina.”Aku tersenyum meski pun pria ini tidak menampilkan ekspresi berarti.“Anda sudah siap, Nona?”Aku mengangguk bersemangat.“Sudah Pak Ardy. Saya siap diajak berkeliling.” Ia lalu berjalan terlebih dulu."Baik Nona. Pertama mari ikuti saya.”Langkahnya cepat, sedikit sulit bagiku untuk mengikuti ritme pria ini.Ckckckck. Kenapa kakimu pendek sih, Alina?Kami memasuki sebuah ruangan. Ada Kakek Damian yang duduk sambil menikmati sarapan pagi.Dilihat dari meja yang lebar, dan kursi yan
“Hah? Saya, Pak?”Ia mengangguk. Aku melirik tempat tidur besar di tengah kamar.Ada iblis yang pulas dan tugasku adalah membangunkan iblis itu. Aku menelan ludah kasar.Aku melangkah perlahan mendekat. “Bagaimana saya harus membangunkan tuan muda, Pak Ardy?”“Nona harus memanggil tuan muda dengan suara lembut.”Aku segera melakukannya. Namun tidak dengan suara lembut. Aku merasa jijik jika harus memanggilnya dengan lembut.“Tuan Muda Archer!!”Aku berteriak. Dan satu kali panggilan cukup untuk membangunkan pria itu.Ia terduduk dan kebingungan selama beberapa detik.Pak Ardy menahan napas, ia menatap tajam padaku. Namun tidak ku pedulikan. Ah,rasanya bahagia melihat Pak Archer yang kebingungan.“Tuan muda, sudah saatnya anda bersiap.”“Ya?”Sepertinya tuan muda ini belum mengumpulkan nyawa seutuhnya.“Nona Alina siap membantu anda bersiap.
Terkadang aku merasa begitu relate dengan lagu dari salah satu penyanyi pop yang sedang naik daun saat ini. Kabarnya penyanyi itu sedang mengadakan tour dunia. Ya, aku tidak peduli sih. Karena tidak ada hubungannya denganku.Ku akui beberapa lagunya memberikan semangat lebih untuk menjalani hari yang berat tapi menghabiskan uang sebanyak itu untuk nonton konsernya, aku harus berpikir seribu kali.Aku selalu bersemangat menjalani hari. Bisa di katakan aku adalah morning person. Dan segelas kopi hangat yang menjadi candu selalu bisa mengantarku untuk melewati hari.Tapi untuk hari ini rasanya, kafein sebanyak apapun sepertinya tidak akan mampu menghilangkan sakit kepalaku. Kejadian kemarin masih segar di ingatan. Setelah Archer mengganti baju dia tidak melanjutkan sarapan dan langsung berangkat ke kantor. Aku di marahi habis-habisan oleh Pak Ardy.Untungnya kesalahanku masih bisa di maafkan dan tidak ada pemotongan gaji atau apapun itu, tidak ada hukuman berarti. Aku bersyukur untuk in
“Aku tidak tahu dia akan mampir kesini. Bukankah dia baru tiba?” Pak Ardy mengangguk.“Benar, Tuan Muda. Dari bandara Nona Felicia langsung menuju ke sini.” Archer memakai jam tanganya.Sungguh aku sangat penasaran dengan perempuan bernama Felicia ini. Aku menahan diri untuk tidak bersuara, untuk tidak heboh dan mulai bertanya pada Pak Ardy.Setidaknya sampai kami keluar dari kamar ini dan Archer menghilang ke ruangan makan. Salah satu pekerjaanku memang menyiapkan sarapan untuk Archer namun untuk hari ini aku bisa bersantai sejenak karena ia akan sarapan bersama Kakek Damian juga bersama Felicia.Aku memasuki dapur. Suasana nampak lengang, hanya ada beberapa orang berpakaian putih lengkap dengan celemek yang sedang memotong buah-buahan. Aku mendekati salah satu dari mereka.“Hey, Abel. Gimana kabarmu?” Abel adalah seorang pria berusia 25 tahun. Seumuran denganku. Wajahnya manis dengan tahi lalat di bawah matanya.“Baik, Alina. Gimana Tuan Muda Archer?” Inilah yang membuatku sedikit k
Aku menarik napas dalam. Sekarang aku mengerti kenapa tubuhku tidak bisa bohay seperti Delima yang bertugas sebagai Customer Service. Perusahaan tempatku bekerja ini memiliki lantai gedung yang terlalu banyak. 48 lantai. Maksudku, untuk apa lantai sebanyak ini? Yah, yang pastinya juga untuk menghasilkan banyak uang. "Alina, jangan lupa toilet di lantai bawah." Itu suara Adam. Bukan, bukan Adam Levine tapi Adam Sutisno. Supervisor yang baik hati walaupun terkadang tega karena membiarkan wanita cantik dan lemah lembut sepertiku ini bekerja sendirian. "Iya, Pak. Tahu. Bawel amat sih." Meskipun menggerutu mendengar titahnya, aku tetap membawa peralatan pembersih ke toilet. Pak Adam masih setia berdiri di pintu masuk. Sepertinya aku akan kembali mendengarkan ceramahnya. “Alina, sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam menjaga perusahaan tetap bersih. Ini sudah tugasku untuk mengingatkan kamu.” “Iya, iya Pak Adam yang paling baik sedunia. Udah ah, Pak. Mau lanjutin kerja. Bapak
Aku selalu merasa bahwa hidupku tenteram. Namun sekarang tidak lagi. Ketika kata 'pecat dia' menghantuiku hingga aku tidak tidur sama sekali sepanjang malam. Jadi, dengan kantung mata tebal ini, aku menatap cupcake yang masih panas, baru saja mengeluarkan kue ini dari oven. Setelah dipanggang, aku dinginkan sebentar sebelum mulai menghiasnya dengan butter cream hijau dengan taburan coklat di atasnya.'Cupcake ‘penghapusan dosa’ ini terlihat menggiurkan, bahkan untuk diriku sendiri. Ternyata memiliki hobi membuat kue ini ada untungnya juga. Mungkin dengan ini, aku bisa menyogok Pak Archer agak tidak memecatku.Sekali lagi aku memeriksa cupcake. Semuanya sudah rapi di dalam box. Semoga Pak Archer mau menerima ini."Kalau tidak diterima, mungkin aku akan memikirkan lebih serius jadi pembuat kue di sosmed," gumamku sambil pura-pura menangis.Dalam hati aku berdoa agar dia mau memaafkanku dan tidak jadi memecatku. Kinerjaku selama ini bagus dan harusnya ini bisa menjadi bahan pertimbangan
Semesta tolong telan aku. Rasanya aku ingin mati saja. Aku merasa ternoda. Aku meringis. Merutuki nasib sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku sesial ini. Mau tau yang lebih parah? Ternyata kejadian ini di perhatikan oleh seorang kakek. Suara deheman membuatku terduduk. Aku masih harus mengumpulkan kesadaran. "Kakek, ini tidak seperti yang terlihat. Ini semua adalah ketidaksengajaan." Suara Pak Archer terdengar frustasi. Tapi kakek itu bahkan tidak melirik bahkan sedikitpun padanya. Aku masih setia di lantai yang beralaskan karpet. Hei, karpet ini lembut. Aku terduduk dengan kepala menunduk. Sebisa mungkin berusaha menyembunyikan wajahku. Aku bisa merasakan kecemasan dari Pak Archer yang mondar-mandir tidak jelas di ruangan ini. Ia ingin menjelaskan namun sang kakek memaksanya untuk diam. Sang kakek menunduk dan mengulurkan tangannya, ia hendak membantuku berdiri. Tatapannya tulus, jadi tanpa sadar aku menyambut jemarinya. Dan kakek itu cukup kuat untuk membantuku berdiri dan me
“Aku tidak tahu dia akan mampir kesini. Bukankah dia baru tiba?” Pak Ardy mengangguk.“Benar, Tuan Muda. Dari bandara Nona Felicia langsung menuju ke sini.” Archer memakai jam tanganya.Sungguh aku sangat penasaran dengan perempuan bernama Felicia ini. Aku menahan diri untuk tidak bersuara, untuk tidak heboh dan mulai bertanya pada Pak Ardy.Setidaknya sampai kami keluar dari kamar ini dan Archer menghilang ke ruangan makan. Salah satu pekerjaanku memang menyiapkan sarapan untuk Archer namun untuk hari ini aku bisa bersantai sejenak karena ia akan sarapan bersama Kakek Damian juga bersama Felicia.Aku memasuki dapur. Suasana nampak lengang, hanya ada beberapa orang berpakaian putih lengkap dengan celemek yang sedang memotong buah-buahan. Aku mendekati salah satu dari mereka.“Hey, Abel. Gimana kabarmu?” Abel adalah seorang pria berusia 25 tahun. Seumuran denganku. Wajahnya manis dengan tahi lalat di bawah matanya.“Baik, Alina. Gimana Tuan Muda Archer?” Inilah yang membuatku sedikit k
Terkadang aku merasa begitu relate dengan lagu dari salah satu penyanyi pop yang sedang naik daun saat ini. Kabarnya penyanyi itu sedang mengadakan tour dunia. Ya, aku tidak peduli sih. Karena tidak ada hubungannya denganku.Ku akui beberapa lagunya memberikan semangat lebih untuk menjalani hari yang berat tapi menghabiskan uang sebanyak itu untuk nonton konsernya, aku harus berpikir seribu kali.Aku selalu bersemangat menjalani hari. Bisa di katakan aku adalah morning person. Dan segelas kopi hangat yang menjadi candu selalu bisa mengantarku untuk melewati hari.Tapi untuk hari ini rasanya, kafein sebanyak apapun sepertinya tidak akan mampu menghilangkan sakit kepalaku. Kejadian kemarin masih segar di ingatan. Setelah Archer mengganti baju dia tidak melanjutkan sarapan dan langsung berangkat ke kantor. Aku di marahi habis-habisan oleh Pak Ardy.Untungnya kesalahanku masih bisa di maafkan dan tidak ada pemotongan gaji atau apapun itu, tidak ada hukuman berarti. Aku bersyukur untuk in
“Hah? Saya, Pak?”Ia mengangguk. Aku melirik tempat tidur besar di tengah kamar.Ada iblis yang pulas dan tugasku adalah membangunkan iblis itu. Aku menelan ludah kasar.Aku melangkah perlahan mendekat. “Bagaimana saya harus membangunkan tuan muda, Pak Ardy?”“Nona harus memanggil tuan muda dengan suara lembut.”Aku segera melakukannya. Namun tidak dengan suara lembut. Aku merasa jijik jika harus memanggilnya dengan lembut.“Tuan Muda Archer!!”Aku berteriak. Dan satu kali panggilan cukup untuk membangunkan pria itu.Ia terduduk dan kebingungan selama beberapa detik.Pak Ardy menahan napas, ia menatap tajam padaku. Namun tidak ku pedulikan. Ah,rasanya bahagia melihat Pak Archer yang kebingungan.“Tuan muda, sudah saatnya anda bersiap.”“Ya?”Sepertinya tuan muda ini belum mengumpulkan nyawa seutuhnya.“Nona Alina siap membantu anda bersiap.
Mungkin karena tidur di tempat baru, aku bangun lebih awal. Masih ada satu jam sebelum alarm di gawai berbunyi. Suasana kamar ini begitu asing.Ada baiknya aku mempersiapkan diri. Sambil bersenandung lagu Until I Think of You.Sang penyanyi, Tori Kelly, adalah salah satu penyanyi favorit. Terkadang aku berandai-andai memiliki suara seindah itu.Mungkin saat ini aku sudah menjadi penyanyi.Tapi mari kita abaikan pikiran itu, karena ketukan terdengar.Ardy Peat terlihat segar di hadapanku.“Selamat pagi Nona Alina.”Aku tersenyum meski pun pria ini tidak menampilkan ekspresi berarti.“Anda sudah siap, Nona?”Aku mengangguk bersemangat.“Sudah Pak Ardy. Saya siap diajak berkeliling.” Ia lalu berjalan terlebih dulu."Baik Nona. Pertama mari ikuti saya.”Langkahnya cepat, sedikit sulit bagiku untuk mengikuti ritme pria ini.Ckckckck. Kenapa kakimu pendek sih, Alina?Kami memasuki sebuah ruangan. Ada Kakek Damian yang duduk sambil menikmati sarapan pagi.Dilihat dari meja yang lebar, dan kursi yan
But you never know unless you walked on my shoes. Setiap keputusan tentunya memiliki resiko. Aku sudah berpikir terlalu panjang dan terlalu jauh hingga akhirnya lelah dan tersadar bahwa aku tertidur di sofa. Pantas saja badanku terasa sakit. Pagi ini, bahkan aku bangun terlalu awal. Matahari bahkan belum bersinar. Ruangan ini juga gelap. Sudah seminggu sejak aku bertemu dengan Kakek Damian. Aku sama sekali tidak mengontak mereka. Dan mereka juga tidak berusaha untuk menghampiriku. Aku melihat dapur yang berantakan. Kemarin aku memanggang kue, pesanan temanku untuk acara ulang tahun anaknya. Aku melihat jam di layar gawai. Pukul 05:00 AM. Aku meregangkan badan,mengambil udara sebanyak-banyaknya dan segera menuju dapur. Aku mencuci bersih semua tempat yang di gunakan untuk membuat kue semalam. Bekerja sambil mendengarkan musik adalah hal yang biasa aku lakukan. Suara air mendidih dari ketel listrik membuatku bergegas mengambil kopi instan dari dalam laci. Aroma kopi yang mengu
Semesta tolong telan aku. Rasanya aku ingin mati saja. Aku merasa ternoda. Aku meringis. Merutuki nasib sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku sesial ini. Mau tau yang lebih parah? Ternyata kejadian ini di perhatikan oleh seorang kakek. Suara deheman membuatku terduduk. Aku masih harus mengumpulkan kesadaran. "Kakek, ini tidak seperti yang terlihat. Ini semua adalah ketidaksengajaan." Suara Pak Archer terdengar frustasi. Tapi kakek itu bahkan tidak melirik bahkan sedikitpun padanya. Aku masih setia di lantai yang beralaskan karpet. Hei, karpet ini lembut. Aku terduduk dengan kepala menunduk. Sebisa mungkin berusaha menyembunyikan wajahku. Aku bisa merasakan kecemasan dari Pak Archer yang mondar-mandir tidak jelas di ruangan ini. Ia ingin menjelaskan namun sang kakek memaksanya untuk diam. Sang kakek menunduk dan mengulurkan tangannya, ia hendak membantuku berdiri. Tatapannya tulus, jadi tanpa sadar aku menyambut jemarinya. Dan kakek itu cukup kuat untuk membantuku berdiri dan me
Aku selalu merasa bahwa hidupku tenteram. Namun sekarang tidak lagi. Ketika kata 'pecat dia' menghantuiku hingga aku tidak tidur sama sekali sepanjang malam. Jadi, dengan kantung mata tebal ini, aku menatap cupcake yang masih panas, baru saja mengeluarkan kue ini dari oven. Setelah dipanggang, aku dinginkan sebentar sebelum mulai menghiasnya dengan butter cream hijau dengan taburan coklat di atasnya.'Cupcake ‘penghapusan dosa’ ini terlihat menggiurkan, bahkan untuk diriku sendiri. Ternyata memiliki hobi membuat kue ini ada untungnya juga. Mungkin dengan ini, aku bisa menyogok Pak Archer agak tidak memecatku.Sekali lagi aku memeriksa cupcake. Semuanya sudah rapi di dalam box. Semoga Pak Archer mau menerima ini."Kalau tidak diterima, mungkin aku akan memikirkan lebih serius jadi pembuat kue di sosmed," gumamku sambil pura-pura menangis.Dalam hati aku berdoa agar dia mau memaafkanku dan tidak jadi memecatku. Kinerjaku selama ini bagus dan harusnya ini bisa menjadi bahan pertimbangan
Aku menarik napas dalam. Sekarang aku mengerti kenapa tubuhku tidak bisa bohay seperti Delima yang bertugas sebagai Customer Service. Perusahaan tempatku bekerja ini memiliki lantai gedung yang terlalu banyak. 48 lantai. Maksudku, untuk apa lantai sebanyak ini? Yah, yang pastinya juga untuk menghasilkan banyak uang. "Alina, jangan lupa toilet di lantai bawah." Itu suara Adam. Bukan, bukan Adam Levine tapi Adam Sutisno. Supervisor yang baik hati walaupun terkadang tega karena membiarkan wanita cantik dan lemah lembut sepertiku ini bekerja sendirian. "Iya, Pak. Tahu. Bawel amat sih." Meskipun menggerutu mendengar titahnya, aku tetap membawa peralatan pembersih ke toilet. Pak Adam masih setia berdiri di pintu masuk. Sepertinya aku akan kembali mendengarkan ceramahnya. “Alina, sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam menjaga perusahaan tetap bersih. Ini sudah tugasku untuk mengingatkan kamu.” “Iya, iya Pak Adam yang paling baik sedunia. Udah ah, Pak. Mau lanjutin kerja. Bapak