Mungkin karena tidur di tempat baru, aku bangun lebih awal. Masih ada satu jam sebelum alarm di gawai berbunyi. Suasana kamar ini begitu asing.
Ada baiknya aku mempersiapkan diri. Sambil bersenandung lagu Until I Think of You.Sang penyanyi, Tori Kelly, adalah salah satu penyanyi favorit. Terkadang aku berandai-andai memiliki suara seindah itu.
Mungkin saat ini aku sudah menjadi penyanyi.Tapi mari kita abaikan pikiran itu, karena ketukan terdengar.Ardy Peat terlihat segar di hadapanku.
“Selamat pagi Nona Alina.”Aku tersenyum meski pun pria ini tidak menampilkan ekspresi berarti.
“Anda sudah siap, Nona?”Aku mengangguk bersemangat.
“Sudah Pak Ardy. Saya siap diajak berkeliling.” Ia lalu berjalan terlebih dulu.
"Baik Nona. Pertama mari ikuti saya.”Langkahnya cepat, sedikit sulit bagiku untuk mengikuti ritme pria ini.Ckckckck. Kenapa kakimu pendek sih, Alina?
Kami memasuki sebuah ruangan. Ada Kakek Damian yang duduk sambil menikmati sarapan pagi.Dilihat dari meja yang lebar, dan kursi yang diatur mengelilingi meja itu, ku yakini ini adalah ruang makan.
Tapi kenapa hanya ada Kakek Damian di sini?
“Ahh, Alina. Mari bergabung denganku.”Aku menatap Pak Ardy, meminta persetujuannya. Entah mengapa, aku menjadi sedikit gugup.
Namun Ardy Peat hanya menatap ku datar. Aku sedikit kesal namun tetap menarik kursi dan duduk di sebelah kiri Kake Damian.
“Berkaitan dengan pekerjaan yang akan kamu lakukan, Alina.Sebelum Ardy menjelaskan-nya, aku ingin kamu melihat surat kontrak kerja ini.”
Kakek Damian lalu menyerahkan amplop coklat, aku membukanya perlahan dan mengeluarkan lembaran kertas.
Aku membaca cepat, ini seperti surat kontrak kerja pada umumnya. Namun perhatian ku fokus pada beberapa poin inti.
Satu, penerima kerja tidak jatuh cinta pada pihak ketiga.
Dua, penerima kerja tidak membocorkan hal apa pun yang terjadi di rumah ini.
Sangsinya lima kali lipat dari gaji yang aku terima?
Hah, yang benar aja loe, jatuh cinta dengan si iblis? Rugi dong!
Aku menahan napas.
“Tapi kalau misalkan pihak ketiga yang jatuh cinta, gimana, Kek?”
Mungkin pertanyaan ku terlalu tiba-tiba hingga Kakek Damian tersedak. Ia terbatuk, aku yang terkejut segera menyodorkan segelas air kepadanya.
Ampir mati ni kakek.
Aku berdehem,lalu melontarkan pertanyaan, “gimana, kek?”
Sungguh, aku penasaran pada keadaannya sekarang dan juga pada jawaban dari pria tua ini. Matanya menyipit.Ia membersihkan mulut dengan kain yang tersedia di samping piring.
“Kamu memang penuh dengan kejutan, Alina.”Kakek Damian berdiri. Ia melangkah ke jendela. Pandangannya pada taman.
“Jika Archer suatu hari nanti menyukai bahkan mencintaimu, tidak banyak yang bisa aku lakukan.”Ia terdiam. Aku juga. Sepintas wajahnya terlihat berkerut.
“Namun aku tidak yakin hal itu akan terjadi, Alina. Mengingat betapa sombong nya pria itu.” Ia terkekeh.
“Jadi, apakah kamu setuju?”Kakek menatap ku lekat, aku sedikit ragu karena belum mendapatkan jawaban.Tapi, sepertinya semua akan baik-baik saja.
Ya, ku harap memang seperti itu.Aku menorehkan tanda tangan pada surat kontrak itu, diatas meterai. Di saksikan oleh Pengurus Rumah Swift, dan ada sosok lain yang bergabung beberapa menit sebelumnya.
Namanya, Lucas Copperfield.Pria berkacamata yang ternyata adalah pengacara Keluarga Swift.
Uuuuhhhh, dia tampan.
*
“Nona Alina, mari saya antarkan nona berkeliling.”Suara Pak Ardy membuyarkan perhatian ku dari sosok pengacara itu. Aku mengangguk lalu berpamitan pada Kakek Damian dan Lucas.
“Saya akan memperkenalkan Nona Alina pada chef dan juga pekerja di dapur. Tugas Nona Alina yang paling pertama adalah memastikan Tuan Archer menghabiskan sarapan, mengantar makan siang juga menyediakan makan malam.” Aku menelan ludah kasar mendengar nama si Iblis.
Kami sampai di dapur. Hawanya sedikit panas mungkin karena aktivitas memasak. Mereka berkeringat dan begitu fokus dengan hidangan yang sedang di olah. Pak Ardy berdehem dan mengambil fokus beberapa pekerja diruangan itu, kecuali seorang Chef yang sedang menata makanan di atas piring. Perkenalan berlangsung singkat.Aroma lezat yang menguar membuat ku lapar, pagi ini aku bahkan belum menyentuh sarapan. Walaupun sebenarnya aku memang tidak biasa makan pagi.
Kalau aja ada yang mau masakin aku sarapan.
Kami melanjutkan perjalanan, menjelajahi berbagai ruangan.Ada ruang musik, ruangan pertemuan, ruang santai,dan bahkan ada ruang olahraga.
Aku ternganga pada setiap ruangan yang di tunjukkan. Dan yang paling membuat terpesona adalah perpustakaan. Ruangan besar dengan aroma kertas yang beruraian di udara.
Ahh, I love this.
*
“Nona Alina, di harapkan agar nona mengingat semua ruangan yang sudah di tunjukkan.”Aku mengangguk, Pak Ardy kembali melanjutkan penjelasanya.
“Dan ini adalah kamar Tuan Muda Archer.” Mendengar embel-embel ‘tuan muda’membuatku tersedak ludahku sendiri.
Aku menahan diri untuk tidak sangsi.
Dia bukan tuan muda tapi iblis.
Ardy Peat berhenti tepat di depan pintu kayu mahoni, ada ukiran yang tidak ku mengerti. Telihat elegan dan estetik.
Ia mengetuk beberapa kali, diam sejenak lalu kembali mengetuk. Namun tidak ada jawaban. Aku menunggu dengan sabar.
“Nona Alina, ini adalah hal yang harus dilakukan. Jika sudah mengetuk lebih dari sekali, nona bisa langsung masuk kamar tuan muda dengan kunci ini.” Pak Ardy lalu menyerahkan sebuah kunci dengan gantungan nama Archer Swift.
Aku tidak menyangka bahwa akan di berikan akses penuh pada kamar iblis Archer.
“Baik Pak Ardy.”Aku langsung mengantongi kunci itu.
“Tuan Muda punya kebiasaan tidur larut sehingga sulit bangun pagi.Untuk itu, Nona Alina harus segera menyiapkan pakaian kerja untuk tuan muda, lalu menyiapkan sarapan.”Aku melihat setiap pergerakan Pak Ardy yang begitu cekatan dan lihai.
Ia mengambil dasi, kaos kaki dari rak meja. Saat ini kami sedang berada dalam ruangan pakaian. Ada berbagai deretan barang-barang yang menyilaukan.
Aku menelan ludah melihat barang-barang mewah yang berjejer.
“Untuk jam tangan, Tuan Muda akan memutuskan sendiri.”Aku melihat Pak Ardy yang saat ini sedang memilih kemeja dari gantungan.
Aku mengangguk dan melihat semua detail yang di tunjukkan.
“Untuk dasi, Nona Alina harus membantu memakaikannya pada tuan muda.”
Hah?
Aku menatap Pak Ardy kebingungan. Namun Pak Ardy hanya menatap ku datar.
“Kalau begitu, Nona Alina harus mulai belajar mengikat dasi.”Aku menelan ludah.
“Baik Pak.”Meskipun aku memperhatikan Pak Ardy memilah kaos kaki namun pikiranku melayang pada mengikat dasi.
Dulu, saat masih SMA aku bisa mengikat dasi sendiri. Kala SMA aku adalah bagian dari Penggerek Bendera. Sudah pasti aku bisa harus rapi, mengenakan topi dan dasi.
Namun itu sudah bertahun berlalu. Aku bahkan tidak pernah menyentuh dasi setelah lulus SMA.
“Ekhem!!”Aku tersadar, Pak Ardy menatapku tajam. Ia seolah tahu bahwa pikiranku melayang.
“Ini sudah saatnya, Nona Alina membangunkan tuan muda.”
“Hah? Saya, Pak?”Ia mengangguk. Aku melirik tempat tidur besar di tengah kamar.Ada iblis yang pulas dan tugasku adalah membangunkan iblis itu. Aku menelan ludah kasar.Aku melangkah perlahan mendekat. “Bagaimana saya harus membangunkan tuan muda, Pak Ardy?”“Nona harus memanggil tuan muda dengan suara lembut.”Aku segera melakukannya. Namun tidak dengan suara lembut. Aku merasa jijik jika harus memanggilnya dengan lembut.“Tuan Muda Archer!!”Aku berteriak. Dan satu kali panggilan cukup untuk membangunkan pria itu.Ia terduduk dan kebingungan selama beberapa detik.Pak Ardy menahan napas, ia menatap tajam padaku. Namun tidak ku pedulikan. Ah,rasanya bahagia melihat Pak Archer yang kebingungan.“Tuan muda, sudah saatnya anda bersiap.”“Ya?”Sepertinya tuan muda ini belum mengumpulkan nyawa seutuhnya.“Nona Alina siap membantu anda bersiap.
Terkadang aku merasa begitu relate dengan lagu dari salah satu penyanyi pop yang sedang naik daun saat ini. Kabarnya penyanyi itu sedang mengadakan tour dunia. Ya, aku tidak peduli sih. Karena tidak ada hubungannya denganku.Ku akui beberapa lagunya memberikan semangat lebih untuk menjalani hari yang berat tapi menghabiskan uang sebanyak itu untuk nonton konsernya, aku harus berpikir seribu kali.Aku selalu bersemangat menjalani hari. Bisa di katakan aku adalah morning person. Dan segelas kopi hangat yang menjadi candu selalu bisa mengantarku untuk melewati hari.Tapi untuk hari ini rasanya, kafein sebanyak apapun sepertinya tidak akan mampu menghilangkan sakit kepalaku. Kejadian kemarin masih segar di ingatan. Setelah Archer mengganti baju dia tidak melanjutkan sarapan dan langsung berangkat ke kantor. Aku di marahi habis-habisan oleh Pak Ardy.Untungnya kesalahanku masih bisa di maafkan dan tidak ada pemotongan gaji atau apapun itu, tidak ada hukuman berarti. Aku bersyukur untuk in
“Aku tidak tahu dia akan mampir kesini. Bukankah dia baru tiba?” Pak Ardy mengangguk.“Benar, Tuan Muda. Dari bandara Nona Felicia langsung menuju ke sini.” Archer memakai jam tanganya.Sungguh aku sangat penasaran dengan perempuan bernama Felicia ini. Aku menahan diri untuk tidak bersuara, untuk tidak heboh dan mulai bertanya pada Pak Ardy.Setidaknya sampai kami keluar dari kamar ini dan Archer menghilang ke ruangan makan. Salah satu pekerjaanku memang menyiapkan sarapan untuk Archer namun untuk hari ini aku bisa bersantai sejenak karena ia akan sarapan bersama Kakek Damian juga bersama Felicia.Aku memasuki dapur. Suasana nampak lengang, hanya ada beberapa orang berpakaian putih lengkap dengan celemek yang sedang memotong buah-buahan. Aku mendekati salah satu dari mereka.“Hey, Abel. Gimana kabarmu?” Abel adalah seorang pria berusia 25 tahun. Seumuran denganku. Wajahnya manis dengan tahi lalat di bawah matanya.“Baik, Alina. Gimana Tuan Muda Archer?” Inilah yang membuatku sedikit k
Aku menarik napas dalam. Sekarang aku mengerti kenapa tubuhku tidak bisa bohay seperti Delima yang bertugas sebagai Customer Service. Perusahaan tempatku bekerja ini memiliki lantai gedung yang terlalu banyak. 48 lantai. Maksudku, untuk apa lantai sebanyak ini? Yah, yang pastinya juga untuk menghasilkan banyak uang. "Alina, jangan lupa toilet di lantai bawah." Itu suara Adam. Bukan, bukan Adam Levine tapi Adam Sutisno. Supervisor yang baik hati walaupun terkadang tega karena membiarkan wanita cantik dan lemah lembut sepertiku ini bekerja sendirian. "Iya, Pak. Tahu. Bawel amat sih." Meskipun menggerutu mendengar titahnya, aku tetap membawa peralatan pembersih ke toilet. Pak Adam masih setia berdiri di pintu masuk. Sepertinya aku akan kembali mendengarkan ceramahnya. “Alina, sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam menjaga perusahaan tetap bersih. Ini sudah tugasku untuk mengingatkan kamu.” “Iya, iya Pak Adam yang paling baik sedunia. Udah ah, Pak. Mau lanjutin kerja. Bapak
Aku selalu merasa bahwa hidupku tenteram. Namun sekarang tidak lagi. Ketika kata 'pecat dia' menghantuiku hingga aku tidak tidur sama sekali sepanjang malam. Jadi, dengan kantung mata tebal ini, aku menatap cupcake yang masih panas, baru saja mengeluarkan kue ini dari oven. Setelah dipanggang, aku dinginkan sebentar sebelum mulai menghiasnya dengan butter cream hijau dengan taburan coklat di atasnya.'Cupcake ‘penghapusan dosa’ ini terlihat menggiurkan, bahkan untuk diriku sendiri. Ternyata memiliki hobi membuat kue ini ada untungnya juga. Mungkin dengan ini, aku bisa menyogok Pak Archer agak tidak memecatku.Sekali lagi aku memeriksa cupcake. Semuanya sudah rapi di dalam box. Semoga Pak Archer mau menerima ini."Kalau tidak diterima, mungkin aku akan memikirkan lebih serius jadi pembuat kue di sosmed," gumamku sambil pura-pura menangis.Dalam hati aku berdoa agar dia mau memaafkanku dan tidak jadi memecatku. Kinerjaku selama ini bagus dan harusnya ini bisa menjadi bahan pertimbangan
Semesta tolong telan aku. Rasanya aku ingin mati saja. Aku merasa ternoda. Aku meringis. Merutuki nasib sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku sesial ini. Mau tau yang lebih parah? Ternyata kejadian ini di perhatikan oleh seorang kakek. Suara deheman membuatku terduduk. Aku masih harus mengumpulkan kesadaran. "Kakek, ini tidak seperti yang terlihat. Ini semua adalah ketidaksengajaan." Suara Pak Archer terdengar frustasi. Tapi kakek itu bahkan tidak melirik bahkan sedikitpun padanya. Aku masih setia di lantai yang beralaskan karpet. Hei, karpet ini lembut. Aku terduduk dengan kepala menunduk. Sebisa mungkin berusaha menyembunyikan wajahku. Aku bisa merasakan kecemasan dari Pak Archer yang mondar-mandir tidak jelas di ruangan ini. Ia ingin menjelaskan namun sang kakek memaksanya untuk diam. Sang kakek menunduk dan mengulurkan tangannya, ia hendak membantuku berdiri. Tatapannya tulus, jadi tanpa sadar aku menyambut jemarinya. Dan kakek itu cukup kuat untuk membantuku berdiri dan me
But you never know unless you walked on my shoes. Setiap keputusan tentunya memiliki resiko. Aku sudah berpikir terlalu panjang dan terlalu jauh hingga akhirnya lelah dan tersadar bahwa aku tertidur di sofa. Pantas saja badanku terasa sakit. Pagi ini, bahkan aku bangun terlalu awal. Matahari bahkan belum bersinar. Ruangan ini juga gelap. Sudah seminggu sejak aku bertemu dengan Kakek Damian. Aku sama sekali tidak mengontak mereka. Dan mereka juga tidak berusaha untuk menghampiriku. Aku melihat dapur yang berantakan. Kemarin aku memanggang kue, pesanan temanku untuk acara ulang tahun anaknya. Aku melihat jam di layar gawai. Pukul 05:00 AM. Aku meregangkan badan,mengambil udara sebanyak-banyaknya dan segera menuju dapur. Aku mencuci bersih semua tempat yang di gunakan untuk membuat kue semalam. Bekerja sambil mendengarkan musik adalah hal yang biasa aku lakukan. Suara air mendidih dari ketel listrik membuatku bergegas mengambil kopi instan dari dalam laci. Aroma kopi yang mengu
“Aku tidak tahu dia akan mampir kesini. Bukankah dia baru tiba?” Pak Ardy mengangguk.“Benar, Tuan Muda. Dari bandara Nona Felicia langsung menuju ke sini.” Archer memakai jam tanganya.Sungguh aku sangat penasaran dengan perempuan bernama Felicia ini. Aku menahan diri untuk tidak bersuara, untuk tidak heboh dan mulai bertanya pada Pak Ardy.Setidaknya sampai kami keluar dari kamar ini dan Archer menghilang ke ruangan makan. Salah satu pekerjaanku memang menyiapkan sarapan untuk Archer namun untuk hari ini aku bisa bersantai sejenak karena ia akan sarapan bersama Kakek Damian juga bersama Felicia.Aku memasuki dapur. Suasana nampak lengang, hanya ada beberapa orang berpakaian putih lengkap dengan celemek yang sedang memotong buah-buahan. Aku mendekati salah satu dari mereka.“Hey, Abel. Gimana kabarmu?” Abel adalah seorang pria berusia 25 tahun. Seumuran denganku. Wajahnya manis dengan tahi lalat di bawah matanya.“Baik, Alina. Gimana Tuan Muda Archer?” Inilah yang membuatku sedikit k
Terkadang aku merasa begitu relate dengan lagu dari salah satu penyanyi pop yang sedang naik daun saat ini. Kabarnya penyanyi itu sedang mengadakan tour dunia. Ya, aku tidak peduli sih. Karena tidak ada hubungannya denganku.Ku akui beberapa lagunya memberikan semangat lebih untuk menjalani hari yang berat tapi menghabiskan uang sebanyak itu untuk nonton konsernya, aku harus berpikir seribu kali.Aku selalu bersemangat menjalani hari. Bisa di katakan aku adalah morning person. Dan segelas kopi hangat yang menjadi candu selalu bisa mengantarku untuk melewati hari.Tapi untuk hari ini rasanya, kafein sebanyak apapun sepertinya tidak akan mampu menghilangkan sakit kepalaku. Kejadian kemarin masih segar di ingatan. Setelah Archer mengganti baju dia tidak melanjutkan sarapan dan langsung berangkat ke kantor. Aku di marahi habis-habisan oleh Pak Ardy.Untungnya kesalahanku masih bisa di maafkan dan tidak ada pemotongan gaji atau apapun itu, tidak ada hukuman berarti. Aku bersyukur untuk in
“Hah? Saya, Pak?”Ia mengangguk. Aku melirik tempat tidur besar di tengah kamar.Ada iblis yang pulas dan tugasku adalah membangunkan iblis itu. Aku menelan ludah kasar.Aku melangkah perlahan mendekat. “Bagaimana saya harus membangunkan tuan muda, Pak Ardy?”“Nona harus memanggil tuan muda dengan suara lembut.”Aku segera melakukannya. Namun tidak dengan suara lembut. Aku merasa jijik jika harus memanggilnya dengan lembut.“Tuan Muda Archer!!”Aku berteriak. Dan satu kali panggilan cukup untuk membangunkan pria itu.Ia terduduk dan kebingungan selama beberapa detik.Pak Ardy menahan napas, ia menatap tajam padaku. Namun tidak ku pedulikan. Ah,rasanya bahagia melihat Pak Archer yang kebingungan.“Tuan muda, sudah saatnya anda bersiap.”“Ya?”Sepertinya tuan muda ini belum mengumpulkan nyawa seutuhnya.“Nona Alina siap membantu anda bersiap.
Mungkin karena tidur di tempat baru, aku bangun lebih awal. Masih ada satu jam sebelum alarm di gawai berbunyi. Suasana kamar ini begitu asing.Ada baiknya aku mempersiapkan diri. Sambil bersenandung lagu Until I Think of You.Sang penyanyi, Tori Kelly, adalah salah satu penyanyi favorit. Terkadang aku berandai-andai memiliki suara seindah itu.Mungkin saat ini aku sudah menjadi penyanyi.Tapi mari kita abaikan pikiran itu, karena ketukan terdengar.Ardy Peat terlihat segar di hadapanku.“Selamat pagi Nona Alina.”Aku tersenyum meski pun pria ini tidak menampilkan ekspresi berarti.“Anda sudah siap, Nona?”Aku mengangguk bersemangat.“Sudah Pak Ardy. Saya siap diajak berkeliling.” Ia lalu berjalan terlebih dulu."Baik Nona. Pertama mari ikuti saya.”Langkahnya cepat, sedikit sulit bagiku untuk mengikuti ritme pria ini.Ckckckck. Kenapa kakimu pendek sih, Alina?Kami memasuki sebuah ruangan. Ada Kakek Damian yang duduk sambil menikmati sarapan pagi.Dilihat dari meja yang lebar, dan kursi yan
But you never know unless you walked on my shoes. Setiap keputusan tentunya memiliki resiko. Aku sudah berpikir terlalu panjang dan terlalu jauh hingga akhirnya lelah dan tersadar bahwa aku tertidur di sofa. Pantas saja badanku terasa sakit. Pagi ini, bahkan aku bangun terlalu awal. Matahari bahkan belum bersinar. Ruangan ini juga gelap. Sudah seminggu sejak aku bertemu dengan Kakek Damian. Aku sama sekali tidak mengontak mereka. Dan mereka juga tidak berusaha untuk menghampiriku. Aku melihat dapur yang berantakan. Kemarin aku memanggang kue, pesanan temanku untuk acara ulang tahun anaknya. Aku melihat jam di layar gawai. Pukul 05:00 AM. Aku meregangkan badan,mengambil udara sebanyak-banyaknya dan segera menuju dapur. Aku mencuci bersih semua tempat yang di gunakan untuk membuat kue semalam. Bekerja sambil mendengarkan musik adalah hal yang biasa aku lakukan. Suara air mendidih dari ketel listrik membuatku bergegas mengambil kopi instan dari dalam laci. Aroma kopi yang mengu
Semesta tolong telan aku. Rasanya aku ingin mati saja. Aku merasa ternoda. Aku meringis. Merutuki nasib sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku sesial ini. Mau tau yang lebih parah? Ternyata kejadian ini di perhatikan oleh seorang kakek. Suara deheman membuatku terduduk. Aku masih harus mengumpulkan kesadaran. "Kakek, ini tidak seperti yang terlihat. Ini semua adalah ketidaksengajaan." Suara Pak Archer terdengar frustasi. Tapi kakek itu bahkan tidak melirik bahkan sedikitpun padanya. Aku masih setia di lantai yang beralaskan karpet. Hei, karpet ini lembut. Aku terduduk dengan kepala menunduk. Sebisa mungkin berusaha menyembunyikan wajahku. Aku bisa merasakan kecemasan dari Pak Archer yang mondar-mandir tidak jelas di ruangan ini. Ia ingin menjelaskan namun sang kakek memaksanya untuk diam. Sang kakek menunduk dan mengulurkan tangannya, ia hendak membantuku berdiri. Tatapannya tulus, jadi tanpa sadar aku menyambut jemarinya. Dan kakek itu cukup kuat untuk membantuku berdiri dan me
Aku selalu merasa bahwa hidupku tenteram. Namun sekarang tidak lagi. Ketika kata 'pecat dia' menghantuiku hingga aku tidak tidur sama sekali sepanjang malam. Jadi, dengan kantung mata tebal ini, aku menatap cupcake yang masih panas, baru saja mengeluarkan kue ini dari oven. Setelah dipanggang, aku dinginkan sebentar sebelum mulai menghiasnya dengan butter cream hijau dengan taburan coklat di atasnya.'Cupcake ‘penghapusan dosa’ ini terlihat menggiurkan, bahkan untuk diriku sendiri. Ternyata memiliki hobi membuat kue ini ada untungnya juga. Mungkin dengan ini, aku bisa menyogok Pak Archer agak tidak memecatku.Sekali lagi aku memeriksa cupcake. Semuanya sudah rapi di dalam box. Semoga Pak Archer mau menerima ini."Kalau tidak diterima, mungkin aku akan memikirkan lebih serius jadi pembuat kue di sosmed," gumamku sambil pura-pura menangis.Dalam hati aku berdoa agar dia mau memaafkanku dan tidak jadi memecatku. Kinerjaku selama ini bagus dan harusnya ini bisa menjadi bahan pertimbangan
Aku menarik napas dalam. Sekarang aku mengerti kenapa tubuhku tidak bisa bohay seperti Delima yang bertugas sebagai Customer Service. Perusahaan tempatku bekerja ini memiliki lantai gedung yang terlalu banyak. 48 lantai. Maksudku, untuk apa lantai sebanyak ini? Yah, yang pastinya juga untuk menghasilkan banyak uang. "Alina, jangan lupa toilet di lantai bawah." Itu suara Adam. Bukan, bukan Adam Levine tapi Adam Sutisno. Supervisor yang baik hati walaupun terkadang tega karena membiarkan wanita cantik dan lemah lembut sepertiku ini bekerja sendirian. "Iya, Pak. Tahu. Bawel amat sih." Meskipun menggerutu mendengar titahnya, aku tetap membawa peralatan pembersih ke toilet. Pak Adam masih setia berdiri di pintu masuk. Sepertinya aku akan kembali mendengarkan ceramahnya. “Alina, sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam menjaga perusahaan tetap bersih. Ini sudah tugasku untuk mengingatkan kamu.” “Iya, iya Pak Adam yang paling baik sedunia. Udah ah, Pak. Mau lanjutin kerja. Bapak