Terkadang aku merasa begitu relate dengan lagu dari salah satu penyanyi pop yang sedang naik daun saat ini. Kabarnya penyanyi itu sedang mengadakan tour dunia. Ya, aku tidak peduli sih. Karena tidak ada hubungannya denganku.
Ku akui beberapa lagunya memberikan semangat lebih untuk menjalani hari yang berat tapi menghabiskan uang sebanyak itu untuk nonton konsernya, aku harus berpikir seribu kali.
Aku selalu bersemangat menjalani hari. Bisa di katakan aku adalah morning person. Dan segelas kopi hangat yang menjadi candu selalu bisa mengantarku untuk melewati hari.
Tapi untuk hari ini rasanya, kafein sebanyak apapun sepertinya tidak akan mampu menghilangkan sakit kepalaku.
Kejadian kemarin masih segar di ingatan. Setelah Archer mengganti baju dia tidak melanjutkan sarapan dan langsung berangkat ke kantor. Aku di marahi habis-habisan oleh Pak Ardy.
Untungnya kesalahanku masih bisa di maafkan dan tidak ada pemotongan gaji atau apapun itu, tidak ada hukuman berarti. Aku bersyukur untuk ini.
Tapi aku harus meminta maaf secara langsung pada Archer. Kakek Damien juga tidak mempermasalahkan kejadian ini. Katanya aku pasti gugup pada hari pertama bekerja.
Aku menghela napas panjang, semalam juga aku tidak sempat bertemu Archer. Dan pagi ini aku diminta membangunkan Archer terlebih dulu. Pak Ardy harus menyambut tamu sehingga aku diminta bergegas ke kamar Archer.
Saat ini aku sedang berada di ruangan gelap. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh, waktu yang tepat untuk membangunkan tuan muda di kediaman keluarga Swift.
Tuan Muda Archer, aku masih sedikit kaku memanggil iblis dengan panggilag itu. Tapi tidak apa, memintaku memanggilnya dengan pangeran pun akan aku lakukan. Aku tidak peduli selama mereka membayarku dengan benar.
Ada cahaya matahari yang malu-malu mengintip dari cela gorden. Aku melihat Pak Archer yang menggeliat di balik selimut tebal.
"Tuan Muda, tolong segera bangun." Tidak ada jawaban.
“Tuan Muda…” Aku memang tidak mengharapkan pria ini langsung bangun.
“Tuan Muda, sudah saatnya Anda bangun.” Nada suaraku menjadi sedikit lebih tinggi.
Tapi tidak ada pergerakan sama sekali.
“Tuan Muda.” Aku mendekat, memerhatikan tubuh tinggi yang masih nyaman pada posisi yang sama. Aku ingin memegang tubuhnya namun tertahan karena larangan no touching dari Pak Ardy.
Tidak hanya di marahi namun aku juga mendapatkan larangan seperti itu.
Hah, aku menghela napas. Akhir-akhir ini aku suka menghela napas panjang. Sejujurnya di pikiranku sekarang ini sudah membayangkan cara-cara untuk membangunkan pria itu dengan cara paling ekstrim.
Seperti menyiramnya dengan air dingin, atau memukulnya dengan bantal. Atau mungkin membekap wajahnya sehingga ia kesulitan bernapas.
Masih belum ada pergerakan berarti. Aku terus berusaha sabar, yang mulai sulit untuk dilakukan. Aku baru selangkah maju, tujuanku adalah untuk menyentuh tubuh besar itu. Tapi Pak Ardy yang tiba-tiba masuk membuatku membatalkan niat itu. Aku mengalihkan pandangan kepada Kepala Pelayan, menatapnya meminta tolong. Pak Ardy berdehem sebentar. Ia memperpendek jarak dengan tempat tidur Pak Archer dan dengan suara yang dalam, terdengar tegas ia berucap, "Tuan Muda, tolong segera bangun. Tuan Damian sudah menunggu Anda di meja makan."
Aku merinding karena hanya dengan dua kalimat itu berhasil membangunkan Pak Archer. Pria itu sudah terduduk.
Ah, sixpack. Pemandangan di pagi hari ini ternyata begitu menyegarkan. Aku berdecak dalam hati, mengagumi tubuh atletis dan berotot milik Pak Archer.
Ia menatapku malas, aku pun demikian. Sama malasnya melihat dia yang terlihat sangat tidak menyukai kehadiranku disini.
Sebisa mungkin aku menahan agar tidak tersenyum sinis begitu menyadari bahwa ternyata laki-laki yang hanya mengenakan boxer ini mempermainkanku. Dia sengaja menyusahkanku dengan membangunkannya hingga lebih dari sepuluh kali, mengulur waktu hingga aku harus gelagapan menyiapkan pakaian kerjanya berdasarkan instruksi tegas dari Pak Ardy.
"Ardy, aku akan mandi dulu. Terimakasih sudah membangunkanku."
Oh, aku benci sekali pria ini. Aku tahu sekarang ini ia sedang melirikku meskipun saat ini kepalaku tertunduk. Karena demi spons kuning yang hidup di laut, aku malu setengah mati melihat dia yang mondar mandir di kamar ini hanya mengenakan celana pendek yang harusnya tidak terlihat oleh siapapun. Ah, aku merasa saat ini mataku sudah ternodai.
"Nona Alina, saya harap agar Nona bisa menjalankan tugas dengan baik karena kedepannya saya tidak akan membangunkan Tuan Muda lagi." Pak Ardy menatapku dengan tajam, meskipun ia memakai kacamata namun aku bisa melihat ketegasan yang pasti. Aku menelan ludah agar rasa gugup yang perlahan menggerogoti menghilang.
"Baik, Pak Ardy. Saya akan mengingatnya."
Aku sudah menyiapkan kemeja, dasi dan juga celana yang akan dikenakan Pak Archer untuk bekerja hari ini. Arahan dari Pak Ardy membantuku menemukan apa yang aku butuhkan dari ruangan khusus yang menyimpan kebutuhan sandang dari Tuan Muda Archer.
Setelah itu, aku mencari kaus kaki hitam di laci lemari bagian bawah. Ada berbagai macam warna, panjang dan pendek kaus kaki yang tersedia. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi rasanya ruangan ini mengeluarkan aroma mewah dan aku sedikit gugup saat menyentuh helaian kaos kaki. Terasa begitu lembut.
Selanjutnya, di rak sepatu berjejer berbagai macam sepatu dengan warna-warna gelap. Paling banyak aku menemukan sepatu kulit. Ada beberapa merk sepatu dari brand terkenal dunia. Aku hanya bisa menelan ludah ketika memikirkan bahwa tentunya semua yang ada di ruangan ini jika di total bisa menghidupi satu kampung.
Orang yang punya banyak uang memang beda.
Aku menyentuh baju-baju yang berjejer rapi, terpesona dengan warna-warna gelap yang terlihat begitu elegan. Mungkin suatu saat aku bisa membeli pakaian dengan bahan sebagus ini. Aku masih menghayal sampai pintu terbuka. Aku terperanjat, kaget dengan sosok pria yang hanya menggunakan handuk. Handuk itu melilit di pinggangnya.
Pak Ardy berdiri di sebelah Archer. Dengan isyarat mata, Pak Ardy memintaku untuk segera keluar dari ruangan ini. Aku mengikuti arahan itu dan melangkah cepat. Aku berpapasan dengan Archer di depan pintu, bahkan sabunnya pun beraroma mewah. Seperti aroma kayu manis bercampur cengkeh, bercampur vanila. Entahlah. Namun aroma ini mengingatkanku akan dapur.
Aku dan Pak Ardy menunggu sampai pria itu keluar sambil memegang dasi. Ia serahkan dasi itu kepadaku, lalu berdiri tegap. Sungguh, aku ingin menghantam pria ini dengan balok. Melihat senyum liciknya membuatku dongkol. Bukan apa-apa, tinggiku ini tidak seberapa dibandingkan dengan dia yang seperti tiang listrik.
Aku melirik Pak Ardy. Ia tersenyum. “Silakan Nona Alina memakaikan dasi pada tuan muda.” Aku menutup mata sejenak.
Terkutuklah kau, Archer.
Aku mulai berjinjit, maksudku agar bisa menyamai tinggi badannya namun percuma karena meskipun berjinjit aku hanya sebatas lehernya. Aku mendengar kekehan dari pria ini. Hah, ia terlihat begitu puas. Aku menahan diri untuk tidak memaki.
Meskipun bersusah payah mengalungkan dasi dan mengikatnya akhirnya aku bisa bernapas lega karena berhasil mengikat dasi pada leher si iblis ini. Miris sebenarnya melihat hasil karyaku yang tidak sempurna. Syukurlah tuan muda ini tidak banyak bacot. Padahal jika dia protes, aku sudah siap memberikan sentuhan kasih di kepalanya.
“Apakah kakek sudah mulai sarapan duluan?” Archer beralih pada Pak Ardy, tidak lagi memedulikanku yang masih kesal. Aku kembali menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
“Belum, Tuan Muda. Tuan Damian sedang menunggu bersama Nona Felicia.” Archer mengerutkan kening. Aku juga. Siapa Felicia? Sekarang aku penasaran.
“Aku tidak tahu dia akan mampir kesini. Bukankah dia baru tiba?” Pak Ardy mengangguk.“Benar, Tuan Muda. Dari bandara Nona Felicia langsung menuju ke sini.” Archer memakai jam tanganya.Sungguh aku sangat penasaran dengan perempuan bernama Felicia ini. Aku menahan diri untuk tidak bersuara, untuk tidak heboh dan mulai bertanya pada Pak Ardy.Setidaknya sampai kami keluar dari kamar ini dan Archer menghilang ke ruangan makan. Salah satu pekerjaanku memang menyiapkan sarapan untuk Archer namun untuk hari ini aku bisa bersantai sejenak karena ia akan sarapan bersama Kakek Damian juga bersama Felicia.Aku memasuki dapur. Suasana nampak lengang, hanya ada beberapa orang berpakaian putih lengkap dengan celemek yang sedang memotong buah-buahan. Aku mendekati salah satu dari mereka.“Hey, Abel. Gimana kabarmu?” Abel adalah seorang pria berusia 25 tahun. Seumuran denganku. Wajahnya manis dengan tahi lalat di bawah matanya.“Baik, Alina. Gimana Tuan Muda Archer?” Inilah yang membuatku sedikit k
Aku menarik napas dalam. Sekarang aku mengerti kenapa tubuhku tidak bisa bohay seperti Delima yang bertugas sebagai Customer Service. Perusahaan tempatku bekerja ini memiliki lantai gedung yang terlalu banyak. 48 lantai. Maksudku, untuk apa lantai sebanyak ini? Yah, yang pastinya juga untuk menghasilkan banyak uang. "Alina, jangan lupa toilet di lantai bawah." Itu suara Adam. Bukan, bukan Adam Levine tapi Adam Sutisno. Supervisor yang baik hati walaupun terkadang tega karena membiarkan wanita cantik dan lemah lembut sepertiku ini bekerja sendirian. "Iya, Pak. Tahu. Bawel amat sih." Meskipun menggerutu mendengar titahnya, aku tetap membawa peralatan pembersih ke toilet. Pak Adam masih setia berdiri di pintu masuk. Sepertinya aku akan kembali mendengarkan ceramahnya. “Alina, sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam menjaga perusahaan tetap bersih. Ini sudah tugasku untuk mengingatkan kamu.” “Iya, iya Pak Adam yang paling baik sedunia. Udah ah, Pak. Mau lanjutin kerja. Bapak
Aku selalu merasa bahwa hidupku tenteram. Namun sekarang tidak lagi. Ketika kata 'pecat dia' menghantuiku hingga aku tidak tidur sama sekali sepanjang malam. Jadi, dengan kantung mata tebal ini, aku menatap cupcake yang masih panas, baru saja mengeluarkan kue ini dari oven. Setelah dipanggang, aku dinginkan sebentar sebelum mulai menghiasnya dengan butter cream hijau dengan taburan coklat di atasnya.'Cupcake ‘penghapusan dosa’ ini terlihat menggiurkan, bahkan untuk diriku sendiri. Ternyata memiliki hobi membuat kue ini ada untungnya juga. Mungkin dengan ini, aku bisa menyogok Pak Archer agak tidak memecatku.Sekali lagi aku memeriksa cupcake. Semuanya sudah rapi di dalam box. Semoga Pak Archer mau menerima ini."Kalau tidak diterima, mungkin aku akan memikirkan lebih serius jadi pembuat kue di sosmed," gumamku sambil pura-pura menangis.Dalam hati aku berdoa agar dia mau memaafkanku dan tidak jadi memecatku. Kinerjaku selama ini bagus dan harusnya ini bisa menjadi bahan pertimbangan
Semesta tolong telan aku. Rasanya aku ingin mati saja. Aku merasa ternoda. Aku meringis. Merutuki nasib sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku sesial ini. Mau tau yang lebih parah? Ternyata kejadian ini di perhatikan oleh seorang kakek. Suara deheman membuatku terduduk. Aku masih harus mengumpulkan kesadaran. "Kakek, ini tidak seperti yang terlihat. Ini semua adalah ketidaksengajaan." Suara Pak Archer terdengar frustasi. Tapi kakek itu bahkan tidak melirik bahkan sedikitpun padanya. Aku masih setia di lantai yang beralaskan karpet. Hei, karpet ini lembut. Aku terduduk dengan kepala menunduk. Sebisa mungkin berusaha menyembunyikan wajahku. Aku bisa merasakan kecemasan dari Pak Archer yang mondar-mandir tidak jelas di ruangan ini. Ia ingin menjelaskan namun sang kakek memaksanya untuk diam. Sang kakek menunduk dan mengulurkan tangannya, ia hendak membantuku berdiri. Tatapannya tulus, jadi tanpa sadar aku menyambut jemarinya. Dan kakek itu cukup kuat untuk membantuku berdiri dan me
But you never know unless you walked on my shoes. Setiap keputusan tentunya memiliki resiko. Aku sudah berpikir terlalu panjang dan terlalu jauh hingga akhirnya lelah dan tersadar bahwa aku tertidur di sofa. Pantas saja badanku terasa sakit. Pagi ini, bahkan aku bangun terlalu awal. Matahari bahkan belum bersinar. Ruangan ini juga gelap. Sudah seminggu sejak aku bertemu dengan Kakek Damian. Aku sama sekali tidak mengontak mereka. Dan mereka juga tidak berusaha untuk menghampiriku. Aku melihat dapur yang berantakan. Kemarin aku memanggang kue, pesanan temanku untuk acara ulang tahun anaknya. Aku melihat jam di layar gawai. Pukul 05:00 AM. Aku meregangkan badan,mengambil udara sebanyak-banyaknya dan segera menuju dapur. Aku mencuci bersih semua tempat yang di gunakan untuk membuat kue semalam. Bekerja sambil mendengarkan musik adalah hal yang biasa aku lakukan. Suara air mendidih dari ketel listrik membuatku bergegas mengambil kopi instan dari dalam laci. Aroma kopi yang mengu
Mungkin karena tidur di tempat baru, aku bangun lebih awal. Masih ada satu jam sebelum alarm di gawai berbunyi. Suasana kamar ini begitu asing.Ada baiknya aku mempersiapkan diri. Sambil bersenandung lagu Until I Think of You.Sang penyanyi, Tori Kelly, adalah salah satu penyanyi favorit. Terkadang aku berandai-andai memiliki suara seindah itu.Mungkin saat ini aku sudah menjadi penyanyi.Tapi mari kita abaikan pikiran itu, karena ketukan terdengar.Ardy Peat terlihat segar di hadapanku.“Selamat pagi Nona Alina.”Aku tersenyum meski pun pria ini tidak menampilkan ekspresi berarti.“Anda sudah siap, Nona?”Aku mengangguk bersemangat.“Sudah Pak Ardy. Saya siap diajak berkeliling.” Ia lalu berjalan terlebih dulu."Baik Nona. Pertama mari ikuti saya.”Langkahnya cepat, sedikit sulit bagiku untuk mengikuti ritme pria ini.Ckckckck. Kenapa kakimu pendek sih, Alina?Kami memasuki sebuah ruangan. Ada Kakek Damian yang duduk sambil menikmati sarapan pagi.Dilihat dari meja yang lebar, dan kursi yan
“Hah? Saya, Pak?”Ia mengangguk. Aku melirik tempat tidur besar di tengah kamar.Ada iblis yang pulas dan tugasku adalah membangunkan iblis itu. Aku menelan ludah kasar.Aku melangkah perlahan mendekat. “Bagaimana saya harus membangunkan tuan muda, Pak Ardy?”“Nona harus memanggil tuan muda dengan suara lembut.”Aku segera melakukannya. Namun tidak dengan suara lembut. Aku merasa jijik jika harus memanggilnya dengan lembut.“Tuan Muda Archer!!”Aku berteriak. Dan satu kali panggilan cukup untuk membangunkan pria itu.Ia terduduk dan kebingungan selama beberapa detik.Pak Ardy menahan napas, ia menatap tajam padaku. Namun tidak ku pedulikan. Ah,rasanya bahagia melihat Pak Archer yang kebingungan.“Tuan muda, sudah saatnya anda bersiap.”“Ya?”Sepertinya tuan muda ini belum mengumpulkan nyawa seutuhnya.“Nona Alina siap membantu anda bersiap.
“Aku tidak tahu dia akan mampir kesini. Bukankah dia baru tiba?” Pak Ardy mengangguk.“Benar, Tuan Muda. Dari bandara Nona Felicia langsung menuju ke sini.” Archer memakai jam tanganya.Sungguh aku sangat penasaran dengan perempuan bernama Felicia ini. Aku menahan diri untuk tidak bersuara, untuk tidak heboh dan mulai bertanya pada Pak Ardy.Setidaknya sampai kami keluar dari kamar ini dan Archer menghilang ke ruangan makan. Salah satu pekerjaanku memang menyiapkan sarapan untuk Archer namun untuk hari ini aku bisa bersantai sejenak karena ia akan sarapan bersama Kakek Damian juga bersama Felicia.Aku memasuki dapur. Suasana nampak lengang, hanya ada beberapa orang berpakaian putih lengkap dengan celemek yang sedang memotong buah-buahan. Aku mendekati salah satu dari mereka.“Hey, Abel. Gimana kabarmu?” Abel adalah seorang pria berusia 25 tahun. Seumuran denganku. Wajahnya manis dengan tahi lalat di bawah matanya.“Baik, Alina. Gimana Tuan Muda Archer?” Inilah yang membuatku sedikit k
Terkadang aku merasa begitu relate dengan lagu dari salah satu penyanyi pop yang sedang naik daun saat ini. Kabarnya penyanyi itu sedang mengadakan tour dunia. Ya, aku tidak peduli sih. Karena tidak ada hubungannya denganku.Ku akui beberapa lagunya memberikan semangat lebih untuk menjalani hari yang berat tapi menghabiskan uang sebanyak itu untuk nonton konsernya, aku harus berpikir seribu kali.Aku selalu bersemangat menjalani hari. Bisa di katakan aku adalah morning person. Dan segelas kopi hangat yang menjadi candu selalu bisa mengantarku untuk melewati hari.Tapi untuk hari ini rasanya, kafein sebanyak apapun sepertinya tidak akan mampu menghilangkan sakit kepalaku. Kejadian kemarin masih segar di ingatan. Setelah Archer mengganti baju dia tidak melanjutkan sarapan dan langsung berangkat ke kantor. Aku di marahi habis-habisan oleh Pak Ardy.Untungnya kesalahanku masih bisa di maafkan dan tidak ada pemotongan gaji atau apapun itu, tidak ada hukuman berarti. Aku bersyukur untuk in
“Hah? Saya, Pak?”Ia mengangguk. Aku melirik tempat tidur besar di tengah kamar.Ada iblis yang pulas dan tugasku adalah membangunkan iblis itu. Aku menelan ludah kasar.Aku melangkah perlahan mendekat. “Bagaimana saya harus membangunkan tuan muda, Pak Ardy?”“Nona harus memanggil tuan muda dengan suara lembut.”Aku segera melakukannya. Namun tidak dengan suara lembut. Aku merasa jijik jika harus memanggilnya dengan lembut.“Tuan Muda Archer!!”Aku berteriak. Dan satu kali panggilan cukup untuk membangunkan pria itu.Ia terduduk dan kebingungan selama beberapa detik.Pak Ardy menahan napas, ia menatap tajam padaku. Namun tidak ku pedulikan. Ah,rasanya bahagia melihat Pak Archer yang kebingungan.“Tuan muda, sudah saatnya anda bersiap.”“Ya?”Sepertinya tuan muda ini belum mengumpulkan nyawa seutuhnya.“Nona Alina siap membantu anda bersiap.
Mungkin karena tidur di tempat baru, aku bangun lebih awal. Masih ada satu jam sebelum alarm di gawai berbunyi. Suasana kamar ini begitu asing.Ada baiknya aku mempersiapkan diri. Sambil bersenandung lagu Until I Think of You.Sang penyanyi, Tori Kelly, adalah salah satu penyanyi favorit. Terkadang aku berandai-andai memiliki suara seindah itu.Mungkin saat ini aku sudah menjadi penyanyi.Tapi mari kita abaikan pikiran itu, karena ketukan terdengar.Ardy Peat terlihat segar di hadapanku.“Selamat pagi Nona Alina.”Aku tersenyum meski pun pria ini tidak menampilkan ekspresi berarti.“Anda sudah siap, Nona?”Aku mengangguk bersemangat.“Sudah Pak Ardy. Saya siap diajak berkeliling.” Ia lalu berjalan terlebih dulu."Baik Nona. Pertama mari ikuti saya.”Langkahnya cepat, sedikit sulit bagiku untuk mengikuti ritme pria ini.Ckckckck. Kenapa kakimu pendek sih, Alina?Kami memasuki sebuah ruangan. Ada Kakek Damian yang duduk sambil menikmati sarapan pagi.Dilihat dari meja yang lebar, dan kursi yan
But you never know unless you walked on my shoes. Setiap keputusan tentunya memiliki resiko. Aku sudah berpikir terlalu panjang dan terlalu jauh hingga akhirnya lelah dan tersadar bahwa aku tertidur di sofa. Pantas saja badanku terasa sakit. Pagi ini, bahkan aku bangun terlalu awal. Matahari bahkan belum bersinar. Ruangan ini juga gelap. Sudah seminggu sejak aku bertemu dengan Kakek Damian. Aku sama sekali tidak mengontak mereka. Dan mereka juga tidak berusaha untuk menghampiriku. Aku melihat dapur yang berantakan. Kemarin aku memanggang kue, pesanan temanku untuk acara ulang tahun anaknya. Aku melihat jam di layar gawai. Pukul 05:00 AM. Aku meregangkan badan,mengambil udara sebanyak-banyaknya dan segera menuju dapur. Aku mencuci bersih semua tempat yang di gunakan untuk membuat kue semalam. Bekerja sambil mendengarkan musik adalah hal yang biasa aku lakukan. Suara air mendidih dari ketel listrik membuatku bergegas mengambil kopi instan dari dalam laci. Aroma kopi yang mengu
Semesta tolong telan aku. Rasanya aku ingin mati saja. Aku merasa ternoda. Aku meringis. Merutuki nasib sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku sesial ini. Mau tau yang lebih parah? Ternyata kejadian ini di perhatikan oleh seorang kakek. Suara deheman membuatku terduduk. Aku masih harus mengumpulkan kesadaran. "Kakek, ini tidak seperti yang terlihat. Ini semua adalah ketidaksengajaan." Suara Pak Archer terdengar frustasi. Tapi kakek itu bahkan tidak melirik bahkan sedikitpun padanya. Aku masih setia di lantai yang beralaskan karpet. Hei, karpet ini lembut. Aku terduduk dengan kepala menunduk. Sebisa mungkin berusaha menyembunyikan wajahku. Aku bisa merasakan kecemasan dari Pak Archer yang mondar-mandir tidak jelas di ruangan ini. Ia ingin menjelaskan namun sang kakek memaksanya untuk diam. Sang kakek menunduk dan mengulurkan tangannya, ia hendak membantuku berdiri. Tatapannya tulus, jadi tanpa sadar aku menyambut jemarinya. Dan kakek itu cukup kuat untuk membantuku berdiri dan me
Aku selalu merasa bahwa hidupku tenteram. Namun sekarang tidak lagi. Ketika kata 'pecat dia' menghantuiku hingga aku tidak tidur sama sekali sepanjang malam. Jadi, dengan kantung mata tebal ini, aku menatap cupcake yang masih panas, baru saja mengeluarkan kue ini dari oven. Setelah dipanggang, aku dinginkan sebentar sebelum mulai menghiasnya dengan butter cream hijau dengan taburan coklat di atasnya.'Cupcake ‘penghapusan dosa’ ini terlihat menggiurkan, bahkan untuk diriku sendiri. Ternyata memiliki hobi membuat kue ini ada untungnya juga. Mungkin dengan ini, aku bisa menyogok Pak Archer agak tidak memecatku.Sekali lagi aku memeriksa cupcake. Semuanya sudah rapi di dalam box. Semoga Pak Archer mau menerima ini."Kalau tidak diterima, mungkin aku akan memikirkan lebih serius jadi pembuat kue di sosmed," gumamku sambil pura-pura menangis.Dalam hati aku berdoa agar dia mau memaafkanku dan tidak jadi memecatku. Kinerjaku selama ini bagus dan harusnya ini bisa menjadi bahan pertimbangan
Aku menarik napas dalam. Sekarang aku mengerti kenapa tubuhku tidak bisa bohay seperti Delima yang bertugas sebagai Customer Service. Perusahaan tempatku bekerja ini memiliki lantai gedung yang terlalu banyak. 48 lantai. Maksudku, untuk apa lantai sebanyak ini? Yah, yang pastinya juga untuk menghasilkan banyak uang. "Alina, jangan lupa toilet di lantai bawah." Itu suara Adam. Bukan, bukan Adam Levine tapi Adam Sutisno. Supervisor yang baik hati walaupun terkadang tega karena membiarkan wanita cantik dan lemah lembut sepertiku ini bekerja sendirian. "Iya, Pak. Tahu. Bawel amat sih." Meskipun menggerutu mendengar titahnya, aku tetap membawa peralatan pembersih ke toilet. Pak Adam masih setia berdiri di pintu masuk. Sepertinya aku akan kembali mendengarkan ceramahnya. “Alina, sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam menjaga perusahaan tetap bersih. Ini sudah tugasku untuk mengingatkan kamu.” “Iya, iya Pak Adam yang paling baik sedunia. Udah ah, Pak. Mau lanjutin kerja. Bapak