Aku menarik napas dalam. Sekarang aku mengerti kenapa tubuhku tidak bisa bohay seperti Delima yang bertugas sebagai Customer Service.
Perusahaan tempatku bekerja ini memiliki lantai gedung yang terlalu banyak. 48 lantai. Maksudku, untuk apa lantai sebanyak ini? Yah, yang pastinya juga untuk menghasilkan banyak uang.
"Alina, jangan lupa toilet di lantai bawah."
Itu suara Adam. Bukan, bukan Adam Levine tapi Adam Sutisno.
Supervisor yang baik hati walaupun terkadang tega karena membiarkan wanita cantik dan lemah lembut sepertiku ini bekerja sendirian.
"Iya, Pak. Tahu. Bawel amat sih."
Meskipun menggerutu mendengar titahnya, aku tetap membawa peralatan pembersih ke toilet.
Pak Adam masih setia berdiri di pintu masuk. Sepertinya aku akan kembali mendengarkan ceramahnya.
“Alina, sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam menjaga perusahaan tetap bersih. Ini sudah tugasku untuk mengingatkan kamu.”
“Iya, iya Pak Adam yang paling baik sedunia. Udah ah, Pak. Mau lanjutin kerja. Bapak ke mana kek. Masa aku diliatin gitu kek anak magang.”
Jika aku bukan pekerja yang sudah hampir setahun bekerja di sini mana mungkin aku berani menjawab atasan langsungku seperti itu.
Jika punya atasan sebaik Pak Adam, manfaatkanlah. Aku terkikik dengan pemikiran itu.
Aku menghapus keringat yang mengalir deras di pelipis. Lantai sudah ku pel dengan bersih. Aku sudah menambahkan tisu di kotak tisu sampai penuh dan mengecek sabun cuci tangan.
Masih cukup.
Dan pekerjaan terakhirku di hari ini adalah membuang sampah.
Terkadang aku heran dengan karyawan di sini, bagaimana bisa mereka tidak membereskan sampah masing-masing padahal untuk membuang barang kotor itu bahkan tidak sampai semenit.
Hei, lihatlah tempat sampah besar di dekat pintu keluar ruangan ini. Apa susahnya, sih?
Tapi ya, alasan inilah juga kenapa ada pekerjaan Cleaning Service. Dan selalu ada orang yang mau bekerja bahkan pekerjaan untuk membersihkan sampah orang lain.
Dengan gaji yang cukup besar, siapa yang tidak mau? Apalagi perantau macam ku ini.
Ada sampah makanan yang membuatku geleng-geleng kepala. Terkadang manusia tidak bisa bersyukur dengan apa yang dimiliki dan menyia-nyiakan berkat Tuhan.
Ckckckckck.
Aku mengomel sepanjang membersihkan ruangan ini. Tidak sadar sama sekali bahwa sudah ada orang lain di ruangan ini.
Seorang pria yang tinggi, terlalu tinggi menurutku. Dan kehadiranku membuatku kaget setengah mati hingga tidak sadar memaki dengan bahasa daerah.
Melihat kerutan di keningnya. Semoga dia tidak paham dengan apa yang aku katakan.
"Permisi, apakah kamu lihat hp saya?" Pria ini terlihat tegas. Suaranya rendah dan entah bagaimana terlihat begitu arogan.
"Tidak ada, Pak."
Jujur, aku belum pernah lihat karyawan ini. Tapi di lihat dari gaya dan cara bicara, sepertinya ia memiliki jabatan tinggi di perusahaan.
Aku berusaha menjaga suaraku untuk tetap sopan karena tatapan pria itu terlalu mengintimidasi. Apakah mungkin dia berpikir aku yang mencuri telepon genggamnya itu.
Dan tatapannya padaku seperti mesin scanning, memindai dari atas sampai bawah dengan tatapan yang sungguh, membuatku tidak nyaman.
"Kamu yakin?"
Aku memutar bola mata.
"Yakin seribu persen, Pak."
Aku yang tadinya berdiri dengan tegap di hadapannya memilih untuk melanjutkan pekerjaan memilah sampah basah dan sampah kering. Ini salah satu pekerjaan yang membutuhkan waktu.
"Saya masih bicara dengan kamu." Suaranya terlalu rendah, terdengar menancam.
Lah, ni bapak maunya apa, coba?
"Tapi Bapak, saya sudah tidak bicara lagi dengan Bapak. Pekerjaan saya menunggu, Pak."
Aku berusaha sabar, padahal ini adalah tugas terakhir untuk hari ini dan aku bisa langsung pulang dan beristirahat dan kemudian melanjutkan pekerjaanku ditempat lain.
"Saya ingat, hp saya terakhir di taruh di ruangan ini." Matanya menyipit.
Oh, sekarang terang-terangan dengan tatapannya ia menuduhku. Ya ampun. Tuhanku, ini cobaan apa lagi. Aku lelah.
"Terus, Bapak mau apa?" Aku menatap pria ini bosan.
"Mau geledah saya, Pak? Silakan." Aku merentangkan tangan, menyodorkan diri sendiri untuk di periksa.
Tapi yang ku dapat adalah senyuman sinis.
"Mau banget ya, kamu saya sentuh?"
Aku membulatkan mata, tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.
"Hah, gimana, gimana, Pak?" Aku memiringkan kepala, memasang telinga untuk perkataannya.
"Iya, sebenarnya itu tujuan kamu, kan. Sengaja menyembunyikan hp saya lalu meminta saya untuk menggeledah supaya saya sentuh kamu, kan?"
Aku mengedipkan mata beberapa kali, berusaha untuk memproses setiap kata yang ku dengar.
Dari mana pria ini dengan percaya diri menarik kesimpulan absrud seperti itu? Aku menarik napas panjang, meredam emosi yang mulai bergelora seperti gelora Bung Karno.
Tahan, tahan Alina. Kamu pasti bisa, kamu pasti sanggup menghadapi pria absrud ini.
"Terus Bapak maunya apa? Atau saya geledah diri sendiri saja, seragam juga perlu saya buka supaya Bapak puas?"
Dan kurang ajarnya adalah pria ini menatapku jijik, seperti aku adalah seonggok kotoran yang tiba-tiba muncul dan menghancurkan harinya.
Aku kesal, rasanya ingin membakar ruangan ini.
Aku maju selangkah. Tanganku masih memegang plastik mika yang berceceran saus tomat dan mungkin mayo.
Dan langkah ku yang terlalu cepat, membuatku kena batunya sendiri. Aku tersandung kakiku sendiri sampai membuatku terjungkal dan menghasilkan karya abstrak di kemeja putih bersih pria ini.
Karya abstrak dengan menggunakan saus tomat sebagai cat dan kanvasnya adalah kemeja putih yang melekat dengan sempurna ditubuh pria ini.
Tatapan pria ini sudah seperti serial killer yang siap membantai korbannya.
"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja, sungguh." Suaraku mencicit.
Pria itu diam, tapi wajahnya memerah.
Aku masih menatap ngeri. Aku tidak tahu harus apa, sampai suara dari seseorang memecah keheningan yang begitu menyesakkan itu.
"Pak Archer. Lima belas menit lagi akan ada rapat dengan SH Company, apa yang sedang..."
Dan pria itu terkesiap melihat betapa hancur nya penampilan Pak Archer, yang baru ku sadari adalah nama familiar yang biasa diidam-idamkan oleh karyawan perempuan. Mereka biasanya bergosip dan menghayal tentang nama ini.
Sekarang aku berhadapan dengan Sang CEO, Archer Swift?!
Pria setengah bule yang terkenal di dunia bisnis sebagai seorang yang kejam, penuh perhitungan dan tipu muslihat.
Meski pun pendingin bekerja dengan baik, tapi keringat bulir-bulir besar tetap mengalir dan mengirimkan ketakutan yang luar biasa. Tamatlah riwayatku.
"Pak Archer, ada yang lebih penting. Waktu Anda tinggal sepuluh menit untuk rapat. Rapat ini sudah tidak bisa di tunda, Pak."
Aku tidak tahu siapa pria yang menginterupsi kejadian gila ini, tapi aku berterimakasih karena sepertinya Pak Archer tidak mempermasalahkan ini dan dia langsung melangkah pergi.
Tapi aku mendengar perkataannya ketika ia sampai di ujung pintu keluar, aku langsung terpaku.
"Pecat dia."
Rasanya dunia berputar dengan cepat, aku tahu ini akan terjadi.
Aku selalu merasa bahwa hidupku tenteram. Namun sekarang tidak lagi. Ketika kata 'pecat dia' menghantuiku hingga aku tidak tidur sama sekali sepanjang malam. Jadi, dengan kantung mata tebal ini, aku menatap cupcake yang masih panas, baru saja mengeluarkan kue ini dari oven. Setelah dipanggang, aku dinginkan sebentar sebelum mulai menghiasnya dengan butter cream hijau dengan taburan coklat di atasnya.'Cupcake ‘penghapusan dosa’ ini terlihat menggiurkan, bahkan untuk diriku sendiri. Ternyata memiliki hobi membuat kue ini ada untungnya juga. Mungkin dengan ini, aku bisa menyogok Pak Archer agak tidak memecatku.Sekali lagi aku memeriksa cupcake. Semuanya sudah rapi di dalam box. Semoga Pak Archer mau menerima ini."Kalau tidak diterima, mungkin aku akan memikirkan lebih serius jadi pembuat kue di sosmed," gumamku sambil pura-pura menangis.Dalam hati aku berdoa agar dia mau memaafkanku dan tidak jadi memecatku. Kinerjaku selama ini bagus dan harusnya ini bisa menjadi bahan pertimbangan
Semesta tolong telan aku. Rasanya aku ingin mati saja. Aku merasa ternoda. Aku meringis. Merutuki nasib sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku sesial ini. Mau tau yang lebih parah? Ternyata kejadian ini di perhatikan oleh seorang kakek. Suara deheman membuatku terduduk. Aku masih harus mengumpulkan kesadaran. "Kakek, ini tidak seperti yang terlihat. Ini semua adalah ketidaksengajaan." Suara Pak Archer terdengar frustasi. Tapi kakek itu bahkan tidak melirik bahkan sedikitpun padanya. Aku masih setia di lantai yang beralaskan karpet. Hei, karpet ini lembut. Aku terduduk dengan kepala menunduk. Sebisa mungkin berusaha menyembunyikan wajahku. Aku bisa merasakan kecemasan dari Pak Archer yang mondar-mandir tidak jelas di ruangan ini. Ia ingin menjelaskan namun sang kakek memaksanya untuk diam. Sang kakek menunduk dan mengulurkan tangannya, ia hendak membantuku berdiri. Tatapannya tulus, jadi tanpa sadar aku menyambut jemarinya. Dan kakek itu cukup kuat untuk membantuku berdiri dan me
But you never know unless you walked on my shoes. Setiap keputusan tentunya memiliki resiko. Aku sudah berpikir terlalu panjang dan terlalu jauh hingga akhirnya lelah dan tersadar bahwa aku tertidur di sofa. Pantas saja badanku terasa sakit. Pagi ini, bahkan aku bangun terlalu awal. Matahari bahkan belum bersinar. Ruangan ini juga gelap. Sudah seminggu sejak aku bertemu dengan Kakek Damian. Aku sama sekali tidak mengontak mereka. Dan mereka juga tidak berusaha untuk menghampiriku. Aku melihat dapur yang berantakan. Kemarin aku memanggang kue, pesanan temanku untuk acara ulang tahun anaknya. Aku melihat jam di layar gawai. Pukul 05:00 AM. Aku meregangkan badan,mengambil udara sebanyak-banyaknya dan segera menuju dapur. Aku mencuci bersih semua tempat yang di gunakan untuk membuat kue semalam. Bekerja sambil mendengarkan musik adalah hal yang biasa aku lakukan. Suara air mendidih dari ketel listrik membuatku bergegas mengambil kopi instan dari dalam laci. Aroma kopi yang mengu
Mungkin karena tidur di tempat baru, aku bangun lebih awal. Masih ada satu jam sebelum alarm di gawai berbunyi. Suasana kamar ini begitu asing.Ada baiknya aku mempersiapkan diri. Sambil bersenandung lagu Until I Think of You.Sang penyanyi, Tori Kelly, adalah salah satu penyanyi favorit. Terkadang aku berandai-andai memiliki suara seindah itu.Mungkin saat ini aku sudah menjadi penyanyi.Tapi mari kita abaikan pikiran itu, karena ketukan terdengar.Ardy Peat terlihat segar di hadapanku.“Selamat pagi Nona Alina.”Aku tersenyum meski pun pria ini tidak menampilkan ekspresi berarti.“Anda sudah siap, Nona?”Aku mengangguk bersemangat.“Sudah Pak Ardy. Saya siap diajak berkeliling.” Ia lalu berjalan terlebih dulu."Baik Nona. Pertama mari ikuti saya.”Langkahnya cepat, sedikit sulit bagiku untuk mengikuti ritme pria ini.Ckckckck. Kenapa kakimu pendek sih, Alina?Kami memasuki sebuah ruangan. Ada Kakek Damian yang duduk sambil menikmati sarapan pagi.Dilihat dari meja yang lebar, dan kursi yan
“Hah? Saya, Pak?”Ia mengangguk. Aku melirik tempat tidur besar di tengah kamar.Ada iblis yang pulas dan tugasku adalah membangunkan iblis itu. Aku menelan ludah kasar.Aku melangkah perlahan mendekat. “Bagaimana saya harus membangunkan tuan muda, Pak Ardy?”“Nona harus memanggil tuan muda dengan suara lembut.”Aku segera melakukannya. Namun tidak dengan suara lembut. Aku merasa jijik jika harus memanggilnya dengan lembut.“Tuan Muda Archer!!”Aku berteriak. Dan satu kali panggilan cukup untuk membangunkan pria itu.Ia terduduk dan kebingungan selama beberapa detik.Pak Ardy menahan napas, ia menatap tajam padaku. Namun tidak ku pedulikan. Ah,rasanya bahagia melihat Pak Archer yang kebingungan.“Tuan muda, sudah saatnya anda bersiap.”“Ya?”Sepertinya tuan muda ini belum mengumpulkan nyawa seutuhnya.“Nona Alina siap membantu anda bersiap.
Terkadang aku merasa begitu relate dengan lagu dari salah satu penyanyi pop yang sedang naik daun saat ini. Kabarnya penyanyi itu sedang mengadakan tour dunia. Ya, aku tidak peduli sih. Karena tidak ada hubungannya denganku.Ku akui beberapa lagunya memberikan semangat lebih untuk menjalani hari yang berat tapi menghabiskan uang sebanyak itu untuk nonton konsernya, aku harus berpikir seribu kali.Aku selalu bersemangat menjalani hari. Bisa di katakan aku adalah morning person. Dan segelas kopi hangat yang menjadi candu selalu bisa mengantarku untuk melewati hari.Tapi untuk hari ini rasanya, kafein sebanyak apapun sepertinya tidak akan mampu menghilangkan sakit kepalaku. Kejadian kemarin masih segar di ingatan. Setelah Archer mengganti baju dia tidak melanjutkan sarapan dan langsung berangkat ke kantor. Aku di marahi habis-habisan oleh Pak Ardy.Untungnya kesalahanku masih bisa di maafkan dan tidak ada pemotongan gaji atau apapun itu, tidak ada hukuman berarti. Aku bersyukur untuk in
“Aku tidak tahu dia akan mampir kesini. Bukankah dia baru tiba?” Pak Ardy mengangguk.“Benar, Tuan Muda. Dari bandara Nona Felicia langsung menuju ke sini.” Archer memakai jam tanganya.Sungguh aku sangat penasaran dengan perempuan bernama Felicia ini. Aku menahan diri untuk tidak bersuara, untuk tidak heboh dan mulai bertanya pada Pak Ardy.Setidaknya sampai kami keluar dari kamar ini dan Archer menghilang ke ruangan makan. Salah satu pekerjaanku memang menyiapkan sarapan untuk Archer namun untuk hari ini aku bisa bersantai sejenak karena ia akan sarapan bersama Kakek Damian juga bersama Felicia.Aku memasuki dapur. Suasana nampak lengang, hanya ada beberapa orang berpakaian putih lengkap dengan celemek yang sedang memotong buah-buahan. Aku mendekati salah satu dari mereka.“Hey, Abel. Gimana kabarmu?” Abel adalah seorang pria berusia 25 tahun. Seumuran denganku. Wajahnya manis dengan tahi lalat di bawah matanya.“Baik, Alina. Gimana Tuan Muda Archer?” Inilah yang membuatku sedikit k
“Aku tidak tahu dia akan mampir kesini. Bukankah dia baru tiba?” Pak Ardy mengangguk.“Benar, Tuan Muda. Dari bandara Nona Felicia langsung menuju ke sini.” Archer memakai jam tanganya.Sungguh aku sangat penasaran dengan perempuan bernama Felicia ini. Aku menahan diri untuk tidak bersuara, untuk tidak heboh dan mulai bertanya pada Pak Ardy.Setidaknya sampai kami keluar dari kamar ini dan Archer menghilang ke ruangan makan. Salah satu pekerjaanku memang menyiapkan sarapan untuk Archer namun untuk hari ini aku bisa bersantai sejenak karena ia akan sarapan bersama Kakek Damian juga bersama Felicia.Aku memasuki dapur. Suasana nampak lengang, hanya ada beberapa orang berpakaian putih lengkap dengan celemek yang sedang memotong buah-buahan. Aku mendekati salah satu dari mereka.“Hey, Abel. Gimana kabarmu?” Abel adalah seorang pria berusia 25 tahun. Seumuran denganku. Wajahnya manis dengan tahi lalat di bawah matanya.“Baik, Alina. Gimana Tuan Muda Archer?” Inilah yang membuatku sedikit k
Terkadang aku merasa begitu relate dengan lagu dari salah satu penyanyi pop yang sedang naik daun saat ini. Kabarnya penyanyi itu sedang mengadakan tour dunia. Ya, aku tidak peduli sih. Karena tidak ada hubungannya denganku.Ku akui beberapa lagunya memberikan semangat lebih untuk menjalani hari yang berat tapi menghabiskan uang sebanyak itu untuk nonton konsernya, aku harus berpikir seribu kali.Aku selalu bersemangat menjalani hari. Bisa di katakan aku adalah morning person. Dan segelas kopi hangat yang menjadi candu selalu bisa mengantarku untuk melewati hari.Tapi untuk hari ini rasanya, kafein sebanyak apapun sepertinya tidak akan mampu menghilangkan sakit kepalaku. Kejadian kemarin masih segar di ingatan. Setelah Archer mengganti baju dia tidak melanjutkan sarapan dan langsung berangkat ke kantor. Aku di marahi habis-habisan oleh Pak Ardy.Untungnya kesalahanku masih bisa di maafkan dan tidak ada pemotongan gaji atau apapun itu, tidak ada hukuman berarti. Aku bersyukur untuk in
“Hah? Saya, Pak?”Ia mengangguk. Aku melirik tempat tidur besar di tengah kamar.Ada iblis yang pulas dan tugasku adalah membangunkan iblis itu. Aku menelan ludah kasar.Aku melangkah perlahan mendekat. “Bagaimana saya harus membangunkan tuan muda, Pak Ardy?”“Nona harus memanggil tuan muda dengan suara lembut.”Aku segera melakukannya. Namun tidak dengan suara lembut. Aku merasa jijik jika harus memanggilnya dengan lembut.“Tuan Muda Archer!!”Aku berteriak. Dan satu kali panggilan cukup untuk membangunkan pria itu.Ia terduduk dan kebingungan selama beberapa detik.Pak Ardy menahan napas, ia menatap tajam padaku. Namun tidak ku pedulikan. Ah,rasanya bahagia melihat Pak Archer yang kebingungan.“Tuan muda, sudah saatnya anda bersiap.”“Ya?”Sepertinya tuan muda ini belum mengumpulkan nyawa seutuhnya.“Nona Alina siap membantu anda bersiap.
Mungkin karena tidur di tempat baru, aku bangun lebih awal. Masih ada satu jam sebelum alarm di gawai berbunyi. Suasana kamar ini begitu asing.Ada baiknya aku mempersiapkan diri. Sambil bersenandung lagu Until I Think of You.Sang penyanyi, Tori Kelly, adalah salah satu penyanyi favorit. Terkadang aku berandai-andai memiliki suara seindah itu.Mungkin saat ini aku sudah menjadi penyanyi.Tapi mari kita abaikan pikiran itu, karena ketukan terdengar.Ardy Peat terlihat segar di hadapanku.“Selamat pagi Nona Alina.”Aku tersenyum meski pun pria ini tidak menampilkan ekspresi berarti.“Anda sudah siap, Nona?”Aku mengangguk bersemangat.“Sudah Pak Ardy. Saya siap diajak berkeliling.” Ia lalu berjalan terlebih dulu."Baik Nona. Pertama mari ikuti saya.”Langkahnya cepat, sedikit sulit bagiku untuk mengikuti ritme pria ini.Ckckckck. Kenapa kakimu pendek sih, Alina?Kami memasuki sebuah ruangan. Ada Kakek Damian yang duduk sambil menikmati sarapan pagi.Dilihat dari meja yang lebar, dan kursi yan
But you never know unless you walked on my shoes. Setiap keputusan tentunya memiliki resiko. Aku sudah berpikir terlalu panjang dan terlalu jauh hingga akhirnya lelah dan tersadar bahwa aku tertidur di sofa. Pantas saja badanku terasa sakit. Pagi ini, bahkan aku bangun terlalu awal. Matahari bahkan belum bersinar. Ruangan ini juga gelap. Sudah seminggu sejak aku bertemu dengan Kakek Damian. Aku sama sekali tidak mengontak mereka. Dan mereka juga tidak berusaha untuk menghampiriku. Aku melihat dapur yang berantakan. Kemarin aku memanggang kue, pesanan temanku untuk acara ulang tahun anaknya. Aku melihat jam di layar gawai. Pukul 05:00 AM. Aku meregangkan badan,mengambil udara sebanyak-banyaknya dan segera menuju dapur. Aku mencuci bersih semua tempat yang di gunakan untuk membuat kue semalam. Bekerja sambil mendengarkan musik adalah hal yang biasa aku lakukan. Suara air mendidih dari ketel listrik membuatku bergegas mengambil kopi instan dari dalam laci. Aroma kopi yang mengu
Semesta tolong telan aku. Rasanya aku ingin mati saja. Aku merasa ternoda. Aku meringis. Merutuki nasib sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku sesial ini. Mau tau yang lebih parah? Ternyata kejadian ini di perhatikan oleh seorang kakek. Suara deheman membuatku terduduk. Aku masih harus mengumpulkan kesadaran. "Kakek, ini tidak seperti yang terlihat. Ini semua adalah ketidaksengajaan." Suara Pak Archer terdengar frustasi. Tapi kakek itu bahkan tidak melirik bahkan sedikitpun padanya. Aku masih setia di lantai yang beralaskan karpet. Hei, karpet ini lembut. Aku terduduk dengan kepala menunduk. Sebisa mungkin berusaha menyembunyikan wajahku. Aku bisa merasakan kecemasan dari Pak Archer yang mondar-mandir tidak jelas di ruangan ini. Ia ingin menjelaskan namun sang kakek memaksanya untuk diam. Sang kakek menunduk dan mengulurkan tangannya, ia hendak membantuku berdiri. Tatapannya tulus, jadi tanpa sadar aku menyambut jemarinya. Dan kakek itu cukup kuat untuk membantuku berdiri dan me
Aku selalu merasa bahwa hidupku tenteram. Namun sekarang tidak lagi. Ketika kata 'pecat dia' menghantuiku hingga aku tidak tidur sama sekali sepanjang malam. Jadi, dengan kantung mata tebal ini, aku menatap cupcake yang masih panas, baru saja mengeluarkan kue ini dari oven. Setelah dipanggang, aku dinginkan sebentar sebelum mulai menghiasnya dengan butter cream hijau dengan taburan coklat di atasnya.'Cupcake ‘penghapusan dosa’ ini terlihat menggiurkan, bahkan untuk diriku sendiri. Ternyata memiliki hobi membuat kue ini ada untungnya juga. Mungkin dengan ini, aku bisa menyogok Pak Archer agak tidak memecatku.Sekali lagi aku memeriksa cupcake. Semuanya sudah rapi di dalam box. Semoga Pak Archer mau menerima ini."Kalau tidak diterima, mungkin aku akan memikirkan lebih serius jadi pembuat kue di sosmed," gumamku sambil pura-pura menangis.Dalam hati aku berdoa agar dia mau memaafkanku dan tidak jadi memecatku. Kinerjaku selama ini bagus dan harusnya ini bisa menjadi bahan pertimbangan
Aku menarik napas dalam. Sekarang aku mengerti kenapa tubuhku tidak bisa bohay seperti Delima yang bertugas sebagai Customer Service. Perusahaan tempatku bekerja ini memiliki lantai gedung yang terlalu banyak. 48 lantai. Maksudku, untuk apa lantai sebanyak ini? Yah, yang pastinya juga untuk menghasilkan banyak uang. "Alina, jangan lupa toilet di lantai bawah." Itu suara Adam. Bukan, bukan Adam Levine tapi Adam Sutisno. Supervisor yang baik hati walaupun terkadang tega karena membiarkan wanita cantik dan lemah lembut sepertiku ini bekerja sendirian. "Iya, Pak. Tahu. Bawel amat sih." Meskipun menggerutu mendengar titahnya, aku tetap membawa peralatan pembersih ke toilet. Pak Adam masih setia berdiri di pintu masuk. Sepertinya aku akan kembali mendengarkan ceramahnya. “Alina, sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam menjaga perusahaan tetap bersih. Ini sudah tugasku untuk mengingatkan kamu.” “Iya, iya Pak Adam yang paling baik sedunia. Udah ah, Pak. Mau lanjutin kerja. Bapak