Jupiter tersenyum sambil melihat layar datar monitor komputernya. Di layar tersebut terpampang jelas Curriculum Vitae seorang pelamar bernama Kania Larasati. Dari pasfotonya, jelas sekali itu adalah wanita yang menghabiskan satu malam dengannya di club. Jupiter tidak bisa melupakan wanita yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan VIP-nya itu dalam keadaan mabuk dan berpakaian minim tersebut. Malam itu seharusnya Jupiter minum-minum sendirian dan menenangkan pikirannya seperti yang biasa ia lakukan setiap beberapa hari sekali. Namun semuanya berubah karena wanita cantik itu.
Bukan pakaian minimnya yang menarik perhatian Jupiter pertama kali, tetapi sepasang matanya yang indah tetapi menyiratkan luka yang mendalam. Jupiter terpana, melihat manik mata kecoklatan itu yang bagai berkilau meskipun berada di bawah lampu temaram. Wanita itu bahkan tidak sadar ketika Jupiter bertanya siapa dia dan apa tujuannya. Jemarinya yang lentik menyentuh tengkuk leher Jupiter, membuat gairahnya memuncak dan semuanya terjadi malam itu.
Pagi harinya ketika Jupiter terbangun, wanita itu sudah tidak ada di sampingnya, bersama dengan kemeja dan jasnya. Jupiter harus pulang pagi itu dengan bertelanjang dada. Masih beruntung wanita itu tidak mengambil celananya juga. Jupiter tersenyum tipis memikirkannya, sejak pagi itu ia tidak pernah berhenti penasaran. Sebuah notifikasi tanda ada sebuah surel baru berdentang di ponselnya.
“Terlambat datang,” ujar Jupiter ketika melihat isi surel itu.
Surel itu adalah dari anak buahnya yang sejak kemarin ia minta untuk menyelidiki wanita yang tiba-tiba masuk ke ruangan VIP-nya itu. Pagi tadi, anak buahnya hanya bisa memastikan bahwa tidak ada kolega bisnis yang mengirimkan wanita itu untuknya. Berarti, wanita itu datang sendiri. Namun, meskipun terlambat, Jupiter tetap memeriksa hasil penyelidikan anak buahnya itu. Ia membuka surel tersebut melalui komputer.
“Menarik,” monolog Jupiter sambil melihat-lihat biodata Kania Larasati.
Dari data itu, Jupiter tahu bahwa Kania adalah anak yatim piatu. Seperti yang ia cantumkan di surat lamaran dan riwayat pendidikannya, Kania adalah salah satu lulusan terbaik dari jurusan design interior sebuah kampus yang cukup ternama. Namun, Jupiter melihat foto-foto Kania bekerja sebagai pelayan bar. Jupiter kemudian meraih ponselnya dan menekan beberapa tombol di sana.
[Ada yang bisa kubantu, Bos?] tanya anak buahnya di ujung sambungan telepon.
“Apakah Kania Larasati ini wanita panggilan?” tanya Jupiter.
[Bisa kupastikan dia tidak pernah menjual diri, Bos.]
“Baiklah. Kembali bekerja,” jawab Jupiter lalu mematikan sambungan telepon.
Jupiter tahu bahwa Kania masih suci ketika tidur dengannya. Hal itu membuatnya semakin penasaran, sebenarnya siapa Kania dan bagaimana ia bisa masuk ke dalam ruang VIP-nya malam itu?
***
Kania mempersiapkan dirinya dengan baik untuk wawancara kerja pertamanya hari ini. Ia mengenakan atasan hitam tangan panjang berbahan chiffon lembut, dipadukan dengan celana panjang kain berwarna abu-abu tua. Ia juga mengenakan sepasang sepatu hitam tertutup yang sopan. Kania mengikat rambut panjangnya ke belakang dengan rapi dan membubuhkan riasan sederhana di wajahnya. Beruntung sisa-sisa tangisannya sudah menghilang dan matanya tidak bengkak lagi. Kania tampak segar hari ini.
“Semangat, Kania! Ingat, ada dendam yang harus kamu balaskan,” ujarnya pada bayangannya di cermin.
Kania tahu, menyimpan dendam bukanlah hal yang baik. Namun, hanya itulah satu-satunya perasaan yang dapat memotivasinya belakangan ini. Jika tidak, mungkin Kania sudah berakhir di kamar mayat.
Sepuluh menit kemudian, Kania sudah meninggalkan kosnya dan pergi ke gedung pencakar langit milik Indrawan Design Group di pusat kota Jakarta. Kania masuk ke dalam bus bersama dengan para pekerja kantoran lainnya. Baru kali ini, Kania merasa sedikit bangga pergi di pagi hari dengan setelah kantor baru yang bahkan belum pernah ia pakai. Biasanya, ia pergi kerja pada malam hari dengan perasaan malu.
Jalanan kota Jakarta tidak sepadat biasanya, mungkin karena jam masuk kerja sudah lewat. Tepat pukul sepuluh pagi, Kania sudah melangkahkan kakinya tepat ke hadapan resepsionis kantor.
“Selamat pagi. Saya Kania Larasati, hari ini ada panggilan wawancara untuk magang,” ujarnya pada resepsionis yang terlihat ramah.
“Selamat pagi. Silakan langsung ke lantai sepuluh, temui ibu Erika,” jawabnya dengan senyuman yang cerah.
“Terima kasih.”
Kania langsung melenggang masuk ke dalam elevator dan menuju ke lantai sepuluh sesuai petunjuk dari resepsionis. Sesampainya di lantai sepuluh, ia melihat ada pelamar lain dan mereka disuruh menunggu di salah satu tempat duduk dan akan dipanggil bergiliran masuk ke ruangan Ibu Erika. Kania sama sekali tidak menyadari kalau ada sepasang mata yang memperhatikannya datang.
“Kania Larasati, silakan masuk,” ujar seorang wanita berkacamata dari dalam ruangan.
Kania segera berdiri dan masuk ke dalam ruangan. Wawancara berjalan seperti biasa dan Kania menjawab sebaik yang ia bisa.
“CV kamu cukup mengesankan, Kania. Kamu diterima. Bisa bekerja mulai besok?” tanya Erika dengan senyum mengembang.
“Sa-saya diterima, bu?” tanya Kania dengan mata melebar. Ia nyaris tidak percaya apa yang didengarnya. Dari apa yang dia dengar di luar sana, diterima bekerja di perusahaan ini sangat sulit dan membutuhkan beberapa tahapan proses yang panjang, tetapi ini baru wawancara pertama dan dia langsung diterima. Jantung Kania berdegup dengan kencang karenanya.
“Iya. Bisa bekerja besok? Jam delapan pagi datang kesini untuk administrasi awal. Kamu akan diberikan tanda pengenal karyawan dan lain-lain,” ujar Erika lagi.
“Bi-bisa, Bu. Terima kasih banyak,” gagap Kania sambil menjabat tangan Erika.
Keluar dari ruangan HRD, Kania rasanya masih bermimpi. Ia tersenyum sendiri sambil berjalan hingga tanpa sadar ia masuk ke dalam sebuah elevator hanya berdua dengan seorang pria. Kania bahkan tidak melihat wajahnya karena sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Pintu elevator menutup dan tidak ada orang lain yang masuk ke dalam, padahal ada beberapa orang yang mengantri tetapi tidak jadi masuk. Keganjilan itu tidak disadari sama sekali olehnya.
“Seneng banget kayaknya,” ucap pria itu.
Suara pria itu membuat Kania sedikit terperanjat dan sontak menoleh ke samping. Wajah Kania seketika pucat dan tubuhnya terasa dingin melihat siapa yang ada di sampingnya itu. Dari semua orang yang Kania benci, pria ini ada di list teratas. Kania tidak ingin bertemu dengan pria itu seumur hidupnya, tetapi kini ia malah muncul di hadapannya. Untuk beberapa saat Kania hanya terbelalak melihat pria itu dan tidak mampu mengatakan sepatah katapun.
“Kamu harus ngembaliin sesuatu ke saya, kan? Jas dan kemeja itu harganya mahal loh,” ujar pria itu lagi sambil tersenyum miring, seolah menikmati wajah terkejut Kania itu sebagai hiburan.
“Ka-kamu?”
“Panggil aja Piter,” katanya dengan santai. Padahal bukan itu yang dimaksud Kania. Ia sama sekali tidak berminat mengetahui nama pria yang telah merenggut kesuciannya itu.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Kania dengan mata melebar. Akhirnya ada kata-kata yang bisa ia produksi setelah tertegun beberapa detik.“Ini kantorku,” ujar Jupiter.“Kamu kerja di sini?” tanya Kania dengan suara meninggi.Ia baru saja diterima bekerja di tempat impiannya ini dan sekarang ia sudah menerima kabar buruk. Bekerja di tempat yang sama dengan pria ini adalah hal terakhir yang Kania inginkan di dunia ini.Jupiter hendak mengoreksi kata-kata Kania, tetapi ia mengurungkan niatnya. Bukankah lebih baik jika Kania tidak tahu bahwa ini adalah perusahaan miliknya? Jupiter hanya tersenyum dan mengangguk, mengiyakan bahwa ia bekerja di kantor ini.“Oh shit!” seru Kania dengan suara setengah berbisik.Jika pria ini bocor mulut dan mengatakan pada orang lain bahwa dia telah tidur dengan Kania, nama baik Kania bisa hancur dan ia tidak mungkin bisa berkarir di sini. Semua orang mungkin akan mengira bahwa ia wanita murahan yang bisa dibeli siapa saja. Di saat yang sama elevator berdenti
Jupiter masih menunggu hingga beberapa menit kemudian sambil memainkan jarinya di atas meja kerja mewahnya, tetapi tidak ada jawaban sedikitpun dari Kania. Ia ingin mengetikkan sesuatu lagi, tetapi ia tidak tahu apa lagi yang harus ia ketik. Akhirnya Jupiter menaruh ponselnya di atas meja dengan kesal. Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh siapa pun, apalagi seorang wanita. Jupiter dikenal sebagai bos yang arogan dan dingin, bagaimana mungkin seorang pegawai magang bisa memperlakukannya seperti ini?Dengan kesal, Jupiter membuka akun surelnya melalui komputer. Ia masih menyimpan data-data surat lamaran Kania di sana. Ia segera mencatat alamat tempat tinggal Kania dan menyimpannya dalam ponselnya, hanya untuk berjaga-jaga jika ia membutuhkannya lain waktu. Jupiter kemudian memutuskan untuk melupakan soal itu sejenak dan segera melanjutkan pekerjaannya.***Jam menunjukkan pukul enam sore dan Kania merasa sangat terpaksa duduk di meja riasnya dan memulas wajahnya dengan riasan s
Jupiter masih terbatuk-batuk akibat tersedak mendengar tuduhan Kania. Namun, Kania menganggap reaksi Jupiter itu karena tuduhannya memang benar.“Astaga, pantes aja duit kamu banyak banget!” seru Kania lagi.Jupiter makin ingin tertawa karena kalimat Kania itu, sehingga ia belum pulih dari terbatuk-batuk.“Kamu koq bisa jadi kaya banget? Bayaran kamu mahal banget ya?” tanya Kania.Jupiter tertawa kecil melihat ekspresi wajah Kania yang penasaran. Mata indahnya yang bulat berkilau saat menatap Jupiter seperti itu. Jupiter kemudian mengulum senyum dan berniat untuk tidak memberitahukan pada Kania siapa dirinya sebenarnya.“Aku bukan germo, tapi you know lah,” ujarnya sambil tersenyum miring.Kania melebarkan matanya karena menurutnya, kini semua jadi masuk akal. Jupiter ada di club saat ibu tiri Kania menjual tubuh Kania pada pria hidung belang. Jupiter malam itu mungkin sedang menjajakan dirinya di sana.“Ja-jadi…” Kania tergagap.“Nah, harusnya kamu tuh ganti rugi lebih banyak. Malam
"Mau tetep di mobil? Ini udah sampe loh," ujar Jupiter ketika Kania tidak juga bereaksi meskipun mobilnya sudah terparkir "Eh, enggak!" Tiba-tiba Kania berteriak panik Ia mencoba membuka sabuk pengamannya, namun sayang, sabuk pengaman tersebut tiba-tiba menjadi sulit dibuka "Bisa nggak?" tanya Jupiter setelah beberapa detik Kania gelisah dengan sabuk pengamannya. Jupiter menarik napas pendek. Kemudian, ia berinisiatif membantu Kania melepas sabuk pengamannya. Jantung Kania serasa melompat keluar dari dadanya saat Jupiter mendekat. Dia bahkan bisa merasakan nafas panasnya di bahunya. “Gini doang nggak bisa. Apa-apa nggak becus,” kata Jupiter, dengan sabuk pengaman sudah terpasang. Kania menelan ludah. "Terima kasih," katanya cepat Kemudian dia dengan cepat membuka pintu mobil dan keluar dari mobil mewah itu. Kania tidak tahu kalau Noval sudah lama mengawasi dari dalam asrama. Pria itu adalah mantan pacar Kania yang baru saja putus karena ketahuan selingkuh. Kania memasuki asram
Jupiter hanya tersenyum miring dan mengabaikan kata-kata Kania. Dia memasuki lift dan menekan tombol menunggu Kania masuk. “Cepetan dong, pegel nih! Aku tinggalin nih kalau lama,” ujar Jupiter."Tunggu!" kata Kania. Dia bergegas ke lift dan berdiri di samping Jupiter."Kamu mau ke lantai berapa?" Dia bertanya."Lantai dua," jawab Kania.Tepat saat pintu lift tertutup, Jupiter sudah mendekati Kania, menyebabkan Kania mundur selangkah demi selangkah."A-Apa yang kamu inginkan?" tanya Kania."Setelah malam itu, kamu pernah tes nggak?" Dia bertanya.Kania melebarkan matanya, mencoba mencerna kata-kata Jupiter dan beberapa detik kemudian Kania baru paham tes apa yang Jupiter maksud."Kamu gila? Aku nggak mungkin hamil!" seru Kania."Oh ya? Kamu yakin banget?"“Yakinlah! Itu kan cuma sekali, lagian aku pas lagi nggak subur-subur banget,” ujar Kania dengan wajah memerah dan panas karena malu memikirkan hal itu lagi.“Tes aja nggak ada salahnya,” ujar Jupiter.“Nggak mau!”“Oh jadi kamu ngga
Jantung Kania Larasati berdegup begitu kencang ketika ia melihat pria yang ada di hadapannya itu sudah membuka kancing kemejanya satu per satu. Alis tebal pria itu terangkat sebelah ketika manik matanya menatap tubuh Kania dengan liar dan penuh nafsu. Nafas Kania memburu, ia begitu takut tetapi juga tidak bisa mengendalikan diri. Ini semua gara-gara ibu tirinya yang memberinya minum banyak alkohol dan obat perangsang. Kini, Kania benar-benar tidak dapat bertahan. Sebagaimanapun Kania ingin memaki dirinya sendiri, tetapi ia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya menginginkan sentuhan pria tampan itu.Aroma alkohol menyeruak dari nafas pria itu, begitu pula dari nafas Kania. Mereka berdua mabuk dan kini pria itu sudah berada di atas tubuh Kania yang sudah tidak mengenakan sehelai pakaian pun.“Ja-jangan…” ucap Kania dengan tidak yakin.“Nggak usah pura-pura, cantik. Siapa yang nyuruh kamu datang? Ah, tapi itu nggak penting, aku suka koq,” ujar pria tampan itu.Kania mengerutkan kening. Apa
Rasa pedih di hatinya tidak terperi hingga akhirnya Kania bergerak meraih silet yang berada di atas meja. Jemari lentik Kania sudah mendorong mata siletnya keluar. Ujung mata silet itu sudah berkarat tetapi tidak mengurangi ketajamannya. Kania mulai mendekatkan mata silet itu ke pergelangan tangannya dengan tubuh gemetar hebat.Pedih di tangannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit dan hancur yang ia rasakan saat ini. Kania merasa seperti sampah yang tidak ada gunanya. Hidupnya telah hancur berantakan dan tidak tertolong lagi. Kania merasa hidupnya sudah seharusnya berakhir di sini.Ia mulai menekankan ujung silet itu ke pergelangan tangannya hingga sebulir darah keluar dari kulitnya yang kuning langsat. Namun, ketika Kania hendak melanjutkannya, tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Seolah takdir sedang mencegahnya untuk berbuat lebih lanjut. Kania teringat pada janjinya pada dirinya sendiri dahulu bahwa ia harus mencari ibu kandungnya yang pergi meninggalkannya ketika
Jupiter hanya tersenyum miring dan mengabaikan kata-kata Kania. Dia memasuki lift dan menekan tombol menunggu Kania masuk. “Cepetan dong, pegel nih! Aku tinggalin nih kalau lama,” ujar Jupiter."Tunggu!" kata Kania. Dia bergegas ke lift dan berdiri di samping Jupiter."Kamu mau ke lantai berapa?" Dia bertanya."Lantai dua," jawab Kania.Tepat saat pintu lift tertutup, Jupiter sudah mendekati Kania, menyebabkan Kania mundur selangkah demi selangkah."A-Apa yang kamu inginkan?" tanya Kania."Setelah malam itu, kamu pernah tes nggak?" Dia bertanya.Kania melebarkan matanya, mencoba mencerna kata-kata Jupiter dan beberapa detik kemudian Kania baru paham tes apa yang Jupiter maksud."Kamu gila? Aku nggak mungkin hamil!" seru Kania."Oh ya? Kamu yakin banget?"“Yakinlah! Itu kan cuma sekali, lagian aku pas lagi nggak subur-subur banget,” ujar Kania dengan wajah memerah dan panas karena malu memikirkan hal itu lagi.“Tes aja nggak ada salahnya,” ujar Jupiter.“Nggak mau!”“Oh jadi kamu ngga
"Mau tetep di mobil? Ini udah sampe loh," ujar Jupiter ketika Kania tidak juga bereaksi meskipun mobilnya sudah terparkir "Eh, enggak!" Tiba-tiba Kania berteriak panik Ia mencoba membuka sabuk pengamannya, namun sayang, sabuk pengaman tersebut tiba-tiba menjadi sulit dibuka "Bisa nggak?" tanya Jupiter setelah beberapa detik Kania gelisah dengan sabuk pengamannya. Jupiter menarik napas pendek. Kemudian, ia berinisiatif membantu Kania melepas sabuk pengamannya. Jantung Kania serasa melompat keluar dari dadanya saat Jupiter mendekat. Dia bahkan bisa merasakan nafas panasnya di bahunya. “Gini doang nggak bisa. Apa-apa nggak becus,” kata Jupiter, dengan sabuk pengaman sudah terpasang. Kania menelan ludah. "Terima kasih," katanya cepat Kemudian dia dengan cepat membuka pintu mobil dan keluar dari mobil mewah itu. Kania tidak tahu kalau Noval sudah lama mengawasi dari dalam asrama. Pria itu adalah mantan pacar Kania yang baru saja putus karena ketahuan selingkuh. Kania memasuki asram
Jupiter masih terbatuk-batuk akibat tersedak mendengar tuduhan Kania. Namun, Kania menganggap reaksi Jupiter itu karena tuduhannya memang benar.“Astaga, pantes aja duit kamu banyak banget!” seru Kania lagi.Jupiter makin ingin tertawa karena kalimat Kania itu, sehingga ia belum pulih dari terbatuk-batuk.“Kamu koq bisa jadi kaya banget? Bayaran kamu mahal banget ya?” tanya Kania.Jupiter tertawa kecil melihat ekspresi wajah Kania yang penasaran. Mata indahnya yang bulat berkilau saat menatap Jupiter seperti itu. Jupiter kemudian mengulum senyum dan berniat untuk tidak memberitahukan pada Kania siapa dirinya sebenarnya.“Aku bukan germo, tapi you know lah,” ujarnya sambil tersenyum miring.Kania melebarkan matanya karena menurutnya, kini semua jadi masuk akal. Jupiter ada di club saat ibu tiri Kania menjual tubuh Kania pada pria hidung belang. Jupiter malam itu mungkin sedang menjajakan dirinya di sana.“Ja-jadi…” Kania tergagap.“Nah, harusnya kamu tuh ganti rugi lebih banyak. Malam
Jupiter masih menunggu hingga beberapa menit kemudian sambil memainkan jarinya di atas meja kerja mewahnya, tetapi tidak ada jawaban sedikitpun dari Kania. Ia ingin mengetikkan sesuatu lagi, tetapi ia tidak tahu apa lagi yang harus ia ketik. Akhirnya Jupiter menaruh ponselnya di atas meja dengan kesal. Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh siapa pun, apalagi seorang wanita. Jupiter dikenal sebagai bos yang arogan dan dingin, bagaimana mungkin seorang pegawai magang bisa memperlakukannya seperti ini?Dengan kesal, Jupiter membuka akun surelnya melalui komputer. Ia masih menyimpan data-data surat lamaran Kania di sana. Ia segera mencatat alamat tempat tinggal Kania dan menyimpannya dalam ponselnya, hanya untuk berjaga-jaga jika ia membutuhkannya lain waktu. Jupiter kemudian memutuskan untuk melupakan soal itu sejenak dan segera melanjutkan pekerjaannya.***Jam menunjukkan pukul enam sore dan Kania merasa sangat terpaksa duduk di meja riasnya dan memulas wajahnya dengan riasan s
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Kania dengan mata melebar. Akhirnya ada kata-kata yang bisa ia produksi setelah tertegun beberapa detik.“Ini kantorku,” ujar Jupiter.“Kamu kerja di sini?” tanya Kania dengan suara meninggi.Ia baru saja diterima bekerja di tempat impiannya ini dan sekarang ia sudah menerima kabar buruk. Bekerja di tempat yang sama dengan pria ini adalah hal terakhir yang Kania inginkan di dunia ini.Jupiter hendak mengoreksi kata-kata Kania, tetapi ia mengurungkan niatnya. Bukankah lebih baik jika Kania tidak tahu bahwa ini adalah perusahaan miliknya? Jupiter hanya tersenyum dan mengangguk, mengiyakan bahwa ia bekerja di kantor ini.“Oh shit!” seru Kania dengan suara setengah berbisik.Jika pria ini bocor mulut dan mengatakan pada orang lain bahwa dia telah tidur dengan Kania, nama baik Kania bisa hancur dan ia tidak mungkin bisa berkarir di sini. Semua orang mungkin akan mengira bahwa ia wanita murahan yang bisa dibeli siapa saja. Di saat yang sama elevator berdenti
Jupiter tersenyum sambil melihat layar datar monitor komputernya. Di layar tersebut terpampang jelas Curriculum Vitae seorang pelamar bernama Kania Larasati. Dari pasfotonya, jelas sekali itu adalah wanita yang menghabiskan satu malam dengannya di club. Jupiter tidak bisa melupakan wanita yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan VIP-nya itu dalam keadaan mabuk dan berpakaian minim tersebut. Malam itu seharusnya Jupiter minum-minum sendirian dan menenangkan pikirannya seperti yang biasa ia lakukan setiap beberapa hari sekali. Namun semuanya berubah karena wanita cantik itu.Bukan pakaian minimnya yang menarik perhatian Jupiter pertama kali, tetapi sepasang matanya yang indah tetapi menyiratkan luka yang mendalam. Jupiter terpana, melihat manik mata kecoklatan itu yang bagai berkilau meskipun berada di bawah lampu temaram. Wanita itu bahkan tidak sadar ketika Jupiter bertanya siapa dia dan apa tujuannya. Jemarinya yang lentik menyentuh tengkuk leher Jupiter, membuat gairahnya memuncak dan
Rasa pedih di hatinya tidak terperi hingga akhirnya Kania bergerak meraih silet yang berada di atas meja. Jemari lentik Kania sudah mendorong mata siletnya keluar. Ujung mata silet itu sudah berkarat tetapi tidak mengurangi ketajamannya. Kania mulai mendekatkan mata silet itu ke pergelangan tangannya dengan tubuh gemetar hebat.Pedih di tangannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit dan hancur yang ia rasakan saat ini. Kania merasa seperti sampah yang tidak ada gunanya. Hidupnya telah hancur berantakan dan tidak tertolong lagi. Kania merasa hidupnya sudah seharusnya berakhir di sini.Ia mulai menekankan ujung silet itu ke pergelangan tangannya hingga sebulir darah keluar dari kulitnya yang kuning langsat. Namun, ketika Kania hendak melanjutkannya, tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Seolah takdir sedang mencegahnya untuk berbuat lebih lanjut. Kania teringat pada janjinya pada dirinya sendiri dahulu bahwa ia harus mencari ibu kandungnya yang pergi meninggalkannya ketika
Jantung Kania Larasati berdegup begitu kencang ketika ia melihat pria yang ada di hadapannya itu sudah membuka kancing kemejanya satu per satu. Alis tebal pria itu terangkat sebelah ketika manik matanya menatap tubuh Kania dengan liar dan penuh nafsu. Nafas Kania memburu, ia begitu takut tetapi juga tidak bisa mengendalikan diri. Ini semua gara-gara ibu tirinya yang memberinya minum banyak alkohol dan obat perangsang. Kini, Kania benar-benar tidak dapat bertahan. Sebagaimanapun Kania ingin memaki dirinya sendiri, tetapi ia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya menginginkan sentuhan pria tampan itu.Aroma alkohol menyeruak dari nafas pria itu, begitu pula dari nafas Kania. Mereka berdua mabuk dan kini pria itu sudah berada di atas tubuh Kania yang sudah tidak mengenakan sehelai pakaian pun.“Ja-jangan…” ucap Kania dengan tidak yakin.“Nggak usah pura-pura, cantik. Siapa yang nyuruh kamu datang? Ah, tapi itu nggak penting, aku suka koq,” ujar pria tampan itu.Kania mengerutkan kening. Apa