"Mami ...! Mami ganggu banget, deh!" kesal Erlan kepada ibunya."Erlan! Kamu apain Mitha? Kamu, ini! Jangan lakukan apa pun lagi kepadanya!" tegur sang ibu."Aku hanya menciumnya, Mi!" bela, Erlan."Itu sama saja kamu telah menyentuhnya. Kamu tidak boleh menyentuh Mitha lagi sebelum kalian resmi menjadi suami dan istri!" tegas sang ibu, lagi."Apa-apaan sih, Mami! Peraturan dari mana tuh?" Jelas saja Erlan tidak mau. Karena baginya, tubuh Mitha bagai mainan baru yang sangat berguna untuk menjinakkan alat tempurnya, jika sedang dalam mode mengamuk."Peraturan dari Mami dan seluruh Keluarga besar Levin. Sana kamu, ke luar dari sini!" Erlan pun terpaksa keluar dari kamar mandi itu dengan muka penuh amarah.Bagaimana tidak, hasratnya tak tersalurkan saat ini.Sesampai di dalam kamar, sang Oma berkata, "Lan, lihat itu bajumu telah basah. Kamu ganti dulu. Karena setelah kamu dan Mitha sarapan, Keluarga Levin akan melakukan konferensi pers untuk mengumumkan hari pernikahan kalian." tutur sa
"Ya ... Oma harap juga begitu. Keinginan kedua wanita yang sangat dekat dengan Erlan itu terlalu besar untuk kebahagiaan keduanya.Setelah selesai makan, mereka disibukkan dengan mencocokkan cincin permata, bertahtah berlian murni untuk dilekatkan di jari manis Mitha.Tuan Fred bahkan telah mem-booking pub itu, sebagai tempat diumumkannya pertunangan diantara Mitha dan Erlan. "Mi, memangnya harus pakai cincin kah?" keluh Erlan yang dari tadi jari manisnya, diukur beberapa kali oleh cowok kemayu, salah satu karyawan, yang ditugaskan oleh toko permata terkenal itu, untuk melakukan pelayanan khusus bagi pelanggan high class seperti Keluarga Levin."Yaiyalah, Lan! Kamu ini aneh-aneh saja pertanyaannya." tutur sang mami."O ... Oma, apakah ini tidak berlebihan? Harga cincinnya sangat mahal, Oma. Apakah tidak ada cincin yang harganya biasa saja?" keluh Mitha bingung, melihat harga satu cincin saja yang sangat mahal."Mitha ... kamu itu, calon menantu Keluarga Levin. Kamu nantinya akan menj
"Tuan Brandon, sepertinya Anda harus bersembunyi dulu dalam beberapa saat. Tuan Fred sepertinya mulai melakukan penyelidikan terkait masalah yang dihadapi oleh putranya. Takutnya Anda akan merasakan akibatnya, nanti. Apalagi perusahaan Anda dalam posisi sangat sulit, saat ini." seru salah satu rekan bisnisnya, kepada Brandon yang dulunya juga teman satu kampusnya."Tapi, Tuan Fadli. Bagaimana dengan perusahaan saya? Siapa yang mengurusnya nanti?" tanyanya ragu-ragu untuk melarikan diri. "Soal itu, saya tidak dapat mencampurinya, Tuan. Anda coba mencari solusinya sendiri. Biar bagaimana pun, Tuan Erlan juga rekan bisnis perusahaan saya. Sekaligus sebagai sahabat lama kita saat kuliah dulu. Seharusnya Anda bisa lebih bijak dan berhati-hati dalam mengambil suatu tindakan." Nasehat Tuan Fadli itu, yang berhasil membuat Tuan Brandon terdiam.Tuan Fadli segera berlalu dari sebuah kafe, di sudut Kota Jakarta itu. Sebagai tempat dirinya dan Brandon janjian untuk bertemu tadinya.Sementara Tu
"Pi, aku naik mobil yang mana?" tanya Erlan, kepada ayahnya."Kamu sabar dulu, Lan. Memangnya kamu mau ke mana? Kok buru-buru begitu?" ucap sang ibu. Dia menjadi bingung sendiri melihat tingkah putranya yang sedikit gelisah itu."Aku mau cepat-cepat pulang ke rumah, Mi," sahutnya "Lho memangnya kenapa jika kamu sudah nyampai di rumah, Lan?" selidik sang ibu."Aku mau tidur, Mi. Tadi malam aku sangat capek. Gara-gara dia!" tunjuknya kepada Mitha.Lagi-lagi gadis itu hanya bisa menunduk mendengar perkataan Erlan yang sangat menusuk itu."Erlan! Kamu ini! Berlaku lembutlah kepada Mitha." Sang Oma ikut protes dengan semua tingkah laku dan sikap cucunya kepada gadis itu."Terserah deh!" ketusnya marah.Padahal yang sebenarnya terjadi, di dalam kepala Erlan saat ini. Masih terngiang-ngiang aktivitas panas yang dirinya lakukan bersama dengan Mitha. Ingin rasanya dia mengulangnya kembali. Untuk itu, Erlan ingin cepat-cepat sampai ke rumah dan mencari cara untuk mengulangnya kembali sekali s
Erlan tetap pura-pura tidak mendengar perkataan ibunya, dan dia terus memejamkan matanya."Ya udah, Mit. Erlan sepertinya sedang tidur. Mami tinggal dulu. Kamu jangan takut gitu, ya?" ucapnya kepada, calon menantunya."Pak sopir, hati-hati bawa mobilnya. Jangan terlalu kencang." pesannya kepada sang sopir."Baik, Nyonya," jawab Pak Sopir."Tuan Muda, Nona. Kita berangkat sekarang." seru sang sopir, kepada keduanya."I ... iya, Pak." jawab Mitha. Sementara Erlan tetap diam dan tidak bicara. Namun disaat mobil sudah berjalan. Dengan cepat Erlan bangun, lalu menutup pembatas diantara kursi depan dan kursi penumpang. Ternyata dia memang hanya pura-pura tidur.Erlan lalu menatap ke arah Mitha yang terlihat mulai waspada, karena pria itu terus mendekatkan wajahnya ke arahnya. Sehingga jarak wajah mereka hanya tinggal tersisa satu sentimeter saja."Mas Erlan, ka ... kamu mau ngapain?" lirihnya takut. Bahkan kedua tangannya, dia taruh menyilang untuk melindungi bagian dadanya.Deru napas Erl
"Ayah, Bunda. Aku sangat merindukan kalian." sedihnya dalam hati.Mitha lalu menatap ke luar jendela mobil, dia mencoba menikmati angin semilir yang mulai menyapu wajahnya yang sendu. Seperti hatinya saat ini, yang sedang merasakan kesedihan yang mendalam, karena kecerobohannya tadi malam."Aku kenapa sebodoh itu tadi malam? Kenapa semuanya seperti telah direncanakan oleh seseorang? Apakah aku dijebak? Akan tetapi, kenapa? Apakah salahku? Kenapa aku dilibatkan dengan sesuatu yang aku tidak ketahui sama sekali?" lirih Mitha sedih dalam hatinya. Lalu tiba-tiba dia ingat dengan Niken, sang sahabat. Sikap Niken sangat berbeda kepadanya setelah kejadian di pub itu. Sahabatnya itu, sepertinya terus saja menyudutkannya dan menuduhnya yang bukan-bukan."Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kenapa Niken bersikap seperti itu kepadaku? Aku sangat yakin, dia mengetahui sesuatu, dibalik kejadian tadi malam," gumamnya dalam hati.Sementara itu, di sudut Kota Jakarta. Tepatnya di sebuah kamar kost.
"Berani-beraninya, Arjuna memegangnya, di depanku?" kesal Erlan dalam hati.Sementara Arjuna, seketika merasakan getaran aneh saat dirinya membantu Mitha tadi. Kedua bola mata indah milik gadis itu, mampu membuat jiwa jomlo Arjuna semakin merontah-rontah."Siapa gadis ini? Kenapa wajahnya sangat familiar? Di mana aku pernah melihatnya, ya? Lagian kenapa dia bisa berada di sini?" ucapnya penasaran, dalam hati."Erlan! Kamu ini, bukannya bantuin Mitha. Untung saja ada Arjuna." Seru Mami Anisa.Mendengar perkataan sang ibu, secara spontan, Erlan melangkah mendekati Mitha lalu berkata,"Sayang, kamu kok nggak bilang-bilang sih jika kakimu masih sakit?" serunya, sambil menunjukkan wajah memelas. Bahkan Erlan mulai membelai lembut pucuk kepala calon istrinya dan menatap wajah Mitha dengan penuh rasa cinta.Mitha seketika kaget dengan perubahan sikap Erlan yang tiba-tiba lembut kepadanya."Aku akan menggendong mu sampai ke dalam rumah." ucapnya, lalu dengan cepat mengangkat tubuh lemah Mith
Erlan sangat emosi saat ini bahkan rasa kesalnya sudah sampai ke ubun-ubun. Dia sudah tidak dapat membendung amarahnya, yang dirinya pendam dari tadi.Namun dengan cepat Opa Robi menghardik kedua cucunya yang sedang bersitegang itu."Kalian berdua! Berhenti di situ!" teriak sang opa marah.Namun Erlan sama sekali tidak peduli dengan hardikan Opa Robi. Dia tetap melangkah maju ke arah Arjuna, lalu memegang kerah baju sepupunya, dan mencengkramnya dengan kuat."Erlan Levin! Stop! Sekali kamu menghajar Arjuna. Papi akan menghancurkan kariermu sampai ke akar-akarnya!" ancam Tuan Fred kepada putranya. Sementara Erlan dan Arjuna saling tatap penuh amarah. Aura emosi terpancar dari wajah keduanya saat ini.Lalu Erlan berkata,"Jangan banyak omong Lo, bocah ingusan! Jika tidak, gue akan hajar Lo sampai mampus! Jangan pernah campuri urusan, gue!" serunya lalu mendorong tubuh sepupunya ke belakang sampai terduduk kembali ke sofa."Erlan! Kamu jangan kasar begitu. Arjuna, sepupumu." tegur, Oma