Karena malu dengan ucapannya sendiri, Arjuna pun berlalu dari tempat itu dan mulai melangkah menuju ke dalam kamarnya yang berada di lantai atas. "Juna, kamu mau ke mana?" tanya sang oma yang merasa kasihan kepada cucunya itu."Aku mau ke kamarku, saja Oma.""Tapi kamu belum makan, pagi ini." tutur Oma Rini, lagi."Aku sudah makan di rumah temanku, Oma." jawabnya lagi, lalu mulai mempercepat langkahnya menuju ke kamarnya.Sementara Erlan masih dengan berwajah tegang. Menatap kepergian adik sepupunya itu dengan sangat garang."Kurang ajar Lo, Juna! Berani-beraninya, Lo bicara begitu!" Erlan menjadi kesal sendiri mendengar ucapan Arjuna yang ingin bertanggung jawab, kepada Mitha.Saat ini, semua anggota keluarga Levin sedang menikmati makan siang mereka. Kecuali Arjuna yang memilih untuk makan di kamarnya dan menyuruh Bik Mina untuk mengantar makanan untuknya, di dalam kamar.Sang Bibik yang sudah berada di depan pintu kamar Arjuna, segera mengetuknya. Arjuna yang sedang menelepon ses
"Ya aku nggak tahu lah, Mi. Kan bukan leher ku yang kemerahan. Mami tanya ke orangnya lah langsung, jangan ke aku." seru Erlan, lagi-lagi dengan berwajah santai."Sial! Kenapa aku malah mengecup lehernya! Semoga saja dia bisa tutup mulut dan tidak mengatakan apa pun kepada Mami," tutur Erlan dalam hati.Nyonya Anisa lalu melirik ke arah Mitha dan ingin bertanya kepadanya, kenapa lehernya bisa kemerahan begitu. Namun gadis itu terlihat menunduk dan merasa tidak nyaman saat ini.Oma Rini sepertinya mengetahui kegundahan hati Mitha. Beliau pun segera berkata,"Anisa, nanti saja kamu bertanya. Ada baiknya Kita terus kan saja untuk makan.""Baiklah, Oma." Jawab Nyonya Anisa kepada ibu mertuanya.Mitha seketika merasa lega, mendengar perkataan Oma Rini. Dia pun melanjutkan makannya dengan tenang.Setelah selesai makan, Mami Anisa kembali berkata kepada Erlan,"Lan, untuk sementara waktu, kamu tinggal di apartemen saja." "Apa?" kagetnya. "Kok aku jadinya tinggal apartemen sih, Mi? Bukannya
Aura emosi terlihat jelas dari wajah Erlan. Dia menuruni anak tangga dengan menghentak-hentakkan kakinya dengan keras.Sesampai di ruang keluarga, Erlan segera menghadap ibunya, lalu berkata,"Mami! Kenapa kamar ku jadi berpindah tempat? Kenapa malah dia yang menempati kamar ku selama ini?" bentak Erlan tidak suka kepada ibunya.Sementara Mitha hanya bisa menunduk. Lagi-lagi dia merasa ketakutan mendengar suara Erlan yang menggelegar besar, layaknya suara petir."Lho memangnya kenapa, Lan? Mami sudah memutuskan, sebelum kalian resmi menikah. Mitha akan menempati kamar pribadimu. Untuk sementara kamar mu akan dipindahkan ke kamar tamu," ucap sang ibu, mencoba untuk bersabar menghadapi sikap anaknya. "Kok jadi gitu, sih Mi? Aku tidak mau!" tuturnya marah."Ya kalau kamu tidak mau, silakan kembali ke apartemenmu. Keputusan Mami sudah bulat." tutur Mami Anisa kepada putranya."Papi! Bagaimana ini? Tolong katakan sesuatu, Pi." Erlan mencoba bernegosiasi dengan ayahnya. Karena Opa dan Oman
Dari artikel yang Erlan baca. Akhirnya pemuda itu mengetahui jika Mitha termasuk mahasiswi cerdas di kampusnya. Sama seperti yang dikatakan oleh Arjuna, sepupunya."Ternyata dia lumayan pintar juga. Tapi kenapa dia sampai bekerja di pub itu, tadi malam? Apakah dirinya sedang kekurangan uang?" tanya Erlan dalam hati.Erlan tiba-tiba mengepalkan tangannya, saat membaca artikel yang membahas pribadi Mitha yang betah menjomlo. Padahal begitu banyak pria-pria di kampusnya, yang rata-rata naksir kepadanya.Lagi-lagi, Erlan membenarkan semua yang dikatakan oleh Arjuna.Tiba-tiba saja timbul rasa kesal di hatinya menerima kenyataan itu."Berani-beraninya, para pria itu menggodanya? Awas saja! Tunggu pembalasanku!" serunya menusuk, sambil menatap ke arah gadis itu."Hei, kamu ngapain di situ? Sini kamu!" seru Erlan tajam."I ... iya, Mas." lirih Mitha takut.Lalu Bik Mina ikut berkata,"Yang lembut dong, Tuan Muda. Kan Nona Mitha adalah calon istri Anda," ucap Bik Mina sambil tersenyum ke a
Air mata Mitha terus menetes di pipinya. Tiba-tiba, dia merindukan kedua orang tuanya."Ayah, Bunda. Aku sangat merindukan kalian," lirihnya sedih dalam hatinya.Mitha menjadi ingat dengan ponselnya yang berada di dalam tas kecil miliknya. Dia segera mengambil tasnya dan memerika ponselnya.Ternyata ponselnya kehabisan baterai. Mitha segera mengisi daya baterai ponselnya.Setelah beberapa menit terisi, Mitha lalu mulai mengaktifkan ponselnya itu. Dia lalu memeriksa panggilan keluar dan panggilan masuk. Namun tidak ada satu pun yang berasal dari keduanya oang tanya.Mitha pun mencoba menelpon nomor ponsel ayahnya namun tidak bisa. Lalu dia juga menelpon nomor ponsel ibunya, juga sama saja."Kenapa ponsel Ayah dan Bunda tidak dapat dihubungi? Apakah ada sesuatu yang salah di sana?" pikirnya dalam hati. Mitha tetap mencoba untuk menelpon lagi. Namun tetap tidak bisa."Apa yang sebenarnya terjadi?" lirihnya sedih dalam hatinya.Tak terasa air matanya kembali mengalir di pipinya, membasah
Mitha lalu mulai membuka kunci kamar dan menekan handle pintu.Wajah Mami Anisa langsung kelihatan di depan pintu."Mami ...." lirih Mitha, takut. Namun, dia mencoba untuk terlihat biasa saja."Mitha, kamu kok baru membuka pintunya?" tanya sang mami kepada calon menantunya, yang terlihat pucat pasi."Ma ... maaf, Mi. Tadi aku mau hendak mandi. Jadi aku kurang mendengar saat Mami mengetuk pintu." ucapnya takut, lalu menundukkan kepala.Sementara di balik pintu, Erlan masih saja khawatir jika ibunya memaksa untuk menerobos masuk ke dalam kamar itu."Oh, jadi kamu tadi berada di dalam kamar mandi?" "I ... iya, Mi. Ma ... maaf." lirihnya, lagi. Nyonya Anisa lalu memperhatikan wajah Mitha yang terlihat pucat. Keringat juga terlihat keluar dari kedua dahinya."Wajah Mitha kenapa seperti takut begitu? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan olehnya, saat ini?" gumam Mami Anisa, curiga di dalam hatinya. "Mitha, apakah kamu baik-baik saja?" selidik Mami Anisa."A ... aku baik-baik saja, Mami."
"Mami ...." serunya, tercekat."Dari mana kamu, Lan? Kenapa panggilan dari Mami tidak kamu angkat?" ucap sang ibu sambil menatap tidak suka, ke arah putra tunggalnya."Eh, itu aku dari bawah tadi." jawab Erlan, ngasal."Kamu dari bawah mana? Mami juga baru dari lantai bawah. Jangan bohong kamu! Ayo katakan dengan jujur kamu dari mana!" selidik sang mami, lagi."Ya ampun, Mami. Nggak percayaan banget sih dengan yang aku katakan?" ucap Erlan sambil mendekati ibunya dan ikut bergabung duduk di sofa di mana ibunya berada.Wangi parfum yang tadi Mami Anisa hirup saat berada di depan kamar Mitha semakin terasa."Tepat sekali! Benar dugaanku. Erlan sedang berada di dalam kamar Mitha tadi. Akan tetapi, kenapa Mitha malah menutupi keberadaan Erlan di dalam kamarnya?" gumamnya bingung, dalam hatinya."Apakah Mitha diancam oleh Erlan?" Pikiran-pikiran itu, tiba-tiba muncul saja di benaknya."Anak ini! Kapan bisa dewasanya!" lirih sang ibu dalam hatinya, mulai mengkhawatirkan sifat anaknya itu.E
"Arrrgghhh!" Erlan akhirnya mendapatkan pelepasannya. Saat ini, dirinya sedang berada di dalam kamar mandi.Baru saja Erlan menuntaskan hasratnya melalui permainan jari-jarinya sendiri, sambil membayangkan tubuh Mitha yang telanjang dan begitu menggetarkan jiwanya. Yang sungguh begitu menggoda hatinya.Namun sepertinya, Erlan merasa jika permainan tangannya kurang memberinya sensasi maha dahsyat. Tidak seperti yang dia peroleh saat menyentuh tubuh gadis itu. Sejujurnya dia menginginkan tubuh Mitha, yang sepertinya telah menjadi candu baginya."Sial! Ada denganku? Kenapa aku sangat bergairah saat ini? Apakah aku sudah terkena kutukan dewa mesum?" ujarnya sambil menatap dirinya di depan cermin."Ini juga kok masih tegang saja, sih!" Erlan tak habis pikir, jika senjata pamungkas miliknya masih saja tegak berdiri. Bagaikan pedang pora yang siap ikut ke medan perang."Sial banget, gue! Mana hari pernikahan masih lama, lagi!" Ketusnya, kesal sendiri."Wow! Kenapa aku malah memikirkan perni