Udara sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner (AC) di dalam kamar seorang gadis, semakin membuat si gadis yang terlelap dalam tidurnya itu bergulung dalam selimut tebal. Entah dia terlalu kecil mengatur suhu, hingga membuatnya kedinginan. Atau karena suhu badannya yang sekarang cukup hangat.
Tapi satu hal yang pasti, gadis itu enggan turun dari kasur dan memilih untuk terus memejamkan matanya. Sampai sebuah suara ketukan pintu tak sabaran, yang diiringi dengan suara seseorang memanggilnya dengan intens-gadis itu baru menggeliat. "Jenna! Bangun! Kamu harus shalat shubuh dulu." Seseorang, dari luar kamarnya—mengetuk pintu berulang kali. Hingga menyebabkan kedamaian tidur seorang gadis yang tak lain adalah Jenna itu, terganggu. "Jenna! Bangun! Tidak ada alasan lagi untuk hari ini tidak shalat shubuh," kata orang itu lagi. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya. Mendengar teriakan menjengkelkan, pun suara ketukan pintu yang diketuk tidak sabaran—Jenna pun berdecak. Tangannya bergerak membuka selimut tebal yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, lalu disusul dengan membuka kelopak mata yang masih terasa berat. "Akan ada drama apalagi hari ini?" Meski dengan ogah-ogahan, tapi Jenna tetap memaksakan diri untuk mengambil posisi duduk. "Jenna! Kalau tidak bangun, Ayah akan dobrak pintunya." Lagi, suara itu mengganggu gendang telinganya. "Iya, iya. Aku udah bangun, Ayah!" teriak Jenna dari dalam kamar. Bibirnya tak henti menggerutu, ketika suara sang ayah tak kunjung menghilang. "Langsung shalat shubuh! Udah gitu kamu turun ke bawah, bantuin mama masak." Jenna mencibir perkataan dari orang tuanya itu. Selama hampir 8 tahun hidup bersama dengan dua benalu, Jenna tak sama sekali ingin berbaur dengan dua benalu itu. Ayahnya saja yang terlalu berusaha untuk mendekatkan mereka semua, padahal Jenna sama sekali tidak ingin hidup bersama dengan dua benalu itu. Begitu suara sang ayah sudah tak terdengar, itu tandanya sang ayah sudah turun lagi ke lantai bawah. Jenna, gadis berusia 25 tahun itu melirik sosok wanita cantik—yang terpampang seperti nyata di figura foto. Foto wanita cantik dengan hijab itu adalah foto mendiang sang bunda, yang sudah lebih dulu pergi sejak 8 tahun yang lalu. "Udah 8 tahun aja ya, Bun? Tapi di 8 tahun itu, aku sama sekali nggak pernah menemukan diriku yang dulu." Enggan membohongi fakta di depan foto sang ibunda, Jenna menahan sesak di dalam hatinya. Sekelebat ingatan tentang masa lalu yang menjadi titik awal dirinya yang sekarang, membuat Jenna mengepalkan kedua tangannya yang menggantung di sisi tubuh. "Aku nggak sangka, kalau Ayah bisa setega itu sama Bunda. Dan lucunya, Ayah bilang melakukan kesalahan itu karena cinta? Apa itu cinta? Apa cinta memang membuat seseorang melakukan kesalahan besar di hidupnya?” Jenna meremas dadanya, selama 8 tahun berlalu—luka itu sama sekali tidak sembuh. Bayangan demi bayangan kesakitan sang ibunda sejak insiden perselingkuhan itu, terus saja terbayang di pikiran Jenna. “Semua terjadi karena benalu itu,” ucap Jenna saat teringat wajah ibu tirinya yang selama 8 tahun ini hidup bersamanya *** Mengabaikan dua tatapan intimidasi dari dua orang perempuan yang dibenci, seorang gadis terus berjalan menuruni undakan anak tangga dengan bersiul ceria. Suasana hatinya hari ini cukup membaik, karena pagi ini dia akan menghadiri acara seminar kepenulisan di salah satu SMA terkenal di Jakarta. Apa pun hal tentang buku, selalu cukup membangkitkan mood di hatinya. Meskipun saat tadi shubuh, suasana hatinya cukup kelam karena teringat masa lalu. “Bangun tidur kesiangan, tidak shalat shubuh, tidak membantu memasak juga. Mau jadi perempuan seperti apa kamu, Jenna?” Perkataan yang terkesan menyudutkan itu sama sekali tidak gadis itu gubris. Justru, dia malah menarik kursi untuk ikut sarapan bersama dengan tiga orang yang sudah lebih dulu duduk di sana. “Jangan sok tau kalau memang nggak tau kenyataannya, Tante. Aku bangun pagi dan shalat shubuh kok, cuma nggak bantu Tante masak aja. Rasanya, tanganku enggan memasak bersama pelakor. Upsss!" Jenna, gadis itu menutup mulutnya. Yang seolah lancang menyebut ibu tirinya itu pelakor. “Maaf ya Tante, bibir aku sukanya ceplas ceplos,” imbuh Jenna. "Jenna! Jaga bicara kamu sama Mama Dania," tegur sang ayah yang memperhatikan bagaimana Jenna memperlakukan istrinya dengan buruk. "Loh, aku bicara fakta Ayah. Tante Dania kan emang pelakor." Jenna tidak takut meskipun tatapan Dania dan Kiara, sudah menghunus tajam padanya. "Kak Jenna! Kak Jenna itu kenapa sih suka banget sebut Mama dengan sebutan pelakor? Aku tau, dulu Mama dan Ayah memang salah. Tapi itu udah masa lalu, Kak. Masa lalu itu sudah seharusnya dilupakan, nggak usah diungkit lagi." Kiara—puteri kedua sang ayah dengan Dania ikut menyahuti. Rasanya geram, saat setiap hari—Jenna memperlakukan sang Mama seperti itu. Melihat respon Kiara yang sok bijak, Jenna mengangguk-anggukkan kepalanya. Adik satu darahnya itu benar-benar ingin membuat namanya kian buruk, dan dia naik menjadi puteri kesayangan ayah ya? Ah, memikirkan itu—Jenna jadi ingat lagi masa lalu. Memang ya, bibit perebutnya pasti turun temurun. "Nggak usah sok bijak deh lo, Kiara! Lo hadir juga karena kesalahan mereka, 'kan?" Pertanyaan telak, Jenna layangkan pada adiknya itu. Tentu saja, kalimat yang Jenna lontarkan barusan—mengundang amarah bagi sang ayah. Meskipun pada kenyataannya benar, pria paruh baya itu tetap tidak menyukai sikap Jenna yang selalu mengungkit masa lalu. "Jenna! Ayah diam bukan berarti Ayah membiarkan kamu terus semena-mena pada Mama Dania dan adik kamu. Ayah diam hanya ingin tau, sampai di mana kamu menjelek-jelekkan mereka berdua lalu tersadar. Tapi ternyata, kamu masih menyimpan masa lalu itu sampai sekarang? Ayah kan sudah bilang, maafkan kesalahan Ayah di masa lalu. Ayah juga sudah minta maaf sama almarhumah bunda kamu. Lalu sekarang, kenapa setiap hari selalu saja mengungkit hal itu?" Farid—ayah Jenna menggeleng tak percaya pada puteri sulungnya. 8 tahun berlalu, seharusnya masa lalu pahit itu habis dimakan oleh waktu. Lalu kenapa Jenna tidak benar-benar melupakannya dan malah menyimpan rasa dendam? "Ayah kira, menjadi seorang penulis—kamu bisa bijak untuk hidup kamu. Jika begini, untuk apa kamu menjadi seorang penulis yang menjadi inspirasi orang, tapi kamu sendiri bersikap seperti ini?!" Dada Jenna naik turun, begitu mendengar ucapan demi ucapan sang ayah yang terlontar. Hatinya kian sesak, saat sang ayah membawa nama profesi yang selama ini Jenna puja. Bagi Jenna, menulis adalah hidupnya. Tanpa menulis, dia bisa mati. Menulis bukan hanya membuat suatu karya lalu terkenal begitu saja. Tapi melalui menulis itu, banyak hormon-hormon kortisol yang ikut keluar bersama luka-luka di hatinya. Selama 8 tahun ini, mendalami profesi yang masih banyak dipandang sebelah mata itu-membuat Jenna keluar dari keterpurukan yang disebabkan oleh sang ayah. Dan sekarang, saat sang ayah membawa nama profesinya atas sikap Jenna pada ibu tiri dan adiknya—Jenna tidak bisa tinggal diam. “Ayah pikir masa lalu itu akan hilang begitu aja, iya? Ayah pikir perbuatan Ayah nggak akan berdampak sama kehidupan aku? Ayah lihat aku sekarang!” Jenna berdiri, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. “Aku yang sekarang adalah hasil dari perbuatan Ayah di masa lalu. Ayah yang udah membentuk kepribadian lain di hidupku. Lalu sekarang Ayah masih bisa menyalahkan aku atas perbuatan Ayah di masa lalu? No, I don't accept it.” Jenna menggeleng tak percaya dengan sang ayah yang tidak berhenti melukai hatinya. Sekarang, gadis dengan rambut berwarna coklat mahoni itu menghembuskan nafas kasar. Matanya sudah tidak kuat untuk menahan air mata yang akan merebak. Air mata itu, sialnya terus mendesak turun untuk membasahi pipinya. Jenna benci keadaan seperti ini sebenarnya, terlihat lemah di hadapan dua benalu yang merusak kehidupan damainya. Tapi saat luka bertubi itu didapatkan dari sang ayah yang selalu dia percaya, Jenna tidak bisa untuk tidak menangis. “Aku yakin banget, dua perempuan iblis itu sedang menertawakan nasibku sekarang ini.” Ucapan Jenna yang diiringi tawa memilukan membuat Farid menoleh. Sekilas, dirinya memang melihat ada senyuman di bibir sang istri-Dania. Tapi itu semua tidak mungkin terjadi. Dania juga menyayangi Jenna, sama halnya dengan Kiara. “Kak Jenna, Kakak nggak boleh ngomong gitu. Aku sama Mama sayang sama Kak Jenna, mana mungkin kami bahagia lihat Kak Jenna kacau? Justru aku menyarankan, gimana kalau Kakak aku antar untuk ketemu dokter jiwa? Siapa tau, jiwa Kakak memang diambang kewarasan.” Jenna tau, perkataan adiknya itu tidak lebih dari perkataan yang meledek dirinya. “Gimana kalau gue aja yang anter kalian berdua ke RSJ? Terutama Tante Dania. Tante Dania kan udah gila, soalnya hancurin rumah tangga sahabatnya sendiri.” Untuk selanjutnya, tawa Jenna meledak begitu saja. Meski tak urung, hatinya masih sakit luar biasa. Jenna hanya ingin, Dania dan Kiara tidak memandangnya dengan gadis lemah begitu saja. Dan perihal ucapan Jenna yang mengatakan jika Dania menghancurkan rumah tangga sahabat, itu memang benar. Bunda Salsa dan Dania adalah sepasang sahabat, mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku putih abu. Namun ya, namanya pelakor. Suami sahabatnya pun dengan lancang dicintai. Lihat saja sekarang, Dania memandang Jenna dengan amarah yang meletup di dada. Sedikit banyaknya dia tersinggung dengan ucapan Jenna. “Ah, lama-lama di sini hawanya jadi panas. Rumah ini yang tadinya adem, kerasa panas banget.” Jenna pura-pura menyeka keringat di dahinya. “oh iya lupa, kan ada dua iblis di rumah ini.” “Ayah, tolong dijaga dua iblis itu ya! Aku khawatir mereka keliaran keluar rumah, terus ngerusak rumah tangga orang lain lagi nanti.” Kalimat terakhir, Jenna ucapkan sembari mengerlingkan mata pada Dania dan Kiara. Setelahnya, gadis itu berlalu pergi usai membuat dua perempuan itu menahan amarah di meja makan. "Bunda, maafin Jenna kalau Jenna sekarang jadi kayak gini. Banyak hal yang berubah setelah kejadian itu."Cakrawala di siang itu begitu sangat memancar. Sang surya yang bersinar, seolah berada tepat di atas kepala. Tapi hawa panas yang dirasa oleh seorang gadis, bukan saja berasal dari sinar sang surya. Melainkan juga dari sebuah postingan akun Instagram milik adik satu darahnya—Kiara Arsyila, yang memperlihatkan tiga orang termasuk Kiara sendiri—seolah seperti keluarga bahagia tanpa kehadiran dirinya. Tiga orang itu nampak sedang makan bersama, ada senyum dan canda tawa yang diperlihatkan di foto itu. Jelas saja, foto itu pasti diambil setelah kepergiannya beberapa jam yang lalu. “Sial, dia pikir orang-orang bakal lebih simpati sama dia? Orang-orang nggak tau aja kalau dia itu anak dari pelakor." Gadis yang tidak lain adalah Jenna tersebut mengumpat. Udara yang saat ini terasa panas, lebih membakar lagi saat ia tak sengaja melihat postingan Kiara.“Tenang, tarik nafas.” Jenna memejamkan mata, ia sadar jika gejolak amarahnya bisa saja menimbulkan gangguan kecemasannya kambuh begitu saja.
"Meskipun orang yang meminta ini sedang sekarat sekali pun, Jenna?" Sepasang manik mata Jenna, bahkan tak berkedip saat kalimat itu terlontar dari bibir dokter Cahaya—psikiaternya. Gadis itu tertegun, terkejut bukan main dengan perkataan dokter Cahaya yang seolah mempermainkan takdir kehidupan. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Jenna justru terdiam sembari mencerna semuanya. Bagi Jenna, permintaan konyol itu bukan hanya mendadak. Tapi juga mengusik kembali luka lama yang telah dia usahakan untuk lupa.Seharusnya di sini, Dokter Cahaya tau hal itu, kan? Dia yang berperan sebagai seorang Psikiater untuk Jenna. Dia juga yang telah menyembuhkan luka hati tersebut. Lantas kenapa sekarang dia juga yang membuka kembali luka lama itu?Terlebih, alasan Dokter Cahaya yang membawa-bawa kalimat 'sekarat', membuat Jenna benar-benar tidak suka. Seseorang tidak boleh mempermainkan takdir semacam itu hanya untuk mencapai keinginannya."A-apa maksud, Dokter? Sekali pun Dokter inginkan hal itu,
Cakrawala di malam ini nampak tak begitu terang seperti hari malam biasanya. Rembulan yang kala ini berbentuk sabit pun bahkan kesepian—tanpa ada teman yang menemani. Benda-benda kecil yang biasa bertaburan di atas langit, kini tak nampak sama sekali. Keadaan malam yang suram, sama suramnya seperti keadaan hati seorang gadis dengan piyama teddy bear. Entah sudah ke berapa kalinya gadis itu mendesah kasar, sedangkan jemarinya masih menyentuh keyboard laptop tanpa menari di sana. Biasanya, malam hari seperti ini—ia mendapatkan banyak inspirasi untuk bahan lanjutan kisah-kisah yang dia rangkai menjadi sebuah tulisan. Tapi karena malam ini, inspirasi tersebut entah menguap ke mana. Padahal, sudah banyak pesan cinta yang dia dapatkan dari penggemar setia yang menunggu kelanjutan kisah tersebut.“Mungkin aku terlalu kepikiran tentang Dokter Cahaya, sampai-sampai sekarang aku nggak fokus nulis begini.” Jenna, gadis yang kini memilih menutup laptopnya menerawang kembali, pada masa di mana Do
Tatapan nanar diberikan pada seorang gadis yang duduk dengan kepala tertunduk di hadapannya. Hati pria paruh baya yang menatapnya demikian, tertohok dengan sebuah kiriman foto dari seseorang yang tidak dikenalnya. Beberapa menit sebelumnya, pria paruh baya yang baru saja menyelesaikan tadarus Alquran itu terkejut saat ponselnya berbunyi. Dilihatnya, ada sebuah notifikasi masuk ke pesan Whatsapp miliknya. Saat itu, dahinya berkerut dalam kala ada nomor tak dikenal mengirimkan sebuah foto. Dan alangkah terkejutnya ia, ketika berhasil mendownload foto tersebut. Foto di mana puteri pertamanya tengah berada di sebuah bar bersama rekan-rekannya. Istighfar dengan segera dilakukan oleh pria paruh baya itu. Tak henti-hentinya dia menenangkan hati dengan kalimat thoyyibah itu, atas kesalahan sang puteri yang sudah membuatnya kecewa."Jawab Ayah, Jenna! Apa yang kamu lakukan ke tempat penuh maksiat itu?" Dengan dada kembang kempis, pria paruh baya yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan '
“Aku mau pulang aja, Mas!” Itu suara dari seorang wanita yang duduk di atas hospital bed. Ia menoleh, memandang pria yang duduk di hadapannya dengan pandangan memohon.“Aku bosan di sini, Mas. Aku terbiasa bekerja di rumah sakit ini, bukan menjadi seorang pasien.” Pria yang tidak lain adalah Reyhan—suaminya tersebut menghela nafas berat, lalu menyimpan piring yang tadi ada di genggaman. Sebenarnya saat ini, pria itu tengah menyuapi Cahaya—sang istri. Tapi Cahaya kini malah meminta pulang di saat kondisinya bahkan tidak bisa dikatakan stabil.“Kamu kan tau kondisi kamu sekarang bagaimana, Cahaya?” Reyhan berdiri, lantas membantu Cahaya untuk merebahkan tubuhnya di hospital bed. Namun saat akan melakukan itu, Cahaya mencekal tangannya. Wanita itu menggeleng, enggan merebahkan dirinya di sana.“Kamu belum pulih total. Kita akan pulang kalau kamu sudah pulih, aku janji.” Tatapan nanar kemudian diberikan Cahaya pada suaminya itu. Tidak bisakah pria itu mengerti, jika Cahaya merindukan ruma
Derit engsel pintu terdengar nyaring saat seseorang masuk ke dalam sebuah ruangan. Dia tersenyum hangat, saat mendapati Widia—editor yang tengah menunggu naskah ceritanya selesai selama satu bulan terakhir ini. Udara sejuk yang dihasilkan dari air conditioner, tambah membuat atmosfer di dalam ruangan itu cukup nyaman. Apalagi kini, Widia menyambut kedatangannya dengan sebuah applause dari kedua tangannya.“Bagaimana perkembangan naskahnya, Jenn? Kata kamu, naskah itu akan terbengkalai selama dua bulan. Tapi kenapa sekarang baru satu bulan, kamu sudah menyelesaikannya?” Pertanyaan itu ditujukan pada seorang perempuan yang kini menarik kursi untuk ia duduki. Seorang perempuan yang kini dikategorikan sebagai penulis populer di tahun 2024, dengan banyak karyanya yang masuk ke dalam jajaran best seller.“Aku mendadak mendapatkan banyak ide beberapa hari ini. Bukannya itu justru baik?” Perempuan yang tidak lain adalah Jenna tersebut melempar tanya.Perempuan yang duduk di seberangnya menga
Setitik air mata, meluncur begitu saja dari sudut seorang wanita berhijab. Tak dapat dipungkiri, segala proses tahapan kemoterapi yang sudah dilakukan—membuat perasaannya campur aduk. Ada perasaan senang, kala ia ditemani dengan setia oleh sang suami. Ada perasaan sedih, jika takdir harus menuliskannya begini.Bibir pucat milik wanita itu sekarang mencuat ke atas. Membentuk sebuah lengkungan tipis yang turut membuat pria di sebelahnya menganggukkan kepala, mencoba meyakinkan dirinya—bahwa semua akan baik-baik saja. Proses kemoterapi yang dilakukan di Rumah Sakit Kenangan Indah pagi ini, meliputi tiga fase dan terapi tambahan. Dari mulai fase induksi, yang berguna untuk membunuh sel-sel kanker yang masih tersisa. Sampai fase pemeliharaan, yang bertujuan mencegah sel-sel kanker tumbuh kembali. Wanita berhijab yang tidak lain adalah Cahaya tersebut, melakukan proses pengobatannya dengan cukup serius.Tapi meski begitu, Cahaya tetap mempunyai ketakutan yang tidak bisa dia bagi pada oran
Dalam cinta, mungkin butuh perjuangan dan juga pengorbanan. Jika dulu, Cahaya berjuang untuk mendapatkan hati Reyhan—maka sekarang, dia harus berkorban untuk cintanya. Jika berbicara tentang ikhlas dan tidak ikhlas, mungkin akal pikirannya akan dengan lantang mengatakan tidak ikhlas. Tentu saja, seperti perkataan Jenna—wanita mana yang rela membagi suaminya untuk perempuan lain? Jawabannya hanya bisa terhitung oleh jari. Sekelas istri Rasulullah saja, masih bisa merasakan cemburu. Lalu bagaimana dengan umat-Nya? Cahaya mengakui, jika dirinya akan amat cemburu. Tapi semua itu sudah menjadi keputusannya, bukan? Untuk apa Cahaya menyesali, jika nanti pada akhirnya—baik Jenna ataupun Reyhan, setuju untuk menikah.Sudah beberapa malam, cuaca terasa tidak cukup nyaman. Mungkin juga memang karena ini awal tahun, yang di mana curah hujan sedang tinggi-tingginya. Selain karena udara malam yang terasa dingin, lalu ditambah dari udara dari air conditioner—Cahaya merasakan tubuhnya menggigil. A
Jika kehidupan seseorang bisa dipilih akan bagaimana perjalanannya, mungkin Jenna tidak menginginkan perjalanan hidup yang banyak menorehkan luka di hatinya seperti ini. Memang, siapa yang ingin menjadi seseorang yang dinilai meruntuhkan rumah tangga orang lain? Seseorang yang kehadirannya dinilai begitu buruk oleh hampir kebanyakan orang. Padahal dirinya tidak seperti itu. Tentu saja Jenna juga tidak ingin. Mendapatkan cinta, di posisinya yang kedua—Jenna pernah merasakan rasa pesimis luar biasa. Statusnya yang berada di nomor dua, sudah pasti tidak akan menjadi prioritas. Tapi setelah kepergian madunya itu, atau seseorang yang menyandang status istri pertama—hati Jenna sempat mengharapkan jika cinta itu akan hadir, karena bagaimana pun dirinya kini berstatus sebagai satu-satunya istri. Menjalani hidup sebagai seorang istri yang awalnya tak diharapkan, tentu tidak mudah untuk dilakukan. Berbulan-bulan lamanya Jenna sering makan hati saat mendengar ocehan demi ocehan dari orang-ora
Dalam satu minggu ini, Jenna merasakan banyak perubahan dalam hubungannya bersama Reyhan dan Anala. Hal itu terjadi setelah Anala demam, dan insiden Jenna yang kehujanan lalu disusul oleh Reyhan. Sejak itu, interaksi mereka pun tidak lagi canggung. Reyhan bahkan sudah sering mengajaknya untuk shalat berjama'ah jika pria itu sudah pulang dari kantor, ataupun mengajak Jenna untuk sama-sama tidur di kamar Anala seperti waktu itu. Meskipun belum sampai ke tahap mereka satu ranjang yang sama tanpa Anala, tapi Jenna merasa semuanya sudah cukup. Tidak ada lagi beban pikiran bagi Jenna, untuk memikirkan bagaimana cara mengambil hati dua orang itu. "Bunda!" Lihat! Anala bahkan sudah mau memanggilnya dengan sebutan 'bunda', alih-alih dia memanggil 'tante' seperti biasanya. Saat Jenna mendengar puteri sambungnya itu memanggil, dia dengan segera menoleh dan menghampiri Anala. "Ada apa, Sayang?" Dengan penuh kelembutan, Jenna menjawab panggilan Anala. Senyum juga turut hadir di wajahnya yang c
"M-mas Reyhan?" Jenna mengerjapkan mata saat menangkap presensi suaminya itu di hadapannya. Dia berdiri dengan payung besar di tangannya, pun dengan sorot mata yang terlihat ... khawatir?Jenna tertegun sambil menatap Reyhan dengan mendongakkan kepala, bolehkah dia berharap—jika Reyhan memang sedang khawatir dan sekarang menjemputnya?"Kamu kenapa?" Selanjutnya, Reyhan membungkukkan badan, dan hal itu membuat Jenna buru-buru memalingkan wajah ke arah lain. Ketahuan menatap Reyhan dengan binar, tentu saja hal memalukan untuk Jenna, bukan?"Kakiku sepertinya keseleo, Mas. Tadi aku nggak sengaja injak batu itu," adu Jenna sambil menunjuk batu yang tadi dia injak. Reyhan mengikuti ke mana arah Jenna menunjuk, dia lantas bergegas mengambil batu tersebut dan melemparkannya ke arah yang tidak dilalui oleh orang."Kenapa kamu bisa ceroboh? Sekarang hujan-hujanan pula," gerutu Reyhan. Memang benar, Reyhan saat ini melihat Jenna seperti seorang anak kecil yang tidak tau arah jalan pulang. Ba
Langit telah menggelap sepenuhnya. Selain itu, tidak adanya sang bintang yang biasanya bertaburan—turut andil dalam membuat malam ini terasa lebih mencekam. Belum lagi suara petir yang mulai terdengar, menandakan jika air mata langit akan turun—membuat seorang gadis yang berjalan dengan membawa dompetnya itu, kini berlari kecil. Memilih untuk berjalan kaki lantaran jarak Supermarket dan rumahnya hanya 200 meter, tujuan utama gadis itu adalah membeli obat penurun panas untuk Anala. Karena stok di rumah hanya ada obat penurun panas berbentuk tablet, yang mana rasanya pun pahit—Anala tidak menginginkan untuk minum obat tersebut. Alhasil, gadis yang tak lain adalah Jenna tersebut harus mau tidak mau keluar untuk membeli obat.Sementara sang suami, sekaligus ayah dari Anala—belum pulang dari kantornya sampai saat ini. Padahal Jenna sudah memberitahu, jika Anala sedang demam di rumah. Mungkin, karena kesibukannya sebagai seorang pemimpin perusahaan—membuatnya tidak bisa berleha-leha seper
“Bisa Anda jelaskan, terkait dengan berita tersebut?” “Nona Senjakala, tolong beritahu kami! Apa benar, Nona menjadi istri kedua?”“Katanya, Anda telah merusak rumah tangga orang lain. Apa itu benar, Nona Senjakala?” Jenna mengangkat kedua tangan untuk menutupi dua telinganya rapat-rapat, saat ia mendapatkan pertanyaan bertubi dari para wartawan tersebut. Sungguh! Jenna sama sekali tidak bisa menjawab, lantaran panic attack yang berujung dengan kecemasannya menyerang—membuatnya kesulitan untuk membela diri. Sementara sosok pria yang berdiri di samping Jenna, tertegun sambil mencerna kalimat demi kalimat yang dipertanyakan oleh wartawan tersebut pada istrinya. Senjakala? Bukankah itu nama seorang penulis yang Reyhan sering baca karya novelnya? “Kenapa? Kamu mengenalnya?”“Sangat mengenalnya.” Reyhan ingat pembicaraannya dengan Jenna beberapa menit yang lalu. Perempuan itu bilang, jika dia sangat mengenali sosok Senjakala yang dimaksud. Apa mungkin, sosok Senjakala itu adalah Jenna
Ada beberapa hal dalam hidup, yang bisa membuat Jenna merasa bangga pada dirinya sendiri. Selain karena bisa mengontrol kecemasan yang datang dengan tiba-tiba, Jenna juga merasa bangga saat ada seseorang yang membaca karyanya dengan perasaan mendalam. Tak jarang, pembacanya selalu meneror Jenna via DM Instagram hanya untuk memaki-maki karakter yang buruk dalam karyanya. Atau memuji karakter yang berperan sebagai protagonis. Sebagai seorang penulis, tentu Jenna membutuhkan feedback dari pembacanya. Maka dari itu dia sangat senang dan bangga pada dirinya sendiri, saat ada pembacanya yang terbawa suasana dengan alur cerita yang dibuat.Sama seperti yang dilakukan oleh seorang pria di meja kerjanya itu. Jenna yang berdiri di ambang pintu cukup terpekur dengan pemandangan langka ini. Bagaimana bisa, suaminya sedang membaca salah satu karyanya yang berjudul 'Bukan Surga Impian'? Yang di mana isi dari cerita itu adalah tentang seorang istri kedua yang menikah karena sesuatu hal. Sebenarny
Sejak awal, Jenna tak seharusnya berharap lebih dengan pernikahannya bersama Reyhan. Pernikahan yang dari awalnya saja bersifat pemaksaan terhadap personal, meskipun pada prosesnya—Cahaya membeberkan sakitnya sebagai alasan utama, untuk membuat Jenna dan Reyhan menyetujui permintaannya. Maka sekali pun sekarang sudah tidak ada lagi sosok Cahaya, yang membuat Jenna seringkali merasa bersalah karena sudah memutuskan untuk menjadi madu wanita itu. Tapi sekarang Jenna justru dihadapkan dengan segala berita buruk yang beredar tentangnya. Entah bagaimana caranya publik tau, jika status Jenna sebelumnya adalah istri kedua. "Ada yang membebani pikiranmu?" Sebuah suara bariton tiba-tiba membuat Jenna tersentak kecil. Dia lupa, jika saat ini tengah makan malam bersama dengan Reyhan dan Anala."Ah, maaf. Aku sedikit melamun," ucap Jenna merasa tidak enak."Ada yang membebani pikiranmu?" Reyhan mengulangi pertanyaannya. Pasalnya, pria itu merasa Jenna tidak seperti yang ia lihat. Wajahnya terli
Selama satu bulan full, Jenna memilih mengosongkan jadwal untuknya menghadiri acara seminar ataupun talkshow yang berkaitan dengan literasi. Tapi pagi ini, dia akan kembali lagi dengan aktivitasnya sebagai seorang penulis dan pengisi materi kepenulisan. Satu bulan kemarin, Jenna manfaatkan waktu kekosongan tersebut untuk mengurus rumah tangga barunya. Sekaligus merapikan hati, setelah kepergian Cahaya yang sekarang menginjak bulan kedua. "Setelah ini, kamu dipanggil. Persiapkan diri, Na." Yang bersuara barusan, adalah rekan sesama penulis. Tapi seringkali bekerjasama dengan berbagai sekolah ataupun instansi yang ingin mengadakan acara seminar dan talkshow literasi. Ya sebut saja, dia salah satu bagian dari kepanitiaan acara seminar pagi ini. "Hari ini, kamu tidak jadi pemateri?" Jenna melempar tanya. Sementara, sosok yang menjadi lawan bicara Jenna itu malah membalasnya dengan seulas senyum dan gelengan kepala. "Kukira kamu juga isi," sambung Jenna. "Akhir-akhir ini aku sibuk ja
"Apa yang kulakukan kemarin? Aku memeluk dia?" Seorang pria berjalan mondar-mandir di kamar. Pikirannya melanglang pada saat siang kemarin, ketika dirinya mendadak peduli dengan Jenna—istri kedua yang sekarang beralih status menjadi satu-satunya istri. "Dia bisa kepedean! Dan yang paling parah adalah ... menaruh perasaan cinta padaku." Pria itu mengusap wajahnya kasar, sama sekali tidak bisa membiarkan jika semua itu terjadi. Meskipun saat ini dirinya menerima kehadiran Jenna sebagai istri, tapi untuk hal perasaan cinta—ia tidak bisa menjanjikan itu. Hidup selama hampir 7 tahun bersama dengan mendiang Cahaya saja, dirinya sulit untuk jatuh cinta pada wanita itu. Bagaimana mungkin, perasaannya akan berubah pada Jenna—yang dia kenal hitungan bulan? Pria yang tak lain adalah Reyhan itu tidak bermaksud untuk jahat, dengan melarang Jenna jatuh cinta padanya. Reyhan hanya takut, jika lagi-lagi dia menyakiti hati seorang perempuan. Sama seperti apa yang dia lakukan pada mendiang Cahaya.