Cakrawala di malam ini nampak tak begitu terang seperti hari malam biasanya. Rembulan yang kala ini berbentuk sabit pun bahkan kesepian—tanpa ada teman yang menemani. Benda-benda kecil yang biasa bertaburan di atas langit, kini tak nampak sama sekali. Keadaan malam yang suram, sama suramnya seperti keadaan hati seorang gadis dengan piyama teddy bear.
Entah sudah ke berapa kalinya gadis itu mendesah kasar, sedangkan jemarinya masih menyentuh keyboard laptop tanpa menari di sana. Biasanya, malam hari seperti ini—ia mendapatkan banyak inspirasi untuk bahan lanjutan kisah-kisah yang dia rangkai menjadi sebuah tulisan. Tapi karena malam ini, inspirasi tersebut entah menguap ke mana. Padahal, sudah banyak pesan cinta yang dia dapatkan dari penggemar setia yang menunggu kelanjutan kisah tersebut. “Mungkin aku terlalu kepikiran tentang Dokter Cahaya, sampai-sampai sekarang aku nggak fokus nulis begini.” Jenna, gadis yang kini memilih menutup laptopnya menerawang kembali, pada masa di mana Dokter Cahaya kembali memintanya menjadi madu wanita itu. Terlebih, Dokter Cahaya juga mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. “Tapi kenapa juga harus aku?” Jenna memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Setelah apa yang terjadi pada dirinya dan Dokter Cahaya, Jenna merasa beban pikirannya jadi bertambah. "Kalau kamu mau, kamu bisa minta petunjuk sama Allah dulu. Shalat istikharah dua rakaat sebelum tidur selama 3 kali, bisa kamu coba lakukan." Itu perkataan Dokter Cahaya saat Jenna kembali menolak permintaannya. Alih-alih berhenti meminta Jenna untuk menjadi madu, Dokter Cahaya memberikan solusi di balik kebimbangan Jenna dengan shalat istikharah. "Shalat istikharah? Rasanya aku sangsi. Aku sudah lama tidak pernah shalat sunnah seperti itu." Jenna sadar diri, jika dirinya saat ini sudah jauh dari rahmat Allah. Sebagai bentuk kemarahannya atas takdir yang tertulis, Jenna merubah dirinya yang dulu dipandang sholihah menjadi Jenna yang sekarang tak taat. "Apa Allah masih mau denger permintaan aku? Apa Allah masih mau ampuni kesalahan aku?" Bola mata Jenna kemudian berotasi, memandang pada langit kelabu yang siap menurunkan rinainya. Hati yang berselimutkan kemarahan atas takdir, kini mulai luluh dengan adanya sebuah permintaan konyol dari seseorang terdekat Jenna. Seolah langit pun menjawab pertanyaannya, tiba-tiba saja terdengar suara kilat petir yang membuat jantung Jenna berdegup kencang. Suaranya begitu memekakkan telinga, bagi siapa pun yang mendengar. Pun membuat takut, bagi siapa pun yang melihat kilat petir itu. Tapi Jenna, seolah mendapatkan hidayah setelah mendengar suara petir tersebut. Hatinya mulai dilingkupi perasaan tentram. "Allah, apa ini jalan-Mu? Jalan yang Engkau beri padaku agar aku kembali kepada-Mu?" Hati Jenna berdesir seketika, kala kilat petir terdengar lebih kencang lagi. Jenna bukannya takut, tapi ia merasa ada secercah cahaya yang masuk ke dalam hatinya dengan tiba-tiba saat ini. "Kalau ini memang jalan-Mu, tolong beri aku keyakinan lebih." Di balik resah dan bimbang yang melanda, Jenna menyerahkan semua keputusan pada Allah—Sang Ilahi Rabbi. Sementara di sisi lain, keadaan Cahaya malam ini turun drastis. Dia mendadak dilarikan ke ruangan ICU usai kehilangan kesadaran setelah dari toilet. Wanita itu benar-benar membuat sang suami terkejut, pasalnya kondisi Cahaya beberapa hari ini sudah cukup membaik. "Kondisi bu Cahaya sekarang makin tidak stabil, Pak Reyhan. Kita harus segera bertindak lagi. Apa bu Cahaya sudah bersedia untuk melakukan kemoterapi?" Seseorang yang berstatus sebagai seorang Dokter memberi penjelasan. Reyhan menyentuh dinding Rumah Sakit kala merasakan tubuhnya sedikit terhuyung. Penjelasan dari Dokter yang menangani Cahaya, membuat separuh jiwa Reyhan seolah terenggut paksa. "Lakukan saja yang terbaik, Dok. Dengan persetujuan Cahaya, ataupun tidak." Dokter tersebut lantas mengangguk, lalu berpamitan untuk kembali menangani Cahaya. Sedangkan Reyhan, kini terduduk di kursi tunggu dengan kepala tertunduk dalam. "Mas, aku merasa waktuku sudah tidak banyak lagi. Kalau waktuku sudah tiba, dan aku tidak sempat menyembuhkan Jenna—tolong bantu Jenna sembuh dari traumanya, Mas. Kumohon." Sekelebat ingatan sebelum Cahaya jatuh pingsan sehabis dari kamar mandi, membuat Reyhan memejamkan matanya sesaat. Sampai kapan pun dia tidak akan mau menikahi perempuan mana pun. Sekali pun Cahaya yang meminta. Apa lagi permintaan Cahaya untuk membantu menyembuhkan gadis itu. "Ya Allah, tolong beri kesembuhan untuk istriku. Aku sama sekali tidak ingin memenuhi permintaan konyol istriku yang ingin aku menikah lagi." Dalam heningnya, Reyhan merapal banyak doa untuk Cahaya. Termasuk juga, keinginan Cahaya yang tidak bisa dia penuhi. *** "Allahuakbar." "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Gemuruh di dada, dirasakan oleh seorang gadis yang baru saja menunaikan shalat sunnah istikharah. Tapi sebelum itu, dia lebih dulu menunaikan shalat sunnah taubat—yang membuat wajahnya kini nampak memerah. Satu jam sebelum ia menunaikan shalat sunnah istikharah, gadis yang memakai mukena berwarna putih bersih dengan bordir berbentuk bunga matahari itu memohon ampunan pada Sang Khalik. Keadaan kamarnya yang hening, dan malam hari yang dingin—semakin membuat suasana semakin terasa haru. Selama 8 tahun sudah, dia hilang arah dan menjauh dari rahmat Tuhan-Nya. Membuka aurat yang seharusnya dia tutupi dengan rapat, jarang memenuhi panggilan-Nya, bahkan tidak pernah lagi menyentuh Alquran—yang dulu setiap hari tidak pernah absen dia baca. Aira Jenna Izzaty, malam ini menyadari kesalahannya. Ia menangis dalam diam, meluapkan segala perasaan yang membelenggu sekaligus memohon ampunan atas kesalahannya. Jenna sadar, jika dia telah salah dengan menjauhi Tuhan-Nya hanya karena takdir yang tertulis. Tertulis sebagai seorang anak yang menyaksikan sang ibunda hancur karena sang ayah, membuat Jenna tidak bisa menerima. Terlebih, sang ibunda pergi meninggalkan dirinya setelah kejadian itu. "Astaghfirullah," lirih Jenna saat mengingat banyak sekali kesalahan yang dia perbuat. Bibirnya kelu, tenggorokannya tercekat saat ingin melontarkan doa yang dipinta selesai shalat istikharah. Jenna masih merasa jika dirinya tidak pantas untuk meminta, karena saking banyaknya dosa yang diperbuat. "Astaghfirullah," lirihnya lagi. Dan kali ini, diikuti dengan air mata yang turun deras. Air mata itu menjadi saksi, jika malam ini—seorang Aira Jenna Izzaty kembali seperti 8 tahun yang lalu. Menyebut asma Allah, duduk berhadapan dengan mushaf, pun merasakan kedamaian di dalam hatinya. Perihal taubat, dia sudah melakukannya dengan penuh penyesalan. Jenna hanya perlu menata kembali hati dan prilakunya kembali untuk berhijrah. Dia akan memulainya dengan perlahan. "Aku tidak ingin banyak bicara lagi, karena Engkau Maha Tau apa yang tengah kurasakan kini. Aku hanya minta petunjuk Dari-Mu, terkait permasalahan hidupku ini. Jika memang aku ditakdirkan untuk menjadi istri kedua, maka teguhkanlah hatiku. Yakinkan aku kalau itu adalah Jalan-Mu. Tapi jika menjadi istri kedua tersebut banyak mendatangkan mudharat, kumohon beri dokter Cahaya hidayah—untuk berhenti memintaku menjadi madunya."Tatapan nanar diberikan pada seorang gadis yang duduk dengan kepala tertunduk di hadapannya. Hati pria paruh baya yang menatapnya demikian, tertohok dengan sebuah kiriman foto dari seseorang yang tidak dikenalnya. Beberapa menit sebelumnya, pria paruh baya yang baru saja menyelesaikan tadarus Alquran itu terkejut saat ponselnya berbunyi. Dilihatnya, ada sebuah notifikasi masuk ke pesan Whatsapp miliknya. Saat itu, dahinya berkerut dalam kala ada nomor tak dikenal mengirimkan sebuah foto. Dan alangkah terkejutnya ia, ketika berhasil mendownload foto tersebut. Foto di mana puteri pertamanya tengah berada di sebuah bar bersama rekan-rekannya. Istighfar dengan segera dilakukan oleh pria paruh baya itu. Tak henti-hentinya dia menenangkan hati dengan kalimat thoyyibah itu, atas kesalahan sang puteri yang sudah membuatnya kecewa."Jawab Ayah, Jenna! Apa yang kamu lakukan ke tempat penuh maksiat itu?" Dengan dada kembang kempis, pria paruh baya yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan '
“Aku mau pulang aja, Mas!” Itu suara dari seorang wanita yang duduk di atas hospital bed. Ia menoleh, memandang pria yang duduk di hadapannya dengan pandangan memohon.“Aku bosan di sini, Mas. Aku terbiasa bekerja di rumah sakit ini, bukan menjadi seorang pasien.” Pria yang tidak lain adalah Reyhan—suaminya tersebut menghela nafas berat, lalu menyimpan piring yang tadi ada di genggaman. Sebenarnya saat ini, pria itu tengah menyuapi Cahaya—sang istri. Tapi Cahaya kini malah meminta pulang di saat kondisinya bahkan tidak bisa dikatakan stabil.“Kamu kan tau kondisi kamu sekarang bagaimana, Cahaya?” Reyhan berdiri, lantas membantu Cahaya untuk merebahkan tubuhnya di hospital bed. Namun saat akan melakukan itu, Cahaya mencekal tangannya. Wanita itu menggeleng, enggan merebahkan dirinya di sana.“Kamu belum pulih total. Kita akan pulang kalau kamu sudah pulih, aku janji.” Tatapan nanar kemudian diberikan Cahaya pada suaminya itu. Tidak bisakah pria itu mengerti, jika Cahaya merindukan ruma
Saat itu sang surya seolah sedang berada di atas kepala. Tentu saja, hal itu membuat siapa pun yang berada di luar ruangan—merasakan hawa panas yang menjalar ke tubuhnya. Tapi itu tidak berlaku bagi dua orang perempuan berbeda usia, yang tengah duduk saling berhadapan. Karena hawa sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner di dalam ruangan, membuat keduanya tidak berkeringat. "Ada satu hal yang mau aku bicarain sama kamu, Jenna." Yang berbicara saat ini adalah Cahaya Ghaliya Mahasin—seorang perempuan berhijab yang berstatus sebagai psikiater di RS Kenangan Indah. Perawakannya indah. Dengan tinggi semampai 168 cm, berkulit putih bersih, serta wajah perpaduan Indonesia-Pakistan yang membuatnya nampak begitu sempurna jika dipandang. "Jenna ...," panggil Cahaya dengan ragu pada sosok perempuan muda yang duduk di hadapannya. "Iya, Dok?" Perempuan muda di depannya menyahuti. Ada tatap penasaran dari kedua pasang mata monoloid perempuan itu. "Selama dua tahun ini ... ikatan yang terbang
Satu bulan yang lalu, hidup Jenna masih seperti biasa. Memang tidak sebahagia dulu, tapi Jenna masih bisa tertawa bersama teman-teman sesama penulisnya saat nonton drama komedi, ataupun menonton video tiktok yang menampilkan review makanan India dari kalangan sudra. Tapi hari ini, tawa itu seperti hilang dari Jenna. Ucapan dokter Cahaya yang memintanya untuk menjadi 'madu' wanita itu—terus terngiang-ngiang di pikiran Jenna. Padahal itu sudah berlalu 3 hari dari sekarang. Sudah 3 hari pula dirinya tidak bertemu dengan wanita yang ingin memintanya menjadi madu itu. "Aku nggak ngerti lagi sama arah pikiran dokter Cahaya," ucapnya sambil menahan kesal di dada. Tapi tangannya tak serta merta diam di atas paha, melainkan melemparkan baru kerikil ke arah danau yang membentang luas di depannya. "Bisa-bisanya dia memintaku menjadi madunya? Memang aku perempuan seperti apa? Aku sama sekali nggak mau dan bahkan benci status itu." Bayangan demi bayangan masa lalu yang membuatnya trauma, hingga
"Hei, kamu! Perempuan opacraphile yang berambut seperti jagung, tolong saya!" Mulut Jenna terbuka lebar ketika seorang lelaki yang tadi terdengar meringis itu, menyebut rambut coklat mahoninya ini seperti jagung. Memangnya dia siapa, berhak mengatai rambut favoritnya seperti rambut jagung? "Hei! Kenapa diam saja?!" Lagi, lelaki tak tahu malu itu berkata pada Jenna. Merasa kesal, Jenna memilih untuk membuang muka ke arah yang lain. Memasang wajah super jutek, meski kesan pertama lelaki itu padanya akan kurang baik—tapi tak apa. Jenna juga tidak berniat untuk kenal lebih jauh lagi dengan lelaki itu. "Mau minta tolong saja pakai acara ngatain rambut saya kayak jagung segala," cibir Jenna mengulang perkataan lelaki tadi. "Lho, kamu marah? Pada kenyataannya memang begitu kok. Rambut kamu itu mirip seperti rambut jagung," balasnya malah semakin meledek. Sial sekali Jenna sore ini. Niat hati ingin menenangkan hati dan pikirannya karena dokter Cahaya, malah harus terganggu dengan lelaki
Udara sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner (AC) di dalam kamar seorang gadis, semakin membuat si gadis yang terlelap dalam tidurnya itu bergulung dalam selimut tebal. Entah dia terlalu kecil mengatur suhu, hingga membuatnya kedinginan. Atau karena suhu badannya yang sekarang cukup hangat. Tapi satu hal yang pasti, gadis itu enggan turun dari kasur dan memilih untuk terus memejamkan matanya. Sampai sebuah suara ketukan pintu tak sabaran, yang diiringi dengan suara seseorang memanggilnya dengan intens-gadis itu baru menggeliat."Jenna! Bangun! Kamu harus shalat shubuh dulu." Seseorang, dari luar kamarnya—mengetuk pintu berulang kali. Hingga menyebabkan kedamaian tidur seorang gadis yang tak lain adalah Jenna itu, terganggu. "Jenna! Bangun! Tidak ada alasan lagi untuk hari ini tidak shalat shubuh," kata orang itu lagi. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.Mendengar teriakan menjengkelkan, pun suara ketukan pintu yang diketuk tidak sabaran—Jenna pun berdecak.
Cakrawala di siang itu begitu sangat memancar. Sang surya yang bersinar, seolah berada tepat di atas kepala. Tapi hawa panas yang dirasa oleh seorang gadis, bukan saja berasal dari sinar sang surya. Melainkan juga dari sebuah postingan akun Instagram milik adik satu darahnya—Kiara Arsyila, yang memperlihatkan tiga orang termasuk Kiara sendiri—seolah seperti keluarga bahagia tanpa kehadiran dirinya. Tiga orang itu nampak sedang makan bersama, ada senyum dan canda tawa yang diperlihatkan di foto itu. Jelas saja, foto itu pasti diambil setelah kepergiannya beberapa jam yang lalu. “Sial, dia pikir orang-orang bakal lebih simpati sama dia? Orang-orang nggak tau aja kalau dia itu anak dari pelakor." Gadis yang tidak lain adalah Jenna tersebut mengumpat. Udara yang saat ini terasa panas, lebih membakar lagi saat ia tak sengaja melihat postingan Kiara.“Tenang, tarik nafas.” Jenna memejamkan mata, ia sadar jika gejolak amarahnya bisa saja menimbulkan gangguan kecemasannya kambuh begitu saja.
"Meskipun orang yang meminta ini sedang sekarat sekali pun, Jenna?" Sepasang manik mata Jenna, bahkan tak berkedip saat kalimat itu terlontar dari bibir dokter Cahaya—psikiaternya. Gadis itu tertegun, terkejut bukan main dengan perkataan dokter Cahaya yang seolah mempermainkan takdir kehidupan. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Jenna justru terdiam sembari mencerna semuanya. Bagi Jenna, permintaan konyol itu bukan hanya mendadak. Tapi juga mengusik kembali luka lama yang telah dia usahakan untuk lupa.Seharusnya di sini, Dokter Cahaya tau hal itu, kan? Dia yang berperan sebagai seorang Psikiater untuk Jenna. Dia juga yang telah menyembuhkan luka hati tersebut. Lantas kenapa sekarang dia juga yang membuka kembali luka lama itu?Terlebih, alasan Dokter Cahaya yang membawa-bawa kalimat 'sekarat', membuat Jenna benar-benar tidak suka. Seseorang tidak boleh mempermainkan takdir semacam itu hanya untuk mencapai keinginannya."A-apa maksud, Dokter? Sekali pun Dokter inginkan hal itu,
“Aku mau pulang aja, Mas!” Itu suara dari seorang wanita yang duduk di atas hospital bed. Ia menoleh, memandang pria yang duduk di hadapannya dengan pandangan memohon.“Aku bosan di sini, Mas. Aku terbiasa bekerja di rumah sakit ini, bukan menjadi seorang pasien.” Pria yang tidak lain adalah Reyhan—suaminya tersebut menghela nafas berat, lalu menyimpan piring yang tadi ada di genggaman. Sebenarnya saat ini, pria itu tengah menyuapi Cahaya—sang istri. Tapi Cahaya kini malah meminta pulang di saat kondisinya bahkan tidak bisa dikatakan stabil.“Kamu kan tau kondisi kamu sekarang bagaimana, Cahaya?” Reyhan berdiri, lantas membantu Cahaya untuk merebahkan tubuhnya di hospital bed. Namun saat akan melakukan itu, Cahaya mencekal tangannya. Wanita itu menggeleng, enggan merebahkan dirinya di sana.“Kamu belum pulih total. Kita akan pulang kalau kamu sudah pulih, aku janji.” Tatapan nanar kemudian diberikan Cahaya pada suaminya itu. Tidak bisakah pria itu mengerti, jika Cahaya merindukan ruma
Tatapan nanar diberikan pada seorang gadis yang duduk dengan kepala tertunduk di hadapannya. Hati pria paruh baya yang menatapnya demikian, tertohok dengan sebuah kiriman foto dari seseorang yang tidak dikenalnya. Beberapa menit sebelumnya, pria paruh baya yang baru saja menyelesaikan tadarus Alquran itu terkejut saat ponselnya berbunyi. Dilihatnya, ada sebuah notifikasi masuk ke pesan Whatsapp miliknya. Saat itu, dahinya berkerut dalam kala ada nomor tak dikenal mengirimkan sebuah foto. Dan alangkah terkejutnya ia, ketika berhasil mendownload foto tersebut. Foto di mana puteri pertamanya tengah berada di sebuah bar bersama rekan-rekannya. Istighfar dengan segera dilakukan oleh pria paruh baya itu. Tak henti-hentinya dia menenangkan hati dengan kalimat thoyyibah itu, atas kesalahan sang puteri yang sudah membuatnya kecewa."Jawab Ayah, Jenna! Apa yang kamu lakukan ke tempat penuh maksiat itu?" Dengan dada kembang kempis, pria paruh baya yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan '
Cakrawala di malam ini nampak tak begitu terang seperti hari malam biasanya. Rembulan yang kala ini berbentuk sabit pun bahkan kesepian—tanpa ada teman yang menemani. Benda-benda kecil yang biasa bertaburan di atas langit, kini tak nampak sama sekali. Keadaan malam yang suram, sama suramnya seperti keadaan hati seorang gadis dengan piyama teddy bear. Entah sudah ke berapa kalinya gadis itu mendesah kasar, sedangkan jemarinya masih menyentuh keyboard laptop tanpa menari di sana. Biasanya, malam hari seperti ini—ia mendapatkan banyak inspirasi untuk bahan lanjutan kisah-kisah yang dia rangkai menjadi sebuah tulisan. Tapi karena malam ini, inspirasi tersebut entah menguap ke mana. Padahal, sudah banyak pesan cinta yang dia dapatkan dari penggemar setia yang menunggu kelanjutan kisah tersebut.“Mungkin aku terlalu kepikiran tentang Dokter Cahaya, sampai-sampai sekarang aku nggak fokus nulis begini.” Jenna, gadis yang kini memilih menutup laptopnya menerawang kembali, pada masa di mana Do
"Meskipun orang yang meminta ini sedang sekarat sekali pun, Jenna?" Sepasang manik mata Jenna, bahkan tak berkedip saat kalimat itu terlontar dari bibir dokter Cahaya—psikiaternya. Gadis itu tertegun, terkejut bukan main dengan perkataan dokter Cahaya yang seolah mempermainkan takdir kehidupan. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Jenna justru terdiam sembari mencerna semuanya. Bagi Jenna, permintaan konyol itu bukan hanya mendadak. Tapi juga mengusik kembali luka lama yang telah dia usahakan untuk lupa.Seharusnya di sini, Dokter Cahaya tau hal itu, kan? Dia yang berperan sebagai seorang Psikiater untuk Jenna. Dia juga yang telah menyembuhkan luka hati tersebut. Lantas kenapa sekarang dia juga yang membuka kembali luka lama itu?Terlebih, alasan Dokter Cahaya yang membawa-bawa kalimat 'sekarat', membuat Jenna benar-benar tidak suka. Seseorang tidak boleh mempermainkan takdir semacam itu hanya untuk mencapai keinginannya."A-apa maksud, Dokter? Sekali pun Dokter inginkan hal itu,
Cakrawala di siang itu begitu sangat memancar. Sang surya yang bersinar, seolah berada tepat di atas kepala. Tapi hawa panas yang dirasa oleh seorang gadis, bukan saja berasal dari sinar sang surya. Melainkan juga dari sebuah postingan akun Instagram milik adik satu darahnya—Kiara Arsyila, yang memperlihatkan tiga orang termasuk Kiara sendiri—seolah seperti keluarga bahagia tanpa kehadiran dirinya. Tiga orang itu nampak sedang makan bersama, ada senyum dan canda tawa yang diperlihatkan di foto itu. Jelas saja, foto itu pasti diambil setelah kepergiannya beberapa jam yang lalu. “Sial, dia pikir orang-orang bakal lebih simpati sama dia? Orang-orang nggak tau aja kalau dia itu anak dari pelakor." Gadis yang tidak lain adalah Jenna tersebut mengumpat. Udara yang saat ini terasa panas, lebih membakar lagi saat ia tak sengaja melihat postingan Kiara.“Tenang, tarik nafas.” Jenna memejamkan mata, ia sadar jika gejolak amarahnya bisa saja menimbulkan gangguan kecemasannya kambuh begitu saja.
Udara sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner (AC) di dalam kamar seorang gadis, semakin membuat si gadis yang terlelap dalam tidurnya itu bergulung dalam selimut tebal. Entah dia terlalu kecil mengatur suhu, hingga membuatnya kedinginan. Atau karena suhu badannya yang sekarang cukup hangat. Tapi satu hal yang pasti, gadis itu enggan turun dari kasur dan memilih untuk terus memejamkan matanya. Sampai sebuah suara ketukan pintu tak sabaran, yang diiringi dengan suara seseorang memanggilnya dengan intens-gadis itu baru menggeliat."Jenna! Bangun! Kamu harus shalat shubuh dulu." Seseorang, dari luar kamarnya—mengetuk pintu berulang kali. Hingga menyebabkan kedamaian tidur seorang gadis yang tak lain adalah Jenna itu, terganggu. "Jenna! Bangun! Tidak ada alasan lagi untuk hari ini tidak shalat shubuh," kata orang itu lagi. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.Mendengar teriakan menjengkelkan, pun suara ketukan pintu yang diketuk tidak sabaran—Jenna pun berdecak.
"Hei, kamu! Perempuan opacraphile yang berambut seperti jagung, tolong saya!" Mulut Jenna terbuka lebar ketika seorang lelaki yang tadi terdengar meringis itu, menyebut rambut coklat mahoninya ini seperti jagung. Memangnya dia siapa, berhak mengatai rambut favoritnya seperti rambut jagung? "Hei! Kenapa diam saja?!" Lagi, lelaki tak tahu malu itu berkata pada Jenna. Merasa kesal, Jenna memilih untuk membuang muka ke arah yang lain. Memasang wajah super jutek, meski kesan pertama lelaki itu padanya akan kurang baik—tapi tak apa. Jenna juga tidak berniat untuk kenal lebih jauh lagi dengan lelaki itu. "Mau minta tolong saja pakai acara ngatain rambut saya kayak jagung segala," cibir Jenna mengulang perkataan lelaki tadi. "Lho, kamu marah? Pada kenyataannya memang begitu kok. Rambut kamu itu mirip seperti rambut jagung," balasnya malah semakin meledek. Sial sekali Jenna sore ini. Niat hati ingin menenangkan hati dan pikirannya karena dokter Cahaya, malah harus terganggu dengan lelaki
Satu bulan yang lalu, hidup Jenna masih seperti biasa. Memang tidak sebahagia dulu, tapi Jenna masih bisa tertawa bersama teman-teman sesama penulisnya saat nonton drama komedi, ataupun menonton video tiktok yang menampilkan review makanan India dari kalangan sudra. Tapi hari ini, tawa itu seperti hilang dari Jenna. Ucapan dokter Cahaya yang memintanya untuk menjadi 'madu' wanita itu—terus terngiang-ngiang di pikiran Jenna. Padahal itu sudah berlalu 3 hari dari sekarang. Sudah 3 hari pula dirinya tidak bertemu dengan wanita yang ingin memintanya menjadi madu itu. "Aku nggak ngerti lagi sama arah pikiran dokter Cahaya," ucapnya sambil menahan kesal di dada. Tapi tangannya tak serta merta diam di atas paha, melainkan melemparkan baru kerikil ke arah danau yang membentang luas di depannya. "Bisa-bisanya dia memintaku menjadi madunya? Memang aku perempuan seperti apa? Aku sama sekali nggak mau dan bahkan benci status itu." Bayangan demi bayangan masa lalu yang membuatnya trauma, hingga
Saat itu sang surya seolah sedang berada di atas kepala. Tentu saja, hal itu membuat siapa pun yang berada di luar ruangan—merasakan hawa panas yang menjalar ke tubuhnya. Tapi itu tidak berlaku bagi dua orang perempuan berbeda usia, yang tengah duduk saling berhadapan. Karena hawa sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner di dalam ruangan, membuat keduanya tidak berkeringat. "Ada satu hal yang mau aku bicarain sama kamu, Jenna." Yang berbicara saat ini adalah Cahaya Ghaliya Mahasin—seorang perempuan berhijab yang berstatus sebagai psikiater di RS Kenangan Indah. Perawakannya indah. Dengan tinggi semampai 168 cm, berkulit putih bersih, serta wajah perpaduan Indonesia-Pakistan yang membuatnya nampak begitu sempurna jika dipandang. "Jenna ...," panggil Cahaya dengan ragu pada sosok perempuan muda yang duduk di hadapannya. "Iya, Dok?" Perempuan muda di depannya menyahuti. Ada tatap penasaran dari kedua pasang mata monoloid perempuan itu. "Selama dua tahun ini ... ikatan yang terbang