Home / Rumah Tangga / Bukan Surga Impian / 4 : Tawaran Kedua

Share

4 : Tawaran Kedua

Author: Authorfii
last update Last Updated: 2024-11-04 17:31:49

Cakrawala di siang itu begitu sangat memancar. Sang surya yang bersinar, seolah berada tepat di atas kepala. Tapi hawa panas yang dirasa oleh seorang gadis, bukan saja berasal dari sinar sang surya. Melainkan juga dari sebuah postingan akun I*******m milik adik satu darahnya—Kiara Arsyila, yang memperlihatkan tiga orang termasuk Kiara sendiri—seolah seperti keluarga bahagia tanpa kehadiran dirinya. Tiga orang itu nampak sedang makan bersama, ada senyum dan canda tawa yang diperlihatkan di foto itu. Jelas saja, foto itu pasti diambil setelah kepergiannya beberapa jam yang lalu.

“Sial, dia pikir orang-orang bakal lebih simpati sama dia? Orang-orang nggak tau aja kalau dia itu anak dari pelakor." Gadis yang tidak lain adalah Jenna tersebut mengumpat. Udara yang saat ini terasa panas, lebih membakar lagi saat ia tak sengaja melihat postingan Kiara.

“Tenang, tarik nafas.” Jenna memejamkan mata, ia sadar jika gejolak amarahnya bisa saja menimbulkan gangguan kecemasannya kambuh begitu saja. Apalagi memang Kiara dan ibunya adalah dua orang yang ikut andil dalam traumanya ini.

Jenna sedikit sengaja membuatnya terbatuk-batuk, karena sekarang kondisinya mulai tidak bersahabat. Pikiran Jenna melayang entah ke mana, banyak hal yang tiba-tiba dia pikirkan. Pacuan jantung di dalam sana pun, mulai tidak bisa dia kontrol. Semakin dibiarkan, malah semakin tak terkendali. Jenna tidak bisa menahan lagi, sesak di dadanya semakin menjadi.

Satu orang yang menjadi tujuan Jenna saat ini—dokter Cahaya. Hanya dia yang bisa menolong Jenna saat ini.

Dengan menahan sesak di dada, Jenna menekan nomor darurat di ponselnya. Ada beberapa detik sebelum panggilannya terjawab oleh dokter Cahaya.

“Halo, Jenna!” Jenna masih kesulitan bicara. Bayangan di mana dokter Cahaya memintanya untuk menjadi madu wanita itu tiba-tiba saja mengusik pikiran Jenna. Ingin egois karena dia tak ingin menyetujui permintaan wanita itu, tapi Jenna sangat membutuhkan pertolongan dokter Cahaya saat ini.

Sekarang persetan dengan permintaan itu. Jenna bisa seribu kali menolaknya jika dokter Cahaya kembali membicarakan hal itu. Lagipula, bisa saja dokter Cahaya mengatakan hal itu hanya sedang ada masalah dengan suaminya. Bukan benar-benar keinginan dari hati yang paling dalam.

“H-halo, Dok?” Tenggorokan Jenna tercekat, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dalam tenggorokannya. Ia kesulitan bicara ataupun bernafas melalui mulut.

Dokter Cahaya yang sepertinya tau dengan nada bicara Jenna, langsung melempar tanya. “Kamu kambuh kembali, Jenna?”

Jenna tidak menjawab melalui suara, tapi dia menganggukkan kepala meskipun dokter Cahaya tidak melihatnya.

“Kamu di mana sekarang? Tenang, kamu harus tenang! Jangan biarkan pikiran buruk meracuni kamu. Ayo, kamu gunakan teknik yang sudah kita pelajari waktu itu. Atur pernafasan kamu.” Dokter Cahaya menuntun Jenna untuk lebih rileks menghadapi kecemasannya yang kambuh.

“Sekarang kenapa? Kamu nggak akan kambuh kayak gini kalau tanpa sebab, kan?” Sesuai dugaan dokter Cahaya, Jenna memang sudah jarang kambuh jika tidak ada sebab.

“Bisa kamu tahan sebentar! Kamu kirim posisi kamu di mana via W******p sekarang." Pada akhirnya, Jenna menurut dengan mengirim lokasi pada dokter Cahaya.

Sementara di posisi dokter Cahaya saat ini, wanita itu tengah berada di ruang rawat. Semalam, dia mimisan parah dan dilarikan ke rumah sakit. Alhasil, siang ini Cahaya masih berada di rumah sakit dengan baju pasiennya.

Mendengar jika Jenna kesulitan mengontrol gejala kecemasannya, wanita itu sangat khawatir. Dia menduga pasti Jenna kambuh jika bukan karena kondisi di rumah, pasti karena melihat sesuatu yang seharusnya tidak gadis itu lihat.

Dengan sedikit terhuyung, Cahaya turun dari bangsal rumah sakit. Dia juga mencabut paksa selang infus yang ada di punggung tangannya. Sedikit perih dan mengeluarkan darah, tapi tidak apa-apa. Jenna membutuhkan pertolongannya.

“Kamu harus kuat, Cahaya!” Cahaya menyemangati dirinya sendiri kala merasakan kepalanya bak tertusuk ribuan jarum. Begitu sakit dan perih.

Tepat ketika tangan Cahaya menyentuh gagang pintu, sang suami datang dari luar dan terkejut dengan Cahaya yang hendak pergi.

“Sayang! Kamu mau ke mana?” Reyhan datang tepat waktu. Pria itu kembali menuntun Cahaya untuk berbaring di bangsal.

“Mas! Aku harus menemui Jenna, Mas! Dia butuh pertolonganku,” papar Cahaya.

“Jenna? Untuk apa kamu menemui gadis itu? Kamu lagi sakit, Cahaya!”

“Tapi Jenna juga sekarang butuh pertolonganku.” Cahaya melirih.

“Aku tau dia pasien kamu, tapi kamu saat ini lagi sakit. Biarkan saja dia, aku yakin dia pasti bisa menanganginya sendiri.” Reyhan tidak habis pikir dengan istrinya, yang begitu peduli pada keadaan Jenna. Sampai-sampai dia merelakan tubuhnya yang sakit parah untuk menemui gadis itu.

“Tapi, Mas?” Cahaya masih merengek. Jujur saja, Cahaya hanya takut jika Jenna tidak bisa mengontrol gejala itu hingga menyebabkannya hilang kesadaran.

“Biar aku yang cari dia, kamu di sini saja.”

***

Jenna berjalan dengan tertatih-tatih untuk sampai ke rumah sakit. Pasokan di dadanya kian menipis, seolah hampir habis dipakai berjalan dari parkiran menuju lobi rumah sakit.

“Suster! Bisa tolong panggilkan Dokter Cahaya?” Jenna menghentikkan salah seorang suster yang kebetulan lewat.

“Dokter Cahaya? Tapi dia sepertinya tidak masuk hari ini. Beliau sedang cuti,” jawab suster tersebut.

“Cuti? Ya sudah, terimakasih.”

Sepeninggal suster tadi, Jenna mengambil duduk di kursi tunggu. Dia sandarkan punggung pada kursi, lalu memejamkan matanya. Untuk beberapa saat, dia mencoba teknik pernafasan yang katanya berguna mengusir kecemasan.

Di saat fokus Jenna hampir berhasil, sebuah dering ponsel membuat konstrasi Jenna buyar seketika. Dilihatnya, itu adalah panggilan telepon dari dokter Cahaya. Maka dengan segera, Jenna pun mengangkat panggilan tersebut.

“Kamu di mana, Jenna? Aku mencarimu di lokasi yang kamu berikan, tapi tidak ada.” Dokter Cahaya langsung mencecarnya.

“Aku udah di lobi rumah sakit. Aku mau menemui Dokter, tapi katanya Dokter sedang cuti.”

“Aku di rumah sakit juga. Kamu tunggu di situ, biar aku ke sana.” Sambungan telepon tiba-tiba terputus. Jenna memandang layar ponselnya tersebut dengan nanar.

Ternyata benar saja, tidak ada 5 menit Jenna menunggu—dokter Cahaya datang dari arah barat. Tapi … dia memakai baju pasien? Sebenarnya apa yang terjadi?

“Jenna! Bagaimana? Apa gejalanya sekarang sudah mereda?” Dokter Cahaya langsung mengambil duduk di sebelah Jenna. Wanita itu bahkan tidak segan-segan mempraktikkan bagaimana caranya melakukan teknik pernafasan untuk mengusir cemas.

"Bagaimana sekarang? Sudah mereda?" tanya Cahaya yang diangguki oleh Jenna.

"Aneh. Kenapa ada Dokter, gejalanya berangsur-angsur berkurang?" Jenna menggeleng tak percaya.

"Mungkin itu karena alam bawah sadar kamu sudah mencatat, kalau aku adalah penolong kamu. Alhasil, cukup dengan kehadiranku saja—gejala itu berkurang. Ini sugesti yang kamu buat tanpa sadar, Jenna." Jenna mengangguk saja sebagai respon. Ya! Mungkin saja memang seperti itu pada kenyataannya.

"Dokter? Dokter nggak salah pakai baju pasien kayak gini? Apa yang terjadi?" Akibat tergesa-gesa dan khawatir dengan keadaan Jenna, Cahaya tidak sempat untuk mengganti baju. Alhasil sekarang, Jenna pasti bertanya tentang keadaannya.

"Kita bicara di ruanganku yuk! Ada hal penting lainnya yang harus kubicarakan pada kamu."

Dua perempuan berbeda usia itu, saling merangkul satu sama lain. Keduanya berjalan beriringan menuju ruangan dokter Cahaya. Memang, jika orang lain melihatnya. Mungkin akan mengira jika Cahaya dan Jenna adalah adik dan kakak, karena keduanya begitu akrab. Padahal, status mereka hanyalah seorang dokter dan pasiennya.

Setibanya di ruangan dokter Cahaya, Jenna menuntun Cahaya untuk duduk di kursi kebesarannya. Jenna merasa, sekarang Cahaya lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Terbukti dari lengannya yang tadi dia rangkul.

"Apa yang terjadi, Dok? Dokter nggak kenapa-napa, kan?" Ada sorot kekhawatiran dari manik mata Jenna.

"Kamu masih ingat dengan tawaranku beberapa hari yang lalu, Jenna?" Bukannya menjawab pertanyaan Jenna, dokter Cahaya malah membahas topik lain.

"Ya, aku ingat. Dokter memintaku menjadi madu Dokter, bukan? Tapi itu nggak mungkin! Aku tau Dokter mungkin lagi ada masalah sama suami, terus kepikiran kayak gitu. Dokter nggak boleh lagi ngomong kayak gitu ya!"

Cahaya tersenyum dengan respon Jenna. Wanita itu kembali meraih tangan Jenna yang berada di atas meja.

"Jenna, semua itu benar. Aku benar-benar memintamu untuk menjadi maduku, tapi itu semua bukan tanpa alasan. Dan ini tawaran kedua untuk kamu, maukah kamu menjadi maduku?" Mulut Jenna sedikit terbuka ketika Cahaya mengatakan hal itu. Dia benar-benar syok dengan perkataan Cahaya.

"Dok, itu nggak mungkin!" Jenna menggelengkan kepala.

"Meskipun orang yang meminta ini sedang sekarat sekali pun, Jenna?"

Related chapters

  • Bukan Surga Impian    5 : Permintaan Orang Sekarat

    "Meskipun orang yang meminta ini sedang sekarat sekali pun, Jenna?" Sepasang manik mata Jenna, bahkan tak berkedip saat kalimat itu terlontar dari bibir dokter Cahaya—psikiaternya. Gadis itu tertegun, terkejut bukan main dengan perkataan dokter Cahaya yang seolah mempermainkan takdir kehidupan. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Jenna justru terdiam sembari mencerna semuanya. Bagi Jenna, permintaan konyol itu bukan hanya mendadak. Tapi juga mengusik kembali luka lama yang telah dia usahakan untuk lupa.Seharusnya di sini, Dokter Cahaya tau hal itu, kan? Dia yang berperan sebagai seorang Psikiater untuk Jenna. Dia juga yang telah menyembuhkan luka hati tersebut. Lantas kenapa sekarang dia juga yang membuka kembali luka lama itu?Terlebih, alasan Dokter Cahaya yang membawa-bawa kalimat 'sekarat', membuat Jenna benar-benar tidak suka. Seseorang tidak boleh mempermainkan takdir semacam itu hanya untuk mencapai keinginannya."A-apa maksud, Dokter? Sekali pun Dokter inginkan hal itu,

    Last Updated : 2025-01-16
  • Bukan Surga Impian    6 : Taubatnya Sang Pendosa

    Cakrawala di malam ini nampak tak begitu terang seperti hari malam biasanya. Rembulan yang kala ini berbentuk sabit pun bahkan kesepian—tanpa ada teman yang menemani. Benda-benda kecil yang biasa bertaburan di atas langit, kini tak nampak sama sekali. Keadaan malam yang suram, sama suramnya seperti keadaan hati seorang gadis dengan piyama teddy bear. Entah sudah ke berapa kalinya gadis itu mendesah kasar, sedangkan jemarinya masih menyentuh keyboard laptop tanpa menari di sana. Biasanya, malam hari seperti ini—ia mendapatkan banyak inspirasi untuk bahan lanjutan kisah-kisah yang dia rangkai menjadi sebuah tulisan. Tapi karena malam ini, inspirasi tersebut entah menguap ke mana. Padahal, sudah banyak pesan cinta yang dia dapatkan dari penggemar setia yang menunggu kelanjutan kisah tersebut.“Mungkin aku terlalu kepikiran tentang Dokter Cahaya, sampai-sampai sekarang aku nggak fokus nulis begini.” Jenna, gadis yang kini memilih menutup laptopnya menerawang kembali, pada masa di mana Do

    Last Updated : 2025-01-19
  • Bukan Surga Impian    7 : Luka Seorang Anak

    Tatapan nanar diberikan pada seorang gadis yang duduk dengan kepala tertunduk di hadapannya. Hati pria paruh baya yang menatapnya demikian, tertohok dengan sebuah kiriman foto dari seseorang yang tidak dikenalnya. Beberapa menit sebelumnya, pria paruh baya yang baru saja menyelesaikan tadarus Alquran itu terkejut saat ponselnya berbunyi. Dilihatnya, ada sebuah notifikasi masuk ke pesan Whatsapp miliknya. Saat itu, dahinya berkerut dalam kala ada nomor tak dikenal mengirimkan sebuah foto. Dan alangkah terkejutnya ia, ketika berhasil mendownload foto tersebut. Foto di mana puteri pertamanya tengah berada di sebuah bar bersama rekan-rekannya. Istighfar dengan segera dilakukan oleh pria paruh baya itu. Tak henti-hentinya dia menenangkan hati dengan kalimat thoyyibah itu, atas kesalahan sang puteri yang sudah membuatnya kecewa."Jawab Ayah, Jenna! Apa yang kamu lakukan ke tempat penuh maksiat itu?" Dengan dada kembang kempis, pria paruh baya yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan '

    Last Updated : 2025-01-20
  • Bukan Surga Impian    8 : Dalam Dekapan Hujan

    “Aku mau pulang aja, Mas!” Itu suara dari seorang wanita yang duduk di atas hospital bed. Ia menoleh, memandang pria yang duduk di hadapannya dengan pandangan memohon.“Aku bosan di sini, Mas. Aku terbiasa bekerja di rumah sakit ini, bukan menjadi seorang pasien.” Pria yang tidak lain adalah Reyhan—suaminya tersebut menghela nafas berat, lalu menyimpan piring yang tadi ada di genggaman. Sebenarnya saat ini, pria itu tengah menyuapi Cahaya—sang istri. Tapi Cahaya kini malah meminta pulang di saat kondisinya bahkan tidak bisa dikatakan stabil.“Kamu kan tau kondisi kamu sekarang bagaimana, Cahaya?” Reyhan berdiri, lantas membantu Cahaya untuk merebahkan tubuhnya di hospital bed. Namun saat akan melakukan itu, Cahaya mencekal tangannya. Wanita itu menggeleng, enggan merebahkan dirinya di sana.“Kamu belum pulih total. Kita akan pulang kalau kamu sudah pulih, aku janji.” Tatapan nanar kemudian diberikan Cahaya pada suaminya itu. Tidak bisakah pria itu mengerti, jika Cahaya merindukan ruma

    Last Updated : 2025-01-23
  • Bukan Surga Impian    Prolog

    Saat itu sang surya seolah sedang berada di atas kepala. Tentu saja, hal itu membuat siapa pun yang berada di luar ruangan—merasakan hawa panas yang menjalar ke tubuhnya. Tapi itu tidak berlaku bagi dua orang perempuan berbeda usia, yang tengah duduk saling berhadapan. Karena hawa sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner di dalam ruangan, membuat keduanya tidak berkeringat. "Ada satu hal yang mau aku bicarain sama kamu, Jenna." Yang berbicara saat ini adalah Cahaya Ghaliya Mahasin—seorang perempuan berhijab yang berstatus sebagai psikiater di RS Kenangan Indah. Perawakannya indah. Dengan tinggi semampai 168 cm, berkulit putih bersih, serta wajah perpaduan Indonesia-Pakistan yang membuatnya nampak begitu sempurna jika dipandang. "Jenna ...," panggil Cahaya dengan ragu pada sosok perempuan muda yang duduk di hadapannya. "Iya, Dok?" Perempuan muda di depannya menyahuti. Ada tatap penasaran dari kedua pasang mata monoloid perempuan itu. "Selama dua tahun ini ... ikatan yang terbang

    Last Updated : 2024-11-04
  • Bukan Surga Impian    1 : Perempuan Opacraphile

    Satu bulan yang lalu, hidup Jenna masih seperti biasa. Memang tidak sebahagia dulu, tapi Jenna masih bisa tertawa bersama teman-teman sesama penulisnya saat nonton drama komedi, ataupun menonton video tiktok yang menampilkan review makanan India dari kalangan sudra. Tapi hari ini, tawa itu seperti hilang dari Jenna. Ucapan dokter Cahaya yang memintanya untuk menjadi 'madu' wanita itu—terus terngiang-ngiang di pikiran Jenna. Padahal itu sudah berlalu 3 hari dari sekarang. Sudah 3 hari pula dirinya tidak bertemu dengan wanita yang ingin memintanya menjadi madu itu. "Aku nggak ngerti lagi sama arah pikiran dokter Cahaya," ucapnya sambil menahan kesal di dada. Tapi tangannya tak serta merta diam di atas paha, melainkan melemparkan baru kerikil ke arah danau yang membentang luas di depannya. "Bisa-bisanya dia memintaku menjadi madunya? Memang aku perempuan seperti apa? Aku sama sekali nggak mau dan bahkan benci status itu." Bayangan demi bayangan masa lalu yang membuatnya trauma, hingga

    Last Updated : 2024-11-04
  • Bukan Surga Impian    2 : Cahaya dan Hidupnya

    "Hei, kamu! Perempuan opacraphile yang berambut seperti jagung, tolong saya!" Mulut Jenna terbuka lebar ketika seorang lelaki yang tadi terdengar meringis itu, menyebut rambut coklat mahoninya ini seperti jagung. Memangnya dia siapa, berhak mengatai rambut favoritnya seperti rambut jagung? "Hei! Kenapa diam saja?!" Lagi, lelaki tak tahu malu itu berkata pada Jenna. Merasa kesal, Jenna memilih untuk membuang muka ke arah yang lain. Memasang wajah super jutek, meski kesan pertama lelaki itu padanya akan kurang baik—tapi tak apa. Jenna juga tidak berniat untuk kenal lebih jauh lagi dengan lelaki itu. "Mau minta tolong saja pakai acara ngatain rambut saya kayak jagung segala," cibir Jenna mengulang perkataan lelaki tadi. "Lho, kamu marah? Pada kenyataannya memang begitu kok. Rambut kamu itu mirip seperti rambut jagung," balasnya malah semakin meledek. Sial sekali Jenna sore ini. Niat hati ingin menenangkan hati dan pikirannya karena dokter Cahaya, malah harus terganggu dengan lelaki

    Last Updated : 2024-11-04
  • Bukan Surga Impian    3 : Dua Perempuan Munafik

    Udara sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner (AC) di dalam kamar seorang gadis, semakin membuat si gadis yang terlelap dalam tidurnya itu bergulung dalam selimut tebal. Entah dia terlalu kecil mengatur suhu, hingga membuatnya kedinginan. Atau karena suhu badannya yang sekarang cukup hangat. Tapi satu hal yang pasti, gadis itu enggan turun dari kasur dan memilih untuk terus memejamkan matanya. Sampai sebuah suara ketukan pintu tak sabaran, yang diiringi dengan suara seseorang memanggilnya dengan intens-gadis itu baru menggeliat."Jenna! Bangun! Kamu harus shalat shubuh dulu." Seseorang, dari luar kamarnya—mengetuk pintu berulang kali. Hingga menyebabkan kedamaian tidur seorang gadis yang tak lain adalah Jenna itu, terganggu. "Jenna! Bangun! Tidak ada alasan lagi untuk hari ini tidak shalat shubuh," kata orang itu lagi. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.Mendengar teriakan menjengkelkan, pun suara ketukan pintu yang diketuk tidak sabaran—Jenna pun berdecak.

    Last Updated : 2024-11-04

Latest chapter

  • Bukan Surga Impian    8 : Dalam Dekapan Hujan

    “Aku mau pulang aja, Mas!” Itu suara dari seorang wanita yang duduk di atas hospital bed. Ia menoleh, memandang pria yang duduk di hadapannya dengan pandangan memohon.“Aku bosan di sini, Mas. Aku terbiasa bekerja di rumah sakit ini, bukan menjadi seorang pasien.” Pria yang tidak lain adalah Reyhan—suaminya tersebut menghela nafas berat, lalu menyimpan piring yang tadi ada di genggaman. Sebenarnya saat ini, pria itu tengah menyuapi Cahaya—sang istri. Tapi Cahaya kini malah meminta pulang di saat kondisinya bahkan tidak bisa dikatakan stabil.“Kamu kan tau kondisi kamu sekarang bagaimana, Cahaya?” Reyhan berdiri, lantas membantu Cahaya untuk merebahkan tubuhnya di hospital bed. Namun saat akan melakukan itu, Cahaya mencekal tangannya. Wanita itu menggeleng, enggan merebahkan dirinya di sana.“Kamu belum pulih total. Kita akan pulang kalau kamu sudah pulih, aku janji.” Tatapan nanar kemudian diberikan Cahaya pada suaminya itu. Tidak bisakah pria itu mengerti, jika Cahaya merindukan ruma

  • Bukan Surga Impian    7 : Luka Seorang Anak

    Tatapan nanar diberikan pada seorang gadis yang duduk dengan kepala tertunduk di hadapannya. Hati pria paruh baya yang menatapnya demikian, tertohok dengan sebuah kiriman foto dari seseorang yang tidak dikenalnya. Beberapa menit sebelumnya, pria paruh baya yang baru saja menyelesaikan tadarus Alquran itu terkejut saat ponselnya berbunyi. Dilihatnya, ada sebuah notifikasi masuk ke pesan Whatsapp miliknya. Saat itu, dahinya berkerut dalam kala ada nomor tak dikenal mengirimkan sebuah foto. Dan alangkah terkejutnya ia, ketika berhasil mendownload foto tersebut. Foto di mana puteri pertamanya tengah berada di sebuah bar bersama rekan-rekannya. Istighfar dengan segera dilakukan oleh pria paruh baya itu. Tak henti-hentinya dia menenangkan hati dengan kalimat thoyyibah itu, atas kesalahan sang puteri yang sudah membuatnya kecewa."Jawab Ayah, Jenna! Apa yang kamu lakukan ke tempat penuh maksiat itu?" Dengan dada kembang kempis, pria paruh baya yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan '

  • Bukan Surga Impian    6 : Taubatnya Sang Pendosa

    Cakrawala di malam ini nampak tak begitu terang seperti hari malam biasanya. Rembulan yang kala ini berbentuk sabit pun bahkan kesepian—tanpa ada teman yang menemani. Benda-benda kecil yang biasa bertaburan di atas langit, kini tak nampak sama sekali. Keadaan malam yang suram, sama suramnya seperti keadaan hati seorang gadis dengan piyama teddy bear. Entah sudah ke berapa kalinya gadis itu mendesah kasar, sedangkan jemarinya masih menyentuh keyboard laptop tanpa menari di sana. Biasanya, malam hari seperti ini—ia mendapatkan banyak inspirasi untuk bahan lanjutan kisah-kisah yang dia rangkai menjadi sebuah tulisan. Tapi karena malam ini, inspirasi tersebut entah menguap ke mana. Padahal, sudah banyak pesan cinta yang dia dapatkan dari penggemar setia yang menunggu kelanjutan kisah tersebut.“Mungkin aku terlalu kepikiran tentang Dokter Cahaya, sampai-sampai sekarang aku nggak fokus nulis begini.” Jenna, gadis yang kini memilih menutup laptopnya menerawang kembali, pada masa di mana Do

  • Bukan Surga Impian    5 : Permintaan Orang Sekarat

    "Meskipun orang yang meminta ini sedang sekarat sekali pun, Jenna?" Sepasang manik mata Jenna, bahkan tak berkedip saat kalimat itu terlontar dari bibir dokter Cahaya—psikiaternya. Gadis itu tertegun, terkejut bukan main dengan perkataan dokter Cahaya yang seolah mempermainkan takdir kehidupan. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Jenna justru terdiam sembari mencerna semuanya. Bagi Jenna, permintaan konyol itu bukan hanya mendadak. Tapi juga mengusik kembali luka lama yang telah dia usahakan untuk lupa.Seharusnya di sini, Dokter Cahaya tau hal itu, kan? Dia yang berperan sebagai seorang Psikiater untuk Jenna. Dia juga yang telah menyembuhkan luka hati tersebut. Lantas kenapa sekarang dia juga yang membuka kembali luka lama itu?Terlebih, alasan Dokter Cahaya yang membawa-bawa kalimat 'sekarat', membuat Jenna benar-benar tidak suka. Seseorang tidak boleh mempermainkan takdir semacam itu hanya untuk mencapai keinginannya."A-apa maksud, Dokter? Sekali pun Dokter inginkan hal itu,

  • Bukan Surga Impian    4 : Tawaran Kedua

    Cakrawala di siang itu begitu sangat memancar. Sang surya yang bersinar, seolah berada tepat di atas kepala. Tapi hawa panas yang dirasa oleh seorang gadis, bukan saja berasal dari sinar sang surya. Melainkan juga dari sebuah postingan akun Instagram milik adik satu darahnya—Kiara Arsyila, yang memperlihatkan tiga orang termasuk Kiara sendiri—seolah seperti keluarga bahagia tanpa kehadiran dirinya. Tiga orang itu nampak sedang makan bersama, ada senyum dan canda tawa yang diperlihatkan di foto itu. Jelas saja, foto itu pasti diambil setelah kepergiannya beberapa jam yang lalu. “Sial, dia pikir orang-orang bakal lebih simpati sama dia? Orang-orang nggak tau aja kalau dia itu anak dari pelakor." Gadis yang tidak lain adalah Jenna tersebut mengumpat. Udara yang saat ini terasa panas, lebih membakar lagi saat ia tak sengaja melihat postingan Kiara.“Tenang, tarik nafas.” Jenna memejamkan mata, ia sadar jika gejolak amarahnya bisa saja menimbulkan gangguan kecemasannya kambuh begitu saja.

  • Bukan Surga Impian    3 : Dua Perempuan Munafik

    Udara sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner (AC) di dalam kamar seorang gadis, semakin membuat si gadis yang terlelap dalam tidurnya itu bergulung dalam selimut tebal. Entah dia terlalu kecil mengatur suhu, hingga membuatnya kedinginan. Atau karena suhu badannya yang sekarang cukup hangat. Tapi satu hal yang pasti, gadis itu enggan turun dari kasur dan memilih untuk terus memejamkan matanya. Sampai sebuah suara ketukan pintu tak sabaran, yang diiringi dengan suara seseorang memanggilnya dengan intens-gadis itu baru menggeliat."Jenna! Bangun! Kamu harus shalat shubuh dulu." Seseorang, dari luar kamarnya—mengetuk pintu berulang kali. Hingga menyebabkan kedamaian tidur seorang gadis yang tak lain adalah Jenna itu, terganggu. "Jenna! Bangun! Tidak ada alasan lagi untuk hari ini tidak shalat shubuh," kata orang itu lagi. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.Mendengar teriakan menjengkelkan, pun suara ketukan pintu yang diketuk tidak sabaran—Jenna pun berdecak.

  • Bukan Surga Impian    2 : Cahaya dan Hidupnya

    "Hei, kamu! Perempuan opacraphile yang berambut seperti jagung, tolong saya!" Mulut Jenna terbuka lebar ketika seorang lelaki yang tadi terdengar meringis itu, menyebut rambut coklat mahoninya ini seperti jagung. Memangnya dia siapa, berhak mengatai rambut favoritnya seperti rambut jagung? "Hei! Kenapa diam saja?!" Lagi, lelaki tak tahu malu itu berkata pada Jenna. Merasa kesal, Jenna memilih untuk membuang muka ke arah yang lain. Memasang wajah super jutek, meski kesan pertama lelaki itu padanya akan kurang baik—tapi tak apa. Jenna juga tidak berniat untuk kenal lebih jauh lagi dengan lelaki itu. "Mau minta tolong saja pakai acara ngatain rambut saya kayak jagung segala," cibir Jenna mengulang perkataan lelaki tadi. "Lho, kamu marah? Pada kenyataannya memang begitu kok. Rambut kamu itu mirip seperti rambut jagung," balasnya malah semakin meledek. Sial sekali Jenna sore ini. Niat hati ingin menenangkan hati dan pikirannya karena dokter Cahaya, malah harus terganggu dengan lelaki

  • Bukan Surga Impian    1 : Perempuan Opacraphile

    Satu bulan yang lalu, hidup Jenna masih seperti biasa. Memang tidak sebahagia dulu, tapi Jenna masih bisa tertawa bersama teman-teman sesama penulisnya saat nonton drama komedi, ataupun menonton video tiktok yang menampilkan review makanan India dari kalangan sudra. Tapi hari ini, tawa itu seperti hilang dari Jenna. Ucapan dokter Cahaya yang memintanya untuk menjadi 'madu' wanita itu—terus terngiang-ngiang di pikiran Jenna. Padahal itu sudah berlalu 3 hari dari sekarang. Sudah 3 hari pula dirinya tidak bertemu dengan wanita yang ingin memintanya menjadi madu itu. "Aku nggak ngerti lagi sama arah pikiran dokter Cahaya," ucapnya sambil menahan kesal di dada. Tapi tangannya tak serta merta diam di atas paha, melainkan melemparkan baru kerikil ke arah danau yang membentang luas di depannya. "Bisa-bisanya dia memintaku menjadi madunya? Memang aku perempuan seperti apa? Aku sama sekali nggak mau dan bahkan benci status itu." Bayangan demi bayangan masa lalu yang membuatnya trauma, hingga

  • Bukan Surga Impian    Prolog

    Saat itu sang surya seolah sedang berada di atas kepala. Tentu saja, hal itu membuat siapa pun yang berada di luar ruangan—merasakan hawa panas yang menjalar ke tubuhnya. Tapi itu tidak berlaku bagi dua orang perempuan berbeda usia, yang tengah duduk saling berhadapan. Karena hawa sejuk yang dihasilkan oleh air conditioner di dalam ruangan, membuat keduanya tidak berkeringat. "Ada satu hal yang mau aku bicarain sama kamu, Jenna." Yang berbicara saat ini adalah Cahaya Ghaliya Mahasin—seorang perempuan berhijab yang berstatus sebagai psikiater di RS Kenangan Indah. Perawakannya indah. Dengan tinggi semampai 168 cm, berkulit putih bersih, serta wajah perpaduan Indonesia-Pakistan yang membuatnya nampak begitu sempurna jika dipandang. "Jenna ...," panggil Cahaya dengan ragu pada sosok perempuan muda yang duduk di hadapannya. "Iya, Dok?" Perempuan muda di depannya menyahuti. Ada tatap penasaran dari kedua pasang mata monoloid perempuan itu. "Selama dua tahun ini ... ikatan yang terbang

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status