Cakrawala di siang itu begitu sangat memancar. Sang surya yang bersinar, seolah berada tepat di atas kepala. Tapi hawa panas yang dirasa oleh seorang gadis, bukan saja berasal dari sinar sang surya. Melainkan juga dari sebuah postingan akun I*******m milik adik satu darahnya—Kiara Arsyila, yang memperlihatkan tiga orang termasuk Kiara sendiri—seolah seperti keluarga bahagia tanpa kehadiran dirinya. Tiga orang itu nampak sedang makan bersama, ada senyum dan canda tawa yang diperlihatkan di foto itu. Jelas saja, foto itu pasti diambil setelah kepergiannya beberapa jam yang lalu.
“Sial, dia pikir orang-orang bakal lebih simpati sama dia? Orang-orang nggak tau aja kalau dia itu anak dari pelakor." Gadis yang tidak lain adalah Jenna tersebut mengumpat. Udara yang saat ini terasa panas, lebih membakar lagi saat ia tak sengaja melihat postingan Kiara. “Tenang, tarik nafas.” Jenna memejamkan mata, ia sadar jika gejolak amarahnya bisa saja menimbulkan gangguan kecemasannya kambuh begitu saja. Apalagi memang Kiara dan ibunya adalah dua orang yang ikut andil dalam traumanya ini. Jenna sedikit sengaja membuatnya terbatuk-batuk, karena sekarang kondisinya mulai tidak bersahabat. Pikiran Jenna melayang entah ke mana, banyak hal yang tiba-tiba dia pikirkan. Pacuan jantung di dalam sana pun, mulai tidak bisa dia kontrol. Semakin dibiarkan, malah semakin tak terkendali. Jenna tidak bisa menahan lagi, sesak di dadanya semakin menjadi. Satu orang yang menjadi tujuan Jenna saat ini—dokter Cahaya. Hanya dia yang bisa menolong Jenna saat ini. Dengan menahan sesak di dada, Jenna menekan nomor darurat di ponselnya. Ada beberapa detik sebelum panggilannya terjawab oleh dokter Cahaya. “Halo, Jenna!” Jenna masih kesulitan bicara. Bayangan di mana dokter Cahaya memintanya untuk menjadi madu wanita itu tiba-tiba saja mengusik pikiran Jenna. Ingin egois karena dia tak ingin menyetujui permintaan wanita itu, tapi Jenna sangat membutuhkan pertolongan dokter Cahaya saat ini. Sekarang persetan dengan permintaan itu. Jenna bisa seribu kali menolaknya jika dokter Cahaya kembali membicarakan hal itu. Lagipula, bisa saja dokter Cahaya mengatakan hal itu hanya sedang ada masalah dengan suaminya. Bukan benar-benar keinginan dari hati yang paling dalam. “H-halo, Dok?” Tenggorokan Jenna tercekat, rasanya ada sesuatu yang mengganjal di dalam tenggorokannya. Ia kesulitan bicara ataupun bernafas melalui mulut. Dokter Cahaya yang sepertinya tau dengan nada bicara Jenna, langsung melempar tanya. “Kamu kambuh kembali, Jenna?” Jenna tidak menjawab melalui suara, tapi dia menganggukkan kepala meskipun dokter Cahaya tidak melihatnya. “Kamu di mana sekarang? Tenang, kamu harus tenang! Jangan biarkan pikiran buruk meracuni kamu. Ayo, kamu gunakan teknik yang sudah kita pelajari waktu itu. Atur pernafasan kamu.” Dokter Cahaya menuntun Jenna untuk lebih rileks menghadapi kecemasannya yang kambuh. “Sekarang kenapa? Kamu nggak akan kambuh kayak gini kalau tanpa sebab, kan?” Sesuai dugaan dokter Cahaya, Jenna memang sudah jarang kambuh jika tidak ada sebab. “Bisa kamu tahan sebentar! Kamu kirim posisi kamu di mana via W******p sekarang." Pada akhirnya, Jenna menurut dengan mengirim lokasi pada dokter Cahaya. Sementara di posisi dokter Cahaya saat ini, wanita itu tengah berada di ruang rawat. Semalam, dia mimisan parah dan dilarikan ke rumah sakit. Alhasil, siang ini Cahaya masih berada di rumah sakit dengan baju pasiennya. Mendengar jika Jenna kesulitan mengontrol gejala kecemasannya, wanita itu sangat khawatir. Dia menduga pasti Jenna kambuh jika bukan karena kondisi di rumah, pasti karena melihat sesuatu yang seharusnya tidak gadis itu lihat. Dengan sedikit terhuyung, Cahaya turun dari bangsal rumah sakit. Dia juga mencabut paksa selang infus yang ada di punggung tangannya. Sedikit perih dan mengeluarkan darah, tapi tidak apa-apa. Jenna membutuhkan pertolongannya. “Kamu harus kuat, Cahaya!” Cahaya menyemangati dirinya sendiri kala merasakan kepalanya bak tertusuk ribuan jarum. Begitu sakit dan perih. Tepat ketika tangan Cahaya menyentuh gagang pintu, sang suami datang dari luar dan terkejut dengan Cahaya yang hendak pergi. “Sayang! Kamu mau ke mana?” Reyhan datang tepat waktu. Pria itu kembali menuntun Cahaya untuk berbaring di bangsal. “Mas! Aku harus menemui Jenna, Mas! Dia butuh pertolonganku,” papar Cahaya. “Jenna? Untuk apa kamu menemui gadis itu? Kamu lagi sakit, Cahaya!” “Tapi Jenna juga sekarang butuh pertolonganku.” Cahaya melirih. “Aku tau dia pasien kamu, tapi kamu saat ini lagi sakit. Biarkan saja dia, aku yakin dia pasti bisa menanganginya sendiri.” Reyhan tidak habis pikir dengan istrinya, yang begitu peduli pada keadaan Jenna. Sampai-sampai dia merelakan tubuhnya yang sakit parah untuk menemui gadis itu. “Tapi, Mas?” Cahaya masih merengek. Jujur saja, Cahaya hanya takut jika Jenna tidak bisa mengontrol gejala itu hingga menyebabkannya hilang kesadaran. “Biar aku yang cari dia, kamu di sini saja.” *** Jenna berjalan dengan tertatih-tatih untuk sampai ke rumah sakit. Pasokan di dadanya kian menipis, seolah hampir habis dipakai berjalan dari parkiran menuju lobi rumah sakit. “Suster! Bisa tolong panggilkan Dokter Cahaya?” Jenna menghentikkan salah seorang suster yang kebetulan lewat. “Dokter Cahaya? Tapi dia sepertinya tidak masuk hari ini. Beliau sedang cuti,” jawab suster tersebut. “Cuti? Ya sudah, terimakasih.” Sepeninggal suster tadi, Jenna mengambil duduk di kursi tunggu. Dia sandarkan punggung pada kursi, lalu memejamkan matanya. Untuk beberapa saat, dia mencoba teknik pernafasan yang katanya berguna mengusir kecemasan. Di saat fokus Jenna hampir berhasil, sebuah dering ponsel membuat konstrasi Jenna buyar seketika. Dilihatnya, itu adalah panggilan telepon dari dokter Cahaya. Maka dengan segera, Jenna pun mengangkat panggilan tersebut. “Kamu di mana, Jenna? Aku mencarimu di lokasi yang kamu berikan, tapi tidak ada.” Dokter Cahaya langsung mencecarnya. “Aku udah di lobi rumah sakit. Aku mau menemui Dokter, tapi katanya Dokter sedang cuti.” “Aku di rumah sakit juga. Kamu tunggu di situ, biar aku ke sana.” Sambungan telepon tiba-tiba terputus. Jenna memandang layar ponselnya tersebut dengan nanar. Ternyata benar saja, tidak ada 5 menit Jenna menunggu—dokter Cahaya datang dari arah barat. Tapi … dia memakai baju pasien? Sebenarnya apa yang terjadi? “Jenna! Bagaimana? Apa gejalanya sekarang sudah mereda?” Dokter Cahaya langsung mengambil duduk di sebelah Jenna. Wanita itu bahkan tidak segan-segan mempraktikkan bagaimana caranya melakukan teknik pernafasan untuk mengusir cemas. "Bagaimana sekarang? Sudah mereda?" tanya Cahaya yang diangguki oleh Jenna. "Aneh. Kenapa ada Dokter, gejalanya berangsur-angsur berkurang?" Jenna menggeleng tak percaya. "Mungkin itu karena alam bawah sadar kamu sudah mencatat, kalau aku adalah penolong kamu. Alhasil, cukup dengan kehadiranku saja—gejala itu berkurang. Ini sugesti yang kamu buat tanpa sadar, Jenna." Jenna mengangguk saja sebagai respon. Ya! Mungkin saja memang seperti itu pada kenyataannya. "Dokter? Dokter nggak salah pakai baju pasien kayak gini? Apa yang terjadi?" Akibat tergesa-gesa dan khawatir dengan keadaan Jenna, Cahaya tidak sempat untuk mengganti baju. Alhasil sekarang, Jenna pasti bertanya tentang keadaannya. "Kita bicara di ruanganku yuk! Ada hal penting lainnya yang harus kubicarakan pada kamu." Dua perempuan berbeda usia itu, saling merangkul satu sama lain. Keduanya berjalan beriringan menuju ruangan dokter Cahaya. Memang, jika orang lain melihatnya. Mungkin akan mengira jika Cahaya dan Jenna adalah adik dan kakak, karena keduanya begitu akrab. Padahal, status mereka hanyalah seorang dokter dan pasiennya. Setibanya di ruangan dokter Cahaya, Jenna menuntun Cahaya untuk duduk di kursi kebesarannya. Jenna merasa, sekarang Cahaya lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Terbukti dari lengannya yang tadi dia rangkul. "Apa yang terjadi, Dok? Dokter nggak kenapa-napa, kan?" Ada sorot kekhawatiran dari manik mata Jenna. "Kamu masih ingat dengan tawaranku beberapa hari yang lalu, Jenna?" Bukannya menjawab pertanyaan Jenna, dokter Cahaya malah membahas topik lain. "Ya, aku ingat. Dokter memintaku menjadi madu Dokter, bukan? Tapi itu nggak mungkin! Aku tau Dokter mungkin lagi ada masalah sama suami, terus kepikiran kayak gitu. Dokter nggak boleh lagi ngomong kayak gitu ya!" Cahaya tersenyum dengan respon Jenna. Wanita itu kembali meraih tangan Jenna yang berada di atas meja. "Jenna, semua itu benar. Aku benar-benar memintamu untuk menjadi maduku, tapi itu semua bukan tanpa alasan. Dan ini tawaran kedua untuk kamu, maukah kamu menjadi maduku?" Mulut Jenna sedikit terbuka ketika Cahaya mengatakan hal itu. Dia benar-benar syok dengan perkataan Cahaya. "Dok, itu nggak mungkin!" Jenna menggelengkan kepala. "Meskipun orang yang meminta ini sedang sekarat sekali pun, Jenna?""Meskipun orang yang meminta ini sedang sekarat sekali pun, Jenna?" Sepasang manik mata Jenna, bahkan tak berkedip saat kalimat itu terlontar dari bibir dokter Cahaya—psikiaternya. Gadis itu tertegun, terkejut bukan main dengan perkataan dokter Cahaya yang seolah mempermainkan takdir kehidupan. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, Jenna justru terdiam sembari mencerna semuanya. Bagi Jenna, permintaan konyol itu bukan hanya mendadak. Tapi juga mengusik kembali luka lama yang telah dia usahakan untuk lupa.Seharusnya di sini, Dokter Cahaya tau hal itu, kan? Dia yang berperan sebagai seorang Psikiater untuk Jenna. Dia juga yang telah menyembuhkan luka hati tersebut. Lantas kenapa sekarang dia juga yang membuka kembali luka lama itu?Terlebih, alasan Dokter Cahaya yang membawa-bawa kalimat 'sekarat', membuat Jenna benar-benar tidak suka. Seseorang tidak boleh mempermainkan takdir semacam itu hanya untuk mencapai keinginannya."A-apa maksud, Dokter? Sekali pun Dokter inginkan hal itu,
Cakrawala di malam ini nampak tak begitu terang seperti hari malam biasanya. Rembulan yang kala ini berbentuk sabit pun bahkan kesepian—tanpa ada teman yang menemani. Benda-benda kecil yang biasa bertaburan di atas langit, kini tak nampak sama sekali. Keadaan malam yang suram, sama suramnya seperti keadaan hati seorang gadis dengan piyama teddy bear. Entah sudah ke berapa kalinya gadis itu mendesah kasar, sedangkan jemarinya masih menyentuh keyboard laptop tanpa menari di sana. Biasanya, malam hari seperti ini—ia mendapatkan banyak inspirasi untuk bahan lanjutan kisah-kisah yang dia rangkai menjadi sebuah tulisan. Tapi karena malam ini, inspirasi tersebut entah menguap ke mana. Padahal, sudah banyak pesan cinta yang dia dapatkan dari penggemar setia yang menunggu kelanjutan kisah tersebut.“Mungkin aku terlalu kepikiran tentang Dokter Cahaya, sampai-sampai sekarang aku nggak fokus nulis begini.” Jenna, gadis yang kini memilih menutup laptopnya menerawang kembali, pada masa di mana Do
Tatapan nanar diberikan pada seorang gadis yang duduk dengan kepala tertunduk di hadapannya. Hati pria paruh baya yang menatapnya demikian, tertohok dengan sebuah kiriman foto dari seseorang yang tidak dikenalnya. Beberapa menit sebelumnya, pria paruh baya yang baru saja menyelesaikan tadarus Alquran itu terkejut saat ponselnya berbunyi. Dilihatnya, ada sebuah notifikasi masuk ke pesan Whatsapp miliknya. Saat itu, dahinya berkerut dalam kala ada nomor tak dikenal mengirimkan sebuah foto. Dan alangkah terkejutnya ia, ketika berhasil mendownload foto tersebut. Foto di mana puteri pertamanya tengah berada di sebuah bar bersama rekan-rekannya. Istighfar dengan segera dilakukan oleh pria paruh baya itu. Tak henti-hentinya dia menenangkan hati dengan kalimat thoyyibah itu, atas kesalahan sang puteri yang sudah membuatnya kecewa."Jawab Ayah, Jenna! Apa yang kamu lakukan ke tempat penuh maksiat itu?" Dengan dada kembang kempis, pria paruh baya yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan '
“Aku mau pulang aja, Mas!” Itu suara dari seorang wanita yang duduk di atas hospital bed. Ia menoleh, memandang pria yang duduk di hadapannya dengan pandangan memohon.“Aku bosan di sini, Mas. Aku terbiasa bekerja di rumah sakit ini, bukan menjadi seorang pasien.” Pria yang tidak lain adalah Reyhan—suaminya tersebut menghela nafas berat, lalu menyimpan piring yang tadi ada di genggaman. Sebenarnya saat ini, pria itu tengah menyuapi Cahaya—sang istri. Tapi Cahaya kini malah meminta pulang di saat kondisinya bahkan tidak bisa dikatakan stabil.“Kamu kan tau kondisi kamu sekarang bagaimana, Cahaya?” Reyhan berdiri, lantas membantu Cahaya untuk merebahkan tubuhnya di hospital bed. Namun saat akan melakukan itu, Cahaya mencekal tangannya. Wanita itu menggeleng, enggan merebahkan dirinya di sana.“Kamu belum pulih total. Kita akan pulang kalau kamu sudah pulih, aku janji.” Tatapan nanar kemudian diberikan Cahaya pada suaminya itu. Tidak bisakah pria itu mengerti, jika Cahaya merindukan ruma
Derit engsel pintu terdengar nyaring saat seseorang masuk ke dalam sebuah ruangan. Dia tersenyum hangat, saat mendapati Widia—editor yang tengah menunggu naskah ceritanya selesai selama satu bulan terakhir ini. Udara sejuk yang dihasilkan dari air conditioner, tambah membuat atmosfer di dalam ruangan itu cukup nyaman. Apalagi kini, Widia menyambut kedatangannya dengan sebuah applause dari kedua tangannya.“Bagaimana perkembangan naskahnya, Jenn? Kata kamu, naskah itu akan terbengkalai selama dua bulan. Tapi kenapa sekarang baru satu bulan, kamu sudah menyelesaikannya?” Pertanyaan itu ditujukan pada seorang perempuan yang kini menarik kursi untuk ia duduki. Seorang perempuan yang kini dikategorikan sebagai penulis populer di tahun 2024, dengan banyak karyanya yang masuk ke dalam jajaran best seller.“Aku mendadak mendapatkan banyak ide beberapa hari ini. Bukannya itu justru baik?” Perempuan yang tidak lain adalah Jenna tersebut melempar tanya.Perempuan yang duduk di seberangnya menga
Setitik air mata, meluncur begitu saja dari sudut seorang wanita berhijab. Tak dapat dipungkiri, segala proses tahapan kemoterapi yang sudah dilakukan—membuat perasaannya campur aduk. Ada perasaan senang, kala ia ditemani dengan setia oleh sang suami. Ada perasaan sedih, jika takdir harus menuliskannya begini.Bibir pucat milik wanita itu sekarang mencuat ke atas. Membentuk sebuah lengkungan tipis yang turut membuat pria di sebelahnya menganggukkan kepala, mencoba meyakinkan dirinya—bahwa semua akan baik-baik saja. Proses kemoterapi yang dilakukan di Rumah Sakit Kenangan Indah pagi ini, meliputi tiga fase dan terapi tambahan. Dari mulai fase induksi, yang berguna untuk membunuh sel-sel kanker yang masih tersisa. Sampai fase pemeliharaan, yang bertujuan mencegah sel-sel kanker tumbuh kembali. Wanita berhijab yang tidak lain adalah Cahaya tersebut, melakukan proses pengobatannya dengan cukup serius.Tapi meski begitu, Cahaya tetap mempunyai ketakutan yang tidak bisa dia bagi pada oran
Dalam cinta, mungkin butuh perjuangan dan juga pengorbanan. Jika dulu, Cahaya berjuang untuk mendapatkan hati Reyhan—maka sekarang, dia harus berkorban untuk cintanya. Jika berbicara tentang ikhlas dan tidak ikhlas, mungkin akal pikirannya akan dengan lantang mengatakan tidak ikhlas. Tentu saja, seperti perkataan Jenna—wanita mana yang rela membagi suaminya untuk perempuan lain? Jawabannya hanya bisa terhitung oleh jari. Sekelas istri Rasulullah saja, masih bisa merasakan cemburu. Lalu bagaimana dengan umat-Nya? Cahaya mengakui, jika dirinya akan amat cemburu. Tapi semua itu sudah menjadi keputusannya, bukan? Untuk apa Cahaya menyesali, jika nanti pada akhirnya—baik Jenna ataupun Reyhan, setuju untuk menikah.Sudah beberapa malam, cuaca terasa tidak cukup nyaman. Mungkin juga memang karena ini awal tahun, yang di mana curah hujan sedang tinggi-tingginya. Selain karena udara malam yang terasa dingin, lalu ditambah dari udara dari air conditioner—Cahaya merasakan tubuhnya menggigil. A
8 tahun ini, Jenna merasa hidupnya banyak berubah. Ya! Karena peristiwa di mana luka hati untuk sang ibunda dan dirinya terjadi. Sejak saat itu, Jenna sadar—jika hubungannya dengan sang ayah cukup merenggang. Tidak ada lagi Jenna yang manja seperti dulu—merengek setiap kali ayahnya pulang bekerja, meminta dibelikan cemilan. Ataupun Jenna yang mengadu pada sang ayah, kala nilai di sekolahnya menurun. Tapi di malam ini, Jenna harus menurunkan ego demi sesuatu hal yang entah baik ataukah buruk untuknya. Melihat jika keadaan dokter Cahaya semakin tidak stabil, Jenna memutuskan untuk bersedia menuruti permintaannya. Dia tidak memikirkan hal lain, selain permintaan dokter Cahaya yang dikhawatirkan jika itu adalah wasiat darinya.Selang pertemuannya dengan lelaki asing yang sedikitnya berhasil mengetuk hati Jenna, pembicaraan mereka tidak berhenti ketika Reyhan—nama lelaki itu, mengatakan tak ingin menikahi perempuan mana pun lagi. Pembicaraan mereka baru berhenti, saat sadar jika Cahaya ke
Jika kehidupan seseorang bisa dipilih akan bagaimana perjalanannya, mungkin Jenna tidak menginginkan perjalanan hidup yang banyak menorehkan luka di hatinya seperti ini. Memang, siapa yang ingin menjadi seseorang yang dinilai meruntuhkan rumah tangga orang lain? Seseorang yang kehadirannya dinilai begitu buruk oleh hampir kebanyakan orang. Padahal dirinya tidak seperti itu. Tentu saja Jenna juga tidak ingin. Mendapatkan cinta, di posisinya yang kedua—Jenna pernah merasakan rasa pesimis luar biasa. Statusnya yang berada di nomor dua, sudah pasti tidak akan menjadi prioritas. Tapi setelah kepergian madunya itu, atau seseorang yang menyandang status istri pertama—hati Jenna sempat mengharapkan jika cinta itu akan hadir, karena bagaimana pun dirinya kini berstatus sebagai satu-satunya istri. Menjalani hidup sebagai seorang istri yang awalnya tak diharapkan, tentu tidak mudah untuk dilakukan. Berbulan-bulan lamanya Jenna sering makan hati saat mendengar ocehan demi ocehan dari orang-ora
Dalam satu minggu ini, Jenna merasakan banyak perubahan dalam hubungannya bersama Reyhan dan Anala. Hal itu terjadi setelah Anala demam, dan insiden Jenna yang kehujanan lalu disusul oleh Reyhan. Sejak itu, interaksi mereka pun tidak lagi canggung. Reyhan bahkan sudah sering mengajaknya untuk shalat berjama'ah jika pria itu sudah pulang dari kantor, ataupun mengajak Jenna untuk sama-sama tidur di kamar Anala seperti waktu itu. Meskipun belum sampai ke tahap mereka satu ranjang yang sama tanpa Anala, tapi Jenna merasa semuanya sudah cukup. Tidak ada lagi beban pikiran bagi Jenna, untuk memikirkan bagaimana cara mengambil hati dua orang itu. "Bunda!" Lihat! Anala bahkan sudah mau memanggilnya dengan sebutan 'bunda', alih-alih dia memanggil 'tante' seperti biasanya. Saat Jenna mendengar puteri sambungnya itu memanggil, dia dengan segera menoleh dan menghampiri Anala. "Ada apa, Sayang?" Dengan penuh kelembutan, Jenna menjawab panggilan Anala. Senyum juga turut hadir di wajahnya yang c
"M-mas Reyhan?" Jenna mengerjapkan mata saat menangkap presensi suaminya itu di hadapannya. Dia berdiri dengan payung besar di tangannya, pun dengan sorot mata yang terlihat ... khawatir?Jenna tertegun sambil menatap Reyhan dengan mendongakkan kepala, bolehkah dia berharap—jika Reyhan memang sedang khawatir dan sekarang menjemputnya?"Kamu kenapa?" Selanjutnya, Reyhan membungkukkan badan, dan hal itu membuat Jenna buru-buru memalingkan wajah ke arah lain. Ketahuan menatap Reyhan dengan binar, tentu saja hal memalukan untuk Jenna, bukan?"Kakiku sepertinya keseleo, Mas. Tadi aku nggak sengaja injak batu itu," adu Jenna sambil menunjuk batu yang tadi dia injak. Reyhan mengikuti ke mana arah Jenna menunjuk, dia lantas bergegas mengambil batu tersebut dan melemparkannya ke arah yang tidak dilalui oleh orang."Kenapa kamu bisa ceroboh? Sekarang hujan-hujanan pula," gerutu Reyhan. Memang benar, Reyhan saat ini melihat Jenna seperti seorang anak kecil yang tidak tau arah jalan pulang. Ba
Langit telah menggelap sepenuhnya. Selain itu, tidak adanya sang bintang yang biasanya bertaburan—turut andil dalam membuat malam ini terasa lebih mencekam. Belum lagi suara petir yang mulai terdengar, menandakan jika air mata langit akan turun—membuat seorang gadis yang berjalan dengan membawa dompetnya itu, kini berlari kecil. Memilih untuk berjalan kaki lantaran jarak Supermarket dan rumahnya hanya 200 meter, tujuan utama gadis itu adalah membeli obat penurun panas untuk Anala. Karena stok di rumah hanya ada obat penurun panas berbentuk tablet, yang mana rasanya pun pahit—Anala tidak menginginkan untuk minum obat tersebut. Alhasil, gadis yang tak lain adalah Jenna tersebut harus mau tidak mau keluar untuk membeli obat.Sementara sang suami, sekaligus ayah dari Anala—belum pulang dari kantornya sampai saat ini. Padahal Jenna sudah memberitahu, jika Anala sedang demam di rumah. Mungkin, karena kesibukannya sebagai seorang pemimpin perusahaan—membuatnya tidak bisa berleha-leha seper
“Bisa Anda jelaskan, terkait dengan berita tersebut?” “Nona Senjakala, tolong beritahu kami! Apa benar, Nona menjadi istri kedua?”“Katanya, Anda telah merusak rumah tangga orang lain. Apa itu benar, Nona Senjakala?” Jenna mengangkat kedua tangan untuk menutupi dua telinganya rapat-rapat, saat ia mendapatkan pertanyaan bertubi dari para wartawan tersebut. Sungguh! Jenna sama sekali tidak bisa menjawab, lantaran panic attack yang berujung dengan kecemasannya menyerang—membuatnya kesulitan untuk membela diri. Sementara sosok pria yang berdiri di samping Jenna, tertegun sambil mencerna kalimat demi kalimat yang dipertanyakan oleh wartawan tersebut pada istrinya. Senjakala? Bukankah itu nama seorang penulis yang Reyhan sering baca karya novelnya? “Kenapa? Kamu mengenalnya?”“Sangat mengenalnya.” Reyhan ingat pembicaraannya dengan Jenna beberapa menit yang lalu. Perempuan itu bilang, jika dia sangat mengenali sosok Senjakala yang dimaksud. Apa mungkin, sosok Senjakala itu adalah Jenna
Ada beberapa hal dalam hidup, yang bisa membuat Jenna merasa bangga pada dirinya sendiri. Selain karena bisa mengontrol kecemasan yang datang dengan tiba-tiba, Jenna juga merasa bangga saat ada seseorang yang membaca karyanya dengan perasaan mendalam. Tak jarang, pembacanya selalu meneror Jenna via DM Instagram hanya untuk memaki-maki karakter yang buruk dalam karyanya. Atau memuji karakter yang berperan sebagai protagonis. Sebagai seorang penulis, tentu Jenna membutuhkan feedback dari pembacanya. Maka dari itu dia sangat senang dan bangga pada dirinya sendiri, saat ada pembacanya yang terbawa suasana dengan alur cerita yang dibuat.Sama seperti yang dilakukan oleh seorang pria di meja kerjanya itu. Jenna yang berdiri di ambang pintu cukup terpekur dengan pemandangan langka ini. Bagaimana bisa, suaminya sedang membaca salah satu karyanya yang berjudul 'Bukan Surga Impian'? Yang di mana isi dari cerita itu adalah tentang seorang istri kedua yang menikah karena sesuatu hal. Sebenarny
Sejak awal, Jenna tak seharusnya berharap lebih dengan pernikahannya bersama Reyhan. Pernikahan yang dari awalnya saja bersifat pemaksaan terhadap personal, meskipun pada prosesnya—Cahaya membeberkan sakitnya sebagai alasan utama, untuk membuat Jenna dan Reyhan menyetujui permintaannya. Maka sekali pun sekarang sudah tidak ada lagi sosok Cahaya, yang membuat Jenna seringkali merasa bersalah karena sudah memutuskan untuk menjadi madu wanita itu. Tapi sekarang Jenna justru dihadapkan dengan segala berita buruk yang beredar tentangnya. Entah bagaimana caranya publik tau, jika status Jenna sebelumnya adalah istri kedua. "Ada yang membebani pikiranmu?" Sebuah suara bariton tiba-tiba membuat Jenna tersentak kecil. Dia lupa, jika saat ini tengah makan malam bersama dengan Reyhan dan Anala."Ah, maaf. Aku sedikit melamun," ucap Jenna merasa tidak enak."Ada yang membebani pikiranmu?" Reyhan mengulangi pertanyaannya. Pasalnya, pria itu merasa Jenna tidak seperti yang ia lihat. Wajahnya terli
Selama satu bulan full, Jenna memilih mengosongkan jadwal untuknya menghadiri acara seminar ataupun talkshow yang berkaitan dengan literasi. Tapi pagi ini, dia akan kembali lagi dengan aktivitasnya sebagai seorang penulis dan pengisi materi kepenulisan. Satu bulan kemarin, Jenna manfaatkan waktu kekosongan tersebut untuk mengurus rumah tangga barunya. Sekaligus merapikan hati, setelah kepergian Cahaya yang sekarang menginjak bulan kedua. "Setelah ini, kamu dipanggil. Persiapkan diri, Na." Yang bersuara barusan, adalah rekan sesama penulis. Tapi seringkali bekerjasama dengan berbagai sekolah ataupun instansi yang ingin mengadakan acara seminar dan talkshow literasi. Ya sebut saja, dia salah satu bagian dari kepanitiaan acara seminar pagi ini. "Hari ini, kamu tidak jadi pemateri?" Jenna melempar tanya. Sementara, sosok yang menjadi lawan bicara Jenna itu malah membalasnya dengan seulas senyum dan gelengan kepala. "Kukira kamu juga isi," sambung Jenna. "Akhir-akhir ini aku sibuk ja
"Apa yang kulakukan kemarin? Aku memeluk dia?" Seorang pria berjalan mondar-mandir di kamar. Pikirannya melanglang pada saat siang kemarin, ketika dirinya mendadak peduli dengan Jenna—istri kedua yang sekarang beralih status menjadi satu-satunya istri. "Dia bisa kepedean! Dan yang paling parah adalah ... menaruh perasaan cinta padaku." Pria itu mengusap wajahnya kasar, sama sekali tidak bisa membiarkan jika semua itu terjadi. Meskipun saat ini dirinya menerima kehadiran Jenna sebagai istri, tapi untuk hal perasaan cinta—ia tidak bisa menjanjikan itu. Hidup selama hampir 7 tahun bersama dengan mendiang Cahaya saja, dirinya sulit untuk jatuh cinta pada wanita itu. Bagaimana mungkin, perasaannya akan berubah pada Jenna—yang dia kenal hitungan bulan? Pria yang tak lain adalah Reyhan itu tidak bermaksud untuk jahat, dengan melarang Jenna jatuh cinta padanya. Reyhan hanya takut, jika lagi-lagi dia menyakiti hati seorang perempuan. Sama seperti apa yang dia lakukan pada mendiang Cahaya.