Istrinya datang ke kantor. Roan sudah merasa senang karena istrinya itu memiliki inisiatif sendiri untuk menemuinya. Akan tetapi, Roan menyadari jika raut wajah istrinya sedikit berbeda. Dia terlihat murung.Saat mereka tengah duduk bersama, menikmati makanan yang dibawa Chelsea, akhirnya Roan bertanya, "Ada apa?"Chelsea terkesiap."Kamu terlihat sedang memikirkan sesuatu. Apa ada masalah?"Roan hanya ingin memastikan jika tak ada sesuatu yang sedang terjadi. Dia tak ingin membuat istrinya memikul beban berat sendirian."Aku baik-baik saja." Sadar dirinya bersikap berbeda, Chelsea menegakkan tubuhnya dan mulai berusaha untuk terlihat tenang. Masalah tentang hubungannya dengan Tristan tentu bukan sesuatu yang bisa ia bahas dengan suaminya. "Mengapa bertanya seperti itu? Aku tidak memikirkan apapun. Mungkin itu hanya perasaanmu saja."Roan tahu istrinya tidak jujur. Tapi dia tak ingin memaksanya untuk bercerita. Roan pun hanya mengangguk dengan ringan."Roan, aku rasa kita tidak pernah
Roan membawa Chelsea ke restoran yang lebih mewah dari sebelumnya. Tindakan Roan kali ini membuat Chelsea ingin memprotes. Ia khawatir jika Roan terlalu memaksakan diri demi dirinya. Karena tidak seharusnya pria itu menghamburkan uang untuknya."Kita pilih tempat lain saja," ujar Chelsea. Dia enggan untuk masuk, meski kini mereka sudah sampai di depan restoran."Kenapa?" Roan menatapnya heran. Lalu dia melirik restoran yang telah ia pilih. "Apa restorannya kurang bagus?""Bukan!" Chelsea berdecak kesal. Mengapa pria itu masih belum mengerti? "Aku ... aku tidak ingin kamu menghamburkan uang untukku."Dia bicara dengan nada pelan. Khawatir jika ucapannya akan membuat Roan tersinggung.Namun ternyata, pria itu malah tertawa. Roan sedikit terhibur dengan perhatian yang diberikan istrinya."Tidak perlu khawatir. Aku tidak akan kehabisan uang hanya karena mengajakmu makan di restoran ini," ucap Roan, menenangkan.Chelsea tidak lantas percaya. Dia masih membujuk Roan untuk pergi ke tempat la
Ketika Chelsea pergi ke toilet sebentar. Seseorang menghadangnya. Chelsea terkejut, melihat jika itu adalah Tristan. Bagaimana pria itu bisa berada di sini?"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Tristan, menatap Chelsea dengan mata menyalang. Saat ini, emosi seakan telah mengumpul dalam dadanya dan hanya tinggal menunggu beberapa saat untuk meledak. Rasanya dia begitu marah hingga bisa memukul siapa saja.Dia baru menerima informasi dari salah satu temannya tentang Chelsea. Emosi seketika menguasainya kala dia mendengar jika Chelsea tengah makan malam romantis dengan suaminya. Tanpa menunggu waktu lama, Tristan bergegas datang ke tempat yang dimaksud hanya untuk memastikan apakah informasi yang ia dapatkan ini benar.Dan, Tristan tidak dapat menahan lagi saat ia benar-benar melihat dengan matanya jika Chelsea ada di sana, bersama pria itu.Tristan hanya bisa memperhatikan dari kejauhan bagaimana kekasihnya menikmati makan malam romantis dengan pria itu. Dia menunggu kesempatan untuk m
Chelsea akhirnya kembali ke rumah setelah Tristan mengijinkan. Sebenarnya, ia merasa sedikit takut untuk menghadapi Roan. Chelsea tak berani bertemu suaminya. Namun, Chelsea tak memiliki pilihan lain selain kembali ke rumah ini. Dia tak memiliki tujuan lain selain kembali ke sini.Dengan hati-hati Chelsea membuka pintu. Dia melihat jika ruangan di rumahnya masih terang. Sepertinya suaminya belum tidur.Chelsea berusaha untuk tidak menimbulkan suara apapun. Dia bergerak dengan sangat pelan. Tapi, di langkahnya yang keempat, tubuhnya membeku. Dia menemukan Roan berdiri tidak jauh darinya.Kini, Chelsea bingung harus bagaimana. Dia tidak berani bicara atau beranjak. Pada akhirnya, dia hanya bergeming di tempat dengan kepala yang tertunduk.Chelsea sudah siap menerima amarah suaminya. Ia bahkan tak akan terkejut jika pria itu menampar wajahnya.Akan tetapi, diluar dugaannya. Pria itu sama sekali tidak marah.Dia mendekati Chelsea dan bertanya, "Kamu baik-baik saja?"Chelsea kebingungan. N
Roan membiarkan Melisa membalut lukanya.Karena menolak untuk dipanggilkan dokter, sekretaris Roan akhirnya meminta bantuan Melisa untuk mengobati Roan. Karena ia tahu, sebagai teman yang paling dekat dengan Roan di kantor, dia bisa membujuk Roan supaya mau mengobati tangannya."Kau ini bodoh atau apa? Luka seperti ini malah tidak diobati." Sembari membalut tangan Roan dengan perban, Melisa tak membuang kesempatan untuk mengomeli pria itu. Roan sudah membuatnya hampir terkena serangan jantung saat menemukan darah pria itu yang bercecer di sepanjang jalan. Melisa pikir pria itu terluka parah. Untungnya, hanya tangannya saja. Namun tetap saja, luka yang dia terima memang tidak bisa disebut ringan."Siapa bilang aku tidak mau mengobatinya?""Sekretarismu.""Bukan aku tidak mau mengobati. Aku hanya tidak mau dipanggilkan dokter." Roan menjelaskan. Dia tentu tidak sebodoh itu untuk membiarkan tangannya terluka tanpa diobati sama sekali. "Kupikir itu terlalu berlebihan. Aku bisa mengobatiny
Chelsea berlari menuju mobilnya. Dia tak ingin sedikit pun melambatkan langkahnya. Satu hal yang ia inginkan saat ini hanya segera pergi dari tempat ini.Danang terkejut saat melihat majikannya kembali dengan sangat cepat. Ia pikir, ia perlu menunggu sekitar setengah sampai satu jam di dalam mobil. Ternyata, hanya beberapa menit saja, majikannya sudah kembali.Ini sedikit membingungkannya. Terlebih, dia menyadari raut wajah tak biasa dari majikannya."Nyonya tidak apa-apa?" tanya Danang. Dia melihat perempuan itu mengucurkan keringat yang sangat banyak di wajahnya. Napasnya terengah-engah. Kedua matanya memerah. Dia terlihat cukup kacau sekarang."Saya baik-baik saja," balas Chelsea dengan susah payah. Dia menggerakkan tangannya, menyuruh Danang untuk segera melajukan mobilnya, "jalan, Pak!"Chelsea tak ingin berada di sini lebih lama. Ia ingin menjauh.Danang mengikuti perintah Chelsea dengan patuh. Namun, sesekali dia masih memperhatikan bagaimana kondisi perempuan itu dari balik ka
Roan menghela napas. Satu tangannya bergerak memijit pelipisnya sendiri. Dia memegang handphone dengan tangannya yang lain, yang ia tempelkan tepat di telinganya, mendengarkan temannya mengoceh tanpa henti, mengomelinya."Kamu tidak bisa keluar seenaknya. Apa kamu tidak tahu jika Ellie sangat kebingungan saat kamu pergi? Dia yang harus menyelesaikan masalah yang kamu buat.""Aku minta maaf, Melisa." Roan akui kali ini dia bertindak cukup ceroboh. Dia terlalu panik hingga meninggalkan tanggungjawabnya. Roan juga merasa bersalah pada sekretarisnya dan juga Melisa. "Aku akan kembali ke sana dengan segera.""Meeting jadi ditunda gara-gara kamu tidak ada," ucap Melisa, menggerutu. Rasanya dia masih belum puas memarahi Roan. "Sekarang cepatlah kembali! Atau aku akan menuntut kenaikan gajiku!"Dia menutup telepon begitu saja. Roan menatap layar handphonenya dan tanpa sadar tertawa kecil.Ekspresi Roan saat itu ditangkap oleh Chelsea. Dia mengetahui jika yang baru menghubungi suaminya adalah
"Kau ini kemana saja, Roan?"Melisa berdiri di depannya, berkacak pinggang. Dia masih merasa kesal, sehingga setelah mereka selesai meeting dia segera mengambil kesempatan untuk memarahi pria itu."Apakah ada yang begitu penting sampai kamu sendiri meninggalkan pekerjaanmu di sini?""Aku tahu aku salah di sini, Melisa." Roan tidak keberatan jika dia diomeli seperti ini. Hanya saja, telinganya cukup lelah terus dicecar oleh temannya itu. "Bisa berhenti memarahiku? Aku sudah berusaha datang secepat yang ku bisa. Dan masalah yang kubuat juga sudah kutangani, kan?""Kau bicara semudah itu." Melisa mendengus kasar. "Apa kau tidak tahu betapa aku dan Ellie sangat kebingungan?""Ya Tuhan, aku sudah minta maaf. Apalagi yang kamu inginkan?" tanya Roan, mulai lelah.Dia menatap Ellie yang berdiri di belakang Melisa, lalu berkata, "Apakah kamu bisa bicara padanya? Katakan untuk berhenti."Ellie tak menjawab apapun. Dia tak berani bicara. Ia hanya bisa menunjukkan senyum canggung di depan bosnya