Sepanjang perjalanan pulang, ekspresi masam terus menghiasi wajah Emily. Dia masih kesal dengan Keenan yang malah menggodanya. Cemburu? Yang benar saja! Untuk apa dia cemburu pada wanita itu? Suaminya sok kegantengan. Walau begitu, tapi kenapa rasa kesalnya masih belum mereda? Emily hanya bisa berdecak sebal dan menatap kawasan menuju rumahnya tanpa minat. Dia memerhatikan rumah James yang tampaknya kosong, lelaki itu tidak menghubunginya lagi setelah kejadian di restoran saat Keenan membawanya pergi. Pasti James sangat marah. Saat Emily sedang mengamati sekitar, tepat ketika mobil yang ditumpanginya tiba di gerbang, dia melihat sesuatu yang tidak biasa. Kehadiran seseorang di pintu gerbang. "Pak, tunggu sebentar!" perintah Emily. Dia meminta sang sopir untuk berhenti. "Ada apa, Nyonya?""Aku akan turun di sini saja."Tanpa menunggu jawaban sopirnya, Emily bergegas turun dari mobilnya dan berjalan menghampiri seseorang yang dia lihat barusan. Orang itu masih ada. Berdiri menatapnya
"Kamu serius?""Ya, aku akan berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan."Nyonya Sheila bergeming mendengar ucapan James. Kobaran semangat di mata sang anak tampak membara. James terlihat sangat ingin sekali melanjutkan memimpin perusahaan. Dia memang mengharapkan hal tersebut, meski begitu, James harus menunjukkan dirinya kalau anaknya mampu. "Mama senang mendengarnya, tapi kamu harus menunjukkan kesungguhanmu.""Tentu, sampai saat itu tiba, tolong tetap rahasiakan kalau aku adalah anak Mama. Aku tidak mau dituduh memanfaatkan jabatan Mama.""Itu gampang, kalau begitu, apa kamu mau ikut dengan Mama makan malam di luar?""Di luar?" James terdiam sebentar sambil berpikir. Sudah beberapa hari ini dia disibukkan oleh pekerjaan dan tidak bisa menemui Emily. Dia juga ingin kembali ke rumah saat ini. Sayangnya, rasa bingung James dengan cepat disadari oleh sang ibu. "Ayolah, ya? Mana ingin makan bersama denganmu di luar.""Baiklah."James tidak bisa menolak permintaan ibunya kali in
"Sampai kapan kau tidur seperti ini?""Tidak tahu, tanyakan pada anakmu."Keenan mendengkus. Dia tidak lagi bersuara dan membiarkan Emily tidur di pangkuannya sambil memakan camilan. Tak jauh dari mereka, Javier sibuk merangkai bunga. Harusnya hari weekend ini mereka keluar. Bermain seperti biasanya, tapi karena Emily malas ke mana-mana dan hanya ingin menghabiskan waktu di taman belakang rumah mereka, dia dan Javier pun tidak bisa berbuat apa-apa. Javier juga tidak merajuk dan memahami keinginan calon adiknya. "Kenapa kau malas sekali semenjak hamil? Apa anakku nantinya akan jadi pemalas?""Mana aku tahu. Tutup mulutmu." Emily menguap sambil menatap mata Keenan dari posisinya. Dia menyuapi lelaki itu dengan kue yang juga dimakan olehnya. Perasaannya sedikit menenangkan saat Keenan mendampinginya ketika dia sedang hamil. Hal yang sejak dulu dia idamkan, dan baru kali ini terwujud.Dulu, saat Emily mengandung Javier, dia bahkan tidak mendapat perhatian seperti ini dari James atau ibu
"Emily, aku ingin bertemu anakku."Sebuah pesan masuk di ponsel Emily dari James dan itu dilihat langsung oleh Keenan yang menerimanya. Tatapannya terlihat datar. Keenan menghela napas kasar dan memandang Emily yang kini menatapnya penuh tanda tanya. Wanita itu sekarang tidak berusaha menyembunyikan sesuatu darinya lagi. "Aku izinkan. Kalau dia mau, suruh datang ke sini," ucap Keenan sambil memberikan ponsel Emily kembali. Sesuai janjinya, dia tidak akan menghalangi James bertemu Javier. "Terima kasih, Ken." Senyum Emily mengembang. Dia dengan cepat segera membalas pesan James setelah mendapat izin dari sang suami. "Kau senang sekali. Apa kau berharap bertemu dengannya?" sindir Keenan. Emily yang baru selesai mendapat balasan, seketika langsung menoleh. Dia mengernyit melihat tatapan cemburu lagi-lagi diperlihatkan suaminya. "Boleh aku menemuinya?""Tidak, diamlah di sini. Aku yang akan menyambutnya."Emily mengerucutkan bibirnya, tapi dia tetap bertahan di sana. Bersandar dengan
"Jangan pukul Daddy! Dasar jahat! Jangan pukul Daddy-ku!" teriak Javier yang berlari mendekati Keenan dan James. Tak peduli jika keduanya kini saling baku hantam dengan James yang memukul Keenan membabi buta. Lelaki itu seolah berniat membunuhnya dan Javier tanpa rasa takut berusaha menarik tangan James. "JAVIER!" Emily yang masih berada di tangga, refleks melotot kaget melihat anaknya berusaha memisahkan Keenan dan James. Tak mau anaknya kenapa-kenapa, Emily bergegas berlari menghampiri Javier. Sayangnya, langkahnya terlambat ketika Javier malah menggigit tangan James yang kemudian membuat lelaki itu mendorong anaknya cukup keras. Javier langsung terdorong jatuh ke lantai dan membuat Emily seketika itu berteriak nyaring. Dia berlari menghampiri anaknya dengan ketakutan. Teriakannya itu juga yang seketika menghentikan perkelahian Keenan dan James. Seperti tersiram air dingin, keduanya terkejut melihat Emily menangis sambil memeriksa Javier. James yang pertama kali menyadari kesalah
Kaku, suasana pagi itu benar-benar kaku dan canggung. Sarapan hanya diisi oleh keheningan. Baik Keenan maupun Emily tidak ada yang membuka suara. Percakapan mereka semalam adalah penyebabnya. Keenan tak sungkan menunjukkan kesedihannya atas pengkhianatan sang istri, sedang Emily merasa amat bersalah sampai dia tidak bisa membuka mulut untuk menyangkalnya. Rasa malu dan hina menggerogotinya. Jika Keenan tidak percaya anak yang dikandungnya adalah anaknya, Emily juga tidak bisa menyangkal. Lelaki itu patut mencurigainya. Semua berawal dari kesalahannya. Rumah tangganya berada diambang kehancuran. Haruskah dia menyerah saja? Emily tidak yakin dengan semua ini. "Dad, wajah Daddy masih lebam, sakit ya? Ini semua gara-gara Om J! Kok bisa sih, Om J jahat sama Daddy? Iel sebel!" ucap Javier dengan menggebu-gebu. Dia menunjukkan rasa khawatirnya akan kondisi wajah Keenan yang kini tampak lebam-lebam, sekaligus pemecah suasana kurang nyaman di meja makan. "Tidak, Javier, jangan marah. Daddy
Emily menatap diam-diam Keenan yang saat ini sedang makan dengan lahap. Lebam masih terlihat di wajahnya dan Emily merasa sedih melihatnya. Hingga dia kemudian mengajak lelaki itu makan siang di restorannya dan Keenan mau. Walau lelaki itu jadi tidak banyak bicara. Tatapannya pun masih tampak sendu seakan menyimpan segudang kesedihan. Ini gara-gara dia dan dia bingung bagaimana caranya minta maaf. Haruskah nanti Emily mengajak suaminya makan malam romantis? Menyiapkan bunga dan kado? Keenan menyukai sesuatu seperti apa? "Kau tidak makan?" tanya Keenan. Mengaburkan lamunan Emily. "Ya?""Kau belum menyentuh makanannya.""Oh, benar, maaf aku melamun." Emily meringis. Entah mengapa dia kini merasa kikuk dan sangat mendadak malu saat ditatap suaminya. Semua ini mungkin gara-gara perkataan Ashley tadi. Dia jadi memikirkan perasaannya pada Keenan. Suka? Dia benar-benar menyukai orang ini? "Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku?"Emily tersentak dan seketika memutus kontak mata mereka. Dia m
"Aku akan tetap bersama Keenan.""Tidak, tidak. TIDAK! AARRRGGHHH ...."James berteriak marah sembari melempar lampu tidur ke dinding, membuatnya hancur dalam sekejap dan mengisi suasana di rumah itu menjadi suram. Usai pertemuannya dengan Emily saat makan siang, James tidak bisa tidak emosi. Kamarnya sekarang berantakan, rumahnya sudah seperti kapal pecah. Tidak peduli puluhan telepon dari ibu dan karyawan lain yang menanyakan kapan dia kembali ke kantor, memenuhi ponselnya. Hatinya patah. James merasa hancur. Dua kali dirinya jatuh cinta dan dua kali itu pula dirinya merasakan sakit tiada henti. Dulu Ashley tidur dengan ayah angkatnya saat mereka akan menikah. Sekarang Emily lebih memilih Keenan padahal wanita itu sudah berjanji untuk bersamanya. Kenapa? Kenapa tidak ada kebahagiaan sedikit pun untuknya? Kenapa dia tidak pernah bisa mendapatkan wanita yang dicintainya? Kenapa semuanya diambil darinya dan meninggalkannya sendirian? Kenapa semua orang berpaling darinya? James jatuh t