Kaku, suasana pagi itu benar-benar kaku dan canggung. Sarapan hanya diisi oleh keheningan. Baik Keenan maupun Emily tidak ada yang membuka suara. Percakapan mereka semalam adalah penyebabnya. Keenan tak sungkan menunjukkan kesedihannya atas pengkhianatan sang istri, sedang Emily merasa amat bersalah sampai dia tidak bisa membuka mulut untuk menyangkalnya. Rasa malu dan hina menggerogotinya. Jika Keenan tidak percaya anak yang dikandungnya adalah anaknya, Emily juga tidak bisa menyangkal. Lelaki itu patut mencurigainya. Semua berawal dari kesalahannya. Rumah tangganya berada diambang kehancuran. Haruskah dia menyerah saja? Emily tidak yakin dengan semua ini. "Dad, wajah Daddy masih lebam, sakit ya? Ini semua gara-gara Om J! Kok bisa sih, Om J jahat sama Daddy? Iel sebel!" ucap Javier dengan menggebu-gebu. Dia menunjukkan rasa khawatirnya akan kondisi wajah Keenan yang kini tampak lebam-lebam, sekaligus pemecah suasana kurang nyaman di meja makan. "Tidak, Javier, jangan marah. Daddy
Emily menatap diam-diam Keenan yang saat ini sedang makan dengan lahap. Lebam masih terlihat di wajahnya dan Emily merasa sedih melihatnya. Hingga dia kemudian mengajak lelaki itu makan siang di restorannya dan Keenan mau. Walau lelaki itu jadi tidak banyak bicara. Tatapannya pun masih tampak sendu seakan menyimpan segudang kesedihan. Ini gara-gara dia dan dia bingung bagaimana caranya minta maaf. Haruskah nanti Emily mengajak suaminya makan malam romantis? Menyiapkan bunga dan kado? Keenan menyukai sesuatu seperti apa? "Kau tidak makan?" tanya Keenan. Mengaburkan lamunan Emily. "Ya?""Kau belum menyentuh makanannya.""Oh, benar, maaf aku melamun." Emily meringis. Entah mengapa dia kini merasa kikuk dan sangat mendadak malu saat ditatap suaminya. Semua ini mungkin gara-gara perkataan Ashley tadi. Dia jadi memikirkan perasaannya pada Keenan. Suka? Dia benar-benar menyukai orang ini? "Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku?"Emily tersentak dan seketika memutus kontak mata mereka. Dia m
"Aku akan tetap bersama Keenan.""Tidak, tidak. TIDAK! AARRRGGHHH ...."James berteriak marah sembari melempar lampu tidur ke dinding, membuatnya hancur dalam sekejap dan mengisi suasana di rumah itu menjadi suram. Usai pertemuannya dengan Emily saat makan siang, James tidak bisa tidak emosi. Kamarnya sekarang berantakan, rumahnya sudah seperti kapal pecah. Tidak peduli puluhan telepon dari ibu dan karyawan lain yang menanyakan kapan dia kembali ke kantor, memenuhi ponselnya. Hatinya patah. James merasa hancur. Dua kali dirinya jatuh cinta dan dua kali itu pula dirinya merasakan sakit tiada henti. Dulu Ashley tidur dengan ayah angkatnya saat mereka akan menikah. Sekarang Emily lebih memilih Keenan padahal wanita itu sudah berjanji untuk bersamanya. Kenapa? Kenapa tidak ada kebahagiaan sedikit pun untuknya? Kenapa dia tidak pernah bisa mendapatkan wanita yang dicintainya? Kenapa semuanya diambil darinya dan meninggalkannya sendirian? Kenapa semua orang berpaling darinya? James jatuh t
"Selamat datang di vila, kita akan di sini selama tiga hari. Apa kau menyukainya?" "Tentu saja, aku bisa tidur seharian," jawab Emily dengan semangat sembari berjalan masuk ke dalam vila bersama Keenan dan juga Javier. Dia menyukai suasana yang berbeda. Keenan benar-benar mengabulkan permintaannya. "Daddy, Iel mau berenang. Boleh ya?""Boleh dong. Ayo!"Keenan terkekeh dan langsung membawa Javier menuju halaman belakang. Emily pun hanya mengikuti dan membiarkan barang-barang mereka begitu saja. Melihat sang anak dan suaminya yang antusias, dia juga merasa sangat senang. Emily ikut duduk di pinggir kolam sambil menatap Keenan yang menyambut turun anaknya. "Apa kau juga mau turun, Sayang?""Tidak, aku hanya akan melihat saja di sini." Emily melebarkan senyum manisnya sambil mengusap rambut Javier. "Baiklah, nikmati waktumu."Emily mengangguk dan menjulurkan kedua kakinya ke kolam. Dia menikmati air dingin yang menyentuh kulitnya. Segar. Perjalanan yang cukup lama, membuat tubuhnya se
"Ken, kau sedang apa? Masih belum tidur?"Emily berjalan mendekati suaminya dan tanpa ragu mencium Keenan. Padahal hari sudah malam, tapi suaminya masih sibuk sendiri bermain dengan ponsel. Emily tidak dipedulikan. "Aku mengecek informasi dari Sam. Aku khawatir ada masalah di kantor, untunglah tidak ada." Keenan mengalihkan perhatiannya sejenak dari ponsel dan langsung menatap Emily. Dia mencubit pipi istrinya yang sudah sedikit bulat. Emily banyak makan sekarang sehingga berat badannya naik, tapi dia tahu, itu mungkin juga karena anaknya. "Kau itu, apa setiap hari kau hanya tahu bekerja? Sepertinya pekerjaan lebih penting dari pada aku.""Hahaha ... kau cemburu pada pekerjaanku? Jika aku lebih mementingkan pekerjaanku, tidak mungkin kita ada di sini, Sayang. Kau bahkan tidak mau berjauhan dari tadi."Sejak sekarang hingga malam, Emily terus menempel padanya. Keenan sampai tidak bisa bermain dengan Javier karena harus mengurus istrinya yang mendadak manja padanya. Javier tentu kesal
"Emily dan suaminya sedang berlibur, mereka juga membawa Javier bersama.""Apa kau tahu tempatnya?""Ya, saya tahu."Sebuah berkas diberikan pada James yang saat ini sedang duduk. Dia mengambilnya tanpa ragu dan membaca beberapa foto tempat Emily berlibur. Alamatnya cukup lengkap, sepertinya dia bisa menemukan mereka dengan cepat melalui bantuan ini. "Aku suka pekerjaanmu, tapi ... apa ini?""Itu informasi tambahan soal suaminya Emily. Aku menemukan fakta baru yang menarik. Mungkin ini juga yang kauinginkan."James terdiam melihat informasi di tangannya. Dia ikut penasaran dengan informasi yang dikatakan penting. Hingga tanpa ragu, James segera membacanya. Namun apa yang dibacanya itu, cukup membuatnya mengernyit. Sebuah capture artikel berita puluhan tahun silam dan kutipan narasi, cukup membuatnya terkejut. James juga melihat sebuah foto yang menampilkan sosok familier baginya. "Ini, ini Emily? Lalu lelaki ini?" James melihat sosok yang memeluk wanita itu. Sayangnya dia tidak bisa
"James, apa maksudnya ini?"Emily menatap bingung foto yang diberikan oleh James. Dia mengernyit saat memperjelas penglihatannya dan menyadari dengan mudah kalau wanita di foto itu adalah ... dirinya? Dengan siapa? Tapi sepertinya dia mengenal tempat tersebut. Emily mencoba berpikir keras tentang tempat itu, tapi sayang dia tidak terlalu ingat. "James, apa ini? Aku tidak mengerti.""Kau pernah pergi ke kelab malam saat SMA?""Ya ... itu kadang?" jawab Emily dengan ragu. Dia menatap James yang kini tampak menyorot tajam ke arahnya. Masa-masa SMA adalah masa dia mulai nakal. Setelah hatinya dipatahkan oleh James, hidup Emily mulai kacau. Tidak ada keluarga yang mendukung atau teman yang benar-benar peduli, kecuali Ashley, tapi tentu temannya bahkan tidak tahu dia mencintai James. "Apa kau pernah ditiduri secara paksa oleh seseorang?" tanya James dengan hati-hati. Dia melirik sekitar di taman yang mereka kunjungi. Lalu menatap Keenan yang bermain dengan Javier sambil terus mengawasinya
PLAK! "Emily, apa yang kaulakukan? Kenapa menamparku?"Keenan meraba pipinya yang terasa panas oleh tamparan Emily. Istrinya pulang dalam keadaan emosi dan langsung menyeretnya ke dalam kamar, lalu tiba-tiba menamparnya tanpa banyak berkata-kata. Keenan melihat tubuh itu bergetar dan cairan menggenang di pelupuk matanya. Rasa kecewa terlihat jelas tergambar di sana, sampai kemudian Emily melempar kertas ke wajahnya tanpa basa-basi. "Kenapa kau menyembunyikan semua ini, Keenan? KENAPA!" Emily dengan cepat meraih kemeja suaminya dan mencengkeramnya dengan kuat. Dia tidak percaya dengan fakta yang diberitahu James. Tega sekali Keenan menghancurkan hidupnya dan datang tanpa rasa bersalah, seolah-olah tidak pernah merasa salah. "Kenapa kau menghancurkanku? Kenapa kau lakukan itu?""E-emily, tunggu, apa yang kaukatakan?""Kenapa kau memperkosaku! Kenapa kau sangat jahat, Ken! Padahal aku sudah menyukaimu, aku menyukaimu." Kristal bening jatuh membasahi kedua pipinya. Emily tidak dapat me
"Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu
Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan
"Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom
Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,
"Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men
"Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta
"Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja
Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P