"James, apa maksudnya ini?"Emily menatap bingung foto yang diberikan oleh James. Dia mengernyit saat memperjelas penglihatannya dan menyadari dengan mudah kalau wanita di foto itu adalah ... dirinya? Dengan siapa? Tapi sepertinya dia mengenal tempat tersebut. Emily mencoba berpikir keras tentang tempat itu, tapi sayang dia tidak terlalu ingat. "James, apa ini? Aku tidak mengerti.""Kau pernah pergi ke kelab malam saat SMA?""Ya ... itu kadang?" jawab Emily dengan ragu. Dia menatap James yang kini tampak menyorot tajam ke arahnya. Masa-masa SMA adalah masa dia mulai nakal. Setelah hatinya dipatahkan oleh James, hidup Emily mulai kacau. Tidak ada keluarga yang mendukung atau teman yang benar-benar peduli, kecuali Ashley, tapi tentu temannya bahkan tidak tahu dia mencintai James. "Apa kau pernah ditiduri secara paksa oleh seseorang?" tanya James dengan hati-hati. Dia melirik sekitar di taman yang mereka kunjungi. Lalu menatap Keenan yang bermain dengan Javier sambil terus mengawasinya
PLAK! "Emily, apa yang kaulakukan? Kenapa menamparku?"Keenan meraba pipinya yang terasa panas oleh tamparan Emily. Istrinya pulang dalam keadaan emosi dan langsung menyeretnya ke dalam kamar, lalu tiba-tiba menamparnya tanpa banyak berkata-kata. Keenan melihat tubuh itu bergetar dan cairan menggenang di pelupuk matanya. Rasa kecewa terlihat jelas tergambar di sana, sampai kemudian Emily melempar kertas ke wajahnya tanpa basa-basi. "Kenapa kau menyembunyikan semua ini, Keenan? KENAPA!" Emily dengan cepat meraih kemeja suaminya dan mencengkeramnya dengan kuat. Dia tidak percaya dengan fakta yang diberitahu James. Tega sekali Keenan menghancurkan hidupnya dan datang tanpa rasa bersalah, seolah-olah tidak pernah merasa salah. "Kenapa kau menghancurkanku? Kenapa kau lakukan itu?""E-emily, tunggu, apa yang kaukatakan?""Kenapa kau memperkosaku! Kenapa kau sangat jahat, Ken! Padahal aku sudah menyukaimu, aku menyukaimu." Kristal bening jatuh membasahi kedua pipinya. Emily tidak dapat me
"Ya, itu benar, kamu memang pernah melakukannya. Ada orang yang sengaja menaruh obat perangsang ke dalam minumanmu. Orang itu adalah salah satu temanmu. Kau benar-benar ceroboh waktu itu.""Apa? Temanku? Jadi ada orang yang memasukkan obat? Tapi kenapa Papa tidak pernah memberitahuku sebelumnya?"Keenan menggebrak meja tak percaya. Dia menatap ayahnya yang kini membuka kembali apa yang pernah terjadi belasan tahun lalu. Setelah mendengar penjelasan dari ibunya kemarin, dia langsung mendatangi ayahnya hari ini di jam makan siang. Keenan ingin tahu apa yang sebenarnya dia lewatkan. "Kenapa Papa menyembunyikan semua ini?""Papa pikir ini lebih baik karena kamu juga tidak mengingat kejadian itu. Lagi pula, Papa tidak mau kamu terlibat dengan gadis yang mereka bawa. Bisa saja mereka ingin memanfaatkan kesempatan untuk menekanmu."Kedua tangan Keenan mengepal sempurna. Dia masih belum bisa mempercayai kenyataan kalau dia telah menghancurkan hidup Emily. Dia yang membuat wanita itu jadi terb
Emily mengaduk-aduk minumannya tanpa minat. Dia berkali-kali menghela napas kasar sambil memikirkan percakapannya dengan ayah mertuanya semalam. Keenan tak bersalah. Lelaki itu dijebak. Sekarang cukup masuk akal kenapa Keenan tidak mengingatnya. Dia juga tidak ingat wajah lelaki yang memperkosanya karena semua berlangsung cepat. Haruskah dia menuruti perkataan ayah mertuanya? Keenan juga bersikap baik padanya, tapi bagaimana jika ada wanita lain sebelumnya yang disentuh Keenan? Emily tidak bisa membayangkan hal itu. "Nyonya? Nyonya?" tegur sebuah suara. Emily yang saat ini melamun, sontak tersadar dan langsung menatap pelayan yang baru saja menegurnya. "Ya? Ada apa, Bi?""Itu, sepertinya jam sekolah Tuan Javier sudah selesai.""Oh, iya, aku harus menjemputnya." Emily buru-buru bangkit dari duduknya dan menaruh minuman. Dia mengambil tas sambil melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kali ini, Emily memutuskan untuk menjemput sang anak langsung. "Bi, tolong bereskan
"Oma Ela, kapan Mommy jemput Iel? Kok belum datang-datang, terus ini rumah siapa?""Ini rumah kamu, Javier. Nanti Oma kabari Ibu kamu, ya. Ayo makan lagi."Javier menatap lekat wanita tua yang dulu pernah datang ke rumahnya bersama sang Ibu. Wanita paruh baya yang mengaku sebagai neneknya. Katanya, ibunya tidak akan datang menjemput dan dia harus ikut dengan neneknya ini, tapi Javier merasa tidak nyaman. Dia asing dengan rumah besar yang sepi. Tidak seperti rumahnya yang banyak orang, meski lebih kecil. Javier juga merasa menyesal mau ikut pergi. "Iel udah kenyang, Oma, Iel mau pulang aja." Javier beranjak dari duduknya dan hendak meninggalkan ruang makan, tapi tak disangka wanita paruh baya itu menahannya. "Javier, tolong tunggu sebentar lagi, ya? Ayah kamu akan datang soalnya. Memangnya Javier juga nggak mau main sama Oma?""Main? Ayah? Iel nggak punya ayah, Iel cuma punya Daddy," sangkal Javier. Ucapan polosnya seketika membuat nyonya Sheila yang tadinya tersenyum, langsung meng
James berteriak sambil berusaha mengejar anaknya yang berlari kencang meninggalkan area rumah. Dia nyaris bisa mengejar Javier yang berlari di sekitar trotoar, tapi sayangnya tidak, saat anaknya berniat melintas di jalan raya. Jalan yang sebenarnya cukup ramai dan tampak dari arah berlawanan sebuah mobil melaju cepat. Bola matanya melotot seketika saat melihat sang anak terus memaksa melintas. James seketika itu berlari cepat untuk mengejarnya, tapi sayangnya itu malah membuat Javier semakin nekat dan kecelakaan pun tak dapat dihindarkan. "JAVIER!" teriak James sambil memeluk tubuh sang anak yang tertabrak dan terpental. Membuat dirinya saat itu juga jatuh menghantam tiang jalan. Rasa sakit pun dirasakannya, tapi James hanya bisa menangis melihat Javier jatuh pingsan tanpa peduli dia tiba-tiba memuntahkan darah. Tubuhnya benar-benar terasa mati rasa. Rasa pusing pun langsung menderanya, sebelum kemudian dia juga ikut jatuh pingsan. "James! Javier!"Sheila yang tadi ikut mengejar ana
"Emily, maafkan Tante. Ini semua salah Tante. Kamu tidak salah apa-apa sejak awal, ini salah Tante bertindak egois." Sheila segera berjongkok dan menarik Emily untuk berdiri. Hatinya terluka melihat wanita itu terus menerus menangis. Dia merasa bersalah karena selama ini hatinya selalu diliputi kemarahan tak ada habisnya. "Tante membawa Javier tanpa memberitahumu, Tante juga menjelaskan kalau James adalah ayah kandungnya. Tante memaksanya untuk mengakui kami. Maafkan Tante.""A-apa? Apa maksud Tante?"Tangis Emily berhenti, tapi ucapan nyonya Sheila berhasil membuatnya terkejut. Begitu juga dengan Keenan yang mendengarkan. "Kenapa? Kenapa Tante langsung mengatakannya tanpa bilang padaku? Javier masih belum menyukai James.""Tante tahu, James juga marah atas tindakan Tante, tapi Tante benar-benar tidak bisa bersabar. Javier memang marah dan menolak semua yang Tante katakan. Javier tidak mau mengakui James dan dia berlari untuk pulang. Tante tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, saat
"Mom, Mommy?"Suara lemah terdengar keluar dari bibir Javier bersamaan dengan matanya yang terbuka. Emily yang sedang terlelap di ranjang rumah sakit, sontak mengangkat kepalanya dengan wajah linglungnya. Dia masih setengah sadar saat kemudian matanya mendapati sang anak terbangun. "J-javier, Javier kamu sudah bangun, Sayang?" Emily menegakkan tubuhnya dan segera memeluk erat Javier. Dia juga memeriksa tubuh sang anak dengan cemas. Namun karena suaranya yang keras, James yang juga tengah tertidur setelah diobat, harus terbangun. Lelaki itu berkedip melihat Emily memeluk Javier. "Javier? Kamu sudah sadar?"James tersenyum lemah dan berusaha duduk. Dia bahkan hendak turun dari ranjang untuk menghampiri ranjang Javier yang ada di sebelahnya. Ya, ranjang rumah sakit mereka bersebelahan. Itu karena James meminta satu ruangan dengan Javier. Mengingat dokter mengatakan kalau James tidak boleh kelelahan dan harus beristirahat, tentu saja James yang memang berniat menemani Javier tadi, sempa