maaf semuanya, mau update semalam, malah ketiduran (˵ ͡° ͜ʖ ͡°˵) mana HP belum dicas. Astaga.
"Oma Ela, kapan Mommy jemput Iel? Kok belum datang-datang, terus ini rumah siapa?""Ini rumah kamu, Javier. Nanti Oma kabari Ibu kamu, ya. Ayo makan lagi."Javier menatap lekat wanita tua yang dulu pernah datang ke rumahnya bersama sang Ibu. Wanita paruh baya yang mengaku sebagai neneknya. Katanya, ibunya tidak akan datang menjemput dan dia harus ikut dengan neneknya ini, tapi Javier merasa tidak nyaman. Dia asing dengan rumah besar yang sepi. Tidak seperti rumahnya yang banyak orang, meski lebih kecil. Javier juga merasa menyesal mau ikut pergi. "Iel udah kenyang, Oma, Iel mau pulang aja." Javier beranjak dari duduknya dan hendak meninggalkan ruang makan, tapi tak disangka wanita paruh baya itu menahannya. "Javier, tolong tunggu sebentar lagi, ya? Ayah kamu akan datang soalnya. Memangnya Javier juga nggak mau main sama Oma?""Main? Ayah? Iel nggak punya ayah, Iel cuma punya Daddy," sangkal Javier. Ucapan polosnya seketika membuat nyonya Sheila yang tadinya tersenyum, langsung meng
James berteriak sambil berusaha mengejar anaknya yang berlari kencang meninggalkan area rumah. Dia nyaris bisa mengejar Javier yang berlari di sekitar trotoar, tapi sayangnya tidak, saat anaknya berniat melintas di jalan raya. Jalan yang sebenarnya cukup ramai dan tampak dari arah berlawanan sebuah mobil melaju cepat. Bola matanya melotot seketika saat melihat sang anak terus memaksa melintas. James seketika itu berlari cepat untuk mengejarnya, tapi sayangnya itu malah membuat Javier semakin nekat dan kecelakaan pun tak dapat dihindarkan. "JAVIER!" teriak James sambil memeluk tubuh sang anak yang tertabrak dan terpental. Membuat dirinya saat itu juga jatuh menghantam tiang jalan. Rasa sakit pun dirasakannya, tapi James hanya bisa menangis melihat Javier jatuh pingsan tanpa peduli dia tiba-tiba memuntahkan darah. Tubuhnya benar-benar terasa mati rasa. Rasa pusing pun langsung menderanya, sebelum kemudian dia juga ikut jatuh pingsan. "James! Javier!"Sheila yang tadi ikut mengejar ana
"Emily, maafkan Tante. Ini semua salah Tante. Kamu tidak salah apa-apa sejak awal, ini salah Tante bertindak egois." Sheila segera berjongkok dan menarik Emily untuk berdiri. Hatinya terluka melihat wanita itu terus menerus menangis. Dia merasa bersalah karena selama ini hatinya selalu diliputi kemarahan tak ada habisnya. "Tante membawa Javier tanpa memberitahumu, Tante juga menjelaskan kalau James adalah ayah kandungnya. Tante memaksanya untuk mengakui kami. Maafkan Tante.""A-apa? Apa maksud Tante?"Tangis Emily berhenti, tapi ucapan nyonya Sheila berhasil membuatnya terkejut. Begitu juga dengan Keenan yang mendengarkan. "Kenapa? Kenapa Tante langsung mengatakannya tanpa bilang padaku? Javier masih belum menyukai James.""Tante tahu, James juga marah atas tindakan Tante, tapi Tante benar-benar tidak bisa bersabar. Javier memang marah dan menolak semua yang Tante katakan. Javier tidak mau mengakui James dan dia berlari untuk pulang. Tante tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, saat
"Mom, Mommy?"Suara lemah terdengar keluar dari bibir Javier bersamaan dengan matanya yang terbuka. Emily yang sedang terlelap di ranjang rumah sakit, sontak mengangkat kepalanya dengan wajah linglungnya. Dia masih setengah sadar saat kemudian matanya mendapati sang anak terbangun. "J-javier, Javier kamu sudah bangun, Sayang?" Emily menegakkan tubuhnya dan segera memeluk erat Javier. Dia juga memeriksa tubuh sang anak dengan cemas. Namun karena suaranya yang keras, James yang juga tengah tertidur setelah diobat, harus terbangun. Lelaki itu berkedip melihat Emily memeluk Javier. "Javier? Kamu sudah sadar?"James tersenyum lemah dan berusaha duduk. Dia bahkan hendak turun dari ranjang untuk menghampiri ranjang Javier yang ada di sebelahnya. Ya, ranjang rumah sakit mereka bersebelahan. Itu karena James meminta satu ruangan dengan Javier. Mengingat dokter mengatakan kalau James tidak boleh kelelahan dan harus beristirahat, tentu saja James yang memang berniat menemani Javier tadi, sempa
"Emily, kamu pulang ya, Javier biar aku yang jaga. Kamu ikut Mama." Keenan berjalan pelan mengikuti Emily yang duduk untuk mengisi perut. Dia menatap sang istri yang tampak muram dan terlihat letih meski telah mengetahui Javier sudah baik-baik saja. Tangannya terulur hendak meraih tangan Emily, tapi sayang, wanita itu menariknya dan langsung tertunduk. Keenan terkejut akan reaksi Emily yang tiba-tiba berubah. Apa wanita itu kembali marah padanya? "Aku mau di sini, Ken. Aku akan menjaga Javier. Kau harus bekerja besok, jadi pulanglah.""Aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi kau sedang hamil sekarang. Kau tidak perlu melakukan itu demi aku, lakukan saja demi anakmu." Keenan menatap dalam-dalam istrinya sambil menelan ludah. Dia gugup saat harus bicara tentang kejadian di masa lalu, tapi ini kesempatan yang tepat karena Emily tidak mengusirnya. Meski Keenan salah, dia tetap egois karena tidak ingin melepaskan Emily. "Dan Emily, aku juga ingin mengatakan sesuatu tentang apa yang tentang ma
Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P
"Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja
"Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta