"Selamat datang di vila, kita akan di sini selama tiga hari. Apa kau menyukainya?" "Tentu saja, aku bisa tidur seharian," jawab Emily dengan semangat sembari berjalan masuk ke dalam vila bersama Keenan dan juga Javier. Dia menyukai suasana yang berbeda. Keenan benar-benar mengabulkan permintaannya. "Daddy, Iel mau berenang. Boleh ya?""Boleh dong. Ayo!"Keenan terkekeh dan langsung membawa Javier menuju halaman belakang. Emily pun hanya mengikuti dan membiarkan barang-barang mereka begitu saja. Melihat sang anak dan suaminya yang antusias, dia juga merasa sangat senang. Emily ikut duduk di pinggir kolam sambil menatap Keenan yang menyambut turun anaknya. "Apa kau juga mau turun, Sayang?""Tidak, aku hanya akan melihat saja di sini." Emily melebarkan senyum manisnya sambil mengusap rambut Javier. "Baiklah, nikmati waktumu."Emily mengangguk dan menjulurkan kedua kakinya ke kolam. Dia menikmati air dingin yang menyentuh kulitnya. Segar. Perjalanan yang cukup lama, membuat tubuhnya se
"Ken, kau sedang apa? Masih belum tidur?"Emily berjalan mendekati suaminya dan tanpa ragu mencium Keenan. Padahal hari sudah malam, tapi suaminya masih sibuk sendiri bermain dengan ponsel. Emily tidak dipedulikan. "Aku mengecek informasi dari Sam. Aku khawatir ada masalah di kantor, untunglah tidak ada." Keenan mengalihkan perhatiannya sejenak dari ponsel dan langsung menatap Emily. Dia mencubit pipi istrinya yang sudah sedikit bulat. Emily banyak makan sekarang sehingga berat badannya naik, tapi dia tahu, itu mungkin juga karena anaknya. "Kau itu, apa setiap hari kau hanya tahu bekerja? Sepertinya pekerjaan lebih penting dari pada aku.""Hahaha ... kau cemburu pada pekerjaanku? Jika aku lebih mementingkan pekerjaanku, tidak mungkin kita ada di sini, Sayang. Kau bahkan tidak mau berjauhan dari tadi."Sejak sekarang hingga malam, Emily terus menempel padanya. Keenan sampai tidak bisa bermain dengan Javier karena harus mengurus istrinya yang mendadak manja padanya. Javier tentu kesal
"Emily dan suaminya sedang berlibur, mereka juga membawa Javier bersama.""Apa kau tahu tempatnya?""Ya, saya tahu."Sebuah berkas diberikan pada James yang saat ini sedang duduk. Dia mengambilnya tanpa ragu dan membaca beberapa foto tempat Emily berlibur. Alamatnya cukup lengkap, sepertinya dia bisa menemukan mereka dengan cepat melalui bantuan ini. "Aku suka pekerjaanmu, tapi ... apa ini?""Itu informasi tambahan soal suaminya Emily. Aku menemukan fakta baru yang menarik. Mungkin ini juga yang kauinginkan."James terdiam melihat informasi di tangannya. Dia ikut penasaran dengan informasi yang dikatakan penting. Hingga tanpa ragu, James segera membacanya. Namun apa yang dibacanya itu, cukup membuatnya mengernyit. Sebuah capture artikel berita puluhan tahun silam dan kutipan narasi, cukup membuatnya terkejut. James juga melihat sebuah foto yang menampilkan sosok familier baginya. "Ini, ini Emily? Lalu lelaki ini?" James melihat sosok yang memeluk wanita itu. Sayangnya dia tidak bisa
"James, apa maksudnya ini?"Emily menatap bingung foto yang diberikan oleh James. Dia mengernyit saat memperjelas penglihatannya dan menyadari dengan mudah kalau wanita di foto itu adalah ... dirinya? Dengan siapa? Tapi sepertinya dia mengenal tempat tersebut. Emily mencoba berpikir keras tentang tempat itu, tapi sayang dia tidak terlalu ingat. "James, apa ini? Aku tidak mengerti.""Kau pernah pergi ke kelab malam saat SMA?""Ya ... itu kadang?" jawab Emily dengan ragu. Dia menatap James yang kini tampak menyorot tajam ke arahnya. Masa-masa SMA adalah masa dia mulai nakal. Setelah hatinya dipatahkan oleh James, hidup Emily mulai kacau. Tidak ada keluarga yang mendukung atau teman yang benar-benar peduli, kecuali Ashley, tapi tentu temannya bahkan tidak tahu dia mencintai James. "Apa kau pernah ditiduri secara paksa oleh seseorang?" tanya James dengan hati-hati. Dia melirik sekitar di taman yang mereka kunjungi. Lalu menatap Keenan yang bermain dengan Javier sambil terus mengawasinya
PLAK! "Emily, apa yang kaulakukan? Kenapa menamparku?"Keenan meraba pipinya yang terasa panas oleh tamparan Emily. Istrinya pulang dalam keadaan emosi dan langsung menyeretnya ke dalam kamar, lalu tiba-tiba menamparnya tanpa banyak berkata-kata. Keenan melihat tubuh itu bergetar dan cairan menggenang di pelupuk matanya. Rasa kecewa terlihat jelas tergambar di sana, sampai kemudian Emily melempar kertas ke wajahnya tanpa basa-basi. "Kenapa kau menyembunyikan semua ini, Keenan? KENAPA!" Emily dengan cepat meraih kemeja suaminya dan mencengkeramnya dengan kuat. Dia tidak percaya dengan fakta yang diberitahu James. Tega sekali Keenan menghancurkan hidupnya dan datang tanpa rasa bersalah, seolah-olah tidak pernah merasa salah. "Kenapa kau menghancurkanku? Kenapa kau lakukan itu?""E-emily, tunggu, apa yang kaukatakan?""Kenapa kau memperkosaku! Kenapa kau sangat jahat, Ken! Padahal aku sudah menyukaimu, aku menyukaimu." Kristal bening jatuh membasahi kedua pipinya. Emily tidak dapat me
"Ya, itu benar, kamu memang pernah melakukannya. Ada orang yang sengaja menaruh obat perangsang ke dalam minumanmu. Orang itu adalah salah satu temanmu. Kau benar-benar ceroboh waktu itu.""Apa? Temanku? Jadi ada orang yang memasukkan obat? Tapi kenapa Papa tidak pernah memberitahuku sebelumnya?"Keenan menggebrak meja tak percaya. Dia menatap ayahnya yang kini membuka kembali apa yang pernah terjadi belasan tahun lalu. Setelah mendengar penjelasan dari ibunya kemarin, dia langsung mendatangi ayahnya hari ini di jam makan siang. Keenan ingin tahu apa yang sebenarnya dia lewatkan. "Kenapa Papa menyembunyikan semua ini?""Papa pikir ini lebih baik karena kamu juga tidak mengingat kejadian itu. Lagi pula, Papa tidak mau kamu terlibat dengan gadis yang mereka bawa. Bisa saja mereka ingin memanfaatkan kesempatan untuk menekanmu."Kedua tangan Keenan mengepal sempurna. Dia masih belum bisa mempercayai kenyataan kalau dia telah menghancurkan hidup Emily. Dia yang membuat wanita itu jadi terb
Emily mengaduk-aduk minumannya tanpa minat. Dia berkali-kali menghela napas kasar sambil memikirkan percakapannya dengan ayah mertuanya semalam. Keenan tak bersalah. Lelaki itu dijebak. Sekarang cukup masuk akal kenapa Keenan tidak mengingatnya. Dia juga tidak ingat wajah lelaki yang memperkosanya karena semua berlangsung cepat. Haruskah dia menuruti perkataan ayah mertuanya? Keenan juga bersikap baik padanya, tapi bagaimana jika ada wanita lain sebelumnya yang disentuh Keenan? Emily tidak bisa membayangkan hal itu. "Nyonya? Nyonya?" tegur sebuah suara. Emily yang saat ini melamun, sontak tersadar dan langsung menatap pelayan yang baru saja menegurnya. "Ya? Ada apa, Bi?""Itu, sepertinya jam sekolah Tuan Javier sudah selesai.""Oh, iya, aku harus menjemputnya." Emily buru-buru bangkit dari duduknya dan menaruh minuman. Dia mengambil tas sambil melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kali ini, Emily memutuskan untuk menjemput sang anak langsung. "Bi, tolong bereskan
"Oma Ela, kapan Mommy jemput Iel? Kok belum datang-datang, terus ini rumah siapa?""Ini rumah kamu, Javier. Nanti Oma kabari Ibu kamu, ya. Ayo makan lagi."Javier menatap lekat wanita tua yang dulu pernah datang ke rumahnya bersama sang Ibu. Wanita paruh baya yang mengaku sebagai neneknya. Katanya, ibunya tidak akan datang menjemput dan dia harus ikut dengan neneknya ini, tapi Javier merasa tidak nyaman. Dia asing dengan rumah besar yang sepi. Tidak seperti rumahnya yang banyak orang, meski lebih kecil. Javier juga merasa menyesal mau ikut pergi. "Iel udah kenyang, Oma, Iel mau pulang aja." Javier beranjak dari duduknya dan hendak meninggalkan ruang makan, tapi tak disangka wanita paruh baya itu menahannya. "Javier, tolong tunggu sebentar lagi, ya? Ayah kamu akan datang soalnya. Memangnya Javier juga nggak mau main sama Oma?""Main? Ayah? Iel nggak punya ayah, Iel cuma punya Daddy," sangkal Javier. Ucapan polosnya seketika membuat nyonya Sheila yang tadinya tersenyum, langsung meng
"Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu
Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan
"Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom
Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,
"Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men
"Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta
"Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja
Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P