"Emily, aku ingin bertemu anakku."Sebuah pesan masuk di ponsel Emily dari James dan itu dilihat langsung oleh Keenan yang menerimanya. Tatapannya terlihat datar. Keenan menghela napas kasar dan memandang Emily yang kini menatapnya penuh tanda tanya. Wanita itu sekarang tidak berusaha menyembunyikan sesuatu darinya lagi. "Aku izinkan. Kalau dia mau, suruh datang ke sini," ucap Keenan sambil memberikan ponsel Emily kembali. Sesuai janjinya, dia tidak akan menghalangi James bertemu Javier. "Terima kasih, Ken." Senyum Emily mengembang. Dia dengan cepat segera membalas pesan James setelah mendapat izin dari sang suami. "Kau senang sekali. Apa kau berharap bertemu dengannya?" sindir Keenan. Emily yang baru selesai mendapat balasan, seketika langsung menoleh. Dia mengernyit melihat tatapan cemburu lagi-lagi diperlihatkan suaminya. "Boleh aku menemuinya?""Tidak, diamlah di sini. Aku yang akan menyambutnya."Emily mengerucutkan bibirnya, tapi dia tetap bertahan di sana. Bersandar dengan
"Jangan pukul Daddy! Dasar jahat! Jangan pukul Daddy-ku!" teriak Javier yang berlari mendekati Keenan dan James. Tak peduli jika keduanya kini saling baku hantam dengan James yang memukul Keenan membabi buta. Lelaki itu seolah berniat membunuhnya dan Javier tanpa rasa takut berusaha menarik tangan James. "JAVIER!" Emily yang masih berada di tangga, refleks melotot kaget melihat anaknya berusaha memisahkan Keenan dan James. Tak mau anaknya kenapa-kenapa, Emily bergegas berlari menghampiri Javier. Sayangnya, langkahnya terlambat ketika Javier malah menggigit tangan James yang kemudian membuat lelaki itu mendorong anaknya cukup keras. Javier langsung terdorong jatuh ke lantai dan membuat Emily seketika itu berteriak nyaring. Dia berlari menghampiri anaknya dengan ketakutan. Teriakannya itu juga yang seketika menghentikan perkelahian Keenan dan James. Seperti tersiram air dingin, keduanya terkejut melihat Emily menangis sambil memeriksa Javier. James yang pertama kali menyadari kesalah
Kaku, suasana pagi itu benar-benar kaku dan canggung. Sarapan hanya diisi oleh keheningan. Baik Keenan maupun Emily tidak ada yang membuka suara. Percakapan mereka semalam adalah penyebabnya. Keenan tak sungkan menunjukkan kesedihannya atas pengkhianatan sang istri, sedang Emily merasa amat bersalah sampai dia tidak bisa membuka mulut untuk menyangkalnya. Rasa malu dan hina menggerogotinya. Jika Keenan tidak percaya anak yang dikandungnya adalah anaknya, Emily juga tidak bisa menyangkal. Lelaki itu patut mencurigainya. Semua berawal dari kesalahannya. Rumah tangganya berada diambang kehancuran. Haruskah dia menyerah saja? Emily tidak yakin dengan semua ini. "Dad, wajah Daddy masih lebam, sakit ya? Ini semua gara-gara Om J! Kok bisa sih, Om J jahat sama Daddy? Iel sebel!" ucap Javier dengan menggebu-gebu. Dia menunjukkan rasa khawatirnya akan kondisi wajah Keenan yang kini tampak lebam-lebam, sekaligus pemecah suasana kurang nyaman di meja makan. "Tidak, Javier, jangan marah. Daddy
Emily menatap diam-diam Keenan yang saat ini sedang makan dengan lahap. Lebam masih terlihat di wajahnya dan Emily merasa sedih melihatnya. Hingga dia kemudian mengajak lelaki itu makan siang di restorannya dan Keenan mau. Walau lelaki itu jadi tidak banyak bicara. Tatapannya pun masih tampak sendu seakan menyimpan segudang kesedihan. Ini gara-gara dia dan dia bingung bagaimana caranya minta maaf. Haruskah nanti Emily mengajak suaminya makan malam romantis? Menyiapkan bunga dan kado? Keenan menyukai sesuatu seperti apa? "Kau tidak makan?" tanya Keenan. Mengaburkan lamunan Emily. "Ya?""Kau belum menyentuh makanannya.""Oh, benar, maaf aku melamun." Emily meringis. Entah mengapa dia kini merasa kikuk dan sangat mendadak malu saat ditatap suaminya. Semua ini mungkin gara-gara perkataan Ashley tadi. Dia jadi memikirkan perasaannya pada Keenan. Suka? Dia benar-benar menyukai orang ini? "Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku?"Emily tersentak dan seketika memutus kontak mata mereka. Dia m
"Aku akan tetap bersama Keenan.""Tidak, tidak. TIDAK! AARRRGGHHH ...."James berteriak marah sembari melempar lampu tidur ke dinding, membuatnya hancur dalam sekejap dan mengisi suasana di rumah itu menjadi suram. Usai pertemuannya dengan Emily saat makan siang, James tidak bisa tidak emosi. Kamarnya sekarang berantakan, rumahnya sudah seperti kapal pecah. Tidak peduli puluhan telepon dari ibu dan karyawan lain yang menanyakan kapan dia kembali ke kantor, memenuhi ponselnya. Hatinya patah. James merasa hancur. Dua kali dirinya jatuh cinta dan dua kali itu pula dirinya merasakan sakit tiada henti. Dulu Ashley tidur dengan ayah angkatnya saat mereka akan menikah. Sekarang Emily lebih memilih Keenan padahal wanita itu sudah berjanji untuk bersamanya. Kenapa? Kenapa tidak ada kebahagiaan sedikit pun untuknya? Kenapa dia tidak pernah bisa mendapatkan wanita yang dicintainya? Kenapa semuanya diambil darinya dan meninggalkannya sendirian? Kenapa semua orang berpaling darinya? James jatuh t
"Selamat datang di vila, kita akan di sini selama tiga hari. Apa kau menyukainya?" "Tentu saja, aku bisa tidur seharian," jawab Emily dengan semangat sembari berjalan masuk ke dalam vila bersama Keenan dan juga Javier. Dia menyukai suasana yang berbeda. Keenan benar-benar mengabulkan permintaannya. "Daddy, Iel mau berenang. Boleh ya?""Boleh dong. Ayo!"Keenan terkekeh dan langsung membawa Javier menuju halaman belakang. Emily pun hanya mengikuti dan membiarkan barang-barang mereka begitu saja. Melihat sang anak dan suaminya yang antusias, dia juga merasa sangat senang. Emily ikut duduk di pinggir kolam sambil menatap Keenan yang menyambut turun anaknya. "Apa kau juga mau turun, Sayang?""Tidak, aku hanya akan melihat saja di sini." Emily melebarkan senyum manisnya sambil mengusap rambut Javier. "Baiklah, nikmati waktumu."Emily mengangguk dan menjulurkan kedua kakinya ke kolam. Dia menikmati air dingin yang menyentuh kulitnya. Segar. Perjalanan yang cukup lama, membuat tubuhnya se
"Ken, kau sedang apa? Masih belum tidur?"Emily berjalan mendekati suaminya dan tanpa ragu mencium Keenan. Padahal hari sudah malam, tapi suaminya masih sibuk sendiri bermain dengan ponsel. Emily tidak dipedulikan. "Aku mengecek informasi dari Sam. Aku khawatir ada masalah di kantor, untunglah tidak ada." Keenan mengalihkan perhatiannya sejenak dari ponsel dan langsung menatap Emily. Dia mencubit pipi istrinya yang sudah sedikit bulat. Emily banyak makan sekarang sehingga berat badannya naik, tapi dia tahu, itu mungkin juga karena anaknya. "Kau itu, apa setiap hari kau hanya tahu bekerja? Sepertinya pekerjaan lebih penting dari pada aku.""Hahaha ... kau cemburu pada pekerjaanku? Jika aku lebih mementingkan pekerjaanku, tidak mungkin kita ada di sini, Sayang. Kau bahkan tidak mau berjauhan dari tadi."Sejak sekarang hingga malam, Emily terus menempel padanya. Keenan sampai tidak bisa bermain dengan Javier karena harus mengurus istrinya yang mendadak manja padanya. Javier tentu kesal
"Emily dan suaminya sedang berlibur, mereka juga membawa Javier bersama.""Apa kau tahu tempatnya?""Ya, saya tahu."Sebuah berkas diberikan pada James yang saat ini sedang duduk. Dia mengambilnya tanpa ragu dan membaca beberapa foto tempat Emily berlibur. Alamatnya cukup lengkap, sepertinya dia bisa menemukan mereka dengan cepat melalui bantuan ini. "Aku suka pekerjaanmu, tapi ... apa ini?""Itu informasi tambahan soal suaminya Emily. Aku menemukan fakta baru yang menarik. Mungkin ini juga yang kauinginkan."James terdiam melihat informasi di tangannya. Dia ikut penasaran dengan informasi yang dikatakan penting. Hingga tanpa ragu, James segera membacanya. Namun apa yang dibacanya itu, cukup membuatnya mengernyit. Sebuah capture artikel berita puluhan tahun silam dan kutipan narasi, cukup membuatnya terkejut. James juga melihat sebuah foto yang menampilkan sosok familier baginya. "Ini, ini Emily? Lalu lelaki ini?" James melihat sosok yang memeluk wanita itu. Sayangnya dia tidak bisa