Brak! Pintu kamar terbuka. Emily yang sedang berbaring seketika menoleh ke arah pintu. Dia terkejut oleh suara yang cukup keras barusan, tapi kemudian dia lebih dibuat terkejut saat melihat kehadiran ibu mertuanya, yang tampak cemas. "Mama?""Emily, kata Keenan kamu mengalami morning sickness? Bagaimana keadaanmu sekarang?"Emily menggeleng dan berusaha untuk duduk saat melihat ibu mertuanya berjalan menghampirinya. Dia memang sedikit pusing pagi ini dan lagi-lagi, dia sulit untuk makan. Hanya sedikit makanan yang masuk ke dalam mulutnya saat Keenan menyuapinya. "Aku tidak apa-apa, Ma. Ini tidak terlalu parah. Aku bisa mengatasinya.""Benarkah? Tapi kata Keenan, nafsu makanmu semakin menurun. Kalau gitu, kamu makan lagi ya sama Mama? Mama siapin sarapan buat kamu?" tawar nyonya Silvi, membuat Emily yang mendengarnya langsung gelagapan dan refleks menggenggam tangannya. "Eh, tidak usah, Ma. Aku akan makan nanti. Sekarang perutku masih sedikit mual."Di kehamilan keduanya, Emily tidak
Sepanjang perjalanan pulang, ekspresi masam terus menghiasi wajah Emily. Dia masih kesal dengan Keenan yang malah menggodanya. Cemburu? Yang benar saja! Untuk apa dia cemburu pada wanita itu? Suaminya sok kegantengan. Walau begitu, tapi kenapa rasa kesalnya masih belum mereda? Emily hanya bisa berdecak sebal dan menatap kawasan menuju rumahnya tanpa minat. Dia memerhatikan rumah James yang tampaknya kosong, lelaki itu tidak menghubunginya lagi setelah kejadian di restoran saat Keenan membawanya pergi. Pasti James sangat marah. Saat Emily sedang mengamati sekitar, tepat ketika mobil yang ditumpanginya tiba di gerbang, dia melihat sesuatu yang tidak biasa. Kehadiran seseorang di pintu gerbang. "Pak, tunggu sebentar!" perintah Emily. Dia meminta sang sopir untuk berhenti. "Ada apa, Nyonya?""Aku akan turun di sini saja."Tanpa menunggu jawaban sopirnya, Emily bergegas turun dari mobilnya dan berjalan menghampiri seseorang yang dia lihat barusan. Orang itu masih ada. Berdiri menatapnya
"Kamu serius?""Ya, aku akan berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan."Nyonya Sheila bergeming mendengar ucapan James. Kobaran semangat di mata sang anak tampak membara. James terlihat sangat ingin sekali melanjutkan memimpin perusahaan. Dia memang mengharapkan hal tersebut, meski begitu, James harus menunjukkan dirinya kalau anaknya mampu. "Mama senang mendengarnya, tapi kamu harus menunjukkan kesungguhanmu.""Tentu, sampai saat itu tiba, tolong tetap rahasiakan kalau aku adalah anak Mama. Aku tidak mau dituduh memanfaatkan jabatan Mama.""Itu gampang, kalau begitu, apa kamu mau ikut dengan Mama makan malam di luar?""Di luar?" James terdiam sebentar sambil berpikir. Sudah beberapa hari ini dia disibukkan oleh pekerjaan dan tidak bisa menemui Emily. Dia juga ingin kembali ke rumah saat ini. Sayangnya, rasa bingung James dengan cepat disadari oleh sang ibu. "Ayolah, ya? Mana ingin makan bersama denganmu di luar.""Baiklah."James tidak bisa menolak permintaan ibunya kali in
"Sampai kapan kau tidur seperti ini?""Tidak tahu, tanyakan pada anakmu."Keenan mendengkus. Dia tidak lagi bersuara dan membiarkan Emily tidur di pangkuannya sambil memakan camilan. Tak jauh dari mereka, Javier sibuk merangkai bunga. Harusnya hari weekend ini mereka keluar. Bermain seperti biasanya, tapi karena Emily malas ke mana-mana dan hanya ingin menghabiskan waktu di taman belakang rumah mereka, dia dan Javier pun tidak bisa berbuat apa-apa. Javier juga tidak merajuk dan memahami keinginan calon adiknya. "Kenapa kau malas sekali semenjak hamil? Apa anakku nantinya akan jadi pemalas?""Mana aku tahu. Tutup mulutmu." Emily menguap sambil menatap mata Keenan dari posisinya. Dia menyuapi lelaki itu dengan kue yang juga dimakan olehnya. Perasaannya sedikit menenangkan saat Keenan mendampinginya ketika dia sedang hamil. Hal yang sejak dulu dia idamkan, dan baru kali ini terwujud.Dulu, saat Emily mengandung Javier, dia bahkan tidak mendapat perhatian seperti ini dari James atau ibu
"Emily, aku ingin bertemu anakku."Sebuah pesan masuk di ponsel Emily dari James dan itu dilihat langsung oleh Keenan yang menerimanya. Tatapannya terlihat datar. Keenan menghela napas kasar dan memandang Emily yang kini menatapnya penuh tanda tanya. Wanita itu sekarang tidak berusaha menyembunyikan sesuatu darinya lagi. "Aku izinkan. Kalau dia mau, suruh datang ke sini," ucap Keenan sambil memberikan ponsel Emily kembali. Sesuai janjinya, dia tidak akan menghalangi James bertemu Javier. "Terima kasih, Ken." Senyum Emily mengembang. Dia dengan cepat segera membalas pesan James setelah mendapat izin dari sang suami. "Kau senang sekali. Apa kau berharap bertemu dengannya?" sindir Keenan. Emily yang baru selesai mendapat balasan, seketika langsung menoleh. Dia mengernyit melihat tatapan cemburu lagi-lagi diperlihatkan suaminya. "Boleh aku menemuinya?""Tidak, diamlah di sini. Aku yang akan menyambutnya."Emily mengerucutkan bibirnya, tapi dia tetap bertahan di sana. Bersandar dengan
"Jangan pukul Daddy! Dasar jahat! Jangan pukul Daddy-ku!" teriak Javier yang berlari mendekati Keenan dan James. Tak peduli jika keduanya kini saling baku hantam dengan James yang memukul Keenan membabi buta. Lelaki itu seolah berniat membunuhnya dan Javier tanpa rasa takut berusaha menarik tangan James. "JAVIER!" Emily yang masih berada di tangga, refleks melotot kaget melihat anaknya berusaha memisahkan Keenan dan James. Tak mau anaknya kenapa-kenapa, Emily bergegas berlari menghampiri Javier. Sayangnya, langkahnya terlambat ketika Javier malah menggigit tangan James yang kemudian membuat lelaki itu mendorong anaknya cukup keras. Javier langsung terdorong jatuh ke lantai dan membuat Emily seketika itu berteriak nyaring. Dia berlari menghampiri anaknya dengan ketakutan. Teriakannya itu juga yang seketika menghentikan perkelahian Keenan dan James. Seperti tersiram air dingin, keduanya terkejut melihat Emily menangis sambil memeriksa Javier. James yang pertama kali menyadari kesalah
Kaku, suasana pagi itu benar-benar kaku dan canggung. Sarapan hanya diisi oleh keheningan. Baik Keenan maupun Emily tidak ada yang membuka suara. Percakapan mereka semalam adalah penyebabnya. Keenan tak sungkan menunjukkan kesedihannya atas pengkhianatan sang istri, sedang Emily merasa amat bersalah sampai dia tidak bisa membuka mulut untuk menyangkalnya. Rasa malu dan hina menggerogotinya. Jika Keenan tidak percaya anak yang dikandungnya adalah anaknya, Emily juga tidak bisa menyangkal. Lelaki itu patut mencurigainya. Semua berawal dari kesalahannya. Rumah tangganya berada diambang kehancuran. Haruskah dia menyerah saja? Emily tidak yakin dengan semua ini. "Dad, wajah Daddy masih lebam, sakit ya? Ini semua gara-gara Om J! Kok bisa sih, Om J jahat sama Daddy? Iel sebel!" ucap Javier dengan menggebu-gebu. Dia menunjukkan rasa khawatirnya akan kondisi wajah Keenan yang kini tampak lebam-lebam, sekaligus pemecah suasana kurang nyaman di meja makan. "Tidak, Javier, jangan marah. Daddy
Emily menatap diam-diam Keenan yang saat ini sedang makan dengan lahap. Lebam masih terlihat di wajahnya dan Emily merasa sedih melihatnya. Hingga dia kemudian mengajak lelaki itu makan siang di restorannya dan Keenan mau. Walau lelaki itu jadi tidak banyak bicara. Tatapannya pun masih tampak sendu seakan menyimpan segudang kesedihan. Ini gara-gara dia dan dia bingung bagaimana caranya minta maaf. Haruskah nanti Emily mengajak suaminya makan malam romantis? Menyiapkan bunga dan kado? Keenan menyukai sesuatu seperti apa? "Kau tidak makan?" tanya Keenan. Mengaburkan lamunan Emily. "Ya?""Kau belum menyentuh makanannya.""Oh, benar, maaf aku melamun." Emily meringis. Entah mengapa dia kini merasa kikuk dan sangat mendadak malu saat ditatap suaminya. Semua ini mungkin gara-gara perkataan Ashley tadi. Dia jadi memikirkan perasaannya pada Keenan. Suka? Dia benar-benar menyukai orang ini? "Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku?"Emily tersentak dan seketika memutus kontak mata mereka. Dia m
"Oek ... oek ...."Suara tangis anak kecil terdengar jelas dan mengusik ketenangan Keenan yang saat ini sedang asyik terlelap. Dia menutup telinganya dengan bantal, tapi suara itu tetap terdengar dan justru semakin keras. Dia berdecak kesal, tapi tak ayal matanya terbuka. Keenan setengah mengantuk, terduduk dan melihat ke arah keranjang bayi. Lalu beralih melirik Emily yang tertidur pulas. "Yang, Sayang? Anak kita nangis." Keenan mengguncang tubuh Emily, berharap istrinya akan segera bangun. Namun Emily hanya melenguh dan tetap terlelap. "Sayang, Feli nangis."Keenan masih mencoba membangunkan Emily, tapi istrinya masih terlelap. Dia yang melihat itu, merasa bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ini sudah nyaris empat puluh hari sejak Feli lahir, tapi dia belum bisa menggendongnya. Namun melihat Emily yang sepertinya tidak akan bangun, Keenan akhirnya berusaha mendekat dan menatap anaknya. "Ssstt, Feli sayang, jangan nangis ya. Mommy lagi tidur, kamu juga harus tidu
Lima bulan kemudian .... "Akhhh ... akhhh ... sakit!"Emily mengerang hebat. Dia mencengkeram kuat lengan Keenan sembari mendengar intruksi sang dokter untuk terus mengejan. Keringat bercucuran seiring dengan dirinya yang berusaha keras mengeluarkan sang anak. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan Emily harus tetap dalam kesadarannya agar bisa melahirkan anak keduanya dengan selamat. "Sayang, ayo semangat! Kamu pasti bisa," ucap Keenan sambil mengecup tangan Emily dan mengusap keringat di keningnya. Dia takut dan cemas melihat Emily bersusah payah mengeluarkan anaknya. Hingga dirinya kini membiarkan saat kukuk-kukuk tajam Emily menancap di kulitnya. Rasa sakit yang dia rasakan sekarang, sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakan oleh istrinya. "Ayo, Bu, sedikit lagi. Kepalanya sudah keluar."Keenan tak berani melihat anaknya. Dia hanya fokus pada Emily yang kini berjuang keras, hingga akhirnya istrinya itu menjerit kuat sampai kemudian disusul oleh suara tang
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang ... juga ...."Suara nyanyian ulang tahun bergema di sebuah ballroom hotel, yang mana saat ini mereka sedang merayakan hari ulang tahun Evelyn. Mengundang beberapa anak, termasuk Javier yang datang bersama Emily dan Keenan. Ada juga James yang turut hadir untuk menemani. Perayaan ulang tahun itu juga digelar bersamaan dengan acara syukuran atas kehamilan kedua Ashley, hingga cukup banyak orang dewasa yang datang. "Selamat ulang tahun, Evelyn."Semua orang berseru memberi selamat hingga acara terus berlanjut pada pemotongan kue. Gadis kecil yang kini seusia Javier itu tampak sangat antuasias saat memotong kue untuk dibagikan pada teman-temannya. Namun sebelum itu, Evelyn hendak memberikan kue potongan pertamanya. Emily, Keenan dan Javier hanya mengamati Evelyn yang menuruni panggung sampai gadis itu tak disangka berjalan ke arah mereka. Emily hanya bisa mengernyit kebingungan menanti aksi apa lagi yan
"Mom, jadi Mommy suka sama Ayah, ya?""Eh? Kenapa kamu bertanya begitu?" Emily yang sedang mengusap puncak kepala Javier untuk menidurkan sang anak, terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut kecil itu. "Kata Ayah, Mommy itu cinta banget sama Ayah, jadi Mommy ngejar-ngejar Ayah, terus hamil Iel deh. Beneran gitu, ya, Mom?" tanya Javier dengan penasaran. Dia tidak sadar jika pertanyaannya itu membuat Emily langsung mati kutu. 'James, kau bilang apa saja pada anakmu!' Emily menggeram dalam hati. "Y-ya, itu masa lalu. Ayahmu bilang apa lagi sama kamu?""Buanyyakkk banget, Mom!" Javier melebarkan kedua tangannya untuk mengekspresikan sebanyak apa James bercerita tentang Emily. "Ayah banyak cerita tentang Mommy. Katanya, Mommy, Ayah dan Tante Ashley itu teman. Ayah itu populer dan Mommy suka Ayah karena Ayah ganteng. Iya sih, Ayah ganteng, Iel juga jadinya ganteng.""Iya, itu benar. Terus apalagi yang Ayahmu katakan?""Hmm, itu ... Ayah bilang, dulu Ayah nggak suka Mom
Satu minggu kemudian .... "Mommy! Daddy! Iel kangen!"Javier berhambur ke dalam pelukan Emily dan Keenan begitu pintu rumah terbuka. Hari ini tepat dua hari setelah Javier akhirnya keluar dari rumah sakit dan menginap bersama James serta Sheila. Mereka menahan Javier lebih lama dari permintaan dan Emily mau tak mau mengizinkannya. Hingga kini, James sendiri yang datang mengembalikan Javier padanya. "Sayang—maksudku, Emily, akhir pekan besok aku ingin mengajak Javier ke luar kota bersama Mama, sekalian jalan-jalan. Apa aku boleh membawanya?" James meralat ucapannya saat melihat tatapan posesif Keenan. Suami dari wanita yang dia cintai, masih tampak waspada saat dia datang. James belum sepenuhnya menerima keputusan wanita itu, tapi dia juga tidak mau dipisahkan dari Javier atau membuat sang anak kecewa, jika dia tetap memaksakan kehendaknya. James hanya bisa mencintai Emily dalam hatinya. "Keluar kota?" Emily menatap Keenan dengan ragu. Dia meminta pendapat suaminya soal masalah ini,
"Ini, ambillah."Emily menyodorkan kunci mobil pada Ashley yang terkejut. Dia yang kalah taruhan beberapa waktu lalu, tentu saja akan memenuhi janjinya. Meski uang tabungannya terkuras habis. Bagaimana lagi? Ucapan Ashley jadi kenyataannya. "Kenapa kau memberikan mobil? Memangnya ada apa? Ini bukan ulang tahunku." Ashley mengambil kunci mobil itu dan menatap Emily dengan bingung. "Kau tidak ingat kita taruhan? Jika aku kalah aku harus membelikanmu mobil dan jika kau salah, kau harus menyerahkan semua restoran ini jadi milikku. Ingat?" jelas Emily dengan sedikit gemas melihat Ashley yang tampaknya melupakan apa yang dipertaruhkan. Padahal wanita itu sendiri yang mengajaknya bertaruh. "Aahh! Jadi aku menang? Ahahaha ... sudah kuduga, kau pasti jatuh cinta dan tidak bisa berjauhan dengan Keenan. Sekarang sepertinya kau sudah mengakui itu.""Berhenti mengejekku.""Ayolah, jangan malu. Sudah kubilang Keenan itu tampan. Kau sih gengsi terus."Emily berdecak dan diam membiarkan Ashley men
"Kau pasti kelelahan. Maaf selama ini aku selalu menyusahkanmu."Emily menatap Keenan yang terlelap di sebelahnya setelah mereka menghabiskan waktu bersama. Dia tanpa sungkan mengecup puncak kepala Keenan cukup lama, sebelum kemudian bangun dan menyelimuti tubuh Keenan. Emily turun dari ranjang dengan hati-hati. Memungut kembali pakaian dan mengenakannya. Pinggangnya sedikit sakit, padahal mereka sudah berhati-hati. "Sayang, kamu baik-baik saja 'kan? Maafkan Mommy," ucap Emily sambil mengelus perutnya. Dia tersenyum, sampai kemudian meriah ponsel miliknya dan berjalan keluar dengan hati-hati. Emily tidak mau membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas karena kelelahan. Keenan harus istirahat. Emily berjalan pelan dan memainkan ponselnya. Dia ingin mengontak ibu mertuanya, tapi baru saja dia hendak melakukan panggilan, nama James muncul di layar ponselnya. Emily mengernyit sesaat, tapi tak ayal dia menerima panggilan tersebut. "James, apa yang terja—""Emily, ini Tante.""Oh, Ta
"Keenan?"Emily refleks mendorong tubuh James dan terkejut melihat kehadiran suaminya di ambang pintu. Ekspresi Keenan seperti terluka melihat dirinya dicium oleh James. Sial, dia tidak bisa mengelak karena semua terjadi begitu cepat. Keenan tidak boleh salah paham. "Aku sepertinya mengganggu, aku akan pergi.""Eh, tunggu, Ken!" cegah Emily yang langsung berlari mendekati suaminya. Dia meninggalkan James yang tersenyum kecut dan membuang muka. Grep! Tangan Keenan berhasil digenggam cepat oleh Emily sebelum lelaki itu kabur. Keenan masih tampak lemah, sehingga tidak sulit bagi dia menangkapnya. "Ken, apa yang kau lihat tadi salah paham. Tolong dengarkan aku ya? Kita bicara sebentar?""Tidak apa-apa, aku tidak akan mencegahmu lagi kalau kau mau kembali padanya," gumam Keenan dengan nada sedih. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menatap Emily. Namun sayangnya, Keenan harus terkejut saat tubuhnya dibalik dengan cepat oleh sang istri dan membuat mereka saling berhadapan. "Astaga, waja
Keenan berkali-kali menghela napas sambil terkantuk-kantuk di meja kerjanya. Dia tidak bisa fokus pada meeting kali ini karena semalaman menjaga Javier. James juga berkali-kali mengajaknya berdebat tentang apa yang dilakukannya di masa lalu. Lelaki itu memberinya ketakutan jika suatu saat Emily akan meninggalkannya. Tidak, tentu saja Keenan tidak berharap demikian. Dia tidak mampu berpisah dengan Emily serta anak-anaknya. "Pa? Pak Ken?" Sam menegur Keenan yang kala itu menjadi pusat perhatian semua orang di meja rapat. "Anda sepertinya tidak baik-baik saja, bagaimana kalau rapat ini diakhiri?""Ah iya, kepalaku sedikit pusing. Lakukan saja," jawab Keenan tak acuh. Membuat Sam seketika mengambil alih perhatian dan menutup pertemuan dengan cepat. Keenan yang memang tidak dalam kondisi baik-baik saja, meninggalkan ruangan lebih dulu. Dia pergi menuju ruangannya untuk beristirahat sejenak sambil diikuti oleh Sam dari belakang. "Sam, aku sepertinya butuh obat sakit kepala.""Hanya itu, P