“Iya, cepat naik! Bisa kan naik motorku ini? Atau perlu aku bantu naiknya?” ucap Bagas, yang membuat kedua bola mata Armila membelalak.
“Eh, nggak usah! Aku bisa naik kok ke atas motor kamu ini, Mas. Lagiannya ngojek kok pakai motor beginian. Bikin repot penumpang saja. Untung aku hari ini nggak pakai rok,” sahut Armila dengan gelengan kepalanya. Dia lalu dengan hati-hati mulai menaiki motor Kawasaki Ninja milik Bagas.
Bagas hanya tertawa mendengar ucapan Armila barusan.
“Sudah siap?” tanya Bagas memastikan.
“Sudah.” Armila berkata sambil mengacungkan ibu jarinya, setelah selesai mengenakan helm.
“Biar nggak terlambat sampai di kantor, aku mau ngebut sedikit ini ya. Jadi pegangan yang kencang supaya nggak jatuh!” ucap Bagas, yang diangguki oleh Armila. Pria itu tersenyum kala melihat anggukan kepala gadis itu dari kaca spion motor.
Entah mereka sadar atau tidak, karena pagi ini ada yang berubah dari sebutan yang mereka ucapkan. Kalau semalam mereka menyebut dengan kata saya, kini berubah menjadi aku.
Dalam hitungan detik, motor Bagas melaju meninggalkan area rumah orang tua Armila. Melewati mobil yang dikemudikan oleh Arman, sang duda yang diminta oleh ibunda Armila untuk menjemput anak sulungnya itu.
“Itu kayak si Armila? Bagaimana sih ini? Tadi mamanya minta aku jemput dia. Tapi, kenapa sekarang malah naik ojek itu si Armila?” gumam Arman dengan wajah masam.
Sementara itu, motor Kawasaki Ninja milik Bagas kini sudah meliuk-liuk di sela mobil yang mulai memadati jalan raya. Setelah melewati beberapa mobil dan ada sela untuk melaju cukup kencang, Bagas lalu menaikkan kecepatan laju motornya, hingga tanpa sadar Armila memeluk pinggang pria itu. Agar tak terjatuh dari atas motor.
Jantung Bagas bertalu-talu kala kedua lengan Armila memeluk dengan erat pinggangnya. Tiba-tiba saja ada gelenyar aneh yang dia rasakan, diam-diam menyusup di relung hatinya.
‘Edan tenan, kenapa jadi kayak begini sih? Bikin nggak fokus nyetir saja ini. Tapi, aku kan yang tadi suruh dia pegangan kencang. Nggak sangka kalau dia akan pegangan pinggangku. Aku nggak masalah memang, tapi kok jadi grogi begini ya,’ ucap Bagas dalam hati.
Sementara itu Armila yang masih memegang erat pinggang Bagas, kini memejamkan matanya karena takut kalau terjatuh.
‘Gile juga ini cowok. Ngebut banget ini. Kayak lagi balapan motor saja. Jantung rasanya sampai mau copot saking takut,’ ucap Armila dalam hati.
Akhirnya setelah melaju cukup kencang di jalan raya, Bagas menghentikan motornya di depan gedung perkantoran, di mana kantor tempat Armila bekerja berada.
“Makasih ya, Mas.” Armila berkata sambil menyerahkan helm pada Bagas.
Armila berdiri dengan tubuh yang lemas. Tangannya pun gemetaran kala meraih dompet dari dalam tas. Hal itu terlihat jelas oleh Bagas.
“Simpan saja uang kamu, Armi. Kamu belum ambil uang kan? Itu untuk makan siang kamu saja nanti,” ucap Bagas dengan senyuman, yang tanpa sadar hanya memanggil gadis itu dengan namanya saja. Tanpa embel-embel Mbak seperti tadi malam.
“Lho, kok gratisan lagi sih, Mas? Aku jadi nggak enak ini,” ucap Armila dengan hembusan napas kasar.
“Nggak apa-apa.”
“Lagiannya kok jadi beralih ke ojek sih? Tadi malam kan narik taksi,” celetuk Armila dengan mata yang memicing, dan memperhatikan Bagas dengan seksama.
“Namanya juga cari uang. Ya, dari berbagai macam jenis lah. Kalau pagi sampai siang, aku jadi tukang ojek online. Kalau siang sampai malam, aku jadi sopir taksi online,” jelas Bagas dengan senyuman.
‘Memang bisa begitu, ya?’ ucap Armila dalam hati.
“Terserah deh mau gimana. Tapi, kamu terima aja ini uangku. Kembali dua puluh lima ribu. Itu masih cukup untuk makan siang nanti, sebelum aku ambil uang di atm,” ucap Armila dengan terus menyodorkan uang ke arah Bagas.
“Nggak ada kembaliannya. Sudah, nggak apa sih gratis juga. Jangan menolak rezeki, nggak baik,” sahut Bagas kalem.
Armila menghela napas panjang dan melirik ke jam tangannya. Waktu tinggal sepuluh menit lagi sebelum dia terlambat tiba di kantor.
“Ya sudah lah kalau begitu. Makasih ya, bye.”
Armila lalu melambaikan tangannya pada Bagas, lalu berjalan cepat memasuki gedung perkantoran itu.
Bagas lalu memutar motornya dengan senyum yang masih mengembang di bibir. Tapi senyum itu seketika sirna dari bibirnya, ketika sebuah mobil mewah keluaran salah satu negara Eropa, dengan plat nomor yang sangat dia kenal, tengah melintas di sebelahnya. Wajah Bagas seketika menegang dan kedua tangannya terkepal erat.
***
Armila baru saja menghempaskan bobot tubuhnya di kursi, ketika ponselnya berdering. Dia menghela napas panjang ketika melihat nama sang mama terpampang di layar ponselnya.
“Mama ngapain sih telepon aku? Mau ngomel? Ck, malas amat aku angkat teleponnya. Paling nanti ujung-ujungnya aku dimarahi,” gumam Armila seorang diri.
Ponsel Armila terus berdering, sehingga rekan kerjanya merasa terusik.
“Mil, angkat sih itu teleponnya. Berisik tau, Mil,” celetuk Rita.
“Ini mama gue yang telepon. Pasti mau ngomel, Rit. Mau gue matiin ini teleponnya, takut kualat gue,” sahut Armila dengan mengedikkan kedua bahunya.
“Kalau takut kualat, ya diangkat dong. Kalau dimarahi, dengerin saja. Masuk kuping kiri, keluar kuping di kuping kanan. Beres deh itu,” sahut Rita kalem.
Akhirnya, Armila menerima juga panggilan telepon dari sang mama.
“Halo, Ma.”
“Halo, Mil. Kamu ini bikin malu Mama saja. Kamu beneran naik ojek tadi rupanya. Kamu nggak dengerin omongan Mama tadi, hah! Si Arman padahal sudah sampai, tapi kamu malah milih naik ojek. Pokoknya Mama nggak mau tahu. Nanti pulang kerja, kamu harus mau dijemput sama Arman. Mama mau kamu sama dia melakukan pendekatan. Ingat umur sih, Mila! Ada dong target untuk menikah. Jangan santai begitu!” ucap Astuti di seberang sana dengan nada suara tinggi, sehingga membuat Armila berjalan cepat menuju ke toilet. Agar Rita yang duduk di sebelahnya, tak mendengar ocehan sang mama.
“Mama ini bagaimana sih? Aku ini nggak mau pendekatan sama Om Arman, Ma. Dia itu sudah om-om. Masak aku nikah sama lelaki yang umurnya nyaris sama dengan umur Mama,” sahut Armila sambil berdecak sebal, ketika dirinya sudah berada di salah satu bilik toilet.
“Ya habisnya, kelamaan nunggu kamu bawa pacar ke rumah. Sebentar lagi umur kamu tiga puluh tahun, Mil,” pekik Astuti di seberang sana, yang sepertinya sangat kesal pada anak sulungnya itu.
Armila mendengus kesal. Dia memijat pelipisnya sambil mencoba berpikir, apa kiranya yang bisa mematahkan niat mamanya perihal perjodohan itu. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikirannya.
“Sebenarnya...aku sudah punya pacar, Ma,” sahut Armila ragu-ragu.
“Eh, sudah punya pacar? Kenapa nggak dibawa ke rumah, lalu dikenalkan pada Mama dan papa? Biar Mama bisa menilai pacar kamu itu, Mil. Coba kalau memang benar kamu sudah punya pacar, bawa ke rumah malam ini. Kalau nggak dibawa ke rumah, itu artinya kamu bohong,” ucap Astuti di seberang sana.
“I-iya, aku akan ajak dia ke rumah malam ini,” sahut Armila gugup.
“Ya sudah, Mama tunggu nanti malam. Kalau pacar kamu ternyata nggak datang, itu artinya kamu bohong. Jadi kamu harus nurut apa kata Mama. Ini juga kan demi kebaikan kamu, Mil. Sampai kapan kamu mau jomblo terus? Memangnya kamu nggak mau punya suami dan anak?” ucap Astuti di seberang sana, yang kini nada suaranya mulai melunak. Tak seperti tadi yang berapi-api.“Iya, Ma,” sahut Armila tak bersemangat. Justru kini dia merasakan kepalanya mulai pening.“Sekarang Mama tutup ya teleponnya, Mil,” ucap Astuti, dan tak lama sambungan telepon mereka pun berakhir.Armila membuang napasnya kasar. Dia pijat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut.“Kira-kira dia mau menolong aku nggak, ya?” gumam Armila seorang diri.Cukup lama Armila termenung di dalam bilik toilet. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi seseorang. Dia kemudian menyalin nomor telepon dari aplikasi transportasi online, di mana tadi dia berkomunikasi melalui pesan yang tersedia di aplikasi tersebut.“Kayanya Mas Bagas or
Armila menatap Bagas dengan tatapan geram, karena yang diucapkan Bagas tadi sangat jauh dari ekspektasinya. Armila telah membuat skenario, bahwa Bagas cukup mengaku saja sebagai kekasihnya. Agar dirinya terhindar dari perjodohan yang mamanya rancang untuknya. Dia tak menyuruh pria itu untuk berkata jujur perihal pekerjaannya. Armila sebelumnya telah menyuruh Bagas apabila ditanya mengenai pekerjaannya, dia minta agar Bagas mengaku sebagai guru bahasa Perancis. Karena pria itu mahir berkomunikasi menggunakan bahasa Perancis. Tapi, kini Bagas sudah merusak skenario yang sudah dia buat. Menjadikan dirinya kesal pada pria itu.Sementara itu, Astuti tampak geleng-geleng kepala sambil tersenyum sinis pada Bagas. Sedangkan Arif lebih memilih tak memberikan reaksi apa-apa, dan menunggu Bagas atau Armila mengatakan sesuatu padanya.“Kamu nekat amat sih pacaran sama anak saya. Lebih tepatnya, percaya diri,” celetuk Astuti.Bagas hanya tersenyum canggung pada Astuti. “Saya nggak nekat kok, Bu?”
Tanpa sepengetahuan mereka, Anggi-adik Armila, melihat interaksi sang kakak dan Bagas dari balik tirai jendela ruang tamu.“Itu mereka sedang apa? Sedang berantem? Penasaran jadinya. Coba nguping, ah,” gumam Anggi seorang diri. Dia lalu menyelinap keluar rumah, dan berjingkat mendekati Armila serta Bagas yang masih berdebat.Bagas melalui ekor matanya, melihat bayangan mengendap-endap menuju ke pohon mangga yang ada di halaman rumah Armila. Jarak pohon mangga dengan tempatnya kini berada, hanya beberapa meter saja. Sehingga apabila orang tersebut berniat menguping, maka dapat terdengar pembicaraannya dengan Armila. Begitu menurut pemikiran Bagas.‘Hm...sepertinya ada yang mau menguping. Apa mamanya Armi? Apa mamanya Armi curiga ya dengan aktingku tadi?’ ucap Bagas dalam hati.Bagas lalu merangkul pundak Armila seraya berbisik, “Jangan protes! Ada yang mencoba menguping pembicaraan kita.”“Siapa?” tanya Armila balas berbisik.“Nggak tahu. Makanya kamu nurut saja sekarang kalau aku rang
Sementara itu di rumah keluarga Armila, tampak Astuti dan Arif sedang berbincang serius di ruang tengah. Keduanya tengah membahas hubungan Armila dan Bagas.“Pa, apa kamu nggak masalah kalau punya menantu kayak si Bagas?” tanya Astuti dengan tatapan lekat pada sang suami.“Kayaknya dia lelaki baik. Aku lihat dia memiliki tata krama yang tinggi,” sahut Arif kalem.“Tapi, kok aku kayaknya masih condong ke si Arman sih, Pa. Meskipun dia duda, tapi kan dia nggak punya anak. Kalau usia juga, kayaknya nggak masalah. Banyak orang yang usianya beda jauh sama pasangannya. Tapi, akur tuh rumah tangganya. Malah enak kalau usia suami jauh lebih tua, nggak macam-macam. Kemungkinan selingkuh itu kecil,” cetus Astuti antusias. Dia memang kalau membicarakan tentang Arman, pasti selalu antusias.“Kalau Bagas, aku masih kurang sreg. Belum tahu isi kantongnya. Lagi pula bagaimana jadinya kalau teman-teman arisanku tahu, kalau Bagas seorang sopir? Mau ditaruh di mana muka ini, Pa? Malu banget aku nanti.
Armila menikmati hidangan makan siangnya dengan sesekali menatap ke arah private room, di mana seseorang yang diyakini Armila adalah Bagas kini berada di dalam ruangan itu.Akibat perhatiannya terlalu fokus ke arah private room, membuat Armila tak menyimak perbincangan rekan-rekan kerjanya.“Mil,” bisik Rita sambil menyenggol lengan Armila.Namun, Armila tetap bergeming. Dia tak menghiraukan Rita yang memanggil sambil menyenggol lengan kirinya. Gadis itu terlalu fokus dengan private room. Bahkan makanannya yang masuk ke dalam mulut hanya beberapa suap saja. Hal itu membuat Armila menjadi pusat perhatian teman-temannya, termasuk Rita yang mulai geram.“Mila!” panggil Rita yang kali ini dengan suara kencang.Armila tergagap, dan mengalihkan tatapannya pada Rita dengan pandangan lugu.“Ada apa, Rit? Kok teriak-teriak sih?” tanya Armila dengan kening berkerut.Rita menghela napas dan memandangku kesal. “Kamu dipanggil itu sama Pak Budi. Tapi, kamu nggak menyahut. Kamu malah sibuk tengok k
“Mas, kok ngomong kamu...beda? Maksudku...kamu ngomongnya nggak medok kayak sebelumnya?” Armila bertanya sambil mengerutkan keningnya.Bagas yang sadar bahwa dia sudah melupakan sesuatu, lantas diam. Padahal masih ada yang akan dia tanya perihal pria yang Armila temui tadi siang. Namun semua itu harus dia urungkan untuk sementara waktu, sampai dia menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Armila barusan. Otaknya berpikir keras untuk mencari jawaban itu, hingga tanpa sadar Bagas mendengus cukup keras.‘Sial amat sih ini! Kenapa sampai kelupaan akting ngomong ala-ala wong Jowo? Jadi curiga kan si Armi,’ sungut Bagas dalam hati. Melalui ekor matanya, dapat dilihat Armila yang masih menatapnya lekat dengan penuh selidik.Bagas lalu mulai menyalakan mesin mobil dan melajukan mobil Armila, kemudian meninggalkan area perkantoran tersebut.“Mas...Mas Bagas, kenapa diam saja? Jawab dong, supaya aku nggak penasaran. Jujur saja, hari ini aku nggak fokus kerja hanya karena ketemu lela
Sementara itu di rumah Armila.“Kayaknya tadi Mama sudah dengar mobil kamu berhenti di depan rumah. Kenapa nggak langsung masuk?” ucap Astuti ketika Armila baru saja tiba di teras rumah. Wanita itu langsung membuka pintu utama ketika mobil anak sulungnya memasuki halaman rumah.Armila terkesiap. Dia tak menyangka ibunya akan langsung mengajukan pertanyaan, di saat dirinya baru saja tiba.“Aku tadi terima telepon dulu, Ma. Saat baru saja mobil berhenti, teleponku bunyi. Temanku yang telepon, tanya soal kerjaan,” sahut Armila beralasan. Dia sengaja tak memberitahu kalau dirinya pulang diantar oleh Bagas. Khawatir urusannya akan panjang, karena Bagas tak mampir. Ibunya pasti akan mengomel panjang lebar, karena pada dasarnya kurang menyukai pria itu.“Beneran kamu? Nggak bohong?” tanya Astuti dengan tatapan curiga.“I-iya, beneran. Buat apa aku bohong.” Armila menjawab dengan agak grogi, karena dia tak pernah berbohong sebelumnya pada sang ibu. Kali ini adalah yang pertama dia lakukan, da
Armila langsung meletakkan kembali sendok berisi bubur ayam ke mangkuk. Dia batal menyuapkan sendok itu ke mulutnya, saking terkejut mendengar penuturan Bagas barusan.“Apa? Mas nggak salah omong? Bukankah kita sedang tahapan saling mengenal? Menikah itu nggak kayak beli es krim, Mas. Bayar terus dapat es nya lalu menikmatinya. Nggak begitu! Aku ini manusia lho,” cecer Armila dengan tatapan tajam pada pria yang duduk di sampingnya itu.Bagas menghela napas dan menatap Armila. “Kamu memang manusia, Dek. Siapa yang bilang kalau kamu ini bukan manusia? Aku memutuskan ini karena memang ingin melindungi kamu. Mungkin dengan kita menikah, pendekatan kita semakin intens. Rasa itu akan tumbuh dengan sendirinya di hati kita masing-masing.”“Memangnya aku dalam bahaya? Aku kan hanya curhat soal rencana mamaku yang ingin menjodohkan aku dengan Om Arga. Setahuku Om Arga bukan orang jahat. Jadi kalau Mas mau melindungiku, melindungi dari apa?”Bagas membuang napasnya kasar. Dia ingin memberitahu p