Beranda / Romansa / Bukan Sopir Biasa / 3. Target Menikah

Share

3. Target Menikah

“Iya, cepat naik! Bisa kan naik motorku ini? Atau perlu aku bantu naiknya?” ucap Bagas, yang membuat kedua bola mata Armila membelalak.

“Eh, nggak usah! Aku bisa naik kok ke atas motor kamu ini, Mas. Lagiannya ngojek kok pakai motor beginian. Bikin repot penumpang saja. Untung aku hari ini nggak pakai rok,” sahut Armila dengan gelengan kepalanya. Dia lalu dengan hati-hati mulai menaiki motor Kawasaki Ninja milik Bagas.

Bagas hanya tertawa mendengar ucapan Armila barusan.

“Sudah siap?” tanya Bagas memastikan.

“Sudah.” Armila berkata sambil mengacungkan ibu jarinya, setelah selesai mengenakan helm.

“Biar nggak terlambat sampai di kantor, aku mau ngebut sedikit ini ya. Jadi pegangan yang kencang supaya nggak jatuh!” ucap Bagas, yang diangguki oleh Armila. Pria itu tersenyum kala melihat anggukan kepala gadis itu dari kaca spion motor.

Entah mereka sadar atau tidak, karena pagi ini ada yang berubah dari sebutan yang mereka ucapkan. Kalau semalam mereka menyebut dengan kata saya, kini berubah menjadi aku.

Dalam hitungan detik, motor Bagas melaju meninggalkan area rumah orang tua Armila. Melewati mobil yang dikemudikan oleh Arman, sang duda yang diminta oleh ibunda Armila untuk menjemput anak sulungnya itu.

“Itu kayak si Armila? Bagaimana sih ini? Tadi mamanya minta aku jemput dia. Tapi, kenapa sekarang malah naik ojek itu si Armila?” gumam Arman dengan wajah masam.

Sementara itu, motor Kawasaki Ninja milik Bagas kini sudah meliuk-liuk di sela mobil yang mulai memadati jalan raya. Setelah melewati beberapa mobil dan ada sela untuk melaju cukup kencang, Bagas lalu menaikkan kecepatan laju motornya, hingga tanpa sadar Armila memeluk pinggang pria itu. Agar tak terjatuh dari atas motor.

Jantung Bagas bertalu-talu kala kedua lengan Armila memeluk dengan erat pinggangnya. Tiba-tiba saja ada gelenyar aneh yang dia rasakan, diam-diam menyusup di relung hatinya.

‘Edan tenan, kenapa jadi kayak begini sih? Bikin nggak fokus nyetir saja ini. Tapi, aku kan yang tadi suruh dia pegangan kencang. Nggak sangka kalau dia akan pegangan pinggangku. Aku nggak masalah memang, tapi kok jadi grogi begini ya,’ ucap Bagas dalam hati.

Sementara itu Armila yang masih memegang erat pinggang Bagas, kini memejamkan matanya karena takut kalau terjatuh.

‘Gile juga ini cowok. Ngebut banget ini. Kayak lagi balapan motor saja. Jantung rasanya sampai mau copot saking takut,’ ucap Armila dalam hati.

Akhirnya setelah melaju cukup kencang di jalan raya, Bagas menghentikan motornya di depan gedung perkantoran, di mana kantor tempat Armila bekerja berada.

“Makasih ya, Mas.” Armila berkata sambil menyerahkan helm pada Bagas.

Armila berdiri dengan tubuh yang lemas. Tangannya pun gemetaran kala meraih dompet dari dalam tas. Hal itu terlihat jelas oleh Bagas.

“Simpan saja uang kamu, Armi. Kamu belum ambil uang kan? Itu untuk makan siang kamu saja nanti,” ucap Bagas dengan senyuman, yang tanpa sadar hanya memanggil gadis itu dengan namanya saja. Tanpa embel-embel Mbak seperti tadi malam.

“Lho, kok gratisan lagi sih, Mas? Aku jadi nggak enak ini,” ucap Armila dengan hembusan napas kasar.

“Nggak apa-apa.”

“Lagiannya kok jadi beralih ke ojek sih? Tadi malam kan narik taksi,” celetuk Armila dengan mata yang memicing, dan memperhatikan Bagas dengan seksama.

“Namanya juga cari uang. Ya, dari berbagai macam jenis lah. Kalau pagi sampai siang, aku jadi tukang ojek online. Kalau siang sampai malam, aku jadi sopir taksi online,” jelas Bagas dengan senyuman.

‘Memang bisa begitu, ya?’ ucap Armila dalam hati.

“Terserah deh mau gimana. Tapi, kamu terima aja ini uangku. Kembali dua puluh lima ribu. Itu masih cukup untuk makan siang nanti, sebelum aku ambil uang di atm,” ucap Armila dengan terus menyodorkan uang ke arah Bagas.

“Nggak ada kembaliannya. Sudah, nggak apa sih gratis juga. Jangan menolak rezeki, nggak baik,” sahut Bagas kalem.

Armila menghela napas panjang dan melirik ke jam tangannya. Waktu tinggal sepuluh menit lagi sebelum dia terlambat tiba di kantor.

“Ya sudah lah kalau begitu. Makasih ya, bye.”

Armila lalu melambaikan tangannya pada Bagas, lalu berjalan cepat memasuki gedung perkantoran itu.

Bagas lalu memutar motornya dengan senyum yang masih mengembang di bibir. Tapi senyum itu seketika sirna dari bibirnya, ketika sebuah mobil mewah keluaran salah satu negara Eropa, dengan plat nomor yang sangat dia kenal, tengah melintas di sebelahnya. Wajah Bagas seketika menegang dan kedua tangannya terkepal erat.

***

Armila baru saja menghempaskan bobot tubuhnya di kursi, ketika ponselnya berdering. Dia menghela napas panjang ketika melihat nama sang mama terpampang di layar ponselnya.

“Mama ngapain sih telepon aku? Mau ngomel? Ck, malas amat aku angkat teleponnya. Paling nanti ujung-ujungnya aku dimarahi,” gumam Armila seorang diri.

Ponsel Armila terus berdering, sehingga rekan kerjanya merasa terusik.

“Mil, angkat sih itu teleponnya. Berisik tau, Mil,” celetuk Rita.

“Ini mama gue yang telepon. Pasti mau ngomel, Rit. Mau gue matiin ini teleponnya, takut kualat gue,” sahut Armila dengan mengedikkan kedua bahunya.

“Kalau takut kualat, ya diangkat dong. Kalau dimarahi, dengerin saja. Masuk kuping kiri, keluar kuping di kuping kanan. Beres deh itu,” sahut Rita kalem.

Akhirnya, Armila menerima juga panggilan telepon dari sang mama.

“Halo, Ma.”

“Halo, Mil. Kamu ini bikin malu Mama saja. Kamu beneran naik ojek tadi rupanya. Kamu nggak dengerin omongan Mama tadi, hah! Si Arman padahal sudah sampai, tapi kamu malah milih naik ojek. Pokoknya Mama nggak mau tahu. Nanti pulang kerja, kamu harus mau dijemput sama Arman. Mama mau kamu sama dia melakukan pendekatan. Ingat umur sih, Mila! Ada dong target untuk menikah. Jangan santai begitu!” ucap Astuti di seberang sana dengan nada suara tinggi, sehingga membuat Armila berjalan cepat menuju ke toilet. Agar Rita yang duduk di sebelahnya, tak mendengar ocehan sang mama.

“Mama ini bagaimana sih? Aku ini nggak mau pendekatan sama Om Arman, Ma. Dia itu sudah om-om. Masak aku nikah sama lelaki yang umurnya nyaris sama dengan umur Mama,” sahut Armila sambil berdecak sebal, ketika dirinya sudah berada di salah satu bilik toilet.

“Ya habisnya, kelamaan nunggu kamu bawa pacar ke rumah. Sebentar lagi umur kamu tiga puluh tahun, Mil,” pekik Astuti di seberang sana, yang sepertinya sangat kesal pada anak sulungnya itu.

Armila mendengus kesal. Dia memijat pelipisnya sambil mencoba berpikir, apa kiranya yang bisa mematahkan niat mamanya perihal perjodohan itu. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikirannya.

“Sebenarnya...aku sudah punya pacar, Ma,” sahut Armila ragu-ragu.

“Eh, sudah punya pacar? Kenapa nggak dibawa ke rumah, lalu dikenalkan pada Mama dan papa? Biar Mama bisa menilai pacar kamu itu, Mil. Coba kalau memang benar kamu sudah punya pacar, bawa ke rumah malam ini. Kalau nggak dibawa ke rumah, itu artinya kamu bohong,” ucap Astuti di seberang sana.

“I-iya, aku akan ajak dia ke rumah malam ini,” sahut Armila gugup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status