Share

5. Niat Bagas

Armila menatap Bagas dengan tatapan geram, karena yang diucapkan Bagas tadi sangat jauh dari ekspektasinya. Armila telah membuat skenario, bahwa Bagas cukup mengaku saja sebagai kekasihnya. Agar dirinya terhindar dari perjodohan yang mamanya rancang untuknya. Dia tak menyuruh pria itu untuk berkata jujur perihal pekerjaannya. Armila sebelumnya telah menyuruh Bagas apabila ditanya mengenai pekerjaannya, dia minta agar Bagas mengaku sebagai guru bahasa Perancis. Karena pria itu mahir berkomunikasi menggunakan bahasa Perancis. Tapi, kini Bagas sudah merusak skenario yang sudah dia buat. Menjadikan dirinya kesal pada pria itu.

Sementara itu, Astuti tampak geleng-geleng kepala sambil tersenyum sinis pada Bagas. Sedangkan Arif lebih memilih tak memberikan reaksi apa-apa, dan menunggu Bagas atau Armila mengatakan sesuatu padanya.

“Kamu nekat amat sih pacaran sama anak saya. Lebih tepatnya, percaya diri,” celetuk Astuti.

Bagas hanya tersenyum canggung pada Astuti. “Saya nggak nekat kok, Bu?”

“Terus apa itu namanya kalau bukan nekat? Kamu lihat ini anak saya. Dia cantik dan pintar. Dapat posisi bagus di kantornya. Masak pacaran sama sopir taksi online sih,” tutur Astuti dengan hembusan napas kasar dan tatapan sinis pada Bagas.

“Mama!”

“Kenapa? Salah yang Mama bilang barusan? Lagian kamu juga ini aneh sih, Mil. Jangan karena kepepet sama umur, langsung asal saja dapat pacar. Nggak lihat-lihat dulu,” sungut Astuti.

“Ma, dengerin aku dulu. Mas Bagas ini aslinya guru bahasa Perancis. Jadi sopir taksi online itu hanya kerja sambilan saja, cari uang tambahan,” ucap Armila, dengan ekor mata melirik pada Bagas.

Bagas yang tahu sedang dilirik oleh Armila, hanya tersenyum tipis dan menghela napas dalam-dalam.

“Oh...jadi kamu ini guru toh,” ucap Astuti dengan senyumannya.

Bagas terdiam. Namun, dia akhirnya mengangguk juga ketika kaki Armila menginjak kakinya.

“Kamu ngajar di mana, Bagas?” tanya Arif, yang akhirnya buka suara juga.

Bagas baru saja akan menjawab pertanyaan Arif, tapi Armila dengan cepat menyahut atas pertanyaan sang papa.

“Mas Bagas ini guru privat di salah satu tempat kursus bahasa Perancis, Pa. Atau kadang menjadi pemandu wisata karena selain jago ngomong bahasa Perancis, dia juga jago ngomong bahasa Inggris,” timpal Armila dengan senyumannya, dan menatap kedua orang tuanya secara bergantian.

Bagas menggeleng samar, mendengar penuturan Armila. Sedangkan Arif maupun Astuti, hanya ber ‘oh’ ria menanggapi penjelasan dari anak sulung mereka.

‘Sok tahu amat sih. Ini aku nggak dikasih kesempatan ngomong. Bagaimana nanti kalau orang tuanya curiga? Hadeuh...Armi, kenapa bohong segala sih?’ ucap Bagas dalam hati.

“Lalu sejauh mana hubungan kalian ini?” tanya Astuti dengan tatapan pada Armila dan Bagas secara bergantian.

“Saya berniat serius, Bu, Pak. Saya mau menikahi Armila. Usia kami kan sudah nggak muda lagi. Jadi nggak perlu terlalu lama pacaran. Kami sudah saling cocok, meski belum lama pacaran. Jadi sebaiknya diresmikan saja. Lagiannya, nggak bagus juga kan kalau pacaran terlalu lama. Enaknya sih, pacarannya setelah menikah saja nanti,” sahut Bagas cepat, karena tak mau didahului oleh Armila.

Kedua bola mata Astuti membulat sempurna saking terkejut. Begitu pula dengan Armi, yang semakin dibuat pusing dan geram oleh Bagas. Sedangkan Arif hanya tersenyum menanggapi ucapan Bagas.

“Kamu serius, Bagas? Pernikahan itu bukan main-main lho. Jadi harus dipikirkan dengan cukup matang. Jangan asal bilang serius karena usia sudah nggak muda lagi,” sahut Arif dengan tatapan lekat pada pria yang mengatakan akan menikahi Armila.

“Saya serius kok, Pak. Makanya malam ini saya datang kemari untuk mengatakan hal ini pada Bapak dan ibu. Saya berniat melamar Armila, Pak, Bu!” tegas Bagas.

“Hah?! Me-melamar aku?” tanya Armila dengan bibir bergetar.

Bagas tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tak lama, dia mengalihkan tatapan pada Arif.

“Bagaimana, Pak? Apa kami mendapat restu dari Bapak dan Ibu? Saya memang ingin memberi kejutan pada Armi. Saya nggak bilang kalau tujuan datang kemari, ingin menyampaikan niat melamarnya,” sahut Bagas dengan senyuman.

“Lalu, kamu sendiri sudah cukup mapan untuk berumah tangga?” timpal Astuti dengan tatapan lekat pada Bagas.

“Saya kan punya pekerjaan, Bu. Sedikit atau banyak kan itu relatif, yang penting berkah. Dapat uang sedikit, akan saya kasih ke istri saya nanti. Apalagi dapat banyak, pasti saya kasih dong ke istri,” sahut Bagas tanpa ragu sedikit pun.

‘Gile juga ini orang, ya. Disuruh bohong malah kebablasan. Ini kan cuma akting saja. Lah dia malah ngajak nikah beneran. Ck, bagaimana ini nantinya, ya?’ gerutu Armila dalam hati. Dia tiba-tiba menjadi gelisah, membayangkan rencana Bagas akan terealisasi.

“Berapa pendapatan kamu rata-rata?” tanya Astuti dengan tatapan serius.

“Sehari dapatlah minimal tiga ratus ribu. Kalau ramai, bisa di atas lima ratus ribu,” sahut Bagas kalem.

Astuti lalu menoleh pada suaminya. “Bagaimana, Pa? Apa tanggapan kamu?”

“Ya...kalau memang serius, ajaklah orang tuanya kemari,” sahut Arif. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Bagas. “Saya tunggu kedatangan orang tua kamu. Kapan kamu akan ajak mereka kemari?”

“Nanti saya kabari lagi, Pak. Saya usahakan sesegera mungkin bisa datang kemari, untuk melamar Armila,” sahut Bagas dengan raut wajah serius.

“Baik, kami tunggu kedatangan orang tua kamu. Tapi kalau kamu bohong, segera jauhi anak saya, paham!” sahut Arif tegas.

“Baik, Pak.”

Setelah selesai menyampaikan niatannya itu, Bagas pun berpamitan pada kedua orang tua Armila.

“Mas, kamu ini bagaimana sih? Kenapa malah jadi melamar aku? Kenal juga baru beberapa hari. Aku saja nggak tahu siapa kamu, yang misterius ini menurutku. Bagaimana bisa aku menikah dengan lelaki penuh misteri kayak kamu ini,” sungut Armila dengan suara pelan, ketika berada di halaman rumahnya.

“Lho, kok penuh misteri sih. Aku ini bukan hantu kok. Aku ini manusia tulen,” sahut Bagas sambil mengulum senyuman.

“Nggak lucu bercandanya. Aku kan hanya minta supaya kamu menolong aku, dengan berakting menjadi pacarku. Kenapa malah jadi melamar aku sih?” ucap Armila ketus dan tatapan tajam pada Bagas.

“Bohong itu kan dosa, Armi. Makanya aku tadi ngaku saja sebagai sopir taksi. Memang itu pekerjaanku kok. Buat apa ditutupi segala? Lagiannya niat aku ini baik kok, untuk menyelamatkan kamu supaya nggak jadi dijodohin sama mama kamu. Memangnya kamu malu ya kalau punya suami seorang sopir? Kamu ingin punya suami yang kaya raya, begitu?” sahut Bagas kalem.

“Eh, bukan begitu sih. Kalau soal harta kan relatif. Rezeki sudah ada yang atur. Cuma masalahnya, kita ini kan nggak saling kenal sebetulnya. Kita baru kenal beberapa hari saja. Aku nggak mau menikah dengan orang yang nggak aku kenal. Siapa yang bisa jamin kalau kamu ini orang baik-baik?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status