Sementara itu di rumah keluarga Armila, tampak Astuti dan Arif sedang berbincang serius di ruang tengah. Keduanya tengah membahas hubungan Armila dan Bagas.
“Pa, apa kamu nggak masalah kalau punya menantu kayak si Bagas?” tanya Astuti dengan tatapan lekat pada sang suami.
“Kayaknya dia lelaki baik. Aku lihat dia memiliki tata krama yang tinggi,” sahut Arif kalem.
“Tapi, kok aku kayaknya masih condong ke si Arman sih, Pa. Meskipun dia duda, tapi kan dia nggak punya anak. Kalau usia juga, kayaknya nggak masalah. Banyak orang yang usianya beda jauh sama pasangannya. Tapi, akur tuh rumah tangganya. Malah enak kalau usia suami jauh lebih tua, nggak macam-macam. Kemungkinan selingkuh itu kecil,” cetus Astuti antusias. Dia memang kalau membicarakan tentang Arman, pasti selalu antusias.
“Kalau Bagas, aku masih kurang sreg. Belum tahu isi kantongnya. Lagi pula bagaimana jadinya kalau teman-teman arisanku tahu, kalau Bagas seorang sopir? Mau ditaruh di mana muka ini, Pa? Malu banget aku nanti. Meskipun kata si Mila, sebagai sopir taksi online itu sebuah pekerjaan tambahan, tetap saja aku malu kalau punya menantu seorang sopir!”
Arif membuang napasnya kasar, dan geleng-geleng kepala sambil menatap istrinya.
“Jangan menilai seseorang dari luarnya saja, Ma. Namanya rezeki, kita nggak akan tahu kapan datangnya. Kalau anak kita maunya sama Bagas, ya kamu jangan memaksa supaya dia mau sama si Arman,” papar Arif kalem.
Astuti menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya.
“Tapi, Arman itu suka sama Mila, Pa. Makanya aku setuju saja karena dia sudah mapan. Menurutku sih, lebih baik dicintai. Sekarang ini, Mila memang nggak suka sama Arman. Tapi kalau mereka sudah menikah, pasti akan cinta juga sama Arman. Setahuku, Arman juga baik orangnya. Apalagi dia jatuh cinta sama Mila. Pasti dia akan lakukan apa pun demi anak kita,” tutur Astuti dengan percaya diri.
“Yakin kamu, kalau Arman jatuh cinta pada Mila? Apa dia ngomong langsung ke kamu?”
Senyum Astuti yang semula menghiasi wajahnya, mendadak sirna setelah mendengar pertanyaan Arif. Dia tampak gelagapan.
“Eh, memang nggak secara langsung dia bilang ke aku nya, Pa. Tapi, sebagai perempuan yang sudah nggak muda lagi, pasti bisa tahu lah gestur nya si Arman kalau melihat Mila,” sahut Astuti tersenyum canggung pada sang suami.
“Itu kan baru perkiraan kamu, Ma. Jangan geer dulu dan buru-buru menyimpulkan kalau Arman suka sama Mila. Bisa malu nanti dan kasihan anak kita, Ma.”
“Papa! Kok meragukan penilaian aku sih? Cinta itu kan nggak harus diungkapkan dengan kata-kata. Dari cara memandang juga kita tahu, orang itu suka atau nggak,” sahut Astuti ketus.
“Ingat lho, Ma, suka itu bukan berarti mencintai!” tegas Arif. Dia lalu beranjak dari sofa, dan melenggang menuju ke kamarnya. Malas berdebat dengan sang istri yang keras kepala.
“Pa! Diajak diskusi kok malah pergi sih!”
Astuti pun mengikuti sang suami, yang sudah mendahuluinya melangkah ke kamar mereka.
Sementara itu tanpa sepengetahuan Arif dan Astuti, rupanya Armila mendengarkan percakapan mereka dari balik dinding ruang tengah. Awalnya Armila berniat akan ke dapur untuk mengambil air minum. Tapi saat melewati ruang tengah, dia mendengar kedua orang tuanya sedang berbincang dan menyebut namanya serta Bagas. Sehingga dia mengurungkan niatnya ke dapur, dan memilih menguping di ruang makan yang bersebelahan dengan ruang tengah.
“Ck, mama masih saja mau jodohin aku dengan Om Arman. Sia-sia dong sandiwaraku tadi,” gumam Armila mengeluh sambil mengusap wajahnya kasar.
***
Pagi harinya, Armila bersikap biasa saja seolah tak tahu apa-apa tentang yang dibahas oleh orang tuanya tadi malam. Dia berangkat ke kantor setelah usai sarapan, dan mengemudikan mobilnya dengan cukup tenang.
Pekerjaan di kantor dikerjakan sebagaimana mestinya. Hingga ketika waktu istirahat makan siang tiba, Rita mendekatinya.
“Mil, kita hari ini ditraktir makan siang sama Pak Budi. Bonus sudah cair, dan sebagai bos yang bonusnya lebih besar, dia mentraktir kita semua makan siang,” ucap Rita dengan senyuman.
Armila pun tersenyum mendengar kabar kalau bonus sudah cair. Apalagi hari ini akan ditraktir makan siang oleh pak bos.
“Makan siang di mana, Rit?”
“Di restoran Jepang. Ayo, siap-siap! Gue nebeng mobil lu ya, Mil.”
“Siap, ayo!”
Kedua gadis itu lantas bergegas meraih dompet dari tas masing-masing, dan melangkah menyusul rekan lainnya yang sudah berjalan mendahului ke arah lift.
Setibanya di restoran yang dituju, Armila dan yang lainnya menempati meja yang sudah dipesan.
Armila dan rekan-rekan kerjanya sedang mengobrol sambil menunggu pesanan makanan mereka tiba. Hingga pandangan Armila menangkap sebuah sosok yang baru masuk restoran tersebut, dan kini melangkah ke sebuah private room yang tersedia di restoran tersebut. Sosok itu tak datang sendiri, tapi bertiga dan dengan penampilan yang beda dari biasanya.
‘Mas Bagas? Itu beneran Mas Bagas, kan? Kok hari ini dia beda ya penampilannya? Dia tumben pakai setelan kerja dan pakai dasi pula. Kayak seorang bos, atau minimal seorang manager. Terus dia masuk ke ruangan privat, yang sudah pasti sewanya cukup mahal. Siapa dia sebenarnya? Terus salah satu lelaki yang datang sama dia, seorang bule. Apa itu yang namanya Marco, yang diajak ngomong pake bahasa Perancis? Mas Bagas bikin aku penasaran. Coba aku kirim pesan ah ke dia,’ ucap Armila dalam hari dengan perasaan penuh curiga pada Bagas.
Armila lalu segera mengetikkan sebuah pesan untuk Bagas.
[Hai, Mas. Kamu di mana sekarang?]
Tak lama, terdengar bunyi notifikasi pesan masuk terdengar di ponselnya. Gegas Armila membuka dan membaca pesan balasan dari Bagas.
[Aku baru mau makan siang, Dek. Kamu sendiri, sudah makan siang belum?]
Tak menunggu lama, Armila membalas pesan tersebut.
[Ini sedang makan siang, Mas. Kamu makan siang di mana?]
Terdengar kembali notifikasi pesan masuk di ponsel Armila. Sebuah pesan balasan dari Bagas.
[ Di warteg.]
Kedua bola mata Armila membulat setelah membaca pesan balasan dari Bagas. Dia lalu spontan berucap, “Bohong!”
Rita dan yang lainnya pun menoleh pada Armila, dengan tatapan penuh tanya.
“Mila, kenapa? Siapa yang bohong?” tanya Rita.
Sadar telah spontan berucap, Mila menggelengkan kepalanya. “Maaf, itu tadi spontan saja kok. Ini...sedang chat sama seseorang.”
‘Awas kamu ya, Mas. Aku akan selidiki, siapa kamu sebenarnya,’ ucap Armila dalam hati.
Armila menikmati hidangan makan siangnya dengan sesekali menatap ke arah private room, di mana seseorang yang diyakini Armila adalah Bagas kini berada di dalam ruangan itu.Akibat perhatiannya terlalu fokus ke arah private room, membuat Armila tak menyimak perbincangan rekan-rekan kerjanya.“Mil,” bisik Rita sambil menyenggol lengan Armila.Namun, Armila tetap bergeming. Dia tak menghiraukan Rita yang memanggil sambil menyenggol lengan kirinya. Gadis itu terlalu fokus dengan private room. Bahkan makanannya yang masuk ke dalam mulut hanya beberapa suap saja. Hal itu membuat Armila menjadi pusat perhatian teman-temannya, termasuk Rita yang mulai geram.“Mila!” panggil Rita yang kali ini dengan suara kencang.Armila tergagap, dan mengalihkan tatapannya pada Rita dengan pandangan lugu.“Ada apa, Rit? Kok teriak-teriak sih?” tanya Armila dengan kening berkerut.Rita menghela napas dan memandangku kesal. “Kamu dipanggil itu sama Pak Budi. Tapi, kamu nggak menyahut. Kamu malah sibuk tengok k
“Mas, kok ngomong kamu...beda? Maksudku...kamu ngomongnya nggak medok kayak sebelumnya?” Armila bertanya sambil mengerutkan keningnya.Bagas yang sadar bahwa dia sudah melupakan sesuatu, lantas diam. Padahal masih ada yang akan dia tanya perihal pria yang Armila temui tadi siang. Namun semua itu harus dia urungkan untuk sementara waktu, sampai dia menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Armila barusan. Otaknya berpikir keras untuk mencari jawaban itu, hingga tanpa sadar Bagas mendengus cukup keras.‘Sial amat sih ini! Kenapa sampai kelupaan akting ngomong ala-ala wong Jowo? Jadi curiga kan si Armi,’ sungut Bagas dalam hati. Melalui ekor matanya, dapat dilihat Armila yang masih menatapnya lekat dengan penuh selidik.Bagas lalu mulai menyalakan mesin mobil dan melajukan mobil Armila, kemudian meninggalkan area perkantoran tersebut.“Mas...Mas Bagas, kenapa diam saja? Jawab dong, supaya aku nggak penasaran. Jujur saja, hari ini aku nggak fokus kerja hanya karena ketemu lela
Sementara itu di rumah Armila.“Kayaknya tadi Mama sudah dengar mobil kamu berhenti di depan rumah. Kenapa nggak langsung masuk?” ucap Astuti ketika Armila baru saja tiba di teras rumah. Wanita itu langsung membuka pintu utama ketika mobil anak sulungnya memasuki halaman rumah.Armila terkesiap. Dia tak menyangka ibunya akan langsung mengajukan pertanyaan, di saat dirinya baru saja tiba.“Aku tadi terima telepon dulu, Ma. Saat baru saja mobil berhenti, teleponku bunyi. Temanku yang telepon, tanya soal kerjaan,” sahut Armila beralasan. Dia sengaja tak memberitahu kalau dirinya pulang diantar oleh Bagas. Khawatir urusannya akan panjang, karena Bagas tak mampir. Ibunya pasti akan mengomel panjang lebar, karena pada dasarnya kurang menyukai pria itu.“Beneran kamu? Nggak bohong?” tanya Astuti dengan tatapan curiga.“I-iya, beneran. Buat apa aku bohong.” Armila menjawab dengan agak grogi, karena dia tak pernah berbohong sebelumnya pada sang ibu. Kali ini adalah yang pertama dia lakukan, da
Armila langsung meletakkan kembali sendok berisi bubur ayam ke mangkuk. Dia batal menyuapkan sendok itu ke mulutnya, saking terkejut mendengar penuturan Bagas barusan.“Apa? Mas nggak salah omong? Bukankah kita sedang tahapan saling mengenal? Menikah itu nggak kayak beli es krim, Mas. Bayar terus dapat es nya lalu menikmatinya. Nggak begitu! Aku ini manusia lho,” cecer Armila dengan tatapan tajam pada pria yang duduk di sampingnya itu.Bagas menghela napas dan menatap Armila. “Kamu memang manusia, Dek. Siapa yang bilang kalau kamu ini bukan manusia? Aku memutuskan ini karena memang ingin melindungi kamu. Mungkin dengan kita menikah, pendekatan kita semakin intens. Rasa itu akan tumbuh dengan sendirinya di hati kita masing-masing.”“Memangnya aku dalam bahaya? Aku kan hanya curhat soal rencana mamaku yang ingin menjodohkan aku dengan Om Arga. Setahuku Om Arga bukan orang jahat. Jadi kalau Mas mau melindungiku, melindungi dari apa?”Bagas membuang napasnya kasar. Dia ingin memberitahu p
Bagas terhenyak mendengar permintaan Armila. Dia tatap lekat wajah cantik Armila seraya berkata, “Dek, orang tua Mas ada di Yogya. Ibu Mas sedang sakit. Jadi nggak mungkin kalau Mas ajak ke Jakarta.”“Ya sudah, aku yang ke Yogya. Aku akan ajukan cuti mendadak. Besok kita ke Yogya, bagaimana?” usul Armila.Bagas tampak gusar. Dia menghela napas panjang dan mengusap kasar wajah manisnya.“Bagaimana kalau kita video call ibuku dulu saja. Sama saja kan itu. Intinya kan kamu kenalan sama ibuku. Bilang saja kalau kamu calon menantunya, ya,” ucap Bagas dengan tatapan memohon.“Calon menantu? Aku kan belum menerima lamaran kamu, Mas. Aku kan tadi bilang, kalau mau kenalan dulu sama orang tua kamu. Barulah setelah itu, aku bisa jawab lamaran kamu tadi,” sahut Armila serius.“Iya, iya deh. Jadi nggak apa ya kalau video call dulu saja. Nanti kalau kita sudah menikah, Mas ajak kamu untuk ketemu sama ibuku, ok,” cetus Bagas dengan senyuman. Berharap kalau Armila menganggukkan kepala sebagai jawaba
“Itu bukan bisnis, Pak. Itu memang cara Pak Bara untuk memperlancar proposal proyeknya. Untuk bukti yang akurat, segera saya dapatkan. Karena saya sedang berusaha membujuk si wanita yang menjadi alat untuk kelancaran proyeknya Pak Bara,” sahut Irwan kalem.“Wanita? Siapa dia?” tanya Bagas yang semakin penasaran.Irwan terdiam sejenak. Dia membuang napasnya kasar, dan menatap Bagas dengan tatapan cemas.“Kenapa, Wan? Ayo, cepetan jawab!”“Dia...Santi, Pak.”“Apa? Santi? Kok bisa?” tanya Bagas dengan kedua bola mata dan mulut yang terbuka sempurna.“Itu yang mau saya cari tahu, Pak. Santi saat saya dekati, selalu menghindar. Saat berhasil saya ajak bicara, dia nggak mau terus terang. Jadi saya harus cari cara lain agar bisa mengorek keterangan lebih jauh lagi dari dia, Pak,” sahut Irwan.“Ok, aku tunggu kabar selanjutnya. Jadi untuk acara lamaran nanti, kamu dan orang tua kamu tolong dampingi aku, ya. Oh iya, ini tolong serahkan ke ibu kamu. Tolong minta ibu kamu urus apa saja yang haru
“Mas, kamu serius? Jangan memaksakan diri. Aku nggak mau memberatkan kamu,” ucap Armila dengan suara pelan, dan dengan tatapan canggung pada Bagas. Merasa tak enak hati kalau terlalu memberatkan pria itu. Setahunya Bagas adalah seorang sopir taksi online, yang tentunya untuk mendapatkan uang ratusan juta harus penuh perjuangan.“Jangan khawatir, Dek. Mas ada tabungan kok. Jadi hari Senin nanti kamu izin datang siang ke kantor. Aku akan ajak kamu ke bank dulu untuk membuat deposito atas nama kamu,” sahut Bagas kalem.Armila untuk kedua kalinya merasa terperangah mendengar penuturan Bagas. Begitu juga dengan Arif dan Astuti.“Bagas, itu bukan uang palsu kan?” tanya Astuti dengan mata yang memicing.“Bukan, Bu. Kalau uang palsu, pasti nggak akan diterima oleh pihak bank. Itu uang asli. Kalau Ibu mau saya transfer uangnya sekarang, bisa kok. Ibu sebutkan saja nomor rekening Ibu atau nomor rekening Bapak, agar saya bisa transfer melalui mobile banking sekarang juga. Jadi saya tinggal mengu
“Selesai! Sudah aku kirim ya fotonya ke kamu,” ucap Armila, yang diangguki oleh Bagas.“Ok, thanks. Sekarang boleh minta tolong lagi nggak, Dek?”“Apa itu, Mas?”“Tolong foto yang tadi sudah kamu kirim ke aku, kamu teruskan kirim ke seseorang! Nama kontaknya, Irwan,” sahut Bagas, yang hanya menoleh sekilas ke arah Armila sebab tengah fokus mengemudi.Armila menghela napas panjang sambil menatap wajah Bagas dari samping.“Kenapa nggak dari tadi saja sih suruhnya, Mas? Tinggal kasih tahu nomornya si Mas Irwan. Jadi aku tadi bisa langsung kirim ke dua orang. Nggak bolak-balik begini.”Bagas terkekeh mendengar ucapan Armila yang lebih tepatnya disebut sedang menggerutu.“Kalau tadi kamu kirim langsung ke Irwan, nanti dia tahu dong nomor kamu, Dek. Sedangkan Mas nggak mau kalau sampai ada lelaki lain yang tahu nomor telepon kamu.”“Eh, bisa begitu sih? Aku ada lho nomor kontak teman-teman cowok, Mas,” sahut Armila dengan mata yang memicing.“Ya...kalau sudah terlanjur sih nggak apa. Lagian