Home / Romansa / Bukan Sopir Biasa / 6. Siapa Bagas?

Share

6. Siapa Bagas?

Tanpa sepengetahuan mereka, Anggi-adik Armila, melihat interaksi sang kakak dan Bagas dari balik tirai jendela ruang tamu.

“Itu mereka sedang apa? Sedang berantem? Penasaran jadinya. Coba nguping, ah,” gumam Anggi seorang diri. Dia lalu menyelinap keluar rumah, dan berjingkat mendekati Armila serta Bagas yang masih berdebat.

Bagas melalui ekor matanya, melihat bayangan mengendap-endap menuju ke pohon mangga yang ada di halaman rumah Armila. Jarak pohon mangga dengan tempatnya kini berada, hanya beberapa meter saja. Sehingga apabila orang tersebut berniat menguping, maka dapat terdengar pembicaraannya dengan Armila. Begitu menurut pemikiran Bagas.

‘Hm...sepertinya ada yang mau menguping. Apa mamanya Armi? Apa mamanya Armi curiga ya dengan aktingku tadi?’ ucap Bagas dalam hati.

Bagas lalu merangkul pundak Armila seraya berbisik, “Jangan protes! Ada yang mencoba menguping pembicaraan kita.”

“Siapa?” tanya Armila balas berbisik.

“Nggak tahu. Makanya kamu nurut saja sekarang kalau aku rangkul. Jangan marah atau berontak, yang akan menimbulkan kecurigaan,” bisik Bagas lagi.

Armila mengangguk dan menurut saja ketika Bagas membawanya ke pintu pagar. Membuat Anggi yang berada di balik pohon mangga, kini berdecak kesal.

“Ck, mereka kabur. Mau nguping padahal aku ini. Mungkin mereka tahu kalau aku mengendap-endap kemari,” sungut Anggi dengan wajah yang tertekuk.

Setibanya di pintu pagar, Bagas melepaskan rangkulan tangannya. Dia lalu menoleh sekilas ke arah pohon mangga, dan masih terlihat siluet seseorang di sana.

“Masih ada, Mas?” tanya Armila tanpa ikutan menoleh.

“Masih. Tapi, kayaknya kalau kita ngomong, nggak akan kedengaran deh sama dia. Pelan-pelan saja kita ngomongnya, ok,” sahut Bagas, yang diangguki oleh Armila.

“Jadi begini, Dek Armi. Menurut aku...” Bagas menggantung kalimatnya karena Armila menyela ucapannya.

“Kok manggil aku nya beda lagi? Saat baru ketemu, manggilnya dengan sebutan Mbak. Eh, saat jadi tukang ojek, manggilnya nama saja. Nggak konsisten nih orang nya,” ucap Armila dengan gelengan kepalanya.

Bagas tertawa pelan. “Kalau panggil Mbak, itu kan sebagai sopan santun saat pertama kali ketemu dengan orang yang belum kita kenal. Kalau panggil Armi, itu karena aku sudah merasa cukup mengenal kamu. Lalu kalau panggil Dek, itu karena kamu adalah calon istriku.”

“Hah? Kok begitu sih, Mas?”

“Lah, kan tadi orang tua kamu minta membuktikan keseriusan aku, Dek. Jadi ya aku serius dong, kalau akan melamar kamu,” sahut Bagas kalem.

“Ish, kamu ini. Aku kan minta kamu bersandiwara, Mas. Jangan begitu dong. Jangan memanfaatkan aku begini. Namanya ini ambil kesempatan dalam kesempitan. Aku nggak suka, Mas! Kita belum mengenal lebih jauh. Masak mau langsung menikah?” cetus Armila dengan suara pelan, tapi penuh penegasan.

“Iya, aku tahu kalau kita belum saling mengenal lebih jauh. Bagaimana kalau mulai sekarang kita melakukan pendekatan? Jadi kalau kita sudah saling mengenal lebih jauh dan cocok, maka aku akan datang kemari lagi untuk melamar kamu, deal?” ucap Bagas dengan tatapan lekat pada Armila.

Armila tak langsung menjawab pertanyaan Bagas. Dia kini sibuk dengan pikirannya sendiri.

‘Apa memang Mas Bagas ini adalah seorang yang memang didatangkan untukku? Apa karena ucapanku saat mobilku mogok, telah dikabulkan oleh Tuhan? Ucapan kan sama saja dengan doa. Wah, kalau benar Mas Bagas ini jodohku, ini untung atau buntung?’ ucap Armi dalam hati.

“Dek Armi?” ucap Bagas dengan tangannya yang digerakkan ke  depan wajah Armi, agar menyadarkan gadis itu dari lamunannya.

“Ops, maaf aku tadi melamun. Tadi kamu bilang apa?” sahut Armila tergagap.

“Aku tadi bilang, supaya kita sekarang ini melakukan pendekatan. Bagaimana? Kamu setuju kan?” tutur Bagas lembut.

Armila menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Ok, aku setuju. Tapi, soal hati nggak bisa dipaksa. Misal hatiku nggak bisa nyangkut di hati kamu. Lebih baik kamu jangan menampakkan diri di depanku, atau menghubungiku lagi. Nanti aku alasan saja ke orang tuaku, kalau kamu mendapat pekerjaan di luar kota. Jadi belum bisa datang ke rumah untuk melamar. Dengan demikian, mama nggak akan menjodohkan aku dengan Om Arman. Mama mungkin akan minta aku menunggu kamu. Lalu nanti seiring dengan berjalannya waktu, aku mungkin akan ketemu dengan jodohku. Nah, kalau sudah begitu, aku akan terus terang pada orang tuaku.”

“Misal nanti hati kamu ternyata nyangkut di hatiku, apa kamu bersedia menjadi istri seorang sopir? Apa kamu nggak masalah hidup sederhana denganku?” tanya Bagas serius.

“Kalau memang nanti kita saling mencintai, aku nggak masalah hidup sederhana. Seperti yang kamu bilang tadi, asalkan berkah maka berapa pun yang kita punya maka akan cukup saja. Yang terpenting, kamu setia karena aku capek ditikung dari belakang,” sahut Armila, yang membuat Bagas terkesiap.

“Kamu...sedang patah hati rupanya, iya?” tanya Bagas memastikan.

Armila mengangguk. “Pacarku selingkuh dengan teman SMA ku.”

“Oh...begitu.”

“Iya, dan kamu...apa kamu bisa jadi lelaki yang setia?”

“Insya Allah, bisa, karena aku pun mengalami hal yang nggak beda jauh dari kamu. Versinya saja yang beda. Tapi, sama-sama pernah terluka hatinya. Jadi sesama orang yang terluka, bisa kan kita saling menyembuhkan luka itu?” sahut Bagas dengan senyuman.

“Kita coba saja, Mas. Tapi, seperti yang aku bilang tadi, kalau soal hati nggak bisa dipaksa.”

“Ok, sip. Jadi mulai malam ini kita lakukan pendekatan.” Bagas berkata sambil mengangsurkan tangannya untuk bersalaman dengan Armila.

“Iya,” sahut Armila dengan tangan yang menyambut tangan Bagas.

Setelah tercapai kata sepakat, Bagas pun berpamitan pada Amila dan masuk ke dalam mobil. Tak lama, mobil pun melaju meninggalkan area kediaman keluarga Armila.

***

Mobil yang dikendarai Bagas berhenti di depan sebuah rumah makan. Pria itu lalu melangkah masuk ke dalam rumah makan itu, dan melangkah menuju ke sebuah meja yang letaknya di dekat jendela.

“Sudah lama di sini?” tanya Bagas dengan senyuman.

“Belum. Baru sekitar sepuluh menit,” sahut seorang pria yang membalas senyuman Bagas.

“Ini kunci mobilnya. Terima kasih, ya.” Bagas berkata sambil meletakkan kunci mobil di atas meja.

Pria lawan bicara Bagas mengangguk dan tersenyum seraya berkata, “Sama-sama, Pak. Justru saya yang harusnya berterima kasih, karena diberi kesempatan naik mobil Mercedes milik Bapak. Rasanya seperti mimpi bisa naik mobil mewah. Ini kunci mobil milik Pak Bagas.”

Bagas tertawa kecil seraya berkata, “Kamu bisa kok punya mobil seperti itu, Irwan.”

“Ah, bisa saja Pak Bagas. Tapi, saya aminkan saja deh. Barangkali nanti jadi kenyataan,” sahut Irwan dengan senyuman. “Lalu, sampai kapan Pak Bagas akan menyamar jadi tukang ojek dan sopir taksi online?”

“Nanti kalau misinya sudah selesai, aku akan berhenti. Capek juga ternyata ngomong dengan dialek orang Jawa. Meskipun orang tuaku berasal dari Yogyakarta, tapi aku besar di Jakarta. Jadi dialek Jawa sudah berkurang. Terus sekarang kalau ngomong harus kayak mas-mas yang baru datang ke Jakarta, rasanya pegel banget ini mulut, Wan,” sahut Bagas dengan helaan napas panjang.

Irwan pun terkekeh. “Lalu tentang gadis itu, bagaimana?”

“Kalau soal itu, off the record! Kamu nggak boleh tahu. Cukup itu jadi urusan pribadiku.” Bagas berkata sambil menyunggingkan senyuman, yang membuat Irwan tertegun.

‘Wih, jangan-jangan Pak Bagas sudah main hati dengan gadis itu. Bakalan seru ini nanti. Apalagi kalau gadis itu tahu siapa Pak Bagas ini sebenarnya,’ ucap Irwan dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status