Tanpa sepengetahuan mereka, Anggi-adik Armila, melihat interaksi sang kakak dan Bagas dari balik tirai jendela ruang tamu.
“Itu mereka sedang apa? Sedang berantem? Penasaran jadinya. Coba nguping, ah,” gumam Anggi seorang diri. Dia lalu menyelinap keluar rumah, dan berjingkat mendekati Armila serta Bagas yang masih berdebat.
Bagas melalui ekor matanya, melihat bayangan mengendap-endap menuju ke pohon mangga yang ada di halaman rumah Armila. Jarak pohon mangga dengan tempatnya kini berada, hanya beberapa meter saja. Sehingga apabila orang tersebut berniat menguping, maka dapat terdengar pembicaraannya dengan Armila. Begitu menurut pemikiran Bagas.
‘Hm...sepertinya ada yang mau menguping. Apa mamanya Armi? Apa mamanya Armi curiga ya dengan aktingku tadi?’ ucap Bagas dalam hati.
Bagas lalu merangkul pundak Armila seraya berbisik, “Jangan protes! Ada yang mencoba menguping pembicaraan kita.”
“Siapa?” tanya Armila balas berbisik.
“Nggak tahu. Makanya kamu nurut saja sekarang kalau aku rangkul. Jangan marah atau berontak, yang akan menimbulkan kecurigaan,” bisik Bagas lagi.
Armila mengangguk dan menurut saja ketika Bagas membawanya ke pintu pagar. Membuat Anggi yang berada di balik pohon mangga, kini berdecak kesal.
“Ck, mereka kabur. Mau nguping padahal aku ini. Mungkin mereka tahu kalau aku mengendap-endap kemari,” sungut Anggi dengan wajah yang tertekuk.
Setibanya di pintu pagar, Bagas melepaskan rangkulan tangannya. Dia lalu menoleh sekilas ke arah pohon mangga, dan masih terlihat siluet seseorang di sana.
“Masih ada, Mas?” tanya Armila tanpa ikutan menoleh.
“Masih. Tapi, kayaknya kalau kita ngomong, nggak akan kedengaran deh sama dia. Pelan-pelan saja kita ngomongnya, ok,” sahut Bagas, yang diangguki oleh Armila.
“Jadi begini, Dek Armi. Menurut aku...” Bagas menggantung kalimatnya karena Armila menyela ucapannya.
“Kok manggil aku nya beda lagi? Saat baru ketemu, manggilnya dengan sebutan Mbak. Eh, saat jadi tukang ojek, manggilnya nama saja. Nggak konsisten nih orang nya,” ucap Armila dengan gelengan kepalanya.
Bagas tertawa pelan. “Kalau panggil Mbak, itu kan sebagai sopan santun saat pertama kali ketemu dengan orang yang belum kita kenal. Kalau panggil Armi, itu karena aku sudah merasa cukup mengenal kamu. Lalu kalau panggil Dek, itu karena kamu adalah calon istriku.”
“Hah? Kok begitu sih, Mas?”
“Lah, kan tadi orang tua kamu minta membuktikan keseriusan aku, Dek. Jadi ya aku serius dong, kalau akan melamar kamu,” sahut Bagas kalem.
“Ish, kamu ini. Aku kan minta kamu bersandiwara, Mas. Jangan begitu dong. Jangan memanfaatkan aku begini. Namanya ini ambil kesempatan dalam kesempitan. Aku nggak suka, Mas! Kita belum mengenal lebih jauh. Masak mau langsung menikah?” cetus Armila dengan suara pelan, tapi penuh penegasan.
“Iya, aku tahu kalau kita belum saling mengenal lebih jauh. Bagaimana kalau mulai sekarang kita melakukan pendekatan? Jadi kalau kita sudah saling mengenal lebih jauh dan cocok, maka aku akan datang kemari lagi untuk melamar kamu, deal?” ucap Bagas dengan tatapan lekat pada Armila.
Armila tak langsung menjawab pertanyaan Bagas. Dia kini sibuk dengan pikirannya sendiri.
‘Apa memang Mas Bagas ini adalah seorang yang memang didatangkan untukku? Apa karena ucapanku saat mobilku mogok, telah dikabulkan oleh Tuhan? Ucapan kan sama saja dengan doa. Wah, kalau benar Mas Bagas ini jodohku, ini untung atau buntung?’ ucap Armi dalam hati.
“Dek Armi?” ucap Bagas dengan tangannya yang digerakkan ke depan wajah Armi, agar menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
“Ops, maaf aku tadi melamun. Tadi kamu bilang apa?” sahut Armila tergagap.
“Aku tadi bilang, supaya kita sekarang ini melakukan pendekatan. Bagaimana? Kamu setuju kan?” tutur Bagas lembut.
Armila menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Ok, aku setuju. Tapi, soal hati nggak bisa dipaksa. Misal hatiku nggak bisa nyangkut di hati kamu. Lebih baik kamu jangan menampakkan diri di depanku, atau menghubungiku lagi. Nanti aku alasan saja ke orang tuaku, kalau kamu mendapat pekerjaan di luar kota. Jadi belum bisa datang ke rumah untuk melamar. Dengan demikian, mama nggak akan menjodohkan aku dengan Om Arman. Mama mungkin akan minta aku menunggu kamu. Lalu nanti seiring dengan berjalannya waktu, aku mungkin akan ketemu dengan jodohku. Nah, kalau sudah begitu, aku akan terus terang pada orang tuaku.”
“Misal nanti hati kamu ternyata nyangkut di hatiku, apa kamu bersedia menjadi istri seorang sopir? Apa kamu nggak masalah hidup sederhana denganku?” tanya Bagas serius.
“Kalau memang nanti kita saling mencintai, aku nggak masalah hidup sederhana. Seperti yang kamu bilang tadi, asalkan berkah maka berapa pun yang kita punya maka akan cukup saja. Yang terpenting, kamu setia karena aku capek ditikung dari belakang,” sahut Armila, yang membuat Bagas terkesiap.
“Kamu...sedang patah hati rupanya, iya?” tanya Bagas memastikan.
Armila mengangguk. “Pacarku selingkuh dengan teman SMA ku.”
“Oh...begitu.”
“Iya, dan kamu...apa kamu bisa jadi lelaki yang setia?”
“Insya Allah, bisa, karena aku pun mengalami hal yang nggak beda jauh dari kamu. Versinya saja yang beda. Tapi, sama-sama pernah terluka hatinya. Jadi sesama orang yang terluka, bisa kan kita saling menyembuhkan luka itu?” sahut Bagas dengan senyuman.
“Kita coba saja, Mas. Tapi, seperti yang aku bilang tadi, kalau soal hati nggak bisa dipaksa.”
“Ok, sip. Jadi mulai malam ini kita lakukan pendekatan.” Bagas berkata sambil mengangsurkan tangannya untuk bersalaman dengan Armila.
“Iya,” sahut Armila dengan tangan yang menyambut tangan Bagas.
Setelah tercapai kata sepakat, Bagas pun berpamitan pada Amila dan masuk ke dalam mobil. Tak lama, mobil pun melaju meninggalkan area kediaman keluarga Armila.
***
Mobil yang dikendarai Bagas berhenti di depan sebuah rumah makan. Pria itu lalu melangkah masuk ke dalam rumah makan itu, dan melangkah menuju ke sebuah meja yang letaknya di dekat jendela.
“Sudah lama di sini?” tanya Bagas dengan senyuman.
“Belum. Baru sekitar sepuluh menit,” sahut seorang pria yang membalas senyuman Bagas.
“Ini kunci mobilnya. Terima kasih, ya.” Bagas berkata sambil meletakkan kunci mobil di atas meja.
Pria lawan bicara Bagas mengangguk dan tersenyum seraya berkata, “Sama-sama, Pak. Justru saya yang harusnya berterima kasih, karena diberi kesempatan naik mobil Mercedes milik Bapak. Rasanya seperti mimpi bisa naik mobil mewah. Ini kunci mobil milik Pak Bagas.”
Bagas tertawa kecil seraya berkata, “Kamu bisa kok punya mobil seperti itu, Irwan.”
“Ah, bisa saja Pak Bagas. Tapi, saya aminkan saja deh. Barangkali nanti jadi kenyataan,” sahut Irwan dengan senyuman. “Lalu, sampai kapan Pak Bagas akan menyamar jadi tukang ojek dan sopir taksi online?”
“Nanti kalau misinya sudah selesai, aku akan berhenti. Capek juga ternyata ngomong dengan dialek orang Jawa. Meskipun orang tuaku berasal dari Yogyakarta, tapi aku besar di Jakarta. Jadi dialek Jawa sudah berkurang. Terus sekarang kalau ngomong harus kayak mas-mas yang baru datang ke Jakarta, rasanya pegel banget ini mulut, Wan,” sahut Bagas dengan helaan napas panjang.
Irwan pun terkekeh. “Lalu tentang gadis itu, bagaimana?”
“Kalau soal itu, off the record! Kamu nggak boleh tahu. Cukup itu jadi urusan pribadiku.” Bagas berkata sambil menyunggingkan senyuman, yang membuat Irwan tertegun.
‘Wih, jangan-jangan Pak Bagas sudah main hati dengan gadis itu. Bakalan seru ini nanti. Apalagi kalau gadis itu tahu siapa Pak Bagas ini sebenarnya,’ ucap Irwan dalam hati.
Sementara itu di rumah keluarga Armila, tampak Astuti dan Arif sedang berbincang serius di ruang tengah. Keduanya tengah membahas hubungan Armila dan Bagas.“Pa, apa kamu nggak masalah kalau punya menantu kayak si Bagas?” tanya Astuti dengan tatapan lekat pada sang suami.“Kayaknya dia lelaki baik. Aku lihat dia memiliki tata krama yang tinggi,” sahut Arif kalem.“Tapi, kok aku kayaknya masih condong ke si Arman sih, Pa. Meskipun dia duda, tapi kan dia nggak punya anak. Kalau usia juga, kayaknya nggak masalah. Banyak orang yang usianya beda jauh sama pasangannya. Tapi, akur tuh rumah tangganya. Malah enak kalau usia suami jauh lebih tua, nggak macam-macam. Kemungkinan selingkuh itu kecil,” cetus Astuti antusias. Dia memang kalau membicarakan tentang Arman, pasti selalu antusias.“Kalau Bagas, aku masih kurang sreg. Belum tahu isi kantongnya. Lagi pula bagaimana jadinya kalau teman-teman arisanku tahu, kalau Bagas seorang sopir? Mau ditaruh di mana muka ini, Pa? Malu banget aku nanti.
Armila menikmati hidangan makan siangnya dengan sesekali menatap ke arah private room, di mana seseorang yang diyakini Armila adalah Bagas kini berada di dalam ruangan itu.Akibat perhatiannya terlalu fokus ke arah private room, membuat Armila tak menyimak perbincangan rekan-rekan kerjanya.“Mil,” bisik Rita sambil menyenggol lengan Armila.Namun, Armila tetap bergeming. Dia tak menghiraukan Rita yang memanggil sambil menyenggol lengan kirinya. Gadis itu terlalu fokus dengan private room. Bahkan makanannya yang masuk ke dalam mulut hanya beberapa suap saja. Hal itu membuat Armila menjadi pusat perhatian teman-temannya, termasuk Rita yang mulai geram.“Mila!” panggil Rita yang kali ini dengan suara kencang.Armila tergagap, dan mengalihkan tatapannya pada Rita dengan pandangan lugu.“Ada apa, Rit? Kok teriak-teriak sih?” tanya Armila dengan kening berkerut.Rita menghela napas dan memandangku kesal. “Kamu dipanggil itu sama Pak Budi. Tapi, kamu nggak menyahut. Kamu malah sibuk tengok k
“Mas, kok ngomong kamu...beda? Maksudku...kamu ngomongnya nggak medok kayak sebelumnya?” Armila bertanya sambil mengerutkan keningnya.Bagas yang sadar bahwa dia sudah melupakan sesuatu, lantas diam. Padahal masih ada yang akan dia tanya perihal pria yang Armila temui tadi siang. Namun semua itu harus dia urungkan untuk sementara waktu, sampai dia menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Armila barusan. Otaknya berpikir keras untuk mencari jawaban itu, hingga tanpa sadar Bagas mendengus cukup keras.‘Sial amat sih ini! Kenapa sampai kelupaan akting ngomong ala-ala wong Jowo? Jadi curiga kan si Armi,’ sungut Bagas dalam hati. Melalui ekor matanya, dapat dilihat Armila yang masih menatapnya lekat dengan penuh selidik.Bagas lalu mulai menyalakan mesin mobil dan melajukan mobil Armila, kemudian meninggalkan area perkantoran tersebut.“Mas...Mas Bagas, kenapa diam saja? Jawab dong, supaya aku nggak penasaran. Jujur saja, hari ini aku nggak fokus kerja hanya karena ketemu lela
Sementara itu di rumah Armila.“Kayaknya tadi Mama sudah dengar mobil kamu berhenti di depan rumah. Kenapa nggak langsung masuk?” ucap Astuti ketika Armila baru saja tiba di teras rumah. Wanita itu langsung membuka pintu utama ketika mobil anak sulungnya memasuki halaman rumah.Armila terkesiap. Dia tak menyangka ibunya akan langsung mengajukan pertanyaan, di saat dirinya baru saja tiba.“Aku tadi terima telepon dulu, Ma. Saat baru saja mobil berhenti, teleponku bunyi. Temanku yang telepon, tanya soal kerjaan,” sahut Armila beralasan. Dia sengaja tak memberitahu kalau dirinya pulang diantar oleh Bagas. Khawatir urusannya akan panjang, karena Bagas tak mampir. Ibunya pasti akan mengomel panjang lebar, karena pada dasarnya kurang menyukai pria itu.“Beneran kamu? Nggak bohong?” tanya Astuti dengan tatapan curiga.“I-iya, beneran. Buat apa aku bohong.” Armila menjawab dengan agak grogi, karena dia tak pernah berbohong sebelumnya pada sang ibu. Kali ini adalah yang pertama dia lakukan, da
Armila langsung meletakkan kembali sendok berisi bubur ayam ke mangkuk. Dia batal menyuapkan sendok itu ke mulutnya, saking terkejut mendengar penuturan Bagas barusan.“Apa? Mas nggak salah omong? Bukankah kita sedang tahapan saling mengenal? Menikah itu nggak kayak beli es krim, Mas. Bayar terus dapat es nya lalu menikmatinya. Nggak begitu! Aku ini manusia lho,” cecer Armila dengan tatapan tajam pada pria yang duduk di sampingnya itu.Bagas menghela napas dan menatap Armila. “Kamu memang manusia, Dek. Siapa yang bilang kalau kamu ini bukan manusia? Aku memutuskan ini karena memang ingin melindungi kamu. Mungkin dengan kita menikah, pendekatan kita semakin intens. Rasa itu akan tumbuh dengan sendirinya di hati kita masing-masing.”“Memangnya aku dalam bahaya? Aku kan hanya curhat soal rencana mamaku yang ingin menjodohkan aku dengan Om Arga. Setahuku Om Arga bukan orang jahat. Jadi kalau Mas mau melindungiku, melindungi dari apa?”Bagas membuang napasnya kasar. Dia ingin memberitahu p
Bagas terhenyak mendengar permintaan Armila. Dia tatap lekat wajah cantik Armila seraya berkata, “Dek, orang tua Mas ada di Yogya. Ibu Mas sedang sakit. Jadi nggak mungkin kalau Mas ajak ke Jakarta.”“Ya sudah, aku yang ke Yogya. Aku akan ajukan cuti mendadak. Besok kita ke Yogya, bagaimana?” usul Armila.Bagas tampak gusar. Dia menghela napas panjang dan mengusap kasar wajah manisnya.“Bagaimana kalau kita video call ibuku dulu saja. Sama saja kan itu. Intinya kan kamu kenalan sama ibuku. Bilang saja kalau kamu calon menantunya, ya,” ucap Bagas dengan tatapan memohon.“Calon menantu? Aku kan belum menerima lamaran kamu, Mas. Aku kan tadi bilang, kalau mau kenalan dulu sama orang tua kamu. Barulah setelah itu, aku bisa jawab lamaran kamu tadi,” sahut Armila serius.“Iya, iya deh. Jadi nggak apa ya kalau video call dulu saja. Nanti kalau kita sudah menikah, Mas ajak kamu untuk ketemu sama ibuku, ok,” cetus Bagas dengan senyuman. Berharap kalau Armila menganggukkan kepala sebagai jawaba
“Itu bukan bisnis, Pak. Itu memang cara Pak Bara untuk memperlancar proposal proyeknya. Untuk bukti yang akurat, segera saya dapatkan. Karena saya sedang berusaha membujuk si wanita yang menjadi alat untuk kelancaran proyeknya Pak Bara,” sahut Irwan kalem.“Wanita? Siapa dia?” tanya Bagas yang semakin penasaran.Irwan terdiam sejenak. Dia membuang napasnya kasar, dan menatap Bagas dengan tatapan cemas.“Kenapa, Wan? Ayo, cepetan jawab!”“Dia...Santi, Pak.”“Apa? Santi? Kok bisa?” tanya Bagas dengan kedua bola mata dan mulut yang terbuka sempurna.“Itu yang mau saya cari tahu, Pak. Santi saat saya dekati, selalu menghindar. Saat berhasil saya ajak bicara, dia nggak mau terus terang. Jadi saya harus cari cara lain agar bisa mengorek keterangan lebih jauh lagi dari dia, Pak,” sahut Irwan.“Ok, aku tunggu kabar selanjutnya. Jadi untuk acara lamaran nanti, kamu dan orang tua kamu tolong dampingi aku, ya. Oh iya, ini tolong serahkan ke ibu kamu. Tolong minta ibu kamu urus apa saja yang haru
“Mas, kamu serius? Jangan memaksakan diri. Aku nggak mau memberatkan kamu,” ucap Armila dengan suara pelan, dan dengan tatapan canggung pada Bagas. Merasa tak enak hati kalau terlalu memberatkan pria itu. Setahunya Bagas adalah seorang sopir taksi online, yang tentunya untuk mendapatkan uang ratusan juta harus penuh perjuangan.“Jangan khawatir, Dek. Mas ada tabungan kok. Jadi hari Senin nanti kamu izin datang siang ke kantor. Aku akan ajak kamu ke bank dulu untuk membuat deposito atas nama kamu,” sahut Bagas kalem.Armila untuk kedua kalinya merasa terperangah mendengar penuturan Bagas. Begitu juga dengan Arif dan Astuti.“Bagas, itu bukan uang palsu kan?” tanya Astuti dengan mata yang memicing.“Bukan, Bu. Kalau uang palsu, pasti nggak akan diterima oleh pihak bank. Itu uang asli. Kalau Ibu mau saya transfer uangnya sekarang, bisa kok. Ibu sebutkan saja nomor rekening Ibu atau nomor rekening Bapak, agar saya bisa transfer melalui mobile banking sekarang juga. Jadi saya tinggal mengu