Setelah beberapa menit, perbincangan Bagas dengan seseorang yang bernama Marco di seberang sana pun selesai. Pria itu lalu menatap Armila dengan tatapan canggung.
“Maaf, Mbak Armi. Tadi saya tinggal ngobrol sama teman saya,” ucap Bagas salah tingkah.
“Nggak apa, Mas. Keren deh ngomong pake bahasa Perancis. Ngalir gitu kayak air. Bahasa Inggris nya juga pasti keren deh. Kursus di mana, Mas?” sahut Armila dengan senyuman.
“Eh, kursus? Saya...” Bagas tak meneruskan kata-katanya, karena mobil derek telah tiba di tempat itu.
“Selamat malam, saya dari mobil derek. Tadi mendapat laporan kalau ada sebuah mobil yang mogok,” ucap sopir mobil derek ketika sudah berada di hadapan Bagas dan juga Armila.
“Iya, betul. Ini mobilnya, Pak. Lalu prosesnya bagaimana?” sahut Armila, yang memang belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
“Ya...kami akan membawa mobil Mbak ke bengkel terdekat,” sahut pria itu kalem.
“Memangnya ada bengkel yang buka, Pak? Ini kan sudah malam,” celetuk Armila meragu.
“Ada bengkel yang buka dua puluh empat jam, Mbak. Tenang saja, ya, jangan panik.” Pria itu berkata sambil tersenyum pada Armila.
Akhirnya mobil Armila berhasil diderek dan dibawa ke bengkel terdekat, yang memang buka selama dua puluh empat jam.
Bagas sendiri dengan penuh kesabaran, menemani Armila. Dia justru yang bertanya banyak pada montir, mengenai kerusakan pada mobil gadis itu.
“Jadi kapan bisa selesainya, Mas?” tanya Bagas pada montir tersebut, setelah dijelaskan permasalahan yang terjadi pada mobil Armila.
“Besok ya, Mas. Jam sepuluh pagi deh bisa diambil mobilnya,” sahut montir itu kalem.
“Ok deh,” sahut Bagas dengan senyuman. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Armila, yang kini sedang melakukan transaksi pembayaran pada pihak mobil derek.
“Sudah selesai?” tanya Bagas ketika Armila mendekatinya.
“Sudah.”
“Ayo, kita pulang sekarang! Mobil kamu bisa diambil besok, jam sepuluh pagi,” sahut Bagas, yang diangguki oleh gadis itu.
“Terima kasih banyak ya, Mas,” sahut Armila, yang diangguki oleh Bagas.
“Sama-sama.”
Selanjutnya, mereka pun melangkah meninggalkan bengkel tersebut, menuju ke mobil yang Bagas gunakan untuk bekerja. Armila pun segera menyebutkan alamat rumahnya pada Bagas, setelah mereka sudah berada di dalam mobil.
“Kerja di mana, Mbak Armi?” ucap Bagas ketika mereka sedang dalam perjalanan. Dia mencoba mencairkan suasana yang tampak kaku selama dalam perjalanan, karena Armila lebih banyak diam di jok belakang.
Armila lalu menyebutkan nama perusahaan tempat dia bekerja. Tanpa diduga oleh gadis itu, Bagas tertawa kecil yang masih sempat terdengar oleh Armila.
“Kenapa kamu ketawa, Mas Bagas? Ada yang lucu?”
“Ah, nggak ada yang lucu kok. Cuma ingin ketawa saja. Soalnya saya pernah melamar kerja di sana, tapi ditolak. Eh, malah sekarang saya kenal dengan karyawan perusahaan itu,” sahut Bagas masih dengan senyumannya.
Armila yang merasakan tubuhnya lelah, tak berminat untuk melanjutkan perbincangan mereka. Gadis itu hanya menyandarkan punggungnya di sandaran jok mobil, sambil menatap ke luar jendela.
Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan oleh Bagas telah tiba di depan rumah Armila.
“Mas, berapa ongkosnya? Ini kan tadi nggak order melalui aplikasi. Jadi Mas Bagas yang harus menentukan tarifnya,” ucap Armila, setelah mobil berhenti di depan pagar rumahnya.
“Nggak usah bayar, Mbak Armi. Saya ikhlas menolong kok. Lagi pula saya tadi sebenarnya sudah selesai narik, dan mau pulang. Jadi nggak masalah kalau yang ini tadi saya kasih free,” sahut Bagas kalem.
“Wah, jangan begitu dong, Mas. Saya jadi nggak enak ini. Masak gratisan begini. Malah Mas sudah temani saya dari tadi. Ya sudah, kalau Mas nggak mau kasih tarif, saya bayar saja sesuai dengan yang ada di dompet saya ini. Kebetulan di dompet saya tinggal satu lembar ini saja. Jadi kalau memang ikhlas, tolong diterima ya,” ucap Armila. Dia lalu menunjukkan dompetnya di depan Bagas, dan mengeluarkan satu lembar berwarna biru, lalu menyerahkannya pada pria itu.
“Beneran ini ya, kalau tinggal satu lembar ini saja. Saya belum ambil lagi di ATM soalnya. Tadi isi dompet saya masih cukup untuk besok. Cuma gara-gara mogok dan panggil mobil derek, jadinya sisa selembar ini saja setelah bayar ke mobil derek tadi,” imbuh Armila, yang membuat Bagas terkekeh.
“Tuh kan uang kamu tinggal selembar saja. Sudah deh nggak usah bayar. Saya ikhlas kok, Mbak.” Bagas berkata sambil mendorong tangan Armila yang memegang lembaran berwarna biru itu.
“Tapi...saya nggak mau gratisan lho, Mas.”
Bagas menggeleng seraya berkata, “Nggak baik menolak rezeki. Sudah masukkan lagi ke dompet. Buat pegangan sebelum ambil uang lagi di ATM.”
Akhirnya Armila pun mengangguk dan memasukkan kembali uangnya ke dalam dompet, dan membuka pintu mobil seraya berkata, “Terima banyak ya, Mas Bagas. Saya turun dulu.”
“Ok, sama-sama.”
Setelah Armila turun dari mobil dan melangkah masuk ke halaman rumahnya, Bagas masih terus menatap gadis itu yang kini sedang berjalan ke teras rumah. Bagas tersenyum penuh arti sebelum dia melajukan mobil meninggalkan tempat itu.
“Baru pulang, Mil?” sapa Arif-ayah Armila, ketika gadis itu sudah masuk ke dalam rumahnya. “Mobil kamu ke mana? Papa nggak dengar mobil masuk ke halaman rumah.”
“Tadi mogok di jalan, Pa. Makanya sampai rumah jam segini, soalnya tadi ke bengkel dulu. Besok baru bisa diambil mobilnya. Tadi pulang naik taksi online,” sahut Armila.
“Ya sudah, kamu makan dulu sana dan bersihkan badan kamu. Papa tidur duluan, ya,” ucap Arif, yang diangguki oleh Armila.
***
“Mil...kata papa, mobil kamu mogok ya semalam?” tanya Astuti ketika mereka sedang sarapan.
“Iya, Ma. Nanti saat jam istirahat, aku ambil mobilnya. Aku berangkat ke kantor naik ojek online saja. Ini sudah order kok,” sahut Armila tanpa menatap sang mama. Dia sibuk chat dengan tukang ojek online, yang mengatakan akan tiba dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Dia pun bergegas menyelesaikan sarapannya.
“Nggak usah naik ojek, Mil! Tadi Mama sudah hubungi Tante Linda. Nanti kamu diantar oleh adiknya, Arman. Kebetulan kantor Arman searah dengan kantor kamu. Sudah batalkan saja orderannya itu!” titah Astuti.
Kedua bola mata Armila membelalak mendengar penuturan sang mama.
“Arman? Maksud Mama, Om Arman yang adiknya Tante Linda itu?” tanya Armila memastikan.
“Hu’um. Nggak usah khawatir. Nggak ada yang marah kalau kamu bareng sama dia. Arman itu kan seorang duda tanpa anak. Kali saja nanti kalian jadi cocok satu sama lain,” sahut Astuti dengan senyuman.
Armila seketika tersulut emosinya, mendengar ucapan Astuti. Dia lalu beranjak dari kursi dan melangkah cepat keluar rumah, tanpa berpamitan pada Astuti karena kesal. Dia hanya berpamitan pada Arif saja.
“Mila! Jangan pergi dulu! Tunggu Arman datang!” pekik Astuti yang juga kesal pada anak gadisnya itu.
Armila tak menggubris teriakan sang mama. Langkahnya cepat terayun ke halaman rumah. Di saat yang sama, ojek online yang dia pesan sudah tiba.
“Selamat pagi, Mbak Armi. Ayo, naik! Biar nggak telat ke kantor,” ucap tukang ojek online itu.
Kedua mata Armila terbuka sempurna kala melihat tukang ojek online itu, ketika kaca helm nya dibuka.
“Mas Bagas...”
“Iya, cepat naik! Bisa kan naik motorku ini? Atau perlu aku bantu naiknya?” ucap Bagas, yang membuat kedua bola mata Armila membelalak.“Eh, nggak usah! Aku bisa naik kok ke atas motor kamu ini, Mas. Lagiannya ngojek kok pakai motor beginian. Bikin repot penumpang saja. Untung aku hari ini nggak pakai rok,” sahut Armila dengan gelengan kepalanya. Dia lalu dengan hati-hati mulai menaiki motor Kawasaki Ninja milik Bagas.Bagas hanya tertawa mendengar ucapan Armila barusan.“Sudah siap?” tanya Bagas memastikan.“Sudah.” Armila berkata sambil mengacungkan ibu jarinya, setelah selesai mengenakan helm.“Biar nggak terlambat sampai di kantor, aku mau ngebut sedikit ini ya. Jadi pegangan yang kencang supaya nggak jatuh!” ucap Bagas, yang diangguki oleh Armila. Pria itu tersenyum kala melihat anggukan kepala gadis itu dari kaca spion motor.Entah mereka sadar atau tidak, karena pagi ini ada yang berubah dari sebutan yang mereka ucapkan. Kalau semalam mereka menyebut dengan kata saya, kini beru
“Ya sudah, Mama tunggu nanti malam. Kalau pacar kamu ternyata nggak datang, itu artinya kamu bohong. Jadi kamu harus nurut apa kata Mama. Ini juga kan demi kebaikan kamu, Mil. Sampai kapan kamu mau jomblo terus? Memangnya kamu nggak mau punya suami dan anak?” ucap Astuti di seberang sana, yang kini nada suaranya mulai melunak. Tak seperti tadi yang berapi-api.“Iya, Ma,” sahut Armila tak bersemangat. Justru kini dia merasakan kepalanya mulai pening.“Sekarang Mama tutup ya teleponnya, Mil,” ucap Astuti, dan tak lama sambungan telepon mereka pun berakhir.Armila membuang napasnya kasar. Dia pijat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut.“Kira-kira dia mau menolong aku nggak, ya?” gumam Armila seorang diri.Cukup lama Armila termenung di dalam bilik toilet. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi seseorang. Dia kemudian menyalin nomor telepon dari aplikasi transportasi online, di mana tadi dia berkomunikasi melalui pesan yang tersedia di aplikasi tersebut.“Kayanya Mas Bagas or
Armila menatap Bagas dengan tatapan geram, karena yang diucapkan Bagas tadi sangat jauh dari ekspektasinya. Armila telah membuat skenario, bahwa Bagas cukup mengaku saja sebagai kekasihnya. Agar dirinya terhindar dari perjodohan yang mamanya rancang untuknya. Dia tak menyuruh pria itu untuk berkata jujur perihal pekerjaannya. Armila sebelumnya telah menyuruh Bagas apabila ditanya mengenai pekerjaannya, dia minta agar Bagas mengaku sebagai guru bahasa Perancis. Karena pria itu mahir berkomunikasi menggunakan bahasa Perancis. Tapi, kini Bagas sudah merusak skenario yang sudah dia buat. Menjadikan dirinya kesal pada pria itu.Sementara itu, Astuti tampak geleng-geleng kepala sambil tersenyum sinis pada Bagas. Sedangkan Arif lebih memilih tak memberikan reaksi apa-apa, dan menunggu Bagas atau Armila mengatakan sesuatu padanya.“Kamu nekat amat sih pacaran sama anak saya. Lebih tepatnya, percaya diri,” celetuk Astuti.Bagas hanya tersenyum canggung pada Astuti. “Saya nggak nekat kok, Bu?”
Tanpa sepengetahuan mereka, Anggi-adik Armila, melihat interaksi sang kakak dan Bagas dari balik tirai jendela ruang tamu.“Itu mereka sedang apa? Sedang berantem? Penasaran jadinya. Coba nguping, ah,” gumam Anggi seorang diri. Dia lalu menyelinap keluar rumah, dan berjingkat mendekati Armila serta Bagas yang masih berdebat.Bagas melalui ekor matanya, melihat bayangan mengendap-endap menuju ke pohon mangga yang ada di halaman rumah Armila. Jarak pohon mangga dengan tempatnya kini berada, hanya beberapa meter saja. Sehingga apabila orang tersebut berniat menguping, maka dapat terdengar pembicaraannya dengan Armila. Begitu menurut pemikiran Bagas.‘Hm...sepertinya ada yang mau menguping. Apa mamanya Armi? Apa mamanya Armi curiga ya dengan aktingku tadi?’ ucap Bagas dalam hati.Bagas lalu merangkul pundak Armila seraya berbisik, “Jangan protes! Ada yang mencoba menguping pembicaraan kita.”“Siapa?” tanya Armila balas berbisik.“Nggak tahu. Makanya kamu nurut saja sekarang kalau aku rang
Sementara itu di rumah keluarga Armila, tampak Astuti dan Arif sedang berbincang serius di ruang tengah. Keduanya tengah membahas hubungan Armila dan Bagas.“Pa, apa kamu nggak masalah kalau punya menantu kayak si Bagas?” tanya Astuti dengan tatapan lekat pada sang suami.“Kayaknya dia lelaki baik. Aku lihat dia memiliki tata krama yang tinggi,” sahut Arif kalem.“Tapi, kok aku kayaknya masih condong ke si Arman sih, Pa. Meskipun dia duda, tapi kan dia nggak punya anak. Kalau usia juga, kayaknya nggak masalah. Banyak orang yang usianya beda jauh sama pasangannya. Tapi, akur tuh rumah tangganya. Malah enak kalau usia suami jauh lebih tua, nggak macam-macam. Kemungkinan selingkuh itu kecil,” cetus Astuti antusias. Dia memang kalau membicarakan tentang Arman, pasti selalu antusias.“Kalau Bagas, aku masih kurang sreg. Belum tahu isi kantongnya. Lagi pula bagaimana jadinya kalau teman-teman arisanku tahu, kalau Bagas seorang sopir? Mau ditaruh di mana muka ini, Pa? Malu banget aku nanti.
Armila menikmati hidangan makan siangnya dengan sesekali menatap ke arah private room, di mana seseorang yang diyakini Armila adalah Bagas kini berada di dalam ruangan itu.Akibat perhatiannya terlalu fokus ke arah private room, membuat Armila tak menyimak perbincangan rekan-rekan kerjanya.“Mil,” bisik Rita sambil menyenggol lengan Armila.Namun, Armila tetap bergeming. Dia tak menghiraukan Rita yang memanggil sambil menyenggol lengan kirinya. Gadis itu terlalu fokus dengan private room. Bahkan makanannya yang masuk ke dalam mulut hanya beberapa suap saja. Hal itu membuat Armila menjadi pusat perhatian teman-temannya, termasuk Rita yang mulai geram.“Mila!” panggil Rita yang kali ini dengan suara kencang.Armila tergagap, dan mengalihkan tatapannya pada Rita dengan pandangan lugu.“Ada apa, Rit? Kok teriak-teriak sih?” tanya Armila dengan kening berkerut.Rita menghela napas dan memandangku kesal. “Kamu dipanggil itu sama Pak Budi. Tapi, kamu nggak menyahut. Kamu malah sibuk tengok k
“Mas, kok ngomong kamu...beda? Maksudku...kamu ngomongnya nggak medok kayak sebelumnya?” Armila bertanya sambil mengerutkan keningnya.Bagas yang sadar bahwa dia sudah melupakan sesuatu, lantas diam. Padahal masih ada yang akan dia tanya perihal pria yang Armila temui tadi siang. Namun semua itu harus dia urungkan untuk sementara waktu, sampai dia menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Armila barusan. Otaknya berpikir keras untuk mencari jawaban itu, hingga tanpa sadar Bagas mendengus cukup keras.‘Sial amat sih ini! Kenapa sampai kelupaan akting ngomong ala-ala wong Jowo? Jadi curiga kan si Armi,’ sungut Bagas dalam hati. Melalui ekor matanya, dapat dilihat Armila yang masih menatapnya lekat dengan penuh selidik.Bagas lalu mulai menyalakan mesin mobil dan melajukan mobil Armila, kemudian meninggalkan area perkantoran tersebut.“Mas...Mas Bagas, kenapa diam saja? Jawab dong, supaya aku nggak penasaran. Jujur saja, hari ini aku nggak fokus kerja hanya karena ketemu lela
Sementara itu di rumah Armila.“Kayaknya tadi Mama sudah dengar mobil kamu berhenti di depan rumah. Kenapa nggak langsung masuk?” ucap Astuti ketika Armila baru saja tiba di teras rumah. Wanita itu langsung membuka pintu utama ketika mobil anak sulungnya memasuki halaman rumah.Armila terkesiap. Dia tak menyangka ibunya akan langsung mengajukan pertanyaan, di saat dirinya baru saja tiba.“Aku tadi terima telepon dulu, Ma. Saat baru saja mobil berhenti, teleponku bunyi. Temanku yang telepon, tanya soal kerjaan,” sahut Armila beralasan. Dia sengaja tak memberitahu kalau dirinya pulang diantar oleh Bagas. Khawatir urusannya akan panjang, karena Bagas tak mampir. Ibunya pasti akan mengomel panjang lebar, karena pada dasarnya kurang menyukai pria itu.“Beneran kamu? Nggak bohong?” tanya Astuti dengan tatapan curiga.“I-iya, beneran. Buat apa aku bohong.” Armila menjawab dengan agak grogi, karena dia tak pernah berbohong sebelumnya pada sang ibu. Kali ini adalah yang pertama dia lakukan, da
“Bagaimana hasil tes nya, Yah? Apa benar anak yang dilahirkan Santi adalah anaknya Bara?” tanya Bagas setelah Haryo tiba di rumah.Haryo tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak! Entah anak siapa itu? Tapi, Ayah sudah kasih kompensasi kok sama dia sebesar lima milyar. Setelah itu, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia.”“Syukurlah kalau ternyata anak itu bukan anaknya Bara,” timpal Armila, yang membuat semua yang ada di ruangan itu mengalihkan tatapan padanya.“Kenapa memangnya, Dek?” tanya Bagas dengan kening berkerut.“Ya...dia kan jadi nggak ada akses untuk datang dan masuk ke keluarga besar kamu, Mas. Aku melihat adanya ancaman kalau dia bisa masuk ke dalam keluarga ini,” sahut Armila kalem.“Tenang, Armila. Bunda nggak akan berdiam diri kalau itu terjadi. Cukup satu orang saja yang pernah menjadi duri di keluarga ini. Bunda nggak akan membiarkan duri lain melukai hati menantu Bunda.” Hesti berkata sambil menepuk pelan pundak Armila, berusaha menenangkan hati menant
Beberapa menit kemudian, Haryo dan Bayu sudah tiba di depan laboratorium. Di sana juga sudah hadir Santi, yang kali ini ditemani oleh ibunya. Tak lama, petugas laboratorium memanggil nama Haryo dan menyerahkan hasil tes DNA.Haryo lalu kembali duduk di kursi yang ada di depan loket penerimaan hasil tes. Jemari Haryo dengan cepat merobek amplop tersebut, untuk segera tahu hasilnya.Sementara itu, Santi tampak agak cemas menunggu Haryo mengeluarkan kertas tersebut.‘Semoga bayiku memang benar anaknya Bara. Supaya masa depannya terjamin. Tentu akan bangga kalau menjadi bagian dari keluarga itu,’ ucap Santi dalam hati.Jantung Santi kini berdegup kencang kala Haryo mulai membuka lipatan kertas hasil tes DNA. Dia menahan napas kala melihat Haryo menghela napas panjang. Santi dengan sabar menunggu Haryo berkata sesuatu padanya. Tapi hingga lima menit berlalu, Haryo masih bungkam. Hanya hembusan napas kasar yang keluar dari bibirnya.“Bagaimana hasilnya, Om?” tanya Santi yang mulai tak sabar
Haryo terdiam. Dia bingung harus menjawabnya, karena hatinya masih meragu. Namun, tatapan Santi yang terus ke arahnya, mau tak mau Haryo berucap juga.“Baiklah, nanti saya akan beri nama kalau sudah tahu hasil tes DNA. Sekarang Bayu sedang mengurus administrasinya, agar saya dan anak kamu bisa melakukan tes DNA, Santi,” sahut Haryo, yang membuat Santi menghela napas panjang.Beberapa menit kemudian, Bayu pun tiba di ruangan itu. Dia lalu meminta Haryo dan bayinya Santi untuk ke laboratorium, untuk melakukan tes DNA.Akhirnya, mereka pun bergegas ke laboratorium.Sementara itu di tempat lain, tepatnya di rumah keluarga Bagas. Tampak di rumah itu kedatangan seorang wanita pemilik event organizer, yang sekaligus sahabat dari Hesti. Wanita itu diminta Hesti datang, untuk membicarakan acara tujuh bulanan Armila.“Wah, cucu kamu sudah mau tambah satu lagi. Selamat ya, Hes. Kebetulan juga kesehatan kamu sudah semakin membaik sekarang,” ucap Indah-sahabat Hesti.“Iya, alhamdulillah. Oh ya, na
“Mas, kita pulang sekarang, yuk! Aku capek, mau istirahat,” ajak Armila, yang langsung diangguki oleh sang suami.“Ayo, Dek!” sahut Bagas. Dia lalu menoleh pada Santi yang masih cemberut. “San, aku duluan. Semoga operasi caesar nya nanti berjalan lancar. Nanti aku kasih tahu ayah kalau kamu sudah mau lahiran. Biar ayah mengatur waktunya untuk tes DNA.”Santi mengangguk lemah secara berkata, “Iya, dan terima kasih atas doanya. Oh ya, kasih tahu istri kamu tuh. Jangan ketus-ketus jadi orang.”Bagas hanya tertawa kecil mendengar kalimat terakhir yang Santi lontarkan. Di saat yang sama, Armila hanya tersenyum mendengar kata-kata Santi barusan.“Istriku aslinya nggak ketus kok, San. Dia baik hati orangnya. Makanya aku jatuh cinta sama dia. Selain cantik, dia juga baik. Mungkin tadi itu karena dia capek saja. Maklum saja namanya juga ibu hamil,” sahut Bagas ramah. Dia lalu menggandeng tangan Armila seraya berkata pada sang istri, “Yuk, kita pulang sekarang!”Armila mengangguk dan mengeratka
Bagas yang gemas pada sikap sang istri, lantas mendekatinya. “Apa sih yang kamu lihat di situ, Dek? Kayaknya asyik banget sampai nggak mau menoleh ke arah Mas.”“Ini lho, Mas. Aku sedang cari nama bayi perempuan dan bayi lelaki. Soalnya kan anak kita belum ketahuan jenis kelaminnya. Jadi harus siapin dua nama dong.”“Terus sudah dapat?” tanya Bagas kalem.“Belum. Pusing aku jadinya, Mas. Nama-namanya pada bagus semua. Bingung pilih yang mana.”“Sudah, nggak usah bingung. Mas sudah siapin kok nama untuk anak kita nanti. Sekarang kita berangkat saja ke rumah sakit, yuk! Semoga saja USG kali ini bisa kelihatan jenis kelamin anak kita,” sahut Bagas. Dia lalu merangkul pundak Armila dan mengecup kening wanitanya itu.“Siapa namanya, Mas? Jadi penasaran aku.”“Ada saja. Nanti juga kamu akan tahu, Dek.” Bagas senyum-senyum sambil menggandeng tangan Armila keluar kamar.“Ish, kok main rahasia begitu sama istrinya. Siapa namanya, Mas? Kasih tahu dong ke aku sekarang. Kepo kan aku jadinya,” cel
“Siapa mamanya Bara, Mil?”“Beliau adalah istri kedua ayahnya Mas Bagas, Ma.”Astuti tersentak dan melanjutkan lagi bisikannya. “Kamu harus hati-hati menjaga Bagas, Mil. Jangan sampai dia menuruni sifat ayahnya yang poligami. Pokoknya kamu harus jagain Bagas biar nggak kecantol sama perempuan lain.”Rupanya bisikan Astuti yang terakhir itu agak keras, sehingga sempat terdengar oleh Bagas.Bagas tersenyum mendengar bisikan ibu mertuanya, yang sempat dia dengar barusan. Dia yang berjalan di depan, lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Armila dan Astuti.“Insya Allah, saya nggak akan berpaling ke lain hati, Ma. Saya sendiri sudah pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi saya juga nggak akan berbuat hal seperti itu pada istri saya ini. Saya sudah dibuat jatuh cinta pada anak Mama ini, dan itu akan saya jaga agar Dek Armi nggak kecewa sudah menerima saya sebagai suami,” ucap Bagas sungguh-sungguh, dan tentu saja disertai dengan senyumannya yang khas.“Alhamdulillah, kalau kamu suda
“Alhamdulillah, akhirnya Bu Astuti mau punya cucu juga kayak teman-temannya,” sahut si bibi, yang diangguki oleh Astuti.“Iya dong, Bi. Memangnya mereka saja yang bisa punya cucu. Saya juga bisa,” sahut Astuti jumawa. Setelah berkata, dia lalu melenggang pergi meninggalkan dapur menuju ke kamarnya. Tak lupa, dia pun mengirim pesan pada Armila kalau pesanannya sudah jadi dan siap diantar.[Ya sudah, nanti sopir Mas Bagas yang akan jemput Mama. Aku juga kangen sama Mama. Nanti yang lama ya di sini nya. Kebetulan ini Mas Bagas sedang teler, Ma. Aku yang hamil, tapi dia yang pusing dan mual. Memang suami keren dia. Sayang banget sama istrinya, sampai pusing dan mual pun dia wakili.]Astuti mengerutkan keningnya setelah membaca pesan dari Armila.“Bagas yang ngidam? Wih, enak dong itu si Mila. Ngidamnya diwakilkan. Untung aku dulu merestui Bagas sebagai menantu. Nggak salah juga kan aku memberi restu. Orangnya baik, sayang dan cinta sama anakku. Pastinya, dia ternyata bukan sopir biasa. Ta
Hesti mengangguk sambil tersenyum. “Bisa. Oh iya, aku mau kasih kabar baik. Aku sebentar lagi mau tambah cucunya. Nanti kalau kamu sudah sembuh, main ke rumahku. Aku kenalkan dengan istrinya Bagas.”“Iya, Mbak. Semoga aku cepat sembuh dan bisa pulang ke rumah secepatnya.”“Aamiin. Sudah dulu ya, Dew. Aku mau terapi dulu. Itu terapisnya sudah datang,” ucap Hesti.“Ok, Mbak.”Setelah itu, sambungan video call tersebut pun berakhir. Bersamaan dengan berakhirnya video call tersebut, terdengar notifikasi pesan masuk dari relasi bisnis Haryo.Dewi pun seketika membuka dan membaca isi pesan tersebut.[Pak Haryo, saya turut berduka cita atas meninggalnya anak Bapak, Bara. Saya baru tahu hari ini, setelah anak saya memberitahu perihal kematian Bara. Maklum ya, Pak, selama beberapa bulan ini saya berada di Amerika. Sekali lagi, saya dan istri mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya. Semoga amal ibadah Bara diterima oleh Allah SWT, dan tenang di alam sana. Aamiin.]Tangan Dewi gemetar hebat s
“Memang dilema juga ya, Pak. Dari tadi memang istri Bapak selalu menanyakan perihal Bapak dan anaknya. Menurut saya, untuk saat ini sebaiknya Bapak jangan mengatakan dulu perihal anak Bapak. Kalau Bu Dewi tahu yang sebenarnya, bisa dipastikan akan syok dan itu tentu saja akan mengganggu kesehatannya yang belum pulih benar. Jadi beri saja alasan bahwa sekarang anak Bapak sedang tidak ada di Jakarta,” sahut dokter panjang lebar.Haryo pun manggut-manggut seraya berkata, “Baik, saya akan ikuti saran Dokter. Oh ya, bagaimana dengan perkembangan kesehatan istri saya, Dok?”Dokter Wahyu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Haryo.“Seperti yang Pak Haryo ketahui, kalau tumor yang ada di tubuh Bu Dewi sudah menyebar ke beberapa bagian tubuh. Tapi tadi setelah saya periksa, ada kemajuannya meski sedikit. Jadi sekarang istri Bapak sudah dipindah ke ruang rawat. Perbanyak doa saja, Pak, semoga Bu Dewi diberi kesembuhan. Kami di sini akan berusaha semaksimal mungkin, tapi semua kan