Share

2. Kejutan

Setelah beberapa menit, perbincangan Bagas dengan seseorang yang bernama Marco di seberang sana pun selesai. Pria itu lalu menatap Armila dengan tatapan canggung.

“Maaf, Mbak Armi. Tadi saya tinggal ngobrol sama teman saya,” ucap Bagas salah tingkah.

“Nggak apa, Mas. Keren deh ngomong pake bahasa Perancis. Ngalir gitu kayak air. Bahasa Inggris nya juga pasti keren deh. Kursus di mana, Mas?” sahut Armila dengan senyuman.

“Eh, kursus? Saya...” Bagas tak meneruskan kata-katanya, karena mobil derek telah tiba di tempat itu.

“Selamat malam, saya dari mobil derek. Tadi mendapat laporan kalau ada sebuah mobil yang mogok,” ucap sopir mobil derek ketika sudah berada di hadapan Bagas dan juga Armila.

“Iya, betul. Ini mobilnya, Pak. Lalu prosesnya bagaimana?” sahut Armila, yang memang belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.

“Ya...kami akan membawa mobil Mbak ke bengkel terdekat,” sahut pria itu kalem.

“Memangnya ada bengkel yang buka, Pak? Ini kan sudah malam,” celetuk Armila meragu.

“Ada bengkel yang buka dua puluh empat jam, Mbak. Tenang saja, ya, jangan panik.” Pria itu berkata sambil tersenyum pada Armila.

Akhirnya mobil Armila berhasil diderek dan dibawa ke bengkel terdekat, yang memang buka selama dua puluh empat jam.

Bagas sendiri dengan penuh kesabaran, menemani Armila. Dia justru yang bertanya banyak pada montir, mengenai kerusakan pada mobil gadis itu.

“Jadi kapan bisa selesainya, Mas?” tanya Bagas pada montir tersebut, setelah dijelaskan permasalahan yang terjadi pada mobil Armila.

“Besok ya, Mas. Jam sepuluh pagi deh bisa diambil mobilnya,” sahut montir itu kalem.

“Ok deh,” sahut Bagas dengan senyuman. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Armila, yang kini sedang melakukan transaksi pembayaran pada pihak mobil derek.

“Sudah selesai?” tanya Bagas ketika Armila mendekatinya.

“Sudah.”

“Ayo, kita pulang sekarang! Mobil kamu bisa diambil besok, jam sepuluh pagi,” sahut Bagas, yang diangguki oleh gadis itu.

“Terima kasih banyak ya, Mas,” sahut Armila, yang diangguki oleh Bagas.

“Sama-sama.”

Selanjutnya, mereka pun melangkah meninggalkan bengkel tersebut, menuju ke mobil yang Bagas gunakan untuk bekerja. Armila pun segera menyebutkan alamat rumahnya pada Bagas, setelah mereka sudah berada di dalam mobil.

“Kerja di mana, Mbak Armi?” ucap Bagas ketika mereka sedang dalam perjalanan. Dia mencoba mencairkan suasana yang tampak kaku selama dalam perjalanan, karena Armila lebih banyak diam di jok belakang.

Armila lalu menyebutkan nama perusahaan tempat dia bekerja. Tanpa diduga oleh gadis itu, Bagas tertawa kecil yang masih sempat terdengar oleh Armila.

“Kenapa kamu ketawa, Mas Bagas? Ada yang lucu?”

“Ah, nggak ada yang lucu kok. Cuma ingin ketawa saja. Soalnya saya pernah melamar kerja di sana, tapi ditolak. Eh, malah sekarang saya kenal dengan karyawan perusahaan itu,” sahut Bagas masih dengan senyumannya.

Armila yang merasakan tubuhnya lelah, tak berminat untuk melanjutkan perbincangan mereka. Gadis itu hanya menyandarkan punggungnya di sandaran jok mobil, sambil menatap ke luar jendela.

Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan oleh Bagas telah tiba di depan rumah Armila.

“Mas, berapa ongkosnya? Ini kan tadi nggak order melalui aplikasi. Jadi Mas Bagas yang harus menentukan tarifnya,” ucap Armila, setelah mobil berhenti di depan pagar rumahnya.

“Nggak usah bayar, Mbak Armi. Saya ikhlas menolong kok. Lagi pula saya tadi sebenarnya sudah selesai narik, dan mau pulang. Jadi nggak masalah kalau yang ini tadi saya kasih free,” sahut Bagas kalem.

“Wah, jangan begitu dong, Mas. Saya jadi nggak enak ini. Masak gratisan begini. Malah Mas sudah temani saya dari tadi. Ya sudah, kalau Mas nggak mau kasih tarif, saya bayar saja sesuai dengan yang ada di dompet saya ini. Kebetulan di dompet saya tinggal satu lembar ini saja. Jadi kalau memang ikhlas, tolong diterima ya,” ucap Armila. Dia lalu menunjukkan dompetnya di depan Bagas, dan mengeluarkan satu lembar berwarna biru, lalu menyerahkannya pada pria itu.

“Beneran ini ya, kalau tinggal satu lembar ini saja. Saya belum ambil lagi di ATM soalnya. Tadi isi dompet saya masih cukup untuk besok. Cuma gara-gara mogok dan panggil mobil derek, jadinya sisa selembar ini saja setelah bayar ke mobil derek tadi,” imbuh Armila, yang membuat Bagas terkekeh.

“Tuh kan uang kamu tinggal selembar saja. Sudah deh nggak usah bayar. Saya ikhlas kok, Mbak.” Bagas berkata sambil mendorong tangan Armila yang memegang lembaran berwarna biru itu.

“Tapi...saya nggak mau gratisan lho, Mas.”

Bagas menggeleng seraya berkata, “Nggak baik menolak rezeki. Sudah masukkan lagi ke dompet. Buat pegangan sebelum ambil uang lagi di ATM.”

Akhirnya Armila pun mengangguk dan memasukkan kembali uangnya ke dalam dompet, dan membuka pintu mobil seraya berkata, “Terima banyak ya, Mas Bagas. Saya turun dulu.”

“Ok, sama-sama.”

Setelah Armila turun dari mobil dan melangkah masuk ke halaman rumahnya, Bagas masih terus menatap gadis itu yang kini sedang berjalan ke teras rumah. Bagas tersenyum penuh arti sebelum dia melajukan mobil meninggalkan tempat itu.

“Baru pulang, Mil?” sapa Arif-ayah Armila, ketika gadis itu sudah masuk ke dalam rumahnya. “Mobil kamu ke mana? Papa nggak dengar mobil masuk ke halaman rumah.”

“Tadi mogok di jalan, Pa. Makanya sampai rumah jam segini, soalnya tadi ke bengkel dulu. Besok baru bisa diambil mobilnya. Tadi pulang naik taksi online,” sahut Armila.

“Ya sudah, kamu makan dulu sana dan bersihkan badan kamu. Papa tidur duluan, ya,” ucap Arif, yang diangguki oleh Armila.

***

“Mil...kata papa, mobil kamu mogok ya semalam?” tanya Astuti ketika mereka sedang sarapan.

“Iya, Ma. Nanti saat jam istirahat, aku ambil mobilnya. Aku berangkat ke kantor naik ojek online saja. Ini sudah order kok,” sahut Armila tanpa menatap sang mama. Dia sibuk chat dengan tukang ojek online, yang mengatakan akan tiba dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Dia pun bergegas menyelesaikan sarapannya.

“Nggak usah naik ojek, Mil! Tadi Mama sudah hubungi Tante Linda. Nanti kamu diantar oleh adiknya, Arman. Kebetulan kantor Arman searah dengan kantor kamu. Sudah batalkan saja orderannya itu!” titah Astuti.

Kedua bola mata Armila membelalak mendengar penuturan sang mama.

“Arman? Maksud Mama, Om Arman yang adiknya Tante Linda itu?” tanya Armila memastikan.

“Hu’um. Nggak usah khawatir. Nggak ada yang marah kalau kamu bareng sama dia. Arman itu kan seorang duda tanpa anak. Kali saja nanti kalian jadi cocok satu sama lain,” sahut Astuti dengan senyuman.

Armila seketika tersulut emosinya, mendengar ucapan Astuti. Dia lalu beranjak dari kursi dan melangkah cepat keluar rumah, tanpa berpamitan pada Astuti karena kesal. Dia hanya berpamitan pada Arif saja.

“Mila! Jangan pergi dulu! Tunggu Arman datang!” pekik Astuti yang juga kesal pada anak gadisnya itu.

Armila tak menggubris teriakan sang mama. Langkahnya cepat terayun ke halaman rumah. Di saat yang sama, ojek online yang dia pesan sudah tiba.

“Selamat pagi, Mbak Armi. Ayo, naik! Biar nggak telat ke kantor,” ucap tukang ojek online itu.

Kedua mata Armila terbuka sempurna kala melihat tukang ojek online itu, ketika kaca helm nya dibuka.

“Mas Bagas...”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status