Share

Bukan Sopir Biasa
Bukan Sopir Biasa
Penulis: Yetti S

1. Ucapan Adalah Doa

“Mila! Sampai kapan kamu mau terus begini, hah?!” ucap sang ibu dengan nada tinggi ketika Mila baru selesai salat subuh, dan sedang melipat mukenanya.

“Maksud Mama, apa? Memangnya aku kenapa sih, Ma?” tanya Armila bingung.

“Masih tanya lagi kamu. Eh, Mila, ingat dong kalau usia kamu ini sudah nggak muda lagi. Beberapa bulan lagi sudah berubah jadi kepala tiga itu usia kamu. Jangan terlalu santai dong. Cari pacar gitu kek. Jangan keenakan kerja jadi lupa cari jodoh! Mama malu kalau setiap arisan selalu ditanya kapan mantu, sedangkan teman-teman kamu sudah pada punya anak. Lagi pula apa kamu nggak kasihan sama adik kamu? Karena nggak mau duluin kamu, si Anggi jadi menunda saat Reza mau melamar dia. Kalau kamu ingin jadi perawan tua, ya sendiri saja. Jangan sampai si Anggi juga ikutan jadi perawan tua! Sekarang gigih dong cari pacar, Mil!” cecar Astuti-ibunda Armila.

“Kenapa juga si Anggi menunda lamaran Reza? Kalau mau nikah, ya nikah saja sih. Jangan aku yang dijadikan alasan, Ma,” sahut Armila kesal.

“Jelas saja Anggi menunda karena nggak mau ribut sama kamu dan juga papa. Sebelumnya, papa minta pada Anggi supaya jangan duluin kamu. Papa ingin kalian berdua akur. Masak punya anak perempuan dua saja sampai nggak akur, gara-gara jodoh,” sahut Astuti dengan tatapan tajam pada anak sulungnya.

Armila menghela napas panjang. Dia paling malas kalau orang tuanya membahas soal jodoh. Dia bukannya malas untuk mencari pacar. Tapi, dia cenderung berhati-hati karena tak ingin kembali terluka. Dia patah hati ketika mengetahui Raka berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Jadi Armila memilih pelan-pelan dalam mencari pasangan, yang penting pasangannya nanti akan setia.

“Sudah, nggak usah melamun. Mama kasih waktu satu bulan dari sekarang. Kalau bulan depan kamu belum punya pacar juga, Mama akan kenalin kamu dengan seseorang pilihan Mama,” imbuh Astuti, yang lantas berlalu dari hadapan Mila setelah berkata demikian.

“Hah? Aku mau dijodohin? Mama bisa saja, ih. Memangnya cari jodoh yang benar-benar baik, gampang kayak membalik telapak tangan,” gumam Armila seorang diri.

***

“Ya...kok mogok sih ini mobil di saat yang nggak tepat begini? Sudah malam dan sepi pula. Ck, jangan sampai ada orang jahat nih. Aku harus cepat telepon mobil derek, biar nggak kelamaan di sini,” gumam Armila seorang diri. Dia lalu merogoh ponselnya dari dalam tas. Namun, matanya membelalak ketika mendapati ponselnya tak aktif, karena lemah daya.

“Argh! Nggak aktif deh ini telepon. Saking sibuk closing di kantor, jadi lupa nge-charge ini telepon,” sungut Armila seorang diri.

“Bagaimana ini, ya? Aku nggak mungkin berlama-lama di sini. Bisa gawat nanti kalau ada orang jahat lewat.” Armila berkata sambil bergidik ngeri, kala membayang sesuatu yang buruk terjadi apabila melintas orang jahat di jalan itu.

Armila menurunkan kaca jendela mobilnya, dan melongok ke luar jendela untuk melihat kalau ada yang lewat di jalan itu. Barangkali dirinya bisa minta pertolongan. Namun, sepuluh menit berlalu, tak kunjung ada kendaraan yang melintas di jalan tersebut. Membuat Armila menjadi panik.

“Ya Tuhan, kirimkan seseorang yang dapat menolongku. Hari sudah semakin malam. Apabila dia laki-laki muda, akan aku jadikan sebagai adik angkat. Begitu juga kalau perempuan. Apabila dia lelaki tua, aku akan jadikan dia sebagai orang tua angkat. Apabila dia lelaki sebaya atau lebih tua beberapa tahun dariku, maka aku akan jadikan dia sebagai seorang suami,” gumam Armila seorang diri.

“Ops, kok suami sih?”

Tepat di saat dia mengatupkan bibirnya, gemuruh terdengar di langit yang gelap. Seolah merestui ucapannya tadi.

“Wah, mau hujan rupanya. Eh, tapi ada bintang dan bulan itu di langit. Kayaknya sih nggak mungkin turun hujan, kalau ada bintang dan bulan. Lagi pula langitnya juga cerah kok. Apa karena...ucapan aku tadi itu sebuah doa?” gumam Armila seorang diri.

Armila lalu membuka pintu mobilnya dan keluar dari dalam mobil. Dia celingukan ke kanan dan kiri, berharap ada kendaraan yang lewat.

“Ck, bagaimana ini? Belum ada tanda-tanda pertolongan datang. Semoga saja yang datang orang bener, dan nggak macam-macam nantinya.”

Di saat yang sama, mendekatlah sebuah mobil yang di pintunya bertuliskan nama serta logo perusahaan transportasi online. Mobil itu berhenti tepat di sampingnya. Tak lama, kaca jendela mobil tersebut pun diturunkan. Kemudian...

“Ada yang bisa dibantu, Mbak?” sapa pengemudi mobil tersebut.

Armila menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati seorang pria muda yang kira-kira berusia tiga tahun di atas usianya. Dia pun terkesiap menatap pria yang ternyata berwajah manis. Pria itu berbicara dengan dialek khas suku Jawa yang cukup kental.

‘Wah, yang datang sopir taksi online. Apakah dia harus jadi suamiku? Apakah aku harus memiliki suami seorang sopir taksi online? Apa kata Mama nanti?’ ucap Armila dalam hati.

“Mbak...”

Armila terkesiap dan tersadar dari lamunan sesaatnya tadi. Dia tersenyum canggung kala menatap pria tersebut, yang kini menyunggingkan senyuman.

“Eh, maaf. Ini...mobil saya mogok dan saya nggak bisa hubungi mobil derek, karena ponsel saya low bat. Saya lupa charge tadi saat di kantor,” ucap Armila dengan tatapan lekat pada pria itu. Memindai pria itu dari atas ke bawah, untuk menilai bahwa pria tersebut adalah pria baik-baik.

Pria itu tersenyum geli kala melihat tatapan Armila yang menyelidik.

“Tenang, Mbak. Saya lelaki baik-baik kok. Boleh saya cek mesin mobilnya? Atau mau langsung saja saya bantu telepon mobil derek?” ucap pria itu ramah.

“Bagaimana kalau Pak, eh Mas. Bagaimana kalau Mas periksa dulu mesin mobil saya? Barangkali masih bisa nyala nanti mesinnya setelah diketahui masalahnya, dan...Mas bisa perbaiki untuk sementara waktu. Paling nggak bisa dipakai untuk pulang ke rumah. Saya kasih tip deh nanti, Mas. Tolong ya...”

Armila berkata dengan nada memohon pada pria itu. Dia berharap kalau mobilnya masih bisa digunakan untuk dia pulang, karena kalau langsung dibawa mobil derek, dia pulangnya pasti dengan pria itu. Dia sendiri merasa khawatir kalau pulang naik taksi di malam hari.

“Boleh. Saya cek dulu, ya,” sahut pria itu. Dia lalu melangkah ke arah bagian depan mobil Armila. Tak lama, pria itu langsung memeriksa kondisi mobil wanita itu.

“Sepertinya ini aki mobilnya rusak, Mbak. Ditelepon mobil derek saja, ya. Harus ke bengkel ini,” tutur pria itu dengan ekspresi serius.

“Ya sudah deh, Mas. Tolong dibantu telepon ya, Mas.”

“Siap. Tunggu sebentar ya, Mbak,” sahut pria itu. Dia lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana panjang, dan tak lama langsung menelepon mobil derek.

Selesai menelepon, pria itu mendekati Armila. “Kita tunggu sebentar ya, Mbak. Sebentar lagi mobil dereknya datang. Oh ya, nama Mbak siapa? Nama saya Bagaskara, biasa dipanggil Bagas.”

Pria itu lalu mengangsurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Armila.

“Armila. Biasa suka dipanggil Mila atau Armi.”

“Saya panggil Armi saja, boleh?” 

“Silakan, Mas Bagas!” 

Mereka lalu mulai terlibat obrolan sambil menunggu mobil derek tiba di tempat itu.

Di saat sedang asyik mengobrol, ponsel Bagas berdering. Pria itu lantas menatap sebuah nama yang terpampang di layar ponsel. Tak lama, dia mengulas sebuah senyuman sambil menyebut sebuah nama.

“Marco.”

Bagas lalu mengangkat panggilan telepon tersebut.

“Bonjour, Marco, comment vas-tu?”

(Halo, Marco. Apa kabar?)

Selanjutnya, Bagas pun terlibat obrolan dengan lawan bicaranya di seberang sana, dengan menggunakan bahasa Perancis yang sangat lancar.

Armila tentu saja terperangah mendengar Bagas berkomunikasi dalam bahasa Perancis. Dia menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya, dan tanpa sadar mulutnya terbuka sempurna saking tak percaya dengan apa yang dia dengar saat ini.

‘Siapa sih dia ini sebenarnya? Ngomong pake bahasa Perancis nya lancar amat kayak air yang mengalir,’ ucap Armila dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status