“Mila! Sampai kapan kamu mau terus begini, hah?!” ucap sang ibu dengan nada tinggi ketika Mila baru selesai salat subuh, dan sedang melipat mukenanya.
“Maksud Mama, apa? Memangnya aku kenapa sih, Ma?” tanya Armila bingung.
“Masih tanya lagi kamu. Eh, Mila, ingat dong kalau usia kamu ini sudah nggak muda lagi. Beberapa bulan lagi sudah berubah jadi kepala tiga itu usia kamu. Jangan terlalu santai dong. Cari pacar gitu kek. Jangan keenakan kerja jadi lupa cari jodoh! Mama malu kalau setiap arisan selalu ditanya kapan mantu, sedangkan teman-teman kamu sudah pada punya anak. Lagi pula apa kamu nggak kasihan sama adik kamu? Karena nggak mau duluin kamu, si Anggi jadi menunda saat Reza mau melamar dia. Kalau kamu ingin jadi perawan tua, ya sendiri saja. Jangan sampai si Anggi juga ikutan jadi perawan tua! Sekarang gigih dong cari pacar, Mil!” cecar Astuti-ibunda Armila.
“Kenapa juga si Anggi menunda lamaran Reza? Kalau mau nikah, ya nikah saja sih. Jangan aku yang dijadikan alasan, Ma,” sahut Armila kesal.
“Jelas saja Anggi menunda karena nggak mau ribut sama kamu dan juga papa. Sebelumnya, papa minta pada Anggi supaya jangan duluin kamu. Papa ingin kalian berdua akur. Masak punya anak perempuan dua saja sampai nggak akur, gara-gara jodoh,” sahut Astuti dengan tatapan tajam pada anak sulungnya.
Armila menghela napas panjang. Dia paling malas kalau orang tuanya membahas soal jodoh. Dia bukannya malas untuk mencari pacar. Tapi, dia cenderung berhati-hati karena tak ingin kembali terluka. Dia patah hati ketika mengetahui Raka berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Jadi Armila memilih pelan-pelan dalam mencari pasangan, yang penting pasangannya nanti akan setia.
“Sudah, nggak usah melamun. Mama kasih waktu satu bulan dari sekarang. Kalau bulan depan kamu belum punya pacar juga, Mama akan kenalin kamu dengan seseorang pilihan Mama,” imbuh Astuti, yang lantas berlalu dari hadapan Mila setelah berkata demikian.
“Hah? Aku mau dijodohin? Mama bisa saja, ih. Memangnya cari jodoh yang benar-benar baik, gampang kayak membalik telapak tangan,” gumam Armila seorang diri.
***
“Ya...kok mogok sih ini mobil di saat yang nggak tepat begini? Sudah malam dan sepi pula. Ck, jangan sampai ada orang jahat nih. Aku harus cepat telepon mobil derek, biar nggak kelamaan di sini,” gumam Armila seorang diri. Dia lalu merogoh ponselnya dari dalam tas. Namun, matanya membelalak ketika mendapati ponselnya tak aktif, karena lemah daya.
“Argh! Nggak aktif deh ini telepon. Saking sibuk closing di kantor, jadi lupa nge-charge ini telepon,” sungut Armila seorang diri.
“Bagaimana ini, ya? Aku nggak mungkin berlama-lama di sini. Bisa gawat nanti kalau ada orang jahat lewat.” Armila berkata sambil bergidik ngeri, kala membayang sesuatu yang buruk terjadi apabila melintas orang jahat di jalan itu.
Armila menurunkan kaca jendela mobilnya, dan melongok ke luar jendela untuk melihat kalau ada yang lewat di jalan itu. Barangkali dirinya bisa minta pertolongan. Namun, sepuluh menit berlalu, tak kunjung ada kendaraan yang melintas di jalan tersebut. Membuat Armila menjadi panik.
“Ya Tuhan, kirimkan seseorang yang dapat menolongku. Hari sudah semakin malam. Apabila dia laki-laki muda, akan aku jadikan sebagai adik angkat. Begitu juga kalau perempuan. Apabila dia lelaki tua, aku akan jadikan dia sebagai orang tua angkat. Apabila dia lelaki sebaya atau lebih tua beberapa tahun dariku, maka aku akan jadikan dia sebagai seorang suami,” gumam Armila seorang diri.
“Ops, kok suami sih?”
Tepat di saat dia mengatupkan bibirnya, gemuruh terdengar di langit yang gelap. Seolah merestui ucapannya tadi.
“Wah, mau hujan rupanya. Eh, tapi ada bintang dan bulan itu di langit. Kayaknya sih nggak mungkin turun hujan, kalau ada bintang dan bulan. Lagi pula langitnya juga cerah kok. Apa karena...ucapan aku tadi itu sebuah doa?” gumam Armila seorang diri.
Armila lalu membuka pintu mobilnya dan keluar dari dalam mobil. Dia celingukan ke kanan dan kiri, berharap ada kendaraan yang lewat.
“Ck, bagaimana ini? Belum ada tanda-tanda pertolongan datang. Semoga saja yang datang orang bener, dan nggak macam-macam nantinya.”
Di saat yang sama, mendekatlah sebuah mobil yang di pintunya bertuliskan nama serta logo perusahaan transportasi online. Mobil itu berhenti tepat di sampingnya. Tak lama, kaca jendela mobil tersebut pun diturunkan. Kemudian...
“Ada yang bisa dibantu, Mbak?” sapa pengemudi mobil tersebut.
Armila menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati seorang pria muda yang kira-kira berusia tiga tahun di atas usianya. Dia pun terkesiap menatap pria yang ternyata berwajah manis. Pria itu berbicara dengan dialek khas suku Jawa yang cukup kental.
‘Wah, yang datang sopir taksi online. Apakah dia harus jadi suamiku? Apakah aku harus memiliki suami seorang sopir taksi online? Apa kata Mama nanti?’ ucap Armila dalam hati.
“Mbak...”
Armila terkesiap dan tersadar dari lamunan sesaatnya tadi. Dia tersenyum canggung kala menatap pria tersebut, yang kini menyunggingkan senyuman.
“Eh, maaf. Ini...mobil saya mogok dan saya nggak bisa hubungi mobil derek, karena ponsel saya low bat. Saya lupa charge tadi saat di kantor,” ucap Armila dengan tatapan lekat pada pria itu. Memindai pria itu dari atas ke bawah, untuk menilai bahwa pria tersebut adalah pria baik-baik.
Pria itu tersenyum geli kala melihat tatapan Armila yang menyelidik.
“Tenang, Mbak. Saya lelaki baik-baik kok. Boleh saya cek mesin mobilnya? Atau mau langsung saja saya bantu telepon mobil derek?” ucap pria itu ramah.
“Bagaimana kalau Pak, eh Mas. Bagaimana kalau Mas periksa dulu mesin mobil saya? Barangkali masih bisa nyala nanti mesinnya setelah diketahui masalahnya, dan...Mas bisa perbaiki untuk sementara waktu. Paling nggak bisa dipakai untuk pulang ke rumah. Saya kasih tip deh nanti, Mas. Tolong ya...”
Armila berkata dengan nada memohon pada pria itu. Dia berharap kalau mobilnya masih bisa digunakan untuk dia pulang, karena kalau langsung dibawa mobil derek, dia pulangnya pasti dengan pria itu. Dia sendiri merasa khawatir kalau pulang naik taksi di malam hari.
“Boleh. Saya cek dulu, ya,” sahut pria itu. Dia lalu melangkah ke arah bagian depan mobil Armila. Tak lama, pria itu langsung memeriksa kondisi mobil wanita itu.
“Sepertinya ini aki mobilnya rusak, Mbak. Ditelepon mobil derek saja, ya. Harus ke bengkel ini,” tutur pria itu dengan ekspresi serius.
“Ya sudah deh, Mas. Tolong dibantu telepon ya, Mas.”
“Siap. Tunggu sebentar ya, Mbak,” sahut pria itu. Dia lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana panjang, dan tak lama langsung menelepon mobil derek.
Selesai menelepon, pria itu mendekati Armila. “Kita tunggu sebentar ya, Mbak. Sebentar lagi mobil dereknya datang. Oh ya, nama Mbak siapa? Nama saya Bagaskara, biasa dipanggil Bagas.”
Pria itu lalu mengangsurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Armila.
“Armila. Biasa suka dipanggil Mila atau Armi.”
“Saya panggil Armi saja, boleh?”
“Silakan, Mas Bagas!”
Mereka lalu mulai terlibat obrolan sambil menunggu mobil derek tiba di tempat itu.
Di saat sedang asyik mengobrol, ponsel Bagas berdering. Pria itu lantas menatap sebuah nama yang terpampang di layar ponsel. Tak lama, dia mengulas sebuah senyuman sambil menyebut sebuah nama.
“Marco.”
Bagas lalu mengangkat panggilan telepon tersebut.
“Bonjour, Marco, comment vas-tu?”
(Halo, Marco. Apa kabar?)
Selanjutnya, Bagas pun terlibat obrolan dengan lawan bicaranya di seberang sana, dengan menggunakan bahasa Perancis yang sangat lancar.
Armila tentu saja terperangah mendengar Bagas berkomunikasi dalam bahasa Perancis. Dia menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya, dan tanpa sadar mulutnya terbuka sempurna saking tak percaya dengan apa yang dia dengar saat ini.
‘Siapa sih dia ini sebenarnya? Ngomong pake bahasa Perancis nya lancar amat kayak air yang mengalir,’ ucap Armila dalam hati.
Setelah beberapa menit, perbincangan Bagas dengan seseorang yang bernama Marco di seberang sana pun selesai. Pria itu lalu menatap Armila dengan tatapan canggung.“Maaf, Mbak Armi. Tadi saya tinggal ngobrol sama teman saya,” ucap Bagas salah tingkah.“Nggak apa, Mas. Keren deh ngomong pake bahasa Perancis. Ngalir gitu kayak air. Bahasa Inggris nya juga pasti keren deh. Kursus di mana, Mas?” sahut Armila dengan senyuman.“Eh, kursus? Saya...” Bagas tak meneruskan kata-katanya, karena mobil derek telah tiba di tempat itu.“Selamat malam, saya dari mobil derek. Tadi mendapat laporan kalau ada sebuah mobil yang mogok,” ucap sopir mobil derek ketika sudah berada di hadapan Bagas dan juga Armila.“Iya, betul. Ini mobilnya, Pak. Lalu prosesnya bagaimana?” sahut Armila, yang memang belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.“Ya...kami akan membawa mobil Mbak ke bengkel terdekat,” sahut pria itu kalem.“Memangnya ada bengkel yang buka, Pak? Ini kan sudah malam,” celetuk Armila meragu.
“Iya, cepat naik! Bisa kan naik motorku ini? Atau perlu aku bantu naiknya?” ucap Bagas, yang membuat kedua bola mata Armila membelalak.“Eh, nggak usah! Aku bisa naik kok ke atas motor kamu ini, Mas. Lagiannya ngojek kok pakai motor beginian. Bikin repot penumpang saja. Untung aku hari ini nggak pakai rok,” sahut Armila dengan gelengan kepalanya. Dia lalu dengan hati-hati mulai menaiki motor Kawasaki Ninja milik Bagas.Bagas hanya tertawa mendengar ucapan Armila barusan.“Sudah siap?” tanya Bagas memastikan.“Sudah.” Armila berkata sambil mengacungkan ibu jarinya, setelah selesai mengenakan helm.“Biar nggak terlambat sampai di kantor, aku mau ngebut sedikit ini ya. Jadi pegangan yang kencang supaya nggak jatuh!” ucap Bagas, yang diangguki oleh Armila. Pria itu tersenyum kala melihat anggukan kepala gadis itu dari kaca spion motor.Entah mereka sadar atau tidak, karena pagi ini ada yang berubah dari sebutan yang mereka ucapkan. Kalau semalam mereka menyebut dengan kata saya, kini beru
“Ya sudah, Mama tunggu nanti malam. Kalau pacar kamu ternyata nggak datang, itu artinya kamu bohong. Jadi kamu harus nurut apa kata Mama. Ini juga kan demi kebaikan kamu, Mil. Sampai kapan kamu mau jomblo terus? Memangnya kamu nggak mau punya suami dan anak?” ucap Astuti di seberang sana, yang kini nada suaranya mulai melunak. Tak seperti tadi yang berapi-api.“Iya, Ma,” sahut Armila tak bersemangat. Justru kini dia merasakan kepalanya mulai pening.“Sekarang Mama tutup ya teleponnya, Mil,” ucap Astuti, dan tak lama sambungan telepon mereka pun berakhir.Armila membuang napasnya kasar. Dia pijat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut.“Kira-kira dia mau menolong aku nggak, ya?” gumam Armila seorang diri.Cukup lama Armila termenung di dalam bilik toilet. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi seseorang. Dia kemudian menyalin nomor telepon dari aplikasi transportasi online, di mana tadi dia berkomunikasi melalui pesan yang tersedia di aplikasi tersebut.“Kayanya Mas Bagas or
Armila menatap Bagas dengan tatapan geram, karena yang diucapkan Bagas tadi sangat jauh dari ekspektasinya. Armila telah membuat skenario, bahwa Bagas cukup mengaku saja sebagai kekasihnya. Agar dirinya terhindar dari perjodohan yang mamanya rancang untuknya. Dia tak menyuruh pria itu untuk berkata jujur perihal pekerjaannya. Armila sebelumnya telah menyuruh Bagas apabila ditanya mengenai pekerjaannya, dia minta agar Bagas mengaku sebagai guru bahasa Perancis. Karena pria itu mahir berkomunikasi menggunakan bahasa Perancis. Tapi, kini Bagas sudah merusak skenario yang sudah dia buat. Menjadikan dirinya kesal pada pria itu.Sementara itu, Astuti tampak geleng-geleng kepala sambil tersenyum sinis pada Bagas. Sedangkan Arif lebih memilih tak memberikan reaksi apa-apa, dan menunggu Bagas atau Armila mengatakan sesuatu padanya.“Kamu nekat amat sih pacaran sama anak saya. Lebih tepatnya, percaya diri,” celetuk Astuti.Bagas hanya tersenyum canggung pada Astuti. “Saya nggak nekat kok, Bu?”
Tanpa sepengetahuan mereka, Anggi-adik Armila, melihat interaksi sang kakak dan Bagas dari balik tirai jendela ruang tamu.“Itu mereka sedang apa? Sedang berantem? Penasaran jadinya. Coba nguping, ah,” gumam Anggi seorang diri. Dia lalu menyelinap keluar rumah, dan berjingkat mendekati Armila serta Bagas yang masih berdebat.Bagas melalui ekor matanya, melihat bayangan mengendap-endap menuju ke pohon mangga yang ada di halaman rumah Armila. Jarak pohon mangga dengan tempatnya kini berada, hanya beberapa meter saja. Sehingga apabila orang tersebut berniat menguping, maka dapat terdengar pembicaraannya dengan Armila. Begitu menurut pemikiran Bagas.‘Hm...sepertinya ada yang mau menguping. Apa mamanya Armi? Apa mamanya Armi curiga ya dengan aktingku tadi?’ ucap Bagas dalam hati.Bagas lalu merangkul pundak Armila seraya berbisik, “Jangan protes! Ada yang mencoba menguping pembicaraan kita.”“Siapa?” tanya Armila balas berbisik.“Nggak tahu. Makanya kamu nurut saja sekarang kalau aku rang
Sementara itu di rumah keluarga Armila, tampak Astuti dan Arif sedang berbincang serius di ruang tengah. Keduanya tengah membahas hubungan Armila dan Bagas.“Pa, apa kamu nggak masalah kalau punya menantu kayak si Bagas?” tanya Astuti dengan tatapan lekat pada sang suami.“Kayaknya dia lelaki baik. Aku lihat dia memiliki tata krama yang tinggi,” sahut Arif kalem.“Tapi, kok aku kayaknya masih condong ke si Arman sih, Pa. Meskipun dia duda, tapi kan dia nggak punya anak. Kalau usia juga, kayaknya nggak masalah. Banyak orang yang usianya beda jauh sama pasangannya. Tapi, akur tuh rumah tangganya. Malah enak kalau usia suami jauh lebih tua, nggak macam-macam. Kemungkinan selingkuh itu kecil,” cetus Astuti antusias. Dia memang kalau membicarakan tentang Arman, pasti selalu antusias.“Kalau Bagas, aku masih kurang sreg. Belum tahu isi kantongnya. Lagi pula bagaimana jadinya kalau teman-teman arisanku tahu, kalau Bagas seorang sopir? Mau ditaruh di mana muka ini, Pa? Malu banget aku nanti.
Armila menikmati hidangan makan siangnya dengan sesekali menatap ke arah private room, di mana seseorang yang diyakini Armila adalah Bagas kini berada di dalam ruangan itu.Akibat perhatiannya terlalu fokus ke arah private room, membuat Armila tak menyimak perbincangan rekan-rekan kerjanya.“Mil,” bisik Rita sambil menyenggol lengan Armila.Namun, Armila tetap bergeming. Dia tak menghiraukan Rita yang memanggil sambil menyenggol lengan kirinya. Gadis itu terlalu fokus dengan private room. Bahkan makanannya yang masuk ke dalam mulut hanya beberapa suap saja. Hal itu membuat Armila menjadi pusat perhatian teman-temannya, termasuk Rita yang mulai geram.“Mila!” panggil Rita yang kali ini dengan suara kencang.Armila tergagap, dan mengalihkan tatapannya pada Rita dengan pandangan lugu.“Ada apa, Rit? Kok teriak-teriak sih?” tanya Armila dengan kening berkerut.Rita menghela napas dan memandangku kesal. “Kamu dipanggil itu sama Pak Budi. Tapi, kamu nggak menyahut. Kamu malah sibuk tengok k
“Mas, kok ngomong kamu...beda? Maksudku...kamu ngomongnya nggak medok kayak sebelumnya?” Armila bertanya sambil mengerutkan keningnya.Bagas yang sadar bahwa dia sudah melupakan sesuatu, lantas diam. Padahal masih ada yang akan dia tanya perihal pria yang Armila temui tadi siang. Namun semua itu harus dia urungkan untuk sementara waktu, sampai dia menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Armila barusan. Otaknya berpikir keras untuk mencari jawaban itu, hingga tanpa sadar Bagas mendengus cukup keras.‘Sial amat sih ini! Kenapa sampai kelupaan akting ngomong ala-ala wong Jowo? Jadi curiga kan si Armi,’ sungut Bagas dalam hati. Melalui ekor matanya, dapat dilihat Armila yang masih menatapnya lekat dengan penuh selidik.Bagas lalu mulai menyalakan mesin mobil dan melajukan mobil Armila, kemudian meninggalkan area perkantoran tersebut.“Mas...Mas Bagas, kenapa diam saja? Jawab dong, supaya aku nggak penasaran. Jujur saja, hari ini aku nggak fokus kerja hanya karena ketemu lela