Haryo mengangguk. “Iya, makanya Ayah sangat marah dan kecewa sama kamu. Kalau perlu perempuan, kenapa harus istri orang? Lalu sekarang kamu menikahi Armila. Tapi, dia bukan milik seseorang kan Gas? Ayah nggak mau ada masalah lagi seperti dulu. Untungnya Dedi menepati janji pada Ayah, untuk nggak memperkarakan kamu ke jalur hukum. Bagaimanapun juga anak tetap lah anak. Meski Ayah marah sama kamu sampai membuang kamu, tapi tetap nggak tega kalau kamu menghabiskan waktu di dalam penjara.”Bagas membuang napasnya kasar dan menatap Haryo dengan tatapan sendu.“Ayah, sudah aku bilang kalau aku ini nggak bersalah. Bukan aku pelakunya, Ayah! Aku sendiri nggak tahu dan nggak kenal dengan istrinya Pak Dedi. Namanya saja nggak tahu kok, masak sampai ajak dia kabur dan membawanya menginap di vila. Ini jelas ada yang ingin menghancurkan reputasiku, sehingga namaku jelek di mata Ayah dan orang lain.”“Lalu soal Armila, dia seorang gadis dan tak memiliki hubungan spesial dengan lelaki mana pun, saat
Armila terkesiap. Mulutnya sampai terbuka sempurna saking terkejutnya setelah membaca pesan dari Astuti. Tanpa sadar dia menggelengkan kepala. Membuat Bagas mendekat.“Ada apa, Dek?”Armila tak menjawab pertanyaan suaminya. Dia hanya memperlihatkan pesan sang mama pada Bagas.Reaksi Bagas pun tak beda jauh dengan reaksi Armila. Helaan napas panjang pun terdengar tak lama setelah itu.“Kenapa ya mereka kok fitnah aku? Padahal aku nggak kenal kan sama mereka. Terus kok Tante Linda kayak biasa saja ya ketemu kita tadi. Terus mau pula foto sama kamu. Seharusnya kan dia grogi saat ketemu kita. Meski memang tadi Mas sempat lihat kalau si Riska itu agak salah tingkah saat ketemu kita. Apalagi saat kamu ngajak foto, dia agak canggung,” ucap Bagas.“Gampang saja jawabannya, Mas. Itu karena kamu menikah sama aku. Bisa jadi ini...ulahnya Om Arman. Tante Linda nggak tahu apa-apa. Makanya sikap dia biasa saja tadi sama kita,” sahut Armila.Bagas mengangguk. “Lalu sekarang bagaimana, Dek?”Belum se
Setelah mengantar istri dan ibu mertuanya, Bagas berpamitan untuk pergi menemui Irwan.Kini Bagas sudah tiba di kantornya, sebuah perusahaan transportasi online yang baru satu tahun dia rintis. Dia lantas melangkah menuju ke ruangannya.“Siska, tolong panggilkan Irwan ke ruangan saya!” titah Bagas pada sekretarisnya, ketika dia tiba di depan pintu ruang kerjanya.“Baik, Pak.”Tak lama setelah Bagas duduk di kursi kebesarannya, pintu ruangan diketuk seseorang.“Masuk!”Pintu pun terbuka dan menampilkan sosok Irwan diambang pintu. Sedetik kemudian, pria itu masuk ke dalam ruangan dan duduk di sebuah kursi yang tersedia di depan meja kerja Bagas.“Ada info apa, Wan?” tanya Bagas tanpa basa-basi.“Saya tadi bertemu dengan wanita yang bernama Meta, Pak. Banyak informasi yang saya dapat dari dia,” sahut Irwan.“Siapa itu Meta?” tanya Bagas dengan kening yang berkerut.“Dia itu wanita yang Santi berikan alamat rumahnya pada saya beberapa waktu yang lalu. Tadi saya mendatangi rumahnya, dan ak
“Ke apartemen Bara? Kamu yakin ini ulah Bara, Wan?” tanya Bagas dengan tatapan lekat pada Irwan.Irwan menghela napas seraya berkata, “Namanya juga usaha, Pak. Soalnya Santi pernah bilang saat ketemu saya tempo hari. Dia bilang, Pak Bara ingin memiliki apa yang menjadi milik Pak Bagas! Itu yang pernah dikatakan Pak Bara pada Santi.”Kedua mata Bagas sontak membulat sempurna. Napasnya mulai memburu, karena dirinya pun mulai diselimuti emosi.“Ok, sekarang kita langsung ke apartemen Bara! Awas saja kalau dia sampai macam-macam pada istriku! Kita gunakan mobilku, Wan. Kamu yang setir!” titah Bagas, yang langsung diangguki oleh Irwan.Kedua pria itu lantas keluar dari ruang kerja Bagas, dan berjalan tergesa menuju ke lift yang akan membawa mereka langsung menuju ke parkiran basement perkantoran itu.Kini mereka sudah berada di dalam mobil Bagas. Di dalam mobil Bagas gelisah tak karuan sebentar-sebentar dia melihat ke arloji di pergelangan tangan kirinya. Rasanya waktu berjalan lambat, sed
Bagas mengusap wajahnya kasar. Dia berjalan mondar-mandir di samping mobilnya. Dia menatap Irwan yang sedang asyik berbincang dengan orang suruhannya di telepon.“Bagas! Kamu masih di situ kan?” terdengar suara Haryo di seberang sana, ketika Bagas tak memberi tanggapan setelah beberapa menit menunggu.“Eh, iya. Aku masih ada di sini. Aku sedang bingung soalnya, Yah,” sahut Bagas jujur, dengan tujuan ingin mengetahui respons Bara yang sedang ada bersama sang ayah.“Bingung kenapa?” tanya Haryo.“Istriku hilang, Yah. Tadi izin beli bakso. Tapi, belum pulang juga sampai sekarang. Aku sudah cari dibantu oleh Irwan, tapi belum ketemu juga. Apa mungkin Bara ada di balik hilangnya istriku? Karena dia kan selalu ingin memiliki apa yang aku punya,” sahut Bagas yang sengaja berkata seperti itu, karena ingin memancing reaksi Bara. Bisa saja Bara menyuruh orang lain selain Yasir atau anak buahnya. Mudah bagi Bara untuk menyuruh orang. Begitu menurut pemikiran Bagas.Bagas menunggu sesaat reaksi B
Sementara itu di tempat lain tepatnya di sebuah rumah yang ada di pinggiran kota perbatasan Jakarta dan Bogor, tampak seorang wanita cantik sedang terbaring di atas lantai yang hanya beralaskan tikar. Wanita itu sedang tertidur pulas dengan kedua tangannya dalam kondisi terikat.Sedangkan di luar kamar tampak dua orang pria sedang asyik menikmati bakso.“Mantap ini namanya. Kita disuruh mencul1k perempuan itu, eh ada bonus bakso. Malah enak banget ini bakso nya. Ini sisa satu bungkus, kita kasih ke perempuan itu atau kita habiskan saja berdua. Sumpah ini bakso enak banget rasanya. Jadi kepengen tambah,” ucap salah seorang dari dua pria itu.“Kasih ke perempuan itu saja, Pri. Kasihan dia pasti nanti lapar kalau sudah siuman. Bakso ini kan dia yang beli tadi. Nanti kamu kasih saja mangkok sama sendok. Biar dia buka sendiri bungkus bakso ini. Kalau kita yang buka, nanti dikira dikasih racun itu bakso nya. Tugas kita kan hanya menye kap dia saja di sini. Selanjutnya tunggu instruksi dari
Armila menatap sebungkus bakso yang di plastiknya menempel lemak karena bakso tersebut sudah dingin. Perutnya pun sudah keroncongan saat ini. Namun, keraguan masih ada di benaknya. Sehingga dia maju mundur untuk mulai membuka plastik pembungkus bakso tersebut. Dia perhatikan ikatan pembungkus plastik itu yang masih tampak rapi seperti semula. Tak tampak kalau ikatannya telah dibuka sebelumnya.“Kalau dilihat ikatan plastik ini sih, kayaknya belum sempat dibuka. Masih sama seperti yang abang tukang bakso pertama kali membungkus. Masih rapi. Kayaknya sih aman. Perut sudah bunyi pula. Sudah lah makan saja, bismillah,” gumam Armila seorang diri.Armila lalu mulai membuka ikatan pada plastik pembungkus bakso tersebut. Dia lalu menghidu aroma bakso itu selama beberapa detik.“Kayaknya nggak ada aroma obat-obatan. Kalau dikasih obat, pasti aroma baksonya agak beda. Ini nggak kok, aroma bakso seratus persen. Insya Allah sih aman.”Armila lalu menuangkan bakso ke dalam mangkuk, kemudian mulai
Sinar mentari perlahan tampak dari ufuk timur, ketika kepala Armila secara tak sengaja terantuk di batang pohon. Entah sudah berapa lama Armila tertidur di bawah pohon besar, selama menunggu munculnya sang mentari.Tubuhnya menggigil hebat karena rasa dingin yang menusuk tulang. Dia perlahan beranjak dari tempat itu dan menatap ke sekeliling, yang ternyata sebuah perkebunan yang cukup luas.“Ya Tuhan, aku harus ke arah mana ini untuk bisa keluar dari tempat ini.” Armila berkata sambil menatap arloji di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul setengah enam pagi kurang lima menit.“Aku harus secepatnya meninggalkan tempat ini sebelum dua orang itu menyadari, kalau aku sudah nggak ada lagi di rumah itu.”Armila lalu berjalan ke arah sebelah kanan dia berdiri saat ini. Dia mengikuti nalurinya yang mengatakan harus berjalan ke arah kanan. Tak dia hiraukan rasa pening di kepalanya dan tubuhnya yang terasa panas karena demam. Langkahnya semakin dia percepat ketika suasana mulai tam