Sinar mentari perlahan tampak dari ufuk timur, ketika kepala Armila secara tak sengaja terantuk di batang pohon. Entah sudah berapa lama Armila tertidur di bawah pohon besar, selama menunggu munculnya sang mentari.Tubuhnya menggigil hebat karena rasa dingin yang menusuk tulang. Dia perlahan beranjak dari tempat itu dan menatap ke sekeliling, yang ternyata sebuah perkebunan yang cukup luas.“Ya Tuhan, aku harus ke arah mana ini untuk bisa keluar dari tempat ini.” Armila berkata sambil menatap arloji di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul setengah enam pagi kurang lima menit.“Aku harus secepatnya meninggalkan tempat ini sebelum dua orang itu menyadari, kalau aku sudah nggak ada lagi di rumah itu.”Armila lalu berjalan ke arah sebelah kanan dia berdiri saat ini. Dia mengikuti nalurinya yang mengatakan harus berjalan ke arah kanan. Tak dia hiraukan rasa pening di kepalanya dan tubuhnya yang terasa panas karena demam. Langkahnya semakin dia percepat ketika suasana mulai tam
Pria yang mengejar Armila kini menghela napas panjang. Dia terdiam sambil menatap tajam ke arah Armila, yang bersembunyi di balik punggung pria itu. Hingga akhirnya dia menganggukkan kepalanya.“Baiklah, saya ambil mobil saya dulu. Bapak dan dia bisa jalan terlebih dulu. Nanti saya menyusul.”“Tahu letak kantor polisinya kan?”“Tahu, Pak. Setelah melewati jalan ini dan ketemu jalan raya, belok kan sebelah kiri dan di jarak sekitar seratus meter ada kantor polisi. Di sana kan nanti Bapak akan membawa dia,” ucap pria itu dengan dagu terarah pada Armila.“Betul, Pak. Baik kami jalan duluan. Nanti kita ketemu saja di kantor polisi.”“Iya, saya ambil mobil dulu.”Setelah pria itu berlalu, Armila keluar dari persembunyiannya di balik punggung pria yang akan mengantar ke kantor polisi.“Terima kasih ya, Pak. Sudah bersedia membantu saya,” ucap Armila lirih.“Sama-sama, Mbak. Ayo, kita jalan sekarang! Mumpung masih pagi, karena saya juga akan berangkat kerja ke pabrik,” sahut pria itu, yang d
Dedi seketika menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Dia terkejut ketika melihat Bagas ada di hadapannya saat ini.“Bagas,” ucap Dedi dengan sorot mata tak percaya. Dia mengerjap untuk sesaat.“Iya, Pak. Apa kabar?” sapa Bagas dengan tangan terulur untuk bersalaman dengan Dedi.Dedi menyambut tangan Bagas seraya berkata, “Alhamdulillah, kabar saya baik.”“Bapak di sini sedang berobat juga?” tanya Bagas memastikan, sekaligus menuntaskan rasa penasarannya dengan keberadaan Dedi di rumah sakit tersebut.Dedi seketika salah tingkah dengan pertanyaan Bagas. Dia tersenyum canggung pada pria, yang merupakan anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja.“Eh, i-iya. Asma saya kumat tadi, dan obat saya tinggal sedikit. Jadi saya tadi kontrol ke dokter untuk minta resep obat,” sahut Dedi, masih dengan senyumannya yang canggung.“Oh...ternyata Pak Dedi punya riwayat penyakit asma, ya. Saya baru tahu soal itu,” sahut Bagas.“Biasanya sih sudah jarang kumat. Cuma di sini kan ud
“Iya, karena ada yang aneh pada proyek yang dia tangani. Ayah baru mendapat laporan dari tim audit, kalau proyek yang ditangani Dedi nggak beres. Berbeda dengan proyek yang ditangani oleh Bara, yang selalu sukses. Makanya setelah ini, Ayah ingin kamu kembali membantu Ayah dalam mengelola perusahaan kita, Bagas. Kamu akan mendapatkan posisi kamu semula. Mau ya, Nak, kamu bantu Ayah.”Bagas tak langsung menjawab. Dia mempertimbangkan permintaan sang ayah untuk beberapa saat.Haryo sepertinya tahu dengan yang dipikirkan anaknya, hingga dia kembali berucap.“Apa kamu tega melihat perusahaan yang Ayah rintis dari nol, akan tumbang akibat digerogoti dari dalam oleh orang lain?”Bagas akan menjawab, tapi suara petugas farmasi memanggil nama Armila sebagai pasien penerima obat.“Ayah, aku mau ambil obat dulu. Itu petugasnya sudah memanggil. Aku akan pikirkan tawaran Ayah, karena aku juga harus mengelola perusahaan transportasi online, yang aku dirikan. Aku akan kabari secepatnya. Oh iya, tadi
Dua hari berlalu sejak kejadian penculikan itu, kondisi Armila sudah pulih kembali. Pagi ini setelah selesai sarapan, Bagas sudah membawa sang istri pulang kembali ke rumah keluarganya.“Assalamualaikum,” sapa Armila dan Bagas ketika sudah tiba di rumah, dan mendapati Haryo sedang menemani Hesti yang tengah berjemur di halaman depan.“Wa’ alaikumsalam. Alhamdulillah, Armila sudah sembuh,” sahut Haryo dengan senyuman. Begitu juga dengan Hesti yang tersenyum melihat kedatangan anak serta menantunya. Meski ucapannya kurang jelas karena penyakitnya, namun dari sorot matanya wanita itu tampak bahagia dengan kedatangan Bagas dan Armila.Bagas dan Armila lantas menyalami kedua orang tua itu secara bergantian. Mereka lalu duduk di kursi teras yang ada di sebelah Haryo.“Ibu kamu sempat sedih mendengar Armila sakit. Tapi, Ayah sudah meyakinnya kalau demam yang diderita istri kamu itu hanyalah demam biasa. Jadi ibumu bisa tenang kembali, dan sering minta diajak duduk di halaman depan agar bisa
Haryo pun mengangguk dan menuruti apa yang Bagas minta barusan. Sedangkan Bagas kembali berbicara dengan Irwan di ponselnya.“Wan, nanti kita sambung lagi. Atau nanti aku yang telepon kamu kalau urusan di rumah sudah selesai. Ini aku juga baru dapat info penting tentang salah seorang manager, yang menurut orang kepercayaan ayah adalah musang berbulu domba. Aku ingin tahu apa maksudnya. Jadi aku tutup dulu teleponnya, ya,” ucap Bagas.“Ok, Pak. Kalau begitu, sekarang saya mau melanjutkan pekerjaan di kantor dulu, sambil menunggu info selanjutnya mengenai Yasir,” sahut Irwan di seberang sana.“Sip.”Setelah itu, sambungan telepon tersebut pun berakhir.Bagas lalu mulai serius mendengarkan percakapan sang ayah dengan Rudi.“Saya mendapatkan informasi akurat ketika mengikuti gerak-gerik Dedi, sampai ke sebuah klub malam. Saya ikuti semenjak dia keluar dari kantor, Pak. Setibanya di klub malam, saya langsung duduk di belakang dia. Tak lama, datang seorang pria yang akhirnya saya ketahui be
Setelah mengantar Hesti ke kamar untuk beristirahat, Bagas pun berpamitan pada ibunya.“Bunda istirahat dulu di sini, ya. Aku mau mengantar Dek Armi ke kamar untuk istirahat juga, karena dia baru pulih. Nanti aku akan kemari lagi. Misal butuh sesuatu, bunyikan lonceng ini seperti biasa.” Bagas berkata sambil meletakkan lonceng di sebelah tangan Hesti, agar memudahkan sang bunda membunyikan lonceng nantinya.Hesti tersenyum dan mengangguk. Senyum wanita lanjut usia itu semakin lebar ketika Bagas dan Armila mengecup keningnya secara bergantian.“Aku ke kamar dulu ya, Bund,” ucap Armila dengan senyuman, sebelum dia mengikuti langkah Bagas keluar dari kamar mertua.Setelah keluar dari kamar, pasangan suami istri baru itu melihat Haryo yang duduk di ruang tengah sambil memijat pelipisnya.“Kita dekati ayah dulu deh, Mas. Sepertinya ayah pusing banget. Barangkali kalau kita dekati, bisa curhat ke kita dan berkurang beban pikirannya,” bisik Armila, yang diangguki oleh Bagas.“Ya sudah, yuk!”
Di benak Bagas kini timbul tanda tanya. Saat Armila demam, dokter tidak menyarankan istrinya itu untuk cek darah. Dokter sudah memastikan bahwa Armila hanya mengalami demam biasa. Apa karena demam Armila tak terlalu tinggi, seperti yang Bara derita saat ini?“Maaf, Dok, mau tanya. Apa karena demam tinggi saja menyebabkan anak saya harus tes darah?” tanya Haryo masih tampak gelisah.“Selain demam tinggi, anak Bapak juga mengaku tenggorokannya sakit. Sejak kemarin katanya, dia mengalami kelelahan, selera makannya hilang dan sering sekali berkeringat serta diare terus menerus. Juga mual dan muntah. Makanya wajah anak Bapak menjadi pucat. Jadi dengan tes darah, kami bisa tahu apa penyebabnya,” jelas dokter.“Baik, Dok. Saya akan antar anak saya sekarang juga. Mumpung belum tutup lab nya,” sahut Haryo, setelah dapat menenangkan diri dan berharap dalam hati, kalau tak ada penyakit serius yang menimpa Bara.“Oh, lab di sini buka dua puluh empat jam kok, Pak,” sahut dokter.“Oh ok.”Setelah c