“Ke apartemen Bara? Kamu yakin ini ulah Bara, Wan?” tanya Bagas dengan tatapan lekat pada Irwan.Irwan menghela napas seraya berkata, “Namanya juga usaha, Pak. Soalnya Santi pernah bilang saat ketemu saya tempo hari. Dia bilang, Pak Bara ingin memiliki apa yang menjadi milik Pak Bagas! Itu yang pernah dikatakan Pak Bara pada Santi.”Kedua mata Bagas sontak membulat sempurna. Napasnya mulai memburu, karena dirinya pun mulai diselimuti emosi.“Ok, sekarang kita langsung ke apartemen Bara! Awas saja kalau dia sampai macam-macam pada istriku! Kita gunakan mobilku, Wan. Kamu yang setir!” titah Bagas, yang langsung diangguki oleh Irwan.Kedua pria itu lantas keluar dari ruang kerja Bagas, dan berjalan tergesa menuju ke lift yang akan membawa mereka langsung menuju ke parkiran basement perkantoran itu.Kini mereka sudah berada di dalam mobil Bagas. Di dalam mobil Bagas gelisah tak karuan sebentar-sebentar dia melihat ke arloji di pergelangan tangan kirinya. Rasanya waktu berjalan lambat, sed
Bagas mengusap wajahnya kasar. Dia berjalan mondar-mandir di samping mobilnya. Dia menatap Irwan yang sedang asyik berbincang dengan orang suruhannya di telepon.“Bagas! Kamu masih di situ kan?” terdengar suara Haryo di seberang sana, ketika Bagas tak memberi tanggapan setelah beberapa menit menunggu.“Eh, iya. Aku masih ada di sini. Aku sedang bingung soalnya, Yah,” sahut Bagas jujur, dengan tujuan ingin mengetahui respons Bara yang sedang ada bersama sang ayah.“Bingung kenapa?” tanya Haryo.“Istriku hilang, Yah. Tadi izin beli bakso. Tapi, belum pulang juga sampai sekarang. Aku sudah cari dibantu oleh Irwan, tapi belum ketemu juga. Apa mungkin Bara ada di balik hilangnya istriku? Karena dia kan selalu ingin memiliki apa yang aku punya,” sahut Bagas yang sengaja berkata seperti itu, karena ingin memancing reaksi Bara. Bisa saja Bara menyuruh orang lain selain Yasir atau anak buahnya. Mudah bagi Bara untuk menyuruh orang. Begitu menurut pemikiran Bagas.Bagas menunggu sesaat reaksi B
Sementara itu di tempat lain tepatnya di sebuah rumah yang ada di pinggiran kota perbatasan Jakarta dan Bogor, tampak seorang wanita cantik sedang terbaring di atas lantai yang hanya beralaskan tikar. Wanita itu sedang tertidur pulas dengan kedua tangannya dalam kondisi terikat.Sedangkan di luar kamar tampak dua orang pria sedang asyik menikmati bakso.“Mantap ini namanya. Kita disuruh mencul1k perempuan itu, eh ada bonus bakso. Malah enak banget ini bakso nya. Ini sisa satu bungkus, kita kasih ke perempuan itu atau kita habiskan saja berdua. Sumpah ini bakso enak banget rasanya. Jadi kepengen tambah,” ucap salah seorang dari dua pria itu.“Kasih ke perempuan itu saja, Pri. Kasihan dia pasti nanti lapar kalau sudah siuman. Bakso ini kan dia yang beli tadi. Nanti kamu kasih saja mangkok sama sendok. Biar dia buka sendiri bungkus bakso ini. Kalau kita yang buka, nanti dikira dikasih racun itu bakso nya. Tugas kita kan hanya menye kap dia saja di sini. Selanjutnya tunggu instruksi dari
Armila menatap sebungkus bakso yang di plastiknya menempel lemak karena bakso tersebut sudah dingin. Perutnya pun sudah keroncongan saat ini. Namun, keraguan masih ada di benaknya. Sehingga dia maju mundur untuk mulai membuka plastik pembungkus bakso tersebut. Dia perhatikan ikatan pembungkus plastik itu yang masih tampak rapi seperti semula. Tak tampak kalau ikatannya telah dibuka sebelumnya.“Kalau dilihat ikatan plastik ini sih, kayaknya belum sempat dibuka. Masih sama seperti yang abang tukang bakso pertama kali membungkus. Masih rapi. Kayaknya sih aman. Perut sudah bunyi pula. Sudah lah makan saja, bismillah,” gumam Armila seorang diri.Armila lalu mulai membuka ikatan pada plastik pembungkus bakso tersebut. Dia lalu menghidu aroma bakso itu selama beberapa detik.“Kayaknya nggak ada aroma obat-obatan. Kalau dikasih obat, pasti aroma baksonya agak beda. Ini nggak kok, aroma bakso seratus persen. Insya Allah sih aman.”Armila lalu menuangkan bakso ke dalam mangkuk, kemudian mulai
Sinar mentari perlahan tampak dari ufuk timur, ketika kepala Armila secara tak sengaja terantuk di batang pohon. Entah sudah berapa lama Armila tertidur di bawah pohon besar, selama menunggu munculnya sang mentari.Tubuhnya menggigil hebat karena rasa dingin yang menusuk tulang. Dia perlahan beranjak dari tempat itu dan menatap ke sekeliling, yang ternyata sebuah perkebunan yang cukup luas.“Ya Tuhan, aku harus ke arah mana ini untuk bisa keluar dari tempat ini.” Armila berkata sambil menatap arloji di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul setengah enam pagi kurang lima menit.“Aku harus secepatnya meninggalkan tempat ini sebelum dua orang itu menyadari, kalau aku sudah nggak ada lagi di rumah itu.”Armila lalu berjalan ke arah sebelah kanan dia berdiri saat ini. Dia mengikuti nalurinya yang mengatakan harus berjalan ke arah kanan. Tak dia hiraukan rasa pening di kepalanya dan tubuhnya yang terasa panas karena demam. Langkahnya semakin dia percepat ketika suasana mulai tam
Pria yang mengejar Armila kini menghela napas panjang. Dia terdiam sambil menatap tajam ke arah Armila, yang bersembunyi di balik punggung pria itu. Hingga akhirnya dia menganggukkan kepalanya.“Baiklah, saya ambil mobil saya dulu. Bapak dan dia bisa jalan terlebih dulu. Nanti saya menyusul.”“Tahu letak kantor polisinya kan?”“Tahu, Pak. Setelah melewati jalan ini dan ketemu jalan raya, belok kan sebelah kiri dan di jarak sekitar seratus meter ada kantor polisi. Di sana kan nanti Bapak akan membawa dia,” ucap pria itu dengan dagu terarah pada Armila.“Betul, Pak. Baik kami jalan duluan. Nanti kita ketemu saja di kantor polisi.”“Iya, saya ambil mobil dulu.”Setelah pria itu berlalu, Armila keluar dari persembunyiannya di balik punggung pria yang akan mengantar ke kantor polisi.“Terima kasih ya, Pak. Sudah bersedia membantu saya,” ucap Armila lirih.“Sama-sama, Mbak. Ayo, kita jalan sekarang! Mumpung masih pagi, karena saya juga akan berangkat kerja ke pabrik,” sahut pria itu, yang d
Dedi seketika menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Dia terkejut ketika melihat Bagas ada di hadapannya saat ini.“Bagas,” ucap Dedi dengan sorot mata tak percaya. Dia mengerjap untuk sesaat.“Iya, Pak. Apa kabar?” sapa Bagas dengan tangan terulur untuk bersalaman dengan Dedi.Dedi menyambut tangan Bagas seraya berkata, “Alhamdulillah, kabar saya baik.”“Bapak di sini sedang berobat juga?” tanya Bagas memastikan, sekaligus menuntaskan rasa penasarannya dengan keberadaan Dedi di rumah sakit tersebut.Dedi seketika salah tingkah dengan pertanyaan Bagas. Dia tersenyum canggung pada pria, yang merupakan anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja.“Eh, i-iya. Asma saya kumat tadi, dan obat saya tinggal sedikit. Jadi saya tadi kontrol ke dokter untuk minta resep obat,” sahut Dedi, masih dengan senyumannya yang canggung.“Oh...ternyata Pak Dedi punya riwayat penyakit asma, ya. Saya baru tahu soal itu,” sahut Bagas.“Biasanya sih sudah jarang kumat. Cuma di sini kan ud
“Iya, karena ada yang aneh pada proyek yang dia tangani. Ayah baru mendapat laporan dari tim audit, kalau proyek yang ditangani Dedi nggak beres. Berbeda dengan proyek yang ditangani oleh Bara, yang selalu sukses. Makanya setelah ini, Ayah ingin kamu kembali membantu Ayah dalam mengelola perusahaan kita, Bagas. Kamu akan mendapatkan posisi kamu semula. Mau ya, Nak, kamu bantu Ayah.”Bagas tak langsung menjawab. Dia mempertimbangkan permintaan sang ayah untuk beberapa saat.Haryo sepertinya tahu dengan yang dipikirkan anaknya, hingga dia kembali berucap.“Apa kamu tega melihat perusahaan yang Ayah rintis dari nol, akan tumbang akibat digerogoti dari dalam oleh orang lain?”Bagas akan menjawab, tapi suara petugas farmasi memanggil nama Armila sebagai pasien penerima obat.“Ayah, aku mau ambil obat dulu. Itu petugasnya sudah memanggil. Aku akan pikirkan tawaran Ayah, karena aku juga harus mengelola perusahaan transportasi online, yang aku dirikan. Aku akan kabari secepatnya. Oh iya, tadi