Akhirnya hari ini Rosalina Hyunhe yang kerap dipanggil Rosa itu sudah siap dengan setelan kerjanya. Setelah lima tahun berlalu, dan setelah kejadian malam itu. Sebenarnya saat itu, usia Rosa masih sangat belia. Masih baru lulus kuliah. Untungnya, dia tidak hamil, karena Rosa membeli obat dari apotek usia malam itu.
Gak kebayang kalo dia hamil, tapi gak punya suami. Apa kata orang nanti?
Dua tahun Rosa jalani sebagai pekerja kasar di kantor yang embel-embelnya kekeluargaan. Lalu dua tahun Rosa mengambil S2nya. Sisa satu tahunnya? Ya benar. Rosa menjadi pengangguran, dan beralih menjadi seorang baby sitter. Meskipun yang dia jaga adalah anak dari saudara perempuannya sendiri.
Panjang perjalanan kisah mbaknya. Mulai dari tangis yang tiada henti saat suami mbaknya itu meninggal. Hingga saat ini, mbaknya itu sudah bisa lebih tegar. Eva Hyunhe adalah sosok yang tegar di mata Rosa. Mbaknya itu adalah panutannya. Jadi selama 5 tahun, Rosa menghilang dari peradaban kota Jakarta.
Lalu, setelah setahun memutuskan menjaga ponakan dan saudaranya. Akhirnya Rosa memutuskan mengejar cita-citanya lagi. Dia melamar di salah satu perusahaan impor-ekspor di Jakarta. Untungnya dia diterima, dan hari ini akan ada seleksi terakhir. Sesi wawancara yang menentukan dia bisa jadi seorang accounting atau pulang dengan keputusasaan.
“Kamu yang baik-baik ya, sayang. Nanti aunty jemput habis pulang kerja.”
Rafael mengangguk. Rosa memang masih menjaga Rafael—anak Eva—karena saudaranya itu sedang pergi keluar negeri karena urusan pekerjaan. Jadi dua minggu kedepan, dia yang bertanggung jawab atas Rafael. Untungnya, ponakannya itu tidak rewel, seolah paham seperti apa keadaan ibunya.
“Aunty…nanti beliin Fael ice cream ya.”
“Iya, sayang. Aigoo…ponakan aunty akhirnya udah sekolah. Ingat, jangan bandel ya nanti.” Rosa memperbaiki dasi Rafael. Mencium kening lelaki kecil itu lama.
“Siap.”
Mobil mereka berhenti di salah satu TK terbaik di Jakarta. Rosa turun, dan menggandeng tangan Rafael memasuki sekolah itu. Usia anak kecil itu sudah 5 tahun, dan dia pintar.
Rosa sekali lagi melambaikan tangannya. Dan segera tancap gas menuju kantornya. Dia sedikit bersemangat hari ini. Begitu parkir, Rosa melihat sebentar gedung pencakar langit tempatnya bekerja. Tidak mudah untuk diterima bekerja di sana, apalagi saingannya lulusan S2 dari luar negeri. Ya begitulah kalo cari kerja di negara Konoha ya. Susahnya minta ampun.
Harus good looking, good brain, dan ada juga persoalan orang dalam. Ini yang paling sulit. Soalnya Rosa lahir dari keluarga miskin. Bahkan kedua orang tuanya sudah menghadap sang pencipta lebih dulu karena sebuah kecelakaan.
Usai memantapkan diri, Rosa berjalan perlahan memasuki gedung itu. Auranya saja sudah berbeda. Semuanya ramah, termasuk resepsionis yang melihatnya. Rosa menuju lantai 20 saat diberitahu bahwa ruangan interview akan di adakan di sana. Suasana menegangkan terlihat jelas di wajah dua lelaki yang dia yakin adalah saingannya. Sebab hanya tiga orang yang berhasil sampai di tahap ini.
“Bapak Hans, silahkan masuk.”
Jake mulai memanggil kandidat satu persatu. Dia juga melihat sosok satu-satunya kandidat wanita yang akan di interview khusus oleh Tristan. Entah apa yang akan terjadi, tapi Jake hanya berdoa banyak-banyak untuk wanita itu. Semoga selamat dari amukan singa yang sedang terbangun.
Rosa duduk dengan tenang. Tapi mulai merasa ada yang aneh. Rekan pertama keluar dengan wajah pucat. Lalu rekan kedua keluar dengan nafas ngos-ngosan, dan banjir keringat. Pikiran Rosa mulai kemana-mana saat namanya sudah di panggil.
Sejenak Rosa menatap kedua rekannya. Tatapan mereka seolah menyiratkan agar Rosa kabur saja. Tapi sudah terlanjur, Rosa sudah masuk ke dalam ruangan dimana pemandangan gedung-gedung langsung terlihat dari kaca. Seseorang sedang duduk di bangku yang posisinya membelakanginya.
Perasaan Rosa mulai tidak enak. Auranya berbeda, membuat bulu kuduknya berdiri. Bahkan, lelaki yang tadi memanggil namanya tersenyum, seolah memberikan semangat. Lalu pergi keluar.
“Permisi, Pak.”
Rosa bertanya lebih dulu. Dia tidak tahu model interviewnya kali ini. Dia pikir akan bertemu dengan CEO perusahaannya langsung. Atau apakah lelaki yang sedang duduk memandang ke arah kaca itu adalah CEO-nya? Entahlah, Rosa mulai gugup. Perlahan lelaki itu berbalik.
Seketika itu juga kaki Rosa lemas seperti jeli.
“Hai, long time no see, babe. Gue yakin, lo pasti ingat gue kan? 5 tahun lo ngilang, tiba-tiba muncul tanpa gue repot-repot nyari lo sampe ke tong sampah. Siapa tahu lo ngumpet di sana kan.”
Rosa tertegun. Dia tidak salah mengingat. Lelaki itu…
“Belum ingat juga? Hmm…”
Rosa masih tertegun. Hingga tidak menyadari bahwa atasannya itu sudah ada di depannya. Dari sudut pandang kacamatanya, Rosa tahu bahwa lelaki itu adalah pemilik perusahaan ini. Dia baru menyadari ada tulisan CEO di sudut meja kerja itu.
“Saya datang untuk wawancara, pak. Saya…”
Tristan tersenyum lebar, “gak ingat gue?”
Kali ini Tristan tidak peduli soal wawancara. Bahkan, kedua kandidat sebelumnya hanya dia pelototi saja. Tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Tristan hanya ingin membahas soal wanita yang malah kabur setelah kejadian mereka bercinta di club. Lalu maksud dari 5 lembar uang seratus ribu yang diletakkan di ranjang. Itu menunjukkan bahwa harga keperjakaannya hanya lima ratus ribu? Murah sekali everybody.
Membayangkan kejadian malam itu, milik Tristan kembali berkedut. Lebih lagi, wanita yang mengambil keperjakaannya sudah ada di hadapannya sendiri.
Memunculkan dirinya sendiri, setelah dia hampir putus asa mencari hingga ke sudut kota Jakarta.Tristan tidak berbohong. Jake yang setiap malam membantunya berkeliling, dan mencari ke semua sudut. Bahkan ke setiap apartemen juga dia cari. Tapi nihil. Tidak ada sama-sekali.
Tristan juga bingung, kenapa dia harus mencari wanita ini. Kenapa setiap malam dia harus merasa tersiksa? Dan wajah wanita ini selalu memenuhi kepalanya. Padahal ia tidak terlalu cantik, wajahnya pas-pasan. Juga tidak terlalu tinggi, hanya se-dadanya saja. Bahkan wanita-wanita Tristan yang lain, lebih dari kata sempurna.
Sudah cantik, pintar pula menyenangkan ‘adiknya’.
Lalu kenapa dengan wanita ini, membuat seluruh energi di tubuh Tristan seolah terserap? Sekarang Tristan sedang membayangkan, seperti apa gambaran wajah anaknya. Mustahil setelah 5 tahun berlalu, wanita ini tidak hamil. Apakah setampan dia? Tristan bahkan sudah bersiap dipanggil ‘papa’ atau ‘ayah’ dari seorang anak kecil menggemaskan.
“Maaf, pak. Saya tidak kenal dengan Anda.”
“Sungguh?”
Rosa mundur menjauh. Namun sang atasan semakin mendekatkan diri. Memojokkan Rosa hingga ke tembok dekat pintu.
“Jadi, waktu lo keluar dari kamar dan bahkan masih bisa meninggalkan 5 lembar uang seratus ribu, itu lo gak sadar?”
Wajah Rosa sudah memerah. “Saya tidak tahu, pak.”
Ternyata Rosa memilih keras kepala. Sudah lima tahun sejak malam itu, Rosa berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Dia tidak menceritakan malam itu pada siapapun, termasuk pada Eva atau sepupunya yang sangat laknat. Rosa mencoba pulih sendiri. Bahkan meminum obat agar dia tidak hamil.
Rosa melebarkan matanya saat pinggangnya ditarik, dan dihimpit.
Tristan membawa dekat tubuh Rosa pada tubuhnya. Tubuh Rosa menegang. Entah kenapa, dia bisa merasakan sengatan listrik tak kasat mata antara dirinya dan pria di depannya ini.
“Atau…lo minta saya ingatkan kejadian malam itu? My pleasure, gak masalah.”
Tanpa sempat mengatakan apapun. Tristan langsung membungkam bibir Rosa. Dilumatnya benda kenyal itu dengan sedikit beringas. Lidahnya pun sudah bermain di sana. Rosa terkesiap, dia tidak siap dengan serangan mendadak.
Jelas Rosa ingat betul siapa lelaki di hadapannya ini. Tapi, dia terlalu malu untuk mengakui. Apalagi saat itu, Rosa harus mengeluarkan uang lima ratus ribu. Karena merasa bersalah. Sekalipun dia juga dirugikan.
Bahkan setelah malam itu, Rosa selalu takut. Dia dihantui bayang-bayang malam itu. Lebih lagi, lelaki ini adalah atasannya? Rosa mendesah di antara lumatan. Tangannya terangkat mencari telapak tangan Tristan yang sudah masuk ke dalam celah bajunya. Meremas bukit kembarnya dengan begitu nakal.
“Kita ke ruangan gue. Tenang, kantor ini juga memberikan fasilitas bermain kok.” Tristan menyeringai, dan menarik tubuh Rosa tanpa persetujuan. Mereka memasuki ruangan kecil di sebelah perpustakaan mini. Lalu Tristan kembali mencium Rosa dengan halus dan nakal lehernya.
“Please…stop it.”
Rosa akhirnya bisa bersuara. Dia mendesah lirih saat gigitan halus mendarat di telinganya.
“Lo mau gue berhenti? Asal lo tahu, sejak malam itu, gue selalu mikirin lo. Tapi lo malah kabur? Parahnya, lo ngehargain keperjakaan gue cuman lima ratus rebo doang? Dikit banget asal lo tau. Itu gak sebanding dengan apa yang lo udah ambil dari gue. Sekarang gue mau balas dendam, biar lo tahu seberapa frustasinya gue gara-gara lo.”
Wajah Rosa memerah. Dia berusaha memberontak, tapi tenaga lelaki di depannya jauh lebih kuat. Bibirnya kembali di bungkam. Tangan lelaki itu sudah masuk ke dalam celananya, meremas bokongnya dengan keras. Sepertinya lelaki itu tidak bermain-main saat mengatakan ingin balas dendam.
Rosa juga bingung, kenapa dirinya tidak bisa menolak sentuhan itu? Tubuhnya terasa tersengat setiap diberi sentuhan. Rosa merasakan tubuhnya di bawa mundur, dengan kondisi mereka berdua masih bercumbu.
Satu hal. Rosa bukan penurut, kecuali dengan mbak Eva yang meminta tolong menjaga anaknya. Rosa mengangkat satu tungkai kakinya. Dia tersenyum di sela ciuman lelaki itu yang sudah sampai ke bagian dadanya. Bahkan tangan lelaki itu sedang berusaha mencari kancing bajunya.
Tangan Rosa bertumpu pada lelaki itu. Lalu satu kakinya melayang ke bagian bawah tubuh lelaki di depannya. Tidak mau membuang waktu lama, Rosa membenarkan kemeja dan celananya. Tidak peduli bagaimana rintihan lelaki yang sudah tumbang di depannya itu.
Masa bodo. Besok gue harus cari pekerjaan baru lagi.
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian dimana Rosa menendang aset atasannya itu. Tapi tidak ada surat pemecatan sama-sekali. Membuatnya bertanya-tanya dalam hati, kenapa tidak kunjung mendapat surat itu. Tapi entah apapun alasannya, Rosa tidak peduli. Dia sedang di apartemen sepupunya—Jemimah—sembari menunggu Rafael pulang sekolah, barulah nanti dia kembali.“Lo gak kerja, Ros? Perasaan kemarin lo bilang udah di terima deh,” Jemimah muncul. Keringat memenuhi seluruh wajah, hingga lehernya. Ada beberapa bekas cupang yang dibiarkan terekspos. Tanpa Rosa tanya pun, dia tahu apa yang baru saja dilakukan sepupu laknatnya itu.Seorang pria keluar dari kamar Jemimah terburu-buru.“Gue balik ya, Jem, Ros. Ntar malam jangan lupa mampir ke klub gue, ada party soalnya.”“Iya, babe. Gue datang,” Jemimah beranjak untuk mengantar lelaki bernama Luis itu. “Ajak Rosa juga.”“Iya.”Teriakan itu berakhir dengan pintu apartemen yang ditutup. Jemimah kembali duduk di sofa, merentangkan tangan sambil ter
Setelah insiden Tristan datang ke apartemennya. Rosa tidak lagi mendapatkan pesan serta gangguan. Sudah seminggu juga Rosa tidak bertemu dengan atasannya. Pagi ini dia sudah bekerja dengan tenang. Jake menjelaskan beberapa job desknya. Singkatnya, hari ini Rosa sedang di training.“Lo ada pertanyaan ga?”“Sejauh ini semua yang berkaitan dengan tugas, gue paham. But, kenapa ada beberapa bagian yang janggal ya?”Jake memang menyuruhnya untuk bicara informal saja. Kantor mereka memang menerapkannya. Tapi terkecuali dengan bos mereka. The one and only.Rosa kembali membalik halaman job desk-nya. Ada dua poin yang janggal. Yang pertama, dia harus membuatkan kopi setiap pagi untuk Tristan. Lalu wajib memberikan kabar, apakah dia masih hidup atau tidak. Ini bukan termasuk kerjaannya. Dia bukan OB atau sekretaris. Rosa itu menjabat untuk posisi supervisor, jadi ini sedikit aneh.“Gue juga udah nanya sama bos tadi soal poin ini. Tapi dia bilang itu peraturan baru. Jadi, gue gak punya hak buat
Tidak ada yang membuka percakapan sejak tadi. Rosa diam, menatap atasannya dengan kikuk. Dia memasuki ruangan Tristan sudah lebih dari 15 menit. Tapi tak juga diberi perintah apa-apa. Untungnya dia tidak sendiri. Ada Mbak Lis, salah satu teman se-divisi Rosa. Orangnya baik, tapi suka keceplosan. Padahal mereka baru beberapa kali bertemu, Rosa sudah tahu seperti apa kepribadian wanita beranak satu di sebelahnya itu.“Lis, gue udah ngecek laporannya. Semuanya oke kayak biasa. Gue ada laporan baru, trus nanti jam 12 kita bakal ketemu klien.”“Okey bos. Saya sudah bisa pergi?”Tanpa melihat, Tristan mengangguk. Lis langsung tersenyum sumringah. Tapi sebelum menginjakkan kaki keluar dari sana, Lis menatap ke arah Rosa lebih dulu.“Lo semangat ya, semoga mood-nya gak berubah.” Bisik Lis menyemangati Rosa. Barulah kabur dari ruangan itu.Kini tinggal Rosa. Suasananya mulai berubah aneh. Ada aura-aura menggelikan, sekaligus horor. Bahkan saking parnonya, bulu-bulu tangannya sudah berdiri. Ro
Rosa menarik kopernya, dan berhenti di depan pintu salah satu unit. Akhirnya setelah sekian purnama terlewati, hari demi hari, Rossa bisa juga meninggalkan tempat tinggal kumuhnya itu. Tidak ada acara sedih-sedihan, malah setelah mendapat izin, Rossa langsung mengepak barangnya yang tidak seberapa. Hanya ada 2 koper besar, dan 1 koper kecil. Sesimple itu kehidupan Rossa.Dia selalu menerapkan hidup minimalis.Padahal. Karena tidak ada modal saja untuk beli ini itu. Makan di mall aja cuman bisa sesekali. Lain lagi dengan kebutuhan skincare yang mahalnya makin tidak ngotak, dan kebutuhan wanita pada umumnya.Dengan kode pintu yang sudah Rossa dapatkan tadi, dia berhasil masuk. Hal pertama yang terlihat adalah gelap. Ruangannya sepi, tapi pemandangan kaca besar dengan view pemandangan kota langsung membuat Rossa tersenyum lebar.Untung bibirnya gak robek.Rossa mencari saklar, dan lampu besar yang ada di tengah-tengah langsung bersinar mengalahkan terangnya matahari.“Wah, ini bisa pembo
Tristan sudah berjam-jam menatap layar laptop di depannya tanpa mengetik apapun. Sampai-sampai lehernya pegal. Tidak pernah dia bergelut di kamarnya sendiri jika sendirian di malam hari, biasanya akan pergi ke klub, atau sekedar minum dengan temannya. Tapi khusus malam ini, dia betah di rumah karena sudah ada seseorang. SEORANG TRISTAN TIDAK KELUAR DI MALAM HARI. BAYANGKAN.Apa ini namanya, playboy sudah tobat ya?Perkara kolor tadi, Tristan tidak bisa berkutik karena Rossa mengamuk parah. Nyalinya menciut. Sejak tadi dia tidak mendengar apa-apa. Melirik ponselnya, ternyata sudah pukul 11 malam. Tristan sepertinya akan di rumah terus untuk beberapa hari ini. Dia harus mengatur strategi lagi untuk menjebak Rossa.Mangsa sudah di dalam kandang. Sekarang tinggal memikirkan strategi selanjutnya.Tristan hendak tidur, tapi mendengar suara pintu terbuka. Buru-buru dia melompat dari ranjang, bahkan hampir terjatuh saking hebohnya. Begitu pintunya terbuka, dan menatap sosok di depan, mulut T
“Tapi habis gue makan.”Tristan yang sudah bersiap ingin melancarkan aksinya langsung berhenti. Ditatapnya lagi wajah Rossa yang sudah memelas dan kasihan. Dia tidak setega itu. Pada akhirnya mereka makan bersama. Tristan makan sangat cepat, dan kini dia sudah kembali dari kamar mandi. Mulutnya sudah fress.Sambil menatap Rosa yang masih makan, Tristan sudah memikirkan akan memanfaatkan kesempatan ini dengan gaya apa. One kiss but it’s long. Bahkan otaknya sudah berkelana kemana-mana, sampai tidak sadar senyum-senyum sendiri. Rossa bergidik ngeri melihat Tristan yang senyum-senyum sendiri sambil melihatnya. Bulu kuduknya sampe berdiri. Tapi demi apapun, kini Rossa mulai memikirkan alasan untuk kabur dan tidak memberikan permintaan Tristan. Perutnya sudah kenyang, tapi Rossa sengaja berpura-pura masih makan. Setidaknya itu bisa mengulur waktu. “Gue mau ke toilet dulu.” Segera Rosa bangkit, tapi tangannya di cekat. Tristan menatapnya dengan tajam. “Jangan sekalipun lo mikir mau
Rapat berlangsung dengan suasana mencekam. Proposal yang diajukan mentah-mentah ditolak oleh Tristan, disuruh kerjakan ulang, revisi, dan tidak ada kerjasama di atas kertas. Jake sebagai sekretaris hanya bisa menghela nafas. Tidak bisa memukul kepala Tristan, karena sadar jabatan. Tidak berbeda jauh dari Jake. Keadaan Rossa pun terlihat mengenaskan. Sejak siang dia tidak bisa makan, disuruh ini dan di itu. Memang jadi budak corporate harus seperti ini ya? Rossa membantin. Dia benar-benar kesal setengah mati pada Tristan yang mukanya tidak bisa di ajak kerja sama. Kalo mau buat kerjaan, gak gini juga dong ceritanya. Rossa tau job desknya, dan ini bukan salah satunya. Bahkan saat matahari sudah tumbang ke peraduannya, disinilah Rossa masih mengumpati sosok yang sejak tadi membuatnya bekerja. Dia terjebak di kantor. Mengerjakan ulang laporan keuangan, dan revisi proposal yang jelas-jelas bukan kerjaannya. Gustin yang terakhir bersamanya. Itu pun dia sudah mengemasi barang-bar
“Gue butuh duit” “Berapa?” “200 juta.” “Buat apa lagi emang?” Tristan bertanya datar. “Buat modal, emang buat apa lagi?” “Ntar di transfer sama Jake.” “Okey. Jangan lewat jam 3 ya.” Rossa menatap meja Jake yang kosong. Dia harus laporan juga pada Tristan. Mumpung teman sekantornya lagi pada makan siang, dia lekas bergegas. Sedikit ragu untuk mengetuk. Tapi 5 centi sebelum tangannya mengetuk, pintu itu sudah terbuka dari dalam. Otomatis Rossa mundur memberi jalan. Seorang wanita yang usianya berkisar 30-an jika dia tidak salah, menatapnya beberapa menit. Lalu tersenyum sebentar dan pergi begitu saja. Aura dari dalam ruangan sedikit tidak bersahabat. Rossa hendak melangkah masuk, namun berhenti sejenak karena Jake juga hendak keluar. “Ada apa, Ros?” “Ehh, gue mau laporan. Pak Tristan ada di dalam?” Mumpung sosok itu sedang di kamar mandi, Jake menarik tangan Ros keluar dan menutup pintu. Kasihan Ros jika harus menjadi pelampiasan nanti. “Loh, kenapa?” “Nanti a
Tristan POVJujur, aku sangat gugup. Sejak Rossa approved lamaranku, aku sungguh dilema. Awalnya dia memang menolak, dan itu sudah membuatku hampir gila. Sungguh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga tiba-tiba pergi ke Bandung, ke rumah mbak Eva.Entah apa yang mereka sedang bicarakan di sana. Namun aku bersyukur karena Rossa berubah pikiran secara mendadak. Sebuah kemajuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.“Kamu gugup, nak?”Suara mama membuyarkan lamunanku di depan cermin. Aku berbalik dan melihat siapa yang datang. Mama mengenakan baju putih lengan pendek, rambutnya sangat indah. Dia tampil berbeda hari ini. Benar-benar membuatku ingin memeluknya.“Anak mama sudah besar sekarang. Pastikan kau tidak membuat menantu mama menangis ya, atau gak, kamu bakal tau rasa. Udah, mama mau lihat calon menantu mama dulu. Dia pasti sangat cantik sekali.”“Tristan ikut mah.”“Eits, gak boleh. Kamu harus tetap disini, oh ya, papamu bakal datang sebentar lagi. Apapun yang sudah terja
Jake POVEntah sudah kesekian kalinya Rebecca tidak menjawab panggilanku. Luar biasa, malam setelah kami bertengkar, dia sangat enteng mengatakan tidak bersalah dan menghilang begitu saja. Hingga kini dia mengabaikan permintaan maafku.“Kau dengar apa yang aku katakan, Jake?”Suara bariton Tristan memecah lamunan. Aku mengangguk walau sebenarnya tidak tahu apa yang sejak tadi dia bicarakan.“Aku tidak ingin mengamuk karena kau salah memesan, Jake. Apa yang salah, aku tahu perhatianmu sedang tidak disini.”Aku menghela nafas, kali ini memilih untuk duduk di sofa dan merebahkan punggungku. Tristan memang atasanku di kantor, tapi dia juga sahabatku. Kami bertemu di kampus, sangat tidak berkesan sekali sebenarnya. Namun itu yang membuat kami dekat.Walaupun aku selalu berakhir menjadi babunya. Well, tidak masalah sebenarnya, karena Tristan itu manusia yang bertanggung jawab dan saling menghargai. Dia meletakkan botol dingin di atas meja dan ikut duduk.“Apa ini masalah keluargamu?”“Bukan
Rossa POVTerakhir, aku berfikir bahwa kehidupan anak yatim piatu sepertiku akan berakhir tragis. Namun tidak saat aku menuliskan bagian ini. Beberapa hari yang lalu, usai semua urusan diputuskan di pengadilan. Tristan dengan tidak sabaran langsung melamarku.Dan entah aku yang terlalu senang, tolakan itu aku TOLAK. Membuat Tristan uring-uringan dan sedih. Sejujurnya aku tidak tega melihat wajahnya, namun aku masih tidak siap untuk memulai kehidupan keluarga.Walaupun aku menginginkannya. Hari ini aku sedang pergi ke rumah kakakku, melihat bagaimana kondisinya. Jangan lupakan ponakanku yang sangat bawel dan merepet karena aku jarang berkunjung.“Jadi, kenapa kau menolaknya?”Eva meletakkan segelas coklat hangat, menemani pembicaraan sore kami. Apalagi di balik kaca, hujan sedang mengguyur kota Bogor. Dan karena apartemen Eva di lantai 5, pemandangan di bawah bisa terlihat jelas.Dia memutuskan pindah ke tempat yang lebih baik, setelah jabatannya naik. Aku memeluknya begitu dia duduk.
Jake menatap Tristan, keadaan di pengadilan sunyi, hanya ada beberapa orang. Keadaan Sasa cukup parah karena kejadian dimana wanita itu hampir kehilangan nyawanya karena Hendrix. Tidak berbeda jauh dengan Jake, Hendrix juga sedang menggenggam tangan Rossa yang jauh lebih diam dibanding tadi pagi. Dia khawatir jika kembarannya itu masih terbayang dengan kejadian menyeramkan itu. “Kau tidak apa?”Rossa menatap Hendrix, mengangguk singkat walau sebenarnya dia tengah berusaha meredam emosinya. Dia tidak bisa melihat Sasa masih bisa tersenyum mengejek padanya, seolah dia ingin mengatakan bahwa dia menang. Rasa dendam, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, Rossa tidak bisa menjelaskannya. Namun, dia juga merasa sangat sedih. Dia tidak akan merasa puas sampai Sasa dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Juga khawatir yang akan terjadi pada Hendrix dan Tristan. Sebenarnya Rossa curiga, mengapa Sasa tidak menyebutkan dirinya atau Jake? “Semua akan berjalan baik-b
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali
Kabar bahwa Tristan tidak selamat dalam tragedi itu langsung terdengar di telinga Rossa lewat mikrofon yang baru saja tersambung dengan Zaman beberapa menit lalu. Tubuh Rossa hampir saja ambruk jika Hendrix tidak menahannya. Rasanya seperti tidak nyata. Sekeras apapun usaha Rossa bicara pada Jake dan Hendrix untuk mengantarnya, tidak satupun dari mereka yang bersedia. Keduanya diam, tidak mendengarkannya sama-sekali. Air mata Rossa berjatuhan. Ini adalah kabar yang tidak dia inginkan. Walau Burhan dan antek-anteknya dikabarkan tertangkap dalam keadaan bernyawa dan tidak bernyawa. Dadaa Rossa terasa sesak, tidak bisa membayangkan seperti apa Tristan. “Ros…tidak, jangan melakukan hal bodoh. Pagi akan segera tiba dan media akan meliput berita besar ini. Kita juga harus bergegas pergi dari sini jika tidak ingin kena masalah.” “Tidak, aku harus pergi kesana. Aku mohon, Hen, tolong antar aku kesana.” Hendrix menarik nafas panjang dan menatap Jake yang sama kacaunya. Jake ingin menuju
Tristan POV Situasi di dalam kapal tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah sekian lama aku hidup, baru ini aku mempertaruhkan nyawaku secara langsung. Terdengar tembakan dari arah belakang, itu dia, Emilio baru saja melepas peluru terakhirnya. Menghabisi nyawa awak kapal yang menyerang kami beberapa saat lalu. Lampu sudah padam, hanya penerangan samar-samar yang membantuku melihat kemana arah kami berjalan. Hampir 30 menit terjebak di dalam lika-liku menuju inti kapal. Dari percakapan Emilio, kami menuju ruang rahasia tempat dimana Burhan bersembunyi. Kedatangan kami sepertinya sudah diketahui oleh mereka. Sebelum sosok itu menembakku, aku menarik leher bagian belakangnya. Mengarahkan senjata ke arah kepalanya. “Sir, kami suruhan Tn.Lio.” Anggukan Emilio membuatku melepas sosok itu. Dia mengenakan simbol yang sama seperti Emilio. Sejak awal hal itu sudah menarik perhatianku. Entah itu simbol apa, tapi cukup menarik perhatian. “Tris, masuk duluan.” Bergegas aku memasuki sa
Hampir 30 menit Zaman menunggu di mobil, namun tak kunjung melihat kedatangan Tristan. Satria mengawasi sekitar, mereka berada di posisi awal seperti perjanjian. “Zaman, bagaimana ini. Kita sebaiknya bergerak saja, bagaimana jika nanti ada yang mengikuti kita dan habis sudah. Kita berdua bukan petarung jarang dekat yang handal, tadi saja nyawa kita hampir melayang. Selain itu, langit sudah gelap. Burhan tidak kunjung muncul, bisa jadi mereka sudah merencanakan hal ini dari awal.” “Tidak,” Tolak Zaman dengan tegas, “aku yakin Tristan sebentar lagi akan tiba. Dia cukup tangguh.” “Tapi…” “Lihat, itu mereka. Cepat, putar arah mobilnya.” Satria ikut melihat kebelakang dan melihat dua seseorang berjalan tertatih-tatih. Secepat kilat dia berbalik. Ternyata benar bahwa itu adalah Tristan. Mobil mereka melesat sesuai dengan kontrol Rossa ke titik yang sudah ditentukan. Keadaan Tristan cukup parah, pendarahan di perutnya tidak kunjung berhenti. Untungnya Zaman pernah mengikuti komunitas