Rosa menarik kopernya, dan berhenti di depan pintu salah satu unit. Akhirnya setelah sekian purnama terlewati, hari demi hari, Rossa bisa juga meninggalkan tempat tinggal kumuhnya itu. Tidak ada acara sedih-sedihan, malah setelah mendapat izin, Rossa langsung mengepak barangnya yang tidak seberapa. Hanya ada 2 koper besar, dan 1 koper kecil. Sesimple itu kehidupan Rossa.
Dia selalu menerapkan hidup minimalis.
Padahal. Karena tidak ada modal saja untuk beli ini itu. Makan di mall aja cuman bisa sesekali. Lain lagi dengan kebutuhan skincare yang mahalnya makin tidak ngotak, dan kebutuhan wanita pada umumnya.
Dengan kode pintu yang sudah Rossa dapatkan tadi, dia berhasil masuk. Hal pertama yang terlihat adalah gelap. Ruangannya sepi, tapi pemandangan kaca besar dengan view pemandangan kota langsung membuat Rossa tersenyum lebar.
Untung bibirnya gak robek.
Rossa mencari saklar, dan lampu besar yang ada di tengah-tengah langsung bersinar mengalahkan terangnya matahari.
“Wah, ini bisa pemborosan ini. Lampu kok gede amat, harus diganti. Noted”
Di samping itu, Rossa kembali melihat-lihat sekeliling. Ia cukup terperangah melihat beberapa perabotan yang sudah tersedia. Mereknya juga tidak sembarangan, bukan KW juga. Dapurnya lengkap, TV segeda gaban ada di ruang tengah juga. Pemilik sebelumnya sangat estetik.
Rosa melangkah membuka gorden itu, dan pemandangan kota itu terlihat jelas. Bibirnya tersenyum, ini adalah apartemen impiannya selama ini. Yang hanya bisa dilihat lewat film drakor (drama Korea) saat menjadi budak cinta dari para aktor tampan itu.
Tapi sekarang, view ini tepat di hadapannya sendiri.
“I know you like it, right?”
Rosa memekik kaget begitu dia berbalik. Mulutnya melebar, matanya hampir keluar dari tempatnya, dan hidungnya mengembang sedikit. Lutut Rossa bahkan langsung lemas begitu melihat sosok lelaki mesum di hadapannya.
Tapi Rosa diam. Dia memejamkan matanya, berusaha berpikir jernih. Lalu begitu membuka matanya kembali, wajah Rosa semakin tidak terkendali. Sosok itu benar-benar nyata, bukan ilusinya saja. Sepertinya Rossa terlalu banyak kemakan berita mengenai apartemen yang di jual murah ternyata ada penghuninya. Bukan maksud mengatai, tapi itulah yang tadi Rosa pikirkan.
“Ekspresi muka lo kayak ketara banget nyindir, emang gue separah itu?”
“Kenapa lo bisa ada di sini?”
Rosa langsung ke intinya. Sosok di hadapannya ini memang Tristan yang asli, kakinya menapak di lantai dan ada bayangan. Jadi itu bukan mahluk halus yang menyerupai manusia laknat satu ini.
“Berarti lo gak baca kontraknya? Mulai hari ini gue juga bakal tinggal di sini, semua barang-barang gue udah tertata rapi duluan.”
Wajah Rosa membiru. Jiwanya seolah tercabut dan lepas terbang ke atas langit. Manusia yang paling ingin dia hindari mendadak akan tinggal di bawah atap yang sama dengannya? Mereka bisa kena gosip kumpul kebo. Apalagi jika mbaknya tau, habis sudah Rosa.
“Siapa yang memberi izin lo tinggal di sini hah? Keluar gak.”
Tristan menaikkan bahu, mengambil duduk di sofa dengan kalem walau sebenarnya dia sedikit takut melihat betapa horornya wajah Rossa saat ini.
“Lo belum baca kontrak?”
Tanpa babibu, Rosa mengambil ponsel dan membuka file kontrak dari emailnya. Baris demi baris Rosa baca, dan seketika mulutnya tercengang melihat satu lembar terakhir. Benar bahwa dia tidak akan tinggal sendiri, tapi berbagai. Dan jika salah satu pihak mengakhiri kontrak, maka akan kena denda dan uang tidak akan dikembalikan.
Tristan tersenyum sumbing melihat ekspresi wajah Rosa yang manis, walau menakutkan. Senyum cabulnya terbit memandangi tubuh di depannya. Bahkan Adik-nya pun mulai berdenyut-denyut minta dibelai, dielus manjah.
“Tidak. Ini tidak benar. Ini penipuan. File ini rekayasa, dan gue…gue.”
“Lo kenapa? Mau main enak-enak sekarang? Udah gak sabaran?”
Wajah Rossa semakin memerah.
“Ini penipuan.”
“Kan lo udah tanda tangan, kenapa masih ngotot bilang ini penipuan?”
Sambil menggigit bibir, Rossa menahan tangis yang entah kenapa mendadak ingin keluar. Seumur hidup baru kali ini Rossa chaos abis. Dia akui tidak membaca secara detail jenis kontrak yang ditandatangani beberapa hari lalu. Dia hanya melihat apartemennya, dan juga harganya. Jadi karena tergiur, Rossa langsung setuju.
“Tapi gue gak mau tinggal sama lo.”
Habis sudah pertahanan Rossa. Dia duduk di lantai, menutup wajahnya yang sudah memerah dan mulai menangis. Tristan Pun langsung berdiri. Panik, dan bingung harus apa.
“Ya Ampun, kok nangis? Please, stop. Nanti saya dikira ngapa-ngapain kamu, padahal ranjang kita masih rapi. Adik-ku juga masih tidur kok.”
Bukannya berhenti menangis. Rossa makin menangis dengan suara keras.
“Lo memang lelaki…”
“Iya, gue emang lelaki. Makanya malam itu kita bisa…”
Rossa makin depresot. Makin menangis keras. Membuat Tristan sontak menutup kedua mulutnya yang malah ingin tertawa melihat Rossa.
“Kenapa harus sama lo? Di antara banyaknya manusia di planet bumi, kenapa harus lo? Why, kenapa? Arghhh.” Rosa berteriak keras.
“Ya Ampun. Itu namanya jodoh, Ros. Lo terima ajakan nikah gue langsung kita ke pelaminan sore ini juga. Trus malamnya kita bisa merobohkan kasur dengan berbagai gaya. Mau apa? Doggy style, 69, free style pun okelah. Asal sama lo, apa sih yang enggak?” senyum Tristan mengembang dengan imajinasi nakalnya.
“Kenapa lo mesum banget? Kenapa…kenapa.” Rossa melepas sepatunya, dan memukul bahu Tristan kuat.
Rintihan kesakitan terdengar. Tristan kabur, sambil menghindar.
“Sini, lo harus dikasih pelajaran. Sialan, kenapa harus ada manusia kayak lo yang hidup. Dasar manusia mesum.”
“Ampun…ampun. Ros, gue gak tahan lari, gue janji gak bakal ngapa-ngapain lo kok. Serius. Demi apapun.” Tristan mengacungkan dua jarinya.
Rosa menarik nafas dalam-dalam, lalu melepaskan kerah Tristan. Dia hampir saja mengenalkan sepatunya pada wajah lelaki itu. Dia berjalan ke arah sofa dan berbaring di sana. Tubuhnya kehabisan energi mendadak. Dan Rossa juga menyesal kenapa harus seemosi ini, tidak seharusnya dia menangis.
Tapi titik kesabaran Rossa sudah di ujung tanduk. Dia tidak bisa bertahan lama jika sudah berhadapan dengan Tristan.
“Ini beneran gak?”
“Apa?”
“Gue harus tinggal sama lo?” Rossa bertanya dengan wajah sendu.
“Yes.”
“Padahal lo kan kaya, keturunan sultan dan CEO perusahaan. Kenapa harus berbagi apartemen dengan fakir miskin seperti gue? Apa sulit ya ngerelain apartemen ini buat gue seorang? Lo bisa beli apartemen sebelah.”
Tristan menaikkan bahunya, dan melangkah memasuki areanya. Jangankan membeli satu, Tristan punya ratusan unit apartemen. Tapi apartemen yang ditinggali wanita yang bermalam dengannya itu terasa berbeda. Dan akan menyenangkan. Tristan menutup pintunya sambil tersenyum puas. Satu langkah setidaknya bisa diwujudkan juga.
***
Tangan Rosa sampai gemetar mengetik panjang lebar pada agen properti yang sudah membodohinya. Sudah ada sampai 15 kalimat. Tinggal menekan tombol send. Tapi ada jeda beberapa menit, sampai akhirnya Rossa melembar ponselnya ke kasur sebelah dan berbaring.
Kepalanya sedang dipenuhi satu sosok manusia paling menyebalkan di muka bumi ini. Melihat ke samping, Rossa menghela nafas panjang. Dia juga belum sempat beres-beres, tapi untungnya rumah sudah sedikit bersih.
Lama bergelut dengan pemikirannya, Rosa akhirnya menyerah. Lagipula dia bisa melihat dari sisi positifnya. Punya apartemen bagus dengan harga murah, bahkan sangat tidak masuk akal. Pemandangan yang selama ini dia nanti-nantikan. Paling penting, dia bisa lepas dari kumuhnya apartemen lamanya.
Rosa bangkit, dan mulai berkemas. Bahkan sampai tidak sadar ada sosok manusia yang sedang memperhatikannya sejak tadi dari sofa. Awalnya Rosa mengabaikan, tapi lama-lama jadi risih. Apalagi saat ini Tristan menatapnya sambil tersenyum.
“Lo bisa gak sih ikut berkontribusi sedikit? Setidaknya bantu beresin, atau ngepel kek. Gak ada hati nurani banget jadi manusia.”
Tristan tersenyum penuh maksud. Dia berdiri dan berjalan ke arah koper Rossa. Baru saja tangannya hendak membuka itu, tapi teriakan melengking sudah kembali terdengar.
Wajah Rossa memerah. Dia menarik koper itu menjauhi Tristan. Bisa gawat kalau sampai dia tahu isi kopernya.
Melihat ekspresi Rosa, bibir Tristan membentuk senyuman. Sekarang dia tahu, isi koper itu apa.
“Jangan…please jangan mendekat.” Rossa menggeleng panik saat Tristan melangkah mendekatinya dengan senyum jahanam sialan itu. “Please, jangan.”
“Padahal kita sudah pernah buka-bukaan. Kenapa masih harus malu?”
“Sialan. Lo bisa… TRISTAN BERHENTI.”
Yang namanya Tristan mana bisa diperintah. Dia berusaha merebut koper itu dari tangan Rossa. Dan wanita itu berusaha menahan. Keduanya bergelut saling menarik.
“Lepasin.”
“Lo yang lepasin, sialan, cabul, berengsek.” Rosa berteriak marah berusaha mengambil kopernya.
“Gak, gue mau lihat CD lo.”
“Sialan.”
krek
Keduanya langsung berhenti. Rossa melebarkan matanya saat menatap kopernya yang terbelah dua. Dan paling sialnya, CD, bra dan asetnya yang lain berserak begitu saja di lantai. Wajahnya memerah, bahkan Tristan takut jika keluar asap saking merahnya.
“BERENGSEK LO.”
Tristan sudah berjam-jam menatap layar laptop di depannya tanpa mengetik apapun. Sampai-sampai lehernya pegal. Tidak pernah dia bergelut di kamarnya sendiri jika sendirian di malam hari, biasanya akan pergi ke klub, atau sekedar minum dengan temannya. Tapi khusus malam ini, dia betah di rumah karena sudah ada seseorang. SEORANG TRISTAN TIDAK KELUAR DI MALAM HARI. BAYANGKAN.Apa ini namanya, playboy sudah tobat ya?Perkara kolor tadi, Tristan tidak bisa berkutik karena Rossa mengamuk parah. Nyalinya menciut. Sejak tadi dia tidak mendengar apa-apa. Melirik ponselnya, ternyata sudah pukul 11 malam. Tristan sepertinya akan di rumah terus untuk beberapa hari ini. Dia harus mengatur strategi lagi untuk menjebak Rossa.Mangsa sudah di dalam kandang. Sekarang tinggal memikirkan strategi selanjutnya.Tristan hendak tidur, tapi mendengar suara pintu terbuka. Buru-buru dia melompat dari ranjang, bahkan hampir terjatuh saking hebohnya. Begitu pintunya terbuka, dan menatap sosok di depan, mulut T
“Tapi habis gue makan.”Tristan yang sudah bersiap ingin melancarkan aksinya langsung berhenti. Ditatapnya lagi wajah Rossa yang sudah memelas dan kasihan. Dia tidak setega itu. Pada akhirnya mereka makan bersama. Tristan makan sangat cepat, dan kini dia sudah kembali dari kamar mandi. Mulutnya sudah fress.Sambil menatap Rosa yang masih makan, Tristan sudah memikirkan akan memanfaatkan kesempatan ini dengan gaya apa. One kiss but it’s long. Bahkan otaknya sudah berkelana kemana-mana, sampai tidak sadar senyum-senyum sendiri. Rossa bergidik ngeri melihat Tristan yang senyum-senyum sendiri sambil melihatnya. Bulu kuduknya sampe berdiri. Tapi demi apapun, kini Rossa mulai memikirkan alasan untuk kabur dan tidak memberikan permintaan Tristan. Perutnya sudah kenyang, tapi Rossa sengaja berpura-pura masih makan. Setidaknya itu bisa mengulur waktu. “Gue mau ke toilet dulu.” Segera Rosa bangkit, tapi tangannya di cekat. Tristan menatapnya dengan tajam. “Jangan sekalipun lo mikir mau
Rapat berlangsung dengan suasana mencekam. Proposal yang diajukan mentah-mentah ditolak oleh Tristan, disuruh kerjakan ulang, revisi, dan tidak ada kerjasama di atas kertas. Jake sebagai sekretaris hanya bisa menghela nafas. Tidak bisa memukul kepala Tristan, karena sadar jabatan. Tidak berbeda jauh dari Jake. Keadaan Rossa pun terlihat mengenaskan. Sejak siang dia tidak bisa makan, disuruh ini dan di itu. Memang jadi budak corporate harus seperti ini ya? Rossa membantin. Dia benar-benar kesal setengah mati pada Tristan yang mukanya tidak bisa di ajak kerja sama. Kalo mau buat kerjaan, gak gini juga dong ceritanya. Rossa tau job desknya, dan ini bukan salah satunya. Bahkan saat matahari sudah tumbang ke peraduannya, disinilah Rossa masih mengumpati sosok yang sejak tadi membuatnya bekerja. Dia terjebak di kantor. Mengerjakan ulang laporan keuangan, dan revisi proposal yang jelas-jelas bukan kerjaannya. Gustin yang terakhir bersamanya. Itu pun dia sudah mengemasi barang-bar
“Gue butuh duit” “Berapa?” “200 juta.” “Buat apa lagi emang?” Tristan bertanya datar. “Buat modal, emang buat apa lagi?” “Ntar di transfer sama Jake.” “Okey. Jangan lewat jam 3 ya.” Rossa menatap meja Jake yang kosong. Dia harus laporan juga pada Tristan. Mumpung teman sekantornya lagi pada makan siang, dia lekas bergegas. Sedikit ragu untuk mengetuk. Tapi 5 centi sebelum tangannya mengetuk, pintu itu sudah terbuka dari dalam. Otomatis Rossa mundur memberi jalan. Seorang wanita yang usianya berkisar 30-an jika dia tidak salah, menatapnya beberapa menit. Lalu tersenyum sebentar dan pergi begitu saja. Aura dari dalam ruangan sedikit tidak bersahabat. Rossa hendak melangkah masuk, namun berhenti sejenak karena Jake juga hendak keluar. “Ada apa, Ros?” “Ehh, gue mau laporan. Pak Tristan ada di dalam?” Mumpung sosok itu sedang di kamar mandi, Jake menarik tangan Ros keluar dan menutup pintu. Kasihan Ros jika harus menjadi pelampiasan nanti. “Loh, kenapa?” “Nanti a
Rossa menghela nafas. Padahal masih pagi. Dia menutup pintu setelah menandatangani bukti penerimaan paket. Dan lihat, kamarnya sudah hampir penuh dengan kotak kiriman Tristan. “Kali ini apa lagi?” Tas Dior yang baru saja rilis. Rossa menarik nafas dalam, mengeluarkan tas harga ratusan juta itu dan menatap catatan di dalam kotak. Isinya lagi-lagi sama. Permintaan maaf Tristan. Padahal rasa kesalnya sudah hilang, tapi karena setiap hari di kirimi hadiah mulu, Rossa jadi kesal lagi. Dia menatap pesan WA yang baru saja masuk. Kebetulan Tristan masih dinas di luar kota, dan itu memberikan kebebasan untuknya. Rossa mengabaikan pesan itu dan segera mengenakan pakaian trainingnya. Hari minggu seperti ini enaknya jogging, apalagi dia sudah cukup lama tidak olahraga karena sibuk mengejar urusan duniawi. Tas itu Rossa masukkan kembali ke dalam kotak. Dia tidak pernah menggunakan hadiah itu sama-sekali. Bukannya tidak suka, jangan ditanya. Itu barang branded semua, tapi Rossa sadar di
Tristan tersenyum dari ruangannya sambil menikmati pemandangan indah dari balik kaca ruanganya. Tepatnya dimana Rossa sedang sibuk dengan layar di hadapannya. Itu terlihat seksi dan juga membuat otaknya kadang tidak bisa bekerja dengan baik. Bahkan Jake yang sejak tadi menjelaskan progres proyek mereka diabaikan. Membuat Jake pada akhirnya ikut menoleh ke belakang, dan langsung menghela nafas kesal. Ingin menghujat, tapi dia hanyalah budaak korporat. Salah dikit potong gaji. Nasib…nasib. “Bos, lo dengar gak sih?” “Eh? Apa tadi?” Wajah Jake masam, dia meletakkan laporan bulanan itu di meja Tristan dan langsung berdiri. “Et dah, kesel banget gue. Ini lo baca aja sendiri, dari tadi gue ngomong lo gak dengar sama-sekali.” “Lah, lo bosnya?” Jake langsung duduk kembali dan menjelaskan dari awal. Untungnya kali ini Tristan mendengarnya, jika tidak, maka Jake benar-benar gondok. Mau dia hanya kacung, dia tidak akan peduli. Kadang bekerja dengan Tristan itu butuh ekstra kesab
Sepanjang jalan menuju ke apartemen, Rosa diam saja. Tidak mengatakan apapun, tapi sesekali matanya melirik ke arah Tristan yang diam saja. Dia tidak punya pilihan selain pulang bersama Tristan. Padahal dia ingin kembali ke kantor untuk mengambil barang-barangnya. Tapi namanya Tristan ya…begitulah. Kadang membuat naik darah. Kadang juga membuat Rossa berpikir keras. Apa yang sebenarnya dilihat seorang Tristan darinya? Wajah? Jangan ditanya. Wajah Rossa pas-pasan kok, standar pada umumnya. Ya intinya lengkaplah. Tubuh molek? Aduh. Apalagi itu. Tinggi Rossa hanya 158 cm dengan berat badan 55 kg. Sudah tau lah ya seperti apa bentuk tubuhnya. Untungnya Rossa itu bisa memoles wajah dan cakap dalam berpakaian. Namun detak jantung Rossa sejak tadi tidak bisa di ajak serius. Padahal Tristan sedang dalam mode kalem, tumben-tumbennya tidak banyak tingkah atau tidak menjahilinya seperti biasa. Ada yang salah. Dunia sepertinya lagi tenang. Tapi. Itu tidak baik untuk kesehatan jantung
“Trist, balikin woi.” “Gak.” “Gila lo, ini namanya perampokan. Mau lo apain sih koper gue. Orang udah gue packing juga.” “Ntar gue packing lagi. Pokoknya lo gak boleh bawa bikini atau baju seksi-seksi. Gak boleh. Titik.” “Wah, udah gila lo ya. SHIBAL.” Rossa sudah tidak kuat menggedor pintu kamar Tristan yang kabur membawa kopernya. Dia benar-benar tidak bisa berkata-kata. Rossa memang ikut dalam acara ke Bali dan tadi pagi pengumuman itu baru dia dapatkan. Seharian ini Tristan tidak kelihatan. Lebih tepatnya sejak subuh, setelah mereka berpelukan di taman. Rossa memang sedikit kepikiran, namun tidak sejauh itu. Tingkah Tristan di taman itu sudah jelas menunjukkan bahwa lelaki itu memang ada masalah. Rosa berusaha bertanya, tapi jawaban Tristan selalu saja sama. “asal kamu ada disisi gue, everything will be okay, Ros.” Karena excited liburan ke Bali, Rosa pulang-pulang langsung mengemas barang-barangnya untuk berangkat besok. Dia juga sudah memasukkan beberapa biki
Tristan POVJujur, aku sangat gugup. Sejak Rossa approved lamaranku, aku sungguh dilema. Awalnya dia memang menolak, dan itu sudah membuatku hampir gila. Sungguh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga tiba-tiba pergi ke Bandung, ke rumah mbak Eva.Entah apa yang mereka sedang bicarakan di sana. Namun aku bersyukur karena Rossa berubah pikiran secara mendadak. Sebuah kemajuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.“Kamu gugup, nak?”Suara mama membuyarkan lamunanku di depan cermin. Aku berbalik dan melihat siapa yang datang. Mama mengenakan baju putih lengan pendek, rambutnya sangat indah. Dia tampil berbeda hari ini. Benar-benar membuatku ingin memeluknya.“Anak mama sudah besar sekarang. Pastikan kau tidak membuat menantu mama menangis ya, atau gak, kamu bakal tau rasa. Udah, mama mau lihat calon menantu mama dulu. Dia pasti sangat cantik sekali.”“Tristan ikut mah.”“Eits, gak boleh. Kamu harus tetap disini, oh ya, papamu bakal datang sebentar lagi. Apapun yang sudah terja
Jake POVEntah sudah kesekian kalinya Rebecca tidak menjawab panggilanku. Luar biasa, malam setelah kami bertengkar, dia sangat enteng mengatakan tidak bersalah dan menghilang begitu saja. Hingga kini dia mengabaikan permintaan maafku.“Kau dengar apa yang aku katakan, Jake?”Suara bariton Tristan memecah lamunan. Aku mengangguk walau sebenarnya tidak tahu apa yang sejak tadi dia bicarakan.“Aku tidak ingin mengamuk karena kau salah memesan, Jake. Apa yang salah, aku tahu perhatianmu sedang tidak disini.”Aku menghela nafas, kali ini memilih untuk duduk di sofa dan merebahkan punggungku. Tristan memang atasanku di kantor, tapi dia juga sahabatku. Kami bertemu di kampus, sangat tidak berkesan sekali sebenarnya. Namun itu yang membuat kami dekat.Walaupun aku selalu berakhir menjadi babunya. Well, tidak masalah sebenarnya, karena Tristan itu manusia yang bertanggung jawab dan saling menghargai. Dia meletakkan botol dingin di atas meja dan ikut duduk.“Apa ini masalah keluargamu?”“Bukan
Rossa POVTerakhir, aku berfikir bahwa kehidupan anak yatim piatu sepertiku akan berakhir tragis. Namun tidak saat aku menuliskan bagian ini. Beberapa hari yang lalu, usai semua urusan diputuskan di pengadilan. Tristan dengan tidak sabaran langsung melamarku.Dan entah aku yang terlalu senang, tolakan itu aku TOLAK. Membuat Tristan uring-uringan dan sedih. Sejujurnya aku tidak tega melihat wajahnya, namun aku masih tidak siap untuk memulai kehidupan keluarga.Walaupun aku menginginkannya. Hari ini aku sedang pergi ke rumah kakakku, melihat bagaimana kondisinya. Jangan lupakan ponakanku yang sangat bawel dan merepet karena aku jarang berkunjung.“Jadi, kenapa kau menolaknya?”Eva meletakkan segelas coklat hangat, menemani pembicaraan sore kami. Apalagi di balik kaca, hujan sedang mengguyur kota Bogor. Dan karena apartemen Eva di lantai 5, pemandangan di bawah bisa terlihat jelas.Dia memutuskan pindah ke tempat yang lebih baik, setelah jabatannya naik. Aku memeluknya begitu dia duduk.
Jake menatap Tristan, keadaan di pengadilan sunyi, hanya ada beberapa orang. Keadaan Sasa cukup parah karena kejadian dimana wanita itu hampir kehilangan nyawanya karena Hendrix. Tidak berbeda jauh dengan Jake, Hendrix juga sedang menggenggam tangan Rossa yang jauh lebih diam dibanding tadi pagi. Dia khawatir jika kembarannya itu masih terbayang dengan kejadian menyeramkan itu. “Kau tidak apa?”Rossa menatap Hendrix, mengangguk singkat walau sebenarnya dia tengah berusaha meredam emosinya. Dia tidak bisa melihat Sasa masih bisa tersenyum mengejek padanya, seolah dia ingin mengatakan bahwa dia menang. Rasa dendam, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, Rossa tidak bisa menjelaskannya. Namun, dia juga merasa sangat sedih. Dia tidak akan merasa puas sampai Sasa dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Juga khawatir yang akan terjadi pada Hendrix dan Tristan. Sebenarnya Rossa curiga, mengapa Sasa tidak menyebutkan dirinya atau Jake? “Semua akan berjalan baik-b
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali
Kabar bahwa Tristan tidak selamat dalam tragedi itu langsung terdengar di telinga Rossa lewat mikrofon yang baru saja tersambung dengan Zaman beberapa menit lalu. Tubuh Rossa hampir saja ambruk jika Hendrix tidak menahannya. Rasanya seperti tidak nyata. Sekeras apapun usaha Rossa bicara pada Jake dan Hendrix untuk mengantarnya, tidak satupun dari mereka yang bersedia. Keduanya diam, tidak mendengarkannya sama-sekali. Air mata Rossa berjatuhan. Ini adalah kabar yang tidak dia inginkan. Walau Burhan dan antek-anteknya dikabarkan tertangkap dalam keadaan bernyawa dan tidak bernyawa. Dadaa Rossa terasa sesak, tidak bisa membayangkan seperti apa Tristan. “Ros…tidak, jangan melakukan hal bodoh. Pagi akan segera tiba dan media akan meliput berita besar ini. Kita juga harus bergegas pergi dari sini jika tidak ingin kena masalah.” “Tidak, aku harus pergi kesana. Aku mohon, Hen, tolong antar aku kesana.” Hendrix menarik nafas panjang dan menatap Jake yang sama kacaunya. Jake ingin menuju
Tristan POV Situasi di dalam kapal tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah sekian lama aku hidup, baru ini aku mempertaruhkan nyawaku secara langsung. Terdengar tembakan dari arah belakang, itu dia, Emilio baru saja melepas peluru terakhirnya. Menghabisi nyawa awak kapal yang menyerang kami beberapa saat lalu. Lampu sudah padam, hanya penerangan samar-samar yang membantuku melihat kemana arah kami berjalan. Hampir 30 menit terjebak di dalam lika-liku menuju inti kapal. Dari percakapan Emilio, kami menuju ruang rahasia tempat dimana Burhan bersembunyi. Kedatangan kami sepertinya sudah diketahui oleh mereka. Sebelum sosok itu menembakku, aku menarik leher bagian belakangnya. Mengarahkan senjata ke arah kepalanya. “Sir, kami suruhan Tn.Lio.” Anggukan Emilio membuatku melepas sosok itu. Dia mengenakan simbol yang sama seperti Emilio. Sejak awal hal itu sudah menarik perhatianku. Entah itu simbol apa, tapi cukup menarik perhatian. “Tris, masuk duluan.” Bergegas aku memasuki sa
Hampir 30 menit Zaman menunggu di mobil, namun tak kunjung melihat kedatangan Tristan. Satria mengawasi sekitar, mereka berada di posisi awal seperti perjanjian. “Zaman, bagaimana ini. Kita sebaiknya bergerak saja, bagaimana jika nanti ada yang mengikuti kita dan habis sudah. Kita berdua bukan petarung jarang dekat yang handal, tadi saja nyawa kita hampir melayang. Selain itu, langit sudah gelap. Burhan tidak kunjung muncul, bisa jadi mereka sudah merencanakan hal ini dari awal.” “Tidak,” Tolak Zaman dengan tegas, “aku yakin Tristan sebentar lagi akan tiba. Dia cukup tangguh.” “Tapi…” “Lihat, itu mereka. Cepat, putar arah mobilnya.” Satria ikut melihat kebelakang dan melihat dua seseorang berjalan tertatih-tatih. Secepat kilat dia berbalik. Ternyata benar bahwa itu adalah Tristan. Mobil mereka melesat sesuai dengan kontrol Rossa ke titik yang sudah ditentukan. Keadaan Tristan cukup parah, pendarahan di perutnya tidak kunjung berhenti. Untungnya Zaman pernah mengikuti komunitas