Tidak ada yang membuka percakapan sejak tadi. Rosa diam, menatap atasannya dengan kikuk. Dia memasuki ruangan Tristan sudah lebih dari 15 menit. Tapi tak juga diberi perintah apa-apa. Untungnya dia tidak sendiri. Ada Mbak Lis, salah satu teman se-divisi Rosa.
Orangnya baik, tapi suka keceplosan. Padahal mereka baru beberapa kali bertemu, Rosa sudah tahu seperti apa kepribadian wanita beranak satu di sebelahnya itu.
“Lis, gue udah ngecek laporannya. Semuanya oke kayak biasa. Gue ada laporan baru, trus nanti jam 12 kita bakal ketemu klien.”
“Okey bos. Saya sudah bisa pergi?”
Tanpa melihat, Tristan mengangguk. Lis langsung tersenyum sumringah. Tapi sebelum menginjakkan kaki keluar dari sana, Lis menatap ke arah Rosa lebih dulu.
“Lo semangat ya, semoga mood-nya gak berubah.” Bisik Lis menyemangati Rosa. Barulah kabur dari ruangan itu.
Kini tinggal Rosa. Suasananya mulai berubah aneh. Ada aura-aura menggelikan, sekaligus horor. Bahkan saking parnonya, bulu-bulu tangannya sudah berdiri. Rosa merinding sekaligus terkejut saat di tatap oleh Tristan dengan pandangan menilai.
Tatapan itu berbeda sekali saat dia diberi makanan tiba-tiba. Rasanya tatapan itu seperti tatapan menilai. Rosa jadi melihat pakaiannya. Tertutup kok. Gada yang terbuka. Dia memang mengantisipasi jika sewaktu-waktu penyakit ‘mesum’ Tristan kumat lagi.
“Gimana kerja di kantor saya? Aman?”
Eh. Kok jadi lain pertanyaannya. Tapi Rosa tetap mengangguk.
“Good. Jake mungkin udah ngejelasin semua tentang pekerjaan yang kamu kerjakan. Tapi kenapa tadi pagi tidak ada kopi di meja saya? Bahkan hingga saat ini. Apa ingatanmu itu buruk, sehingga tidak mampu mengingat? Atau, kamu masih menganggap harga diri saya cuman lima puluh ribu?”
Kan mulai lagi nih orang. Rosa membatin.
Tapi Rosa juga mendadak kalut. Dia benar-benar lupa untuk membuat kopi. Tadi pagi, jalanan macet dan dia naik angkutan umum. Naik MRT di kala orang desak-desakan di pagi hari. Hampir saja dia telat. Lalu tanpa mengingat tugas itu, Rosa langsung duduk di meja kerjanya, dan mbak Lis langsung mengajaknya ngerumpi.
Mana topik yang mereka bahasa itu adalah bos mereka sendiri. Aka Tristan Robinson. Rossa bahkan tau kalo keluarga mereka itu sudah kaya dari sononya.
“M…maaf, pak. Saya buatkan lagi, tadi saya lupa.”
Rosa mengambil ancang-ancang untuk keluar dari ruangan itu.
“Siapa suruh kamu bisa keluar? Sekarang mendekat ke arah saya.”
Wajah Rosa memerah. Takut akan di apa-apakan lagi. Sebagai kacung, Rosa tidak bisa menolak. Dia melangkah mendekat ke singgasana Tristan.
Tristan yang tidak sabaran langsung bangkit berdiri. Tapi melihat Rosa melangkah mundur, membuatnya makin frustasi. Akhirnya Tristan memilih duduk kembali, menanti wanita itu hingga tiba di depan mejanya.
“Kenapa, pak?”
“Duduk.”
Raut wajah bingung Rosa cukup menghibur juga. Sekuat mungkin Tristan menjaga raut wajahnya agar tetap cool. Dia tidak mau merusak suasana lagi, dan wanita itu kabur lagi.
“Duduk?”
“Iya duduk, kamu tidak mengerti? Atau mau duduk di pangkuan saya?”
Tristan sudah gila mengatakan hal itu. Tapi dia tidak bohong, Tristan masih mengingat detail jelas malam dimana kesuciannya diambil. Rosa akhirnya duduk di kursi tamu. Wanita itu mengenakan blus longgar dan sebenarnya tidak menerawang. Tapi entah mengapa tetap nampak tembus pandang bagi Tristan.
Pasti ukuran branya 32C.
Tristan sebenarnya tidak sesinting itu bisa langsung tau ukuran bra cewek dengan sekali lihat. Bahkan dia tidak tertarik menebak-nebak ukuran Bra wanita-wanitanya yang sering menunjukkannya secara langsung. Tapi khusus Rosa, Tristan just can’t help it. Bahkan seluruh lekuknya masih terbayang jelas di kepalanya. Bagaimana desahan, liarnya Rossa malam itu, dan kenikmatan itu masih dia ingat jelas.
Tidak bisa lepas dari kepalanya. Barang seincipun. Tidak sama-sekali.
Jangankan hanya ukuran bra, Tristan bahkan bisa membayangkan bagaimana rasanya jika telapak tangannya menangkup di sana. Meremasnya dengan pelan, dan saling bersentuhan. Lalu mendesah bersama.
For God Sake. Jangan sampai Rosa tahu isi kepalanya!
“Kamu kena penalti karena lupa tugas hari ini.”
“Penalti?” Rosa bertanya bingung. Ya, dia memang salah. Mana ada istilah atasan salah. Kalopun salah, tetap ingat kacung yang disalahkan.
Tristan mengangguk. Tangannya meraih ipad dari atas meja, dan melihat beberapa apartemen dekat dengan kantornya. Sudah beberapa hari Tristan mencari apartemen yang dekat. Dan pilihannya jatuh pada apartemen di sebelah kamarnya.
“Tadi kamu bilang telat, kan? Jadi biar kedepannya semuanya tidak terulang kembali, silahkan pindah ke apartemen dekat kantor. Saya ada beberapa rekomendasi, mungkin kamu bisa melihat.” Tristan sengaja bangkit. Berjalan memutari meja, dan menyerahkan ipadnya.
Nafas Rossa tercekat karena Tristan yang mengawasinya dari belakang. Tepat di belakang. Bahkan lelaki itu mencondongkan tubuhnya. Posisi mereka saat ini, seperti Rosa sedang dipeluk dari belakang. Bahkan nafas aroma mint Tristan terasa jelas.
Sekali lagi. Rosa tidak mau ambil pusing. Jadi dia menerima ipad itu dan melihat apartemen itu. Tapi satu demi satu yang lewat di depan matanya, tidak satupun yang ramah dengan kantongnya. Semuanya terlihat luxury. Bisa-bisa gaji Rosa habis semua sebelum dia sempat survive mencari kantor baru.
“Tenang. Kamu tinggal bilang saja mau apartemen yang mana, nanti ada diskon karena yang punya tempat itu adalah teman saya.”
“Diskon?” Rosa menelan ludah.
“Iya, jadi kamu tinggal bayar setengah harga saja. Include listrik dan wifi. Gimana?”
“Tapi pak.”
“Atau, kamu memang berniat untuk telat setiap hari? Jakarta kota yang hidup 24 jam sehari. Saya tidak mau kualitas kantor saya turun karena ada yang berani telat di bulan pertama masa percobaan bekerja.”
“Tapi, pak. Saya…”
“Ohww…atau kamu memang berniat demikian?”
Rosa kehabisan pembelaan. Mulut Tristan ternyata lemas juga ye bunda-bunda. Dia lekas bangkit berdiri dan memberi mereka jarak. Wajahnya sudah memerah. Rosa tidak berani menatap Tristan.
“Bukannya tidak mau, pak. Tapi setengah harga pun masih sangat mahal buat saya. Itu..emm…diluar kemampuan saya.”
Tristan menahan senyumnya. Dia berhasil. Rosa masuk ke dalam jebakannya.
“Kalau begitu…saya ada satu lagi rekomendasi. Harganya tidak sampai setengah dari harga apartemen sebelumnya. Tidak terlalu jauh dari kantor.”
Kening Rosa berkerut. Dia tidak salah lihat. Harga apartemen itu sangat murah. Benar-benar murah. Padahal semua barang, dan viewnya sangat bagus. Tidak mungkin apartemen itu dibandrol dengan harga sangat murah. Rosa tahu bahwa itu hanyalah akal-akalan Tristan saja. Dia tidak akan tertipu. Tapi biar bagaimanapun, Rosa juga tergoda. Dia sudah lama punya cita-cita memiliki apartemen luxury dengan harga miring. Meskipun itu sangat tidak mungkin terjadi.
“Deal?”
“Tapi, pak. Kenapa bisa apartemen ini murah sekali? Bahkan ini lebih murah dari apartemen sepetak saya.”
“Itu milik teman saya. Dia masih memberikan subsidi, makanya diberi harga sewa semurah itu. Tidak semua orang punya informasi ini. Anggap saja kamu itu beruntung.”
Rosa tidak bisa menolak. Dia akhirnya setuju dengan tawaran tersebut.
“Kalau begitu, kamu bisa pulang lebih awal. Segera kemari barang-barangmu. Besok pagi saya tidak mau kopi saya telat atau bahkan sama-sekali tidak ada di atas meja.”
“Benar, pak?”
“Hmmm.”
Rosa tersenyum sumbing dan bergegas keluar. Apartemen barunya jauh lebih menggoda. Sebelum pergi, Rosa berhenti dulu. Menatap Tristan dengan pandangan tulus untuk kali ini.
“Makasih, pak Tristan.”
“Sama-sama.”
Begitu Rosa keluar dari ruangannya. Tristan langsung tertawa lebar. Mangsa sudah masuk perangkap, dan semua rencananya bisa berjalan dengan lancar.
Jake yang baru saja masuk terdiam di ambang pintu. Merasa ngeri saat melihat Tristan yang tertawa seperti orang sinting. Tidak mau ketularan, Jake lekas keluar.
“Ros, mau kemana?” Jake bertanya saat tidak sengaja melewati meja kerja Rosa. Wanita itu sedang merapikan meja kerjanya. Padahal baru saja Jake ingin menyerahkan kerjaan tambahan.
“Gue pindahan hari ini, Jake. Jadi bos ngasih toleransi biar bisa pulang lebih awal.”
“Oh…di daerah mana?”
“Perumahan Sunter. Apartemen yang bagus itu.” Rosa kegirangan saat menceritakannya. “Gue balik dulu ya, bye.”
Jake diam. Merasa kasihan dengan Rosa karena sudah masuk perangkap dari bos-nya itu. Segera Jake memutar haluan, dan kembali ke ruangan Tristan.
“Bos, rapat jam 12 di cancel?”
Tristan langsung diam, segera berbalik dan menatap Jake.
“Gak. Siapa bilang di cancel?”
“Tapi ini…”
“Owh…” Tristan menatap saja. “Lo yang bakal gantiin gue. Lis bakal nemenin lo, siang ini gue harus melakukan pekerjaan mulia.”
“Bos. Yang bener aja deh. Ini rapat bareng client penting kita, 5 tahun berturut-turut bos gak pernah absen. Lagian jadwal bos kan gada yang penting siang ini.”
“Ini dadakan. Sekarang gue pergi dulu.” Tristan berhenti di sebelah Jake. “Ingat. Kerja yang bener. Kalo sampe itu client gak puas, awas aja lo. Gue bakal buat lo jadi jomblo seumur hidup.”
Buset. Gini amat ya nasib kacung. Dan Jake hanya bisa pasrah.
Rosa menarik kopernya, dan berhenti di depan pintu salah satu unit. Akhirnya setelah sekian purnama terlewati, hari demi hari, Rossa bisa juga meninggalkan tempat tinggal kumuhnya itu. Tidak ada acara sedih-sedihan, malah setelah mendapat izin, Rossa langsung mengepak barangnya yang tidak seberapa. Hanya ada 2 koper besar, dan 1 koper kecil. Sesimple itu kehidupan Rossa.Dia selalu menerapkan hidup minimalis.Padahal. Karena tidak ada modal saja untuk beli ini itu. Makan di mall aja cuman bisa sesekali. Lain lagi dengan kebutuhan skincare yang mahalnya makin tidak ngotak, dan kebutuhan wanita pada umumnya.Dengan kode pintu yang sudah Rossa dapatkan tadi, dia berhasil masuk. Hal pertama yang terlihat adalah gelap. Ruangannya sepi, tapi pemandangan kaca besar dengan view pemandangan kota langsung membuat Rossa tersenyum lebar.Untung bibirnya gak robek.Rossa mencari saklar, dan lampu besar yang ada di tengah-tengah langsung bersinar mengalahkan terangnya matahari.“Wah, ini bisa pembo
Tristan sudah berjam-jam menatap layar laptop di depannya tanpa mengetik apapun. Sampai-sampai lehernya pegal. Tidak pernah dia bergelut di kamarnya sendiri jika sendirian di malam hari, biasanya akan pergi ke klub, atau sekedar minum dengan temannya. Tapi khusus malam ini, dia betah di rumah karena sudah ada seseorang. SEORANG TRISTAN TIDAK KELUAR DI MALAM HARI. BAYANGKAN.Apa ini namanya, playboy sudah tobat ya?Perkara kolor tadi, Tristan tidak bisa berkutik karena Rossa mengamuk parah. Nyalinya menciut. Sejak tadi dia tidak mendengar apa-apa. Melirik ponselnya, ternyata sudah pukul 11 malam. Tristan sepertinya akan di rumah terus untuk beberapa hari ini. Dia harus mengatur strategi lagi untuk menjebak Rossa.Mangsa sudah di dalam kandang. Sekarang tinggal memikirkan strategi selanjutnya.Tristan hendak tidur, tapi mendengar suara pintu terbuka. Buru-buru dia melompat dari ranjang, bahkan hampir terjatuh saking hebohnya. Begitu pintunya terbuka, dan menatap sosok di depan, mulut T
“Tapi habis gue makan.”Tristan yang sudah bersiap ingin melancarkan aksinya langsung berhenti. Ditatapnya lagi wajah Rossa yang sudah memelas dan kasihan. Dia tidak setega itu. Pada akhirnya mereka makan bersama. Tristan makan sangat cepat, dan kini dia sudah kembali dari kamar mandi. Mulutnya sudah fress.Sambil menatap Rosa yang masih makan, Tristan sudah memikirkan akan memanfaatkan kesempatan ini dengan gaya apa. One kiss but it’s long. Bahkan otaknya sudah berkelana kemana-mana, sampai tidak sadar senyum-senyum sendiri. Rossa bergidik ngeri melihat Tristan yang senyum-senyum sendiri sambil melihatnya. Bulu kuduknya sampe berdiri. Tapi demi apapun, kini Rossa mulai memikirkan alasan untuk kabur dan tidak memberikan permintaan Tristan. Perutnya sudah kenyang, tapi Rossa sengaja berpura-pura masih makan. Setidaknya itu bisa mengulur waktu. “Gue mau ke toilet dulu.” Segera Rosa bangkit, tapi tangannya di cekat. Tristan menatapnya dengan tajam. “Jangan sekalipun lo mikir mau
Rapat berlangsung dengan suasana mencekam. Proposal yang diajukan mentah-mentah ditolak oleh Tristan, disuruh kerjakan ulang, revisi, dan tidak ada kerjasama di atas kertas. Jake sebagai sekretaris hanya bisa menghela nafas. Tidak bisa memukul kepala Tristan, karena sadar jabatan. Tidak berbeda jauh dari Jake. Keadaan Rossa pun terlihat mengenaskan. Sejak siang dia tidak bisa makan, disuruh ini dan di itu. Memang jadi budak corporate harus seperti ini ya? Rossa membantin. Dia benar-benar kesal setengah mati pada Tristan yang mukanya tidak bisa di ajak kerja sama. Kalo mau buat kerjaan, gak gini juga dong ceritanya. Rossa tau job desknya, dan ini bukan salah satunya. Bahkan saat matahari sudah tumbang ke peraduannya, disinilah Rossa masih mengumpati sosok yang sejak tadi membuatnya bekerja. Dia terjebak di kantor. Mengerjakan ulang laporan keuangan, dan revisi proposal yang jelas-jelas bukan kerjaannya. Gustin yang terakhir bersamanya. Itu pun dia sudah mengemasi barang-bar
“Gue butuh duit” “Berapa?” “200 juta.” “Buat apa lagi emang?” Tristan bertanya datar. “Buat modal, emang buat apa lagi?” “Ntar di transfer sama Jake.” “Okey. Jangan lewat jam 3 ya.” Rossa menatap meja Jake yang kosong. Dia harus laporan juga pada Tristan. Mumpung teman sekantornya lagi pada makan siang, dia lekas bergegas. Sedikit ragu untuk mengetuk. Tapi 5 centi sebelum tangannya mengetuk, pintu itu sudah terbuka dari dalam. Otomatis Rossa mundur memberi jalan. Seorang wanita yang usianya berkisar 30-an jika dia tidak salah, menatapnya beberapa menit. Lalu tersenyum sebentar dan pergi begitu saja. Aura dari dalam ruangan sedikit tidak bersahabat. Rossa hendak melangkah masuk, namun berhenti sejenak karena Jake juga hendak keluar. “Ada apa, Ros?” “Ehh, gue mau laporan. Pak Tristan ada di dalam?” Mumpung sosok itu sedang di kamar mandi, Jake menarik tangan Ros keluar dan menutup pintu. Kasihan Ros jika harus menjadi pelampiasan nanti. “Loh, kenapa?” “Nanti a
Rossa menghela nafas. Padahal masih pagi. Dia menutup pintu setelah menandatangani bukti penerimaan paket. Dan lihat, kamarnya sudah hampir penuh dengan kotak kiriman Tristan. “Kali ini apa lagi?” Tas Dior yang baru saja rilis. Rossa menarik nafas dalam, mengeluarkan tas harga ratusan juta itu dan menatap catatan di dalam kotak. Isinya lagi-lagi sama. Permintaan maaf Tristan. Padahal rasa kesalnya sudah hilang, tapi karena setiap hari di kirimi hadiah mulu, Rossa jadi kesal lagi. Dia menatap pesan WA yang baru saja masuk. Kebetulan Tristan masih dinas di luar kota, dan itu memberikan kebebasan untuknya. Rossa mengabaikan pesan itu dan segera mengenakan pakaian trainingnya. Hari minggu seperti ini enaknya jogging, apalagi dia sudah cukup lama tidak olahraga karena sibuk mengejar urusan duniawi. Tas itu Rossa masukkan kembali ke dalam kotak. Dia tidak pernah menggunakan hadiah itu sama-sekali. Bukannya tidak suka, jangan ditanya. Itu barang branded semua, tapi Rossa sadar di
Tristan tersenyum dari ruangannya sambil menikmati pemandangan indah dari balik kaca ruanganya. Tepatnya dimana Rossa sedang sibuk dengan layar di hadapannya. Itu terlihat seksi dan juga membuat otaknya kadang tidak bisa bekerja dengan baik. Bahkan Jake yang sejak tadi menjelaskan progres proyek mereka diabaikan. Membuat Jake pada akhirnya ikut menoleh ke belakang, dan langsung menghela nafas kesal. Ingin menghujat, tapi dia hanyalah budaak korporat. Salah dikit potong gaji. Nasib…nasib. “Bos, lo dengar gak sih?” “Eh? Apa tadi?” Wajah Jake masam, dia meletakkan laporan bulanan itu di meja Tristan dan langsung berdiri. “Et dah, kesel banget gue. Ini lo baca aja sendiri, dari tadi gue ngomong lo gak dengar sama-sekali.” “Lah, lo bosnya?” Jake langsung duduk kembali dan menjelaskan dari awal. Untungnya kali ini Tristan mendengarnya, jika tidak, maka Jake benar-benar gondok. Mau dia hanya kacung, dia tidak akan peduli. Kadang bekerja dengan Tristan itu butuh ekstra kesab
Sepanjang jalan menuju ke apartemen, Rosa diam saja. Tidak mengatakan apapun, tapi sesekali matanya melirik ke arah Tristan yang diam saja. Dia tidak punya pilihan selain pulang bersama Tristan. Padahal dia ingin kembali ke kantor untuk mengambil barang-barangnya. Tapi namanya Tristan ya…begitulah. Kadang membuat naik darah. Kadang juga membuat Rossa berpikir keras. Apa yang sebenarnya dilihat seorang Tristan darinya? Wajah? Jangan ditanya. Wajah Rossa pas-pasan kok, standar pada umumnya. Ya intinya lengkaplah. Tubuh molek? Aduh. Apalagi itu. Tinggi Rossa hanya 158 cm dengan berat badan 55 kg. Sudah tau lah ya seperti apa bentuk tubuhnya. Untungnya Rossa itu bisa memoles wajah dan cakap dalam berpakaian. Namun detak jantung Rossa sejak tadi tidak bisa di ajak serius. Padahal Tristan sedang dalam mode kalem, tumben-tumbennya tidak banyak tingkah atau tidak menjahilinya seperti biasa. Ada yang salah. Dunia sepertinya lagi tenang. Tapi. Itu tidak baik untuk kesehatan jantung
Tristan POVJujur, aku sangat gugup. Sejak Rossa approved lamaranku, aku sungguh dilema. Awalnya dia memang menolak, dan itu sudah membuatku hampir gila. Sungguh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga tiba-tiba pergi ke Bandung, ke rumah mbak Eva.Entah apa yang mereka sedang bicarakan di sana. Namun aku bersyukur karena Rossa berubah pikiran secara mendadak. Sebuah kemajuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.“Kamu gugup, nak?”Suara mama membuyarkan lamunanku di depan cermin. Aku berbalik dan melihat siapa yang datang. Mama mengenakan baju putih lengan pendek, rambutnya sangat indah. Dia tampil berbeda hari ini. Benar-benar membuatku ingin memeluknya.“Anak mama sudah besar sekarang. Pastikan kau tidak membuat menantu mama menangis ya, atau gak, kamu bakal tau rasa. Udah, mama mau lihat calon menantu mama dulu. Dia pasti sangat cantik sekali.”“Tristan ikut mah.”“Eits, gak boleh. Kamu harus tetap disini, oh ya, papamu bakal datang sebentar lagi. Apapun yang sudah terja
Jake POVEntah sudah kesekian kalinya Rebecca tidak menjawab panggilanku. Luar biasa, malam setelah kami bertengkar, dia sangat enteng mengatakan tidak bersalah dan menghilang begitu saja. Hingga kini dia mengabaikan permintaan maafku.“Kau dengar apa yang aku katakan, Jake?”Suara bariton Tristan memecah lamunan. Aku mengangguk walau sebenarnya tidak tahu apa yang sejak tadi dia bicarakan.“Aku tidak ingin mengamuk karena kau salah memesan, Jake. Apa yang salah, aku tahu perhatianmu sedang tidak disini.”Aku menghela nafas, kali ini memilih untuk duduk di sofa dan merebahkan punggungku. Tristan memang atasanku di kantor, tapi dia juga sahabatku. Kami bertemu di kampus, sangat tidak berkesan sekali sebenarnya. Namun itu yang membuat kami dekat.Walaupun aku selalu berakhir menjadi babunya. Well, tidak masalah sebenarnya, karena Tristan itu manusia yang bertanggung jawab dan saling menghargai. Dia meletakkan botol dingin di atas meja dan ikut duduk.“Apa ini masalah keluargamu?”“Bukan
Rossa POVTerakhir, aku berfikir bahwa kehidupan anak yatim piatu sepertiku akan berakhir tragis. Namun tidak saat aku menuliskan bagian ini. Beberapa hari yang lalu, usai semua urusan diputuskan di pengadilan. Tristan dengan tidak sabaran langsung melamarku.Dan entah aku yang terlalu senang, tolakan itu aku TOLAK. Membuat Tristan uring-uringan dan sedih. Sejujurnya aku tidak tega melihat wajahnya, namun aku masih tidak siap untuk memulai kehidupan keluarga.Walaupun aku menginginkannya. Hari ini aku sedang pergi ke rumah kakakku, melihat bagaimana kondisinya. Jangan lupakan ponakanku yang sangat bawel dan merepet karena aku jarang berkunjung.“Jadi, kenapa kau menolaknya?”Eva meletakkan segelas coklat hangat, menemani pembicaraan sore kami. Apalagi di balik kaca, hujan sedang mengguyur kota Bogor. Dan karena apartemen Eva di lantai 5, pemandangan di bawah bisa terlihat jelas.Dia memutuskan pindah ke tempat yang lebih baik, setelah jabatannya naik. Aku memeluknya begitu dia duduk.
Jake menatap Tristan, keadaan di pengadilan sunyi, hanya ada beberapa orang. Keadaan Sasa cukup parah karena kejadian dimana wanita itu hampir kehilangan nyawanya karena Hendrix. Tidak berbeda jauh dengan Jake, Hendrix juga sedang menggenggam tangan Rossa yang jauh lebih diam dibanding tadi pagi. Dia khawatir jika kembarannya itu masih terbayang dengan kejadian menyeramkan itu. “Kau tidak apa?”Rossa menatap Hendrix, mengangguk singkat walau sebenarnya dia tengah berusaha meredam emosinya. Dia tidak bisa melihat Sasa masih bisa tersenyum mengejek padanya, seolah dia ingin mengatakan bahwa dia menang. Rasa dendam, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, Rossa tidak bisa menjelaskannya. Namun, dia juga merasa sangat sedih. Dia tidak akan merasa puas sampai Sasa dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Juga khawatir yang akan terjadi pada Hendrix dan Tristan. Sebenarnya Rossa curiga, mengapa Sasa tidak menyebutkan dirinya atau Jake? “Semua akan berjalan baik-b
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali
Kabar bahwa Tristan tidak selamat dalam tragedi itu langsung terdengar di telinga Rossa lewat mikrofon yang baru saja tersambung dengan Zaman beberapa menit lalu. Tubuh Rossa hampir saja ambruk jika Hendrix tidak menahannya. Rasanya seperti tidak nyata. Sekeras apapun usaha Rossa bicara pada Jake dan Hendrix untuk mengantarnya, tidak satupun dari mereka yang bersedia. Keduanya diam, tidak mendengarkannya sama-sekali. Air mata Rossa berjatuhan. Ini adalah kabar yang tidak dia inginkan. Walau Burhan dan antek-anteknya dikabarkan tertangkap dalam keadaan bernyawa dan tidak bernyawa. Dadaa Rossa terasa sesak, tidak bisa membayangkan seperti apa Tristan. “Ros…tidak, jangan melakukan hal bodoh. Pagi akan segera tiba dan media akan meliput berita besar ini. Kita juga harus bergegas pergi dari sini jika tidak ingin kena masalah.” “Tidak, aku harus pergi kesana. Aku mohon, Hen, tolong antar aku kesana.” Hendrix menarik nafas panjang dan menatap Jake yang sama kacaunya. Jake ingin menuju
Tristan POV Situasi di dalam kapal tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah sekian lama aku hidup, baru ini aku mempertaruhkan nyawaku secara langsung. Terdengar tembakan dari arah belakang, itu dia, Emilio baru saja melepas peluru terakhirnya. Menghabisi nyawa awak kapal yang menyerang kami beberapa saat lalu. Lampu sudah padam, hanya penerangan samar-samar yang membantuku melihat kemana arah kami berjalan. Hampir 30 menit terjebak di dalam lika-liku menuju inti kapal. Dari percakapan Emilio, kami menuju ruang rahasia tempat dimana Burhan bersembunyi. Kedatangan kami sepertinya sudah diketahui oleh mereka. Sebelum sosok itu menembakku, aku menarik leher bagian belakangnya. Mengarahkan senjata ke arah kepalanya. “Sir, kami suruhan Tn.Lio.” Anggukan Emilio membuatku melepas sosok itu. Dia mengenakan simbol yang sama seperti Emilio. Sejak awal hal itu sudah menarik perhatianku. Entah itu simbol apa, tapi cukup menarik perhatian. “Tris, masuk duluan.” Bergegas aku memasuki sa
Hampir 30 menit Zaman menunggu di mobil, namun tak kunjung melihat kedatangan Tristan. Satria mengawasi sekitar, mereka berada di posisi awal seperti perjanjian. “Zaman, bagaimana ini. Kita sebaiknya bergerak saja, bagaimana jika nanti ada yang mengikuti kita dan habis sudah. Kita berdua bukan petarung jarang dekat yang handal, tadi saja nyawa kita hampir melayang. Selain itu, langit sudah gelap. Burhan tidak kunjung muncul, bisa jadi mereka sudah merencanakan hal ini dari awal.” “Tidak,” Tolak Zaman dengan tegas, “aku yakin Tristan sebentar lagi akan tiba. Dia cukup tangguh.” “Tapi…” “Lihat, itu mereka. Cepat, putar arah mobilnya.” Satria ikut melihat kebelakang dan melihat dua seseorang berjalan tertatih-tatih. Secepat kilat dia berbalik. Ternyata benar bahwa itu adalah Tristan. Mobil mereka melesat sesuai dengan kontrol Rossa ke titik yang sudah ditentukan. Keadaan Tristan cukup parah, pendarahan di perutnya tidak kunjung berhenti. Untungnya Zaman pernah mengikuti komunitas