Sudah seminggu berlalu sejak kejadian dimana Rosa menendang aset atasannya itu. Tapi tidak ada surat pemecatan sama-sekali. Membuatnya bertanya-tanya dalam hati, kenapa tidak kunjung mendapat surat itu. Tapi entah apapun alasannya, Rosa tidak peduli.
Dia sedang di apartemen sepupunya—Jemimah—sembari menunggu Rafael pulang sekolah, barulah nanti dia kembali.
“Lo gak kerja, Ros? Perasaan kemarin lo bilang udah di terima deh,” Jemimah muncul. Keringat memenuhi seluruh wajah, hingga lehernya. Ada beberapa bekas cupang yang dibiarkan terekspos. Tanpa Rosa tanya pun, dia tahu apa yang baru saja dilakukan sepupu laknatnya itu.
Seorang pria keluar dari kamar Jemimah terburu-buru.
“Gue balik ya, Jem, Ros. Ntar malam jangan lupa mampir ke klub gue, ada party soalnya.”
“Iya, babe. Gue datang,” Jemimah beranjak untuk mengantar lelaki bernama Luis itu.
“Ajak Rosa juga.”
“Iya.”
Teriakan itu berakhir dengan pintu apartemen yang ditutup. Jemimah kembali duduk di sofa, merentangkan tangan sambil tersenyum. Rosa di sebelahnya menatap jijik. Kehidupan di ibu kota memang berbeda. Kadang Rosa sampai bergidik ngeri, tidak membayangkan seberapa sering sepupunya itu berhubungan badan dengan lelaki tadi.
Yang pasti. Rosa tahu Jemimah sering gonta ganti cowok. Tapi untuk kali ini, dia bertahan sudah lebih dari 6 bulan. Entahlah mereka akan serius atau tidak. Rosa pun tidak peduli.
“Gue tau lo jijik lihat gue. At least, lo jawab dulu. Bukannya lo udah kerja ya?”
Menghembuskan nafas pelan. Rosa mengalihkan pandangannya dari televisi dan menatap Jemimah.
“Gue resign.”
“What? Lo gila?”
“Gajinya kecil soalnya. Gak sebanding dengan apa yang gue kerjain. So, daripada tulang-tulang gue jadi remuk, mending gue resign. Ini lagi nyari kerja yang baru.”
Rosa terpaksa berbohong. Bibir Jemimah itu sebelas dua belas sama bibir mak lampir, gak bisa diam kalo gak di kasih jawaban pasti. Rosa juga malas menceritakan apa yang terjadi. Karena persoalan dia sudah kehilangan keperawanan, hanya dia dan lelaki itu, dan juga Tuhan yang tau. Selebihnya, tidak ada sama-sekali. Kecuali lelaki itu bibirnya ember. Rosa memberi pengecualian.
“Lo mau makan gak? Gue mau mesen McD deh keknya. Capek banget, dia mainnya hebat banget soalnya.”
“Ishh…lo gila ya, Jem. Gak pernah tobat dari dulu, main mulu lo sama cowo. Hamil baru tau rasa.”
“Udah…tenang, Ros. Gak usah khawatir soal kehidupan gue. No one care. Bokap ama nyokap gue aja ga pernah nanya gue masih hidup ato enggak. Setidaknya gue nyari kesenangan gue sendiri.”
“Serah…” Rosa menaikkan bahunya.
“Lo mau kemana?”
Rosa beranjak dari sofa, mengambil kunci mobil dan juga jaketnya. Sudah pukul tiga belas, dan tiga puluh menit lagi, keponakannya akan pulang. Which mean, Rosa harus menjemputnya.
“Jempur Rafael?”
“Menurut lo? Udah deh, gue mau cabut dulu. Lain kali, kabarin kalo cowok lo lagi di sini. Biar gue bisa nyari tempat lain, setidaknya biar gue gak muntah dengar suara desahan lo berdua.”
“Iya-iya. Galak amat sih, lagi M ya?”
“Minggir.”
Jemimah tersenyum sumbing, membiarkan sepupunya itu pergi. Dia juga merasa tidak enak, karena tidak memberitahu Rosa bahwa pacarnya datang. Punggung Rosa menghilang di balik pintu. Tidak lupa dengan dentuman keras. Fiks. Rosa pasti marah. Jemimah tidak ambil pusing, tubuhnya sangat lelah, dia butuh makan dan istirahat.
***
“Bos, lo mau sampai kapan nungguin itu cewek sih? Ini udah hampir seminggu dia gada kabar. Karyawan baru tapi gitu. Gak biasanya lo kasih kendor kayak gini.”
Jake yang sedang menyetir mulai mengomel. Karena gadis yang baru saja satu minggu yang lalu lari terbirit-birit dari kantor tidak pernah menginjakkan kakinya lagi. Membuat semua pekerjaannya jadi dobel. Sebab bosnya sama-sekali tidak mau posisi itu diambil oleh orang lain.
“Tris, lo gimana sih jadi bos? Gue lama-lama bisa keluar juga loh. Ini namanya pembodohan.” Jake akhirnya memanggil nama asli temannya itu dengan kesal. Tapi yang diajak bicara sedang menatap keluar jendela mobil.
Tristan sedang melamun, menatap ke arah zebra cros. Mobil sedang berhenti karena lampu merah. Anak-anak kecil sedang berlarian menyebrang, karena di sebelahnya adalah sekolah. Dari semua itu, mata Tristan melebar saat melihat wanita yang seminggu lalu menendang asetnya, sedang menyebrangi jalan. Tidak hanya itu saja. Satu tangannya menggandeng tangan anak kecil.
Refleks Tristan siaga di kursinya. Dia mengamati mereka, memasuki sebuah mobil. Bibir Tristan membentuk seringai.
“Lo keluar.”
“Hah?” Jake bingung.
“Lo keluar. Sekarang. Cepat.”
Jake dipaksa keluar dari dalam mobil. Sedangkan Tristan langsung mengambil alih kemudi. Mengikuti mobil itu. Meninggalkan Jake yang kebingungan di lampu merah. Mana banyak anak-anak kecil, dan juga ibu-ibu yang mengerumuninya. Jake melongo, dan tidak bisa berkata-kata.
Sepanjang perjalanan, bibir Tristan tidak henti-hentinya mengumpat. Tidak hanya mengumpat, otaknya juga sedang berpikir keras. Siapa anak kecil itu?
Dari tampangnya, dan melihat anak tadi. Tristan memperkirakan usia anak itu 5 tahun. Mereka juga bercocok tanam sekitar 5 tahun lalu. Jadi…besar kemungkinan itu anaknya. Tristan begitu semangat membayangkan semua hal itu.
Mobil Tristan berhenti dengan jarak 100 meter dari mobil yang dinaiki Rosa. Mereka berdua keluar, begitu juga dengan Tristan. Dia mengikuti mereka dari belakang.
Rosa mulai sadar bahwa ada mobil yang mengikutinya. Tapi dia tetap positif thinking, karena merasa itu hanya sebuah kebetulan saja. Tapi saat melihat mobil itu juga berhenti saat dia berhenti, Rosa mulai panik. Dia buru-buru memasuki apartemen, berharap itu hanyalah ilusinya saja. Dia bahkan berjalan cepat, sambil menggendong Rafael yang sejak tadi mengeluarkan banyak pertanyaan.
Rosa membuka pintu. Dia lekas masuk, begitu berbalik hendak menutup pintu. Mata Rosa melebar.
“ARGHHH…SETAN.” Teriak Rosa.
“Argh…dimana setanya? Mana?” Tristan ikut berteriak, segera mendorong pintu dan masuk. “Mana…mana setannya?” serunya pelan sambil mengintip dari balik bahu Rosa.
Wajah Rosa merah padam. Dia menatap Rafel yang terjatuh, dan hampir menangis.
“Aduh…sayang. Sakit ya, maaf-maaf. Tadi memang ada setan yang lagi ngikutin kita.”
“Itu setannya, aunty.” Rafel menunjuk ke arah Tristan.
Lelaki itu baru sadar, bahwa setan yang dimaksud adalah dia. Segera Tristan melepas pegangannya pada Rosa dan berdiri dengan angkuh. Bahkan tanpa diberi izin, dia melangkah memasuki ruang tamu. Duduk di sofa tanpa dipersilahkan. Matanya mengamati seiri rumah dengan tatapan menilai.
Tapi, Tristan sebenarnya sedang memikirkan kenapa bocah kecil itu memanggil Rosa dengan sebutan aunty. Pendengarannya itu tajam, seperti pendengaran monyet. Jadi tadi itu dia tidak salah.
Rosa dan Rafael berdiri di ambang pintu. Menatap Tristan yang seolah dia yang punya rumah.
“Aunty, paman itu siapa?”
Akhirnya, Rosa dan Tristan saling menatap satu sama lain. Wajah Rosa memerah, tidak tahu kenapa Tristan harus muncul di hadapannya. Tapi di satu sisi, dia legah karena penguntit dari bukan orang jahat. At least, Rosa tahu bahwa lelaki di depannya ini adalah bosnya.
Catat baik-baik. Lelaki di depannya itu adalah BOS-nya sendiri.
“Rafael sudah lapar belum?”
“Belum. Tadi Rafael dikasih bekal sama ibu guru.”
“Good. Sekarang ponakan aunty ke kamar dulu, ganti baju, habis itu bobo ya. Aunty mau bicara sama orang asing ini. Okey?”
Melihat Rafael mengangguk patuh dan segera menuju kamarnya. Baru lah Rosa berani melangkah mendekat ke ruang tamunya yang sempit. Tidak layak untuk menerima tamu luar sebenarnya. Apartemennya sangat sempit, hanya ada beberapa ruangan. Ya…sesuai budgetnya lah.
Dari tatapan Tristan, Rosa tahu lelaki itu sedang menilai tempat tinggalnya.
“Lo mau apa?”
“Wah…sekarang udah gak manggil bapak lagi ya, babe?” Tristan memainkan perannya. “Setelah lo merebut keperjakaan gue, lo hampir buat gue gak punya masa depan, itu masih buat lo nanya gue mau apa?”
Rosa tidak tahu harus berbuat apa. Dia mengambil duduk, agak jauh dari posisi Tristan. Takut kalau terjadi kejadian yang sama seperti hari dia interview untuk kedua kalinya. Akan ribet urusannya.
“Okey. Atas semua yang udah gue lakuin, gue minta maaf sama lo. Tapi kalo lo ngebahas soal klub dulu, apa lo nyadar bahwa lo juga yang ambil keperawanan gue? At least, kita impas. Terus kenapa lo merasa yang paling disakiti itu lo? Heran gue.” Rosa mulai kehabisan kesabaran. Dia berani menatap Tristan to the point.
“Ya gue tau kita impas. Tapi gue mau nanya sesuatu.”
“APA? LO NANYA APA LAGI ANJING. GUE LAPAR, TAU GAK SIH?”
Tristan diam membeku di tempatnya. Sampai lupa caranya bernafas. Dia menelan ludah, dan menatap Rosa yang sangat beringas. Sepertinya wanita itu sedang M.
“Anak yang tadi, anak gue?”
Rosa menghela nafas. “Bukan. Dia keponakan gue. Puas lo?”
“Oh. Okey.” Tristan bangkit berdiri dan menuju ke pintu keluar tanpa diperintah. Dia sedang bertahan agar terlihat tetap cool dan menawan. “Lo jangan berharap dapat surat pemecatan. Besok kerja kayak biasa, dan sampai jumpa.”
Di tempatnya duduk. Rosa tidak paham lagi. Bahkan tidak bisa menjelaskan seperti apa otaknya saat ini saat melihat lelaki itu benar-benar pergi dari apartemennya. Rosa berdiri, membuka pintu dan memastikan lelaki itu memang pergi. Dan itu benar.
Menggelengkan kepalanya. Rosa lekas masuk dan bersandar di pintu dengan kaki gemetar. Dia menelan ludah kasar. Tangannya bahkan ikut tremor setelah membentak atasannya itu tadi.
“Gila lo, Ros. Abis lo besok.”
Tapi 30 menit dengan posisi seperti itu. Bell apartemennya kembali di buka. Tanpa pikir panjang, Rosa membuka. Siap dengan makian.
“LO MAU APA LAGI SIH…Eh pak? Ada apa ya?”
Pak kurir di depan Rosa menelan ludah kasar. Kakinya gemetar. Bahkan kotak Pizza di tangannya hampir jatuh. Rosa jadi merasa bersalah. Dia pikir itu adalah Tristan lagi. Tapi delivery food.
“I…ini mbak. Tolong tanda-tangannya. Terima kasih sudah order di tempat kami, silahkan mampir lagi.”
Rosa diam. Melihat sebuah surat di atas kotak pizza itu.
Dari Tristan.
Ini lo makan.
Setelah insiden Tristan datang ke apartemennya. Rosa tidak lagi mendapatkan pesan serta gangguan. Sudah seminggu juga Rosa tidak bertemu dengan atasannya. Pagi ini dia sudah bekerja dengan tenang. Jake menjelaskan beberapa job desknya. Singkatnya, hari ini Rosa sedang di training.“Lo ada pertanyaan ga?”“Sejauh ini semua yang berkaitan dengan tugas, gue paham. But, kenapa ada beberapa bagian yang janggal ya?”Jake memang menyuruhnya untuk bicara informal saja. Kantor mereka memang menerapkannya. Tapi terkecuali dengan bos mereka. The one and only.Rosa kembali membalik halaman job desk-nya. Ada dua poin yang janggal. Yang pertama, dia harus membuatkan kopi setiap pagi untuk Tristan. Lalu wajib memberikan kabar, apakah dia masih hidup atau tidak. Ini bukan termasuk kerjaannya. Dia bukan OB atau sekretaris. Rosa itu menjabat untuk posisi supervisor, jadi ini sedikit aneh.“Gue juga udah nanya sama bos tadi soal poin ini. Tapi dia bilang itu peraturan baru. Jadi, gue gak punya hak buat
Tidak ada yang membuka percakapan sejak tadi. Rosa diam, menatap atasannya dengan kikuk. Dia memasuki ruangan Tristan sudah lebih dari 15 menit. Tapi tak juga diberi perintah apa-apa. Untungnya dia tidak sendiri. Ada Mbak Lis, salah satu teman se-divisi Rosa. Orangnya baik, tapi suka keceplosan. Padahal mereka baru beberapa kali bertemu, Rosa sudah tahu seperti apa kepribadian wanita beranak satu di sebelahnya itu.“Lis, gue udah ngecek laporannya. Semuanya oke kayak biasa. Gue ada laporan baru, trus nanti jam 12 kita bakal ketemu klien.”“Okey bos. Saya sudah bisa pergi?”Tanpa melihat, Tristan mengangguk. Lis langsung tersenyum sumringah. Tapi sebelum menginjakkan kaki keluar dari sana, Lis menatap ke arah Rosa lebih dulu.“Lo semangat ya, semoga mood-nya gak berubah.” Bisik Lis menyemangati Rosa. Barulah kabur dari ruangan itu.Kini tinggal Rosa. Suasananya mulai berubah aneh. Ada aura-aura menggelikan, sekaligus horor. Bahkan saking parnonya, bulu-bulu tangannya sudah berdiri. Ro
Rosa menarik kopernya, dan berhenti di depan pintu salah satu unit. Akhirnya setelah sekian purnama terlewati, hari demi hari, Rossa bisa juga meninggalkan tempat tinggal kumuhnya itu. Tidak ada acara sedih-sedihan, malah setelah mendapat izin, Rossa langsung mengepak barangnya yang tidak seberapa. Hanya ada 2 koper besar, dan 1 koper kecil. Sesimple itu kehidupan Rossa.Dia selalu menerapkan hidup minimalis.Padahal. Karena tidak ada modal saja untuk beli ini itu. Makan di mall aja cuman bisa sesekali. Lain lagi dengan kebutuhan skincare yang mahalnya makin tidak ngotak, dan kebutuhan wanita pada umumnya.Dengan kode pintu yang sudah Rossa dapatkan tadi, dia berhasil masuk. Hal pertama yang terlihat adalah gelap. Ruangannya sepi, tapi pemandangan kaca besar dengan view pemandangan kota langsung membuat Rossa tersenyum lebar.Untung bibirnya gak robek.Rossa mencari saklar, dan lampu besar yang ada di tengah-tengah langsung bersinar mengalahkan terangnya matahari.“Wah, ini bisa pembo
Tristan sudah berjam-jam menatap layar laptop di depannya tanpa mengetik apapun. Sampai-sampai lehernya pegal. Tidak pernah dia bergelut di kamarnya sendiri jika sendirian di malam hari, biasanya akan pergi ke klub, atau sekedar minum dengan temannya. Tapi khusus malam ini, dia betah di rumah karena sudah ada seseorang. SEORANG TRISTAN TIDAK KELUAR DI MALAM HARI. BAYANGKAN.Apa ini namanya, playboy sudah tobat ya?Perkara kolor tadi, Tristan tidak bisa berkutik karena Rossa mengamuk parah. Nyalinya menciut. Sejak tadi dia tidak mendengar apa-apa. Melirik ponselnya, ternyata sudah pukul 11 malam. Tristan sepertinya akan di rumah terus untuk beberapa hari ini. Dia harus mengatur strategi lagi untuk menjebak Rossa.Mangsa sudah di dalam kandang. Sekarang tinggal memikirkan strategi selanjutnya.Tristan hendak tidur, tapi mendengar suara pintu terbuka. Buru-buru dia melompat dari ranjang, bahkan hampir terjatuh saking hebohnya. Begitu pintunya terbuka, dan menatap sosok di depan, mulut T
“Tapi habis gue makan.”Tristan yang sudah bersiap ingin melancarkan aksinya langsung berhenti. Ditatapnya lagi wajah Rossa yang sudah memelas dan kasihan. Dia tidak setega itu. Pada akhirnya mereka makan bersama. Tristan makan sangat cepat, dan kini dia sudah kembali dari kamar mandi. Mulutnya sudah fress.Sambil menatap Rosa yang masih makan, Tristan sudah memikirkan akan memanfaatkan kesempatan ini dengan gaya apa. One kiss but it’s long. Bahkan otaknya sudah berkelana kemana-mana, sampai tidak sadar senyum-senyum sendiri. Rossa bergidik ngeri melihat Tristan yang senyum-senyum sendiri sambil melihatnya. Bulu kuduknya sampe berdiri. Tapi demi apapun, kini Rossa mulai memikirkan alasan untuk kabur dan tidak memberikan permintaan Tristan. Perutnya sudah kenyang, tapi Rossa sengaja berpura-pura masih makan. Setidaknya itu bisa mengulur waktu. “Gue mau ke toilet dulu.” Segera Rosa bangkit, tapi tangannya di cekat. Tristan menatapnya dengan tajam. “Jangan sekalipun lo mikir mau
Rapat berlangsung dengan suasana mencekam. Proposal yang diajukan mentah-mentah ditolak oleh Tristan, disuruh kerjakan ulang, revisi, dan tidak ada kerjasama di atas kertas. Jake sebagai sekretaris hanya bisa menghela nafas. Tidak bisa memukul kepala Tristan, karena sadar jabatan. Tidak berbeda jauh dari Jake. Keadaan Rossa pun terlihat mengenaskan. Sejak siang dia tidak bisa makan, disuruh ini dan di itu. Memang jadi budak corporate harus seperti ini ya? Rossa membantin. Dia benar-benar kesal setengah mati pada Tristan yang mukanya tidak bisa di ajak kerja sama. Kalo mau buat kerjaan, gak gini juga dong ceritanya. Rossa tau job desknya, dan ini bukan salah satunya. Bahkan saat matahari sudah tumbang ke peraduannya, disinilah Rossa masih mengumpati sosok yang sejak tadi membuatnya bekerja. Dia terjebak di kantor. Mengerjakan ulang laporan keuangan, dan revisi proposal yang jelas-jelas bukan kerjaannya. Gustin yang terakhir bersamanya. Itu pun dia sudah mengemasi barang-bar
“Gue butuh duit” “Berapa?” “200 juta.” “Buat apa lagi emang?” Tristan bertanya datar. “Buat modal, emang buat apa lagi?” “Ntar di transfer sama Jake.” “Okey. Jangan lewat jam 3 ya.” Rossa menatap meja Jake yang kosong. Dia harus laporan juga pada Tristan. Mumpung teman sekantornya lagi pada makan siang, dia lekas bergegas. Sedikit ragu untuk mengetuk. Tapi 5 centi sebelum tangannya mengetuk, pintu itu sudah terbuka dari dalam. Otomatis Rossa mundur memberi jalan. Seorang wanita yang usianya berkisar 30-an jika dia tidak salah, menatapnya beberapa menit. Lalu tersenyum sebentar dan pergi begitu saja. Aura dari dalam ruangan sedikit tidak bersahabat. Rossa hendak melangkah masuk, namun berhenti sejenak karena Jake juga hendak keluar. “Ada apa, Ros?” “Ehh, gue mau laporan. Pak Tristan ada di dalam?” Mumpung sosok itu sedang di kamar mandi, Jake menarik tangan Ros keluar dan menutup pintu. Kasihan Ros jika harus menjadi pelampiasan nanti. “Loh, kenapa?” “Nanti a
Rossa menghela nafas. Padahal masih pagi. Dia menutup pintu setelah menandatangani bukti penerimaan paket. Dan lihat, kamarnya sudah hampir penuh dengan kotak kiriman Tristan. “Kali ini apa lagi?” Tas Dior yang baru saja rilis. Rossa menarik nafas dalam, mengeluarkan tas harga ratusan juta itu dan menatap catatan di dalam kotak. Isinya lagi-lagi sama. Permintaan maaf Tristan. Padahal rasa kesalnya sudah hilang, tapi karena setiap hari di kirimi hadiah mulu, Rossa jadi kesal lagi. Dia menatap pesan WA yang baru saja masuk. Kebetulan Tristan masih dinas di luar kota, dan itu memberikan kebebasan untuknya. Rossa mengabaikan pesan itu dan segera mengenakan pakaian trainingnya. Hari minggu seperti ini enaknya jogging, apalagi dia sudah cukup lama tidak olahraga karena sibuk mengejar urusan duniawi. Tas itu Rossa masukkan kembali ke dalam kotak. Dia tidak pernah menggunakan hadiah itu sama-sekali. Bukannya tidak suka, jangan ditanya. Itu barang branded semua, tapi Rossa sadar di
Tristan POVJujur, aku sangat gugup. Sejak Rossa approved lamaranku, aku sungguh dilema. Awalnya dia memang menolak, dan itu sudah membuatku hampir gila. Sungguh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga tiba-tiba pergi ke Bandung, ke rumah mbak Eva.Entah apa yang mereka sedang bicarakan di sana. Namun aku bersyukur karena Rossa berubah pikiran secara mendadak. Sebuah kemajuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.“Kamu gugup, nak?”Suara mama membuyarkan lamunanku di depan cermin. Aku berbalik dan melihat siapa yang datang. Mama mengenakan baju putih lengan pendek, rambutnya sangat indah. Dia tampil berbeda hari ini. Benar-benar membuatku ingin memeluknya.“Anak mama sudah besar sekarang. Pastikan kau tidak membuat menantu mama menangis ya, atau gak, kamu bakal tau rasa. Udah, mama mau lihat calon menantu mama dulu. Dia pasti sangat cantik sekali.”“Tristan ikut mah.”“Eits, gak boleh. Kamu harus tetap disini, oh ya, papamu bakal datang sebentar lagi. Apapun yang sudah terja
Jake POVEntah sudah kesekian kalinya Rebecca tidak menjawab panggilanku. Luar biasa, malam setelah kami bertengkar, dia sangat enteng mengatakan tidak bersalah dan menghilang begitu saja. Hingga kini dia mengabaikan permintaan maafku.“Kau dengar apa yang aku katakan, Jake?”Suara bariton Tristan memecah lamunan. Aku mengangguk walau sebenarnya tidak tahu apa yang sejak tadi dia bicarakan.“Aku tidak ingin mengamuk karena kau salah memesan, Jake. Apa yang salah, aku tahu perhatianmu sedang tidak disini.”Aku menghela nafas, kali ini memilih untuk duduk di sofa dan merebahkan punggungku. Tristan memang atasanku di kantor, tapi dia juga sahabatku. Kami bertemu di kampus, sangat tidak berkesan sekali sebenarnya. Namun itu yang membuat kami dekat.Walaupun aku selalu berakhir menjadi babunya. Well, tidak masalah sebenarnya, karena Tristan itu manusia yang bertanggung jawab dan saling menghargai. Dia meletakkan botol dingin di atas meja dan ikut duduk.“Apa ini masalah keluargamu?”“Bukan
Rossa POVTerakhir, aku berfikir bahwa kehidupan anak yatim piatu sepertiku akan berakhir tragis. Namun tidak saat aku menuliskan bagian ini. Beberapa hari yang lalu, usai semua urusan diputuskan di pengadilan. Tristan dengan tidak sabaran langsung melamarku.Dan entah aku yang terlalu senang, tolakan itu aku TOLAK. Membuat Tristan uring-uringan dan sedih. Sejujurnya aku tidak tega melihat wajahnya, namun aku masih tidak siap untuk memulai kehidupan keluarga.Walaupun aku menginginkannya. Hari ini aku sedang pergi ke rumah kakakku, melihat bagaimana kondisinya. Jangan lupakan ponakanku yang sangat bawel dan merepet karena aku jarang berkunjung.“Jadi, kenapa kau menolaknya?”Eva meletakkan segelas coklat hangat, menemani pembicaraan sore kami. Apalagi di balik kaca, hujan sedang mengguyur kota Bogor. Dan karena apartemen Eva di lantai 5, pemandangan di bawah bisa terlihat jelas.Dia memutuskan pindah ke tempat yang lebih baik, setelah jabatannya naik. Aku memeluknya begitu dia duduk.
Jake menatap Tristan, keadaan di pengadilan sunyi, hanya ada beberapa orang. Keadaan Sasa cukup parah karena kejadian dimana wanita itu hampir kehilangan nyawanya karena Hendrix. Tidak berbeda jauh dengan Jake, Hendrix juga sedang menggenggam tangan Rossa yang jauh lebih diam dibanding tadi pagi. Dia khawatir jika kembarannya itu masih terbayang dengan kejadian menyeramkan itu. “Kau tidak apa?”Rossa menatap Hendrix, mengangguk singkat walau sebenarnya dia tengah berusaha meredam emosinya. Dia tidak bisa melihat Sasa masih bisa tersenyum mengejek padanya, seolah dia ingin mengatakan bahwa dia menang. Rasa dendam, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, Rossa tidak bisa menjelaskannya. Namun, dia juga merasa sangat sedih. Dia tidak akan merasa puas sampai Sasa dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Juga khawatir yang akan terjadi pada Hendrix dan Tristan. Sebenarnya Rossa curiga, mengapa Sasa tidak menyebutkan dirinya atau Jake? “Semua akan berjalan baik-b
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali
Kabar bahwa Tristan tidak selamat dalam tragedi itu langsung terdengar di telinga Rossa lewat mikrofon yang baru saja tersambung dengan Zaman beberapa menit lalu. Tubuh Rossa hampir saja ambruk jika Hendrix tidak menahannya. Rasanya seperti tidak nyata. Sekeras apapun usaha Rossa bicara pada Jake dan Hendrix untuk mengantarnya, tidak satupun dari mereka yang bersedia. Keduanya diam, tidak mendengarkannya sama-sekali. Air mata Rossa berjatuhan. Ini adalah kabar yang tidak dia inginkan. Walau Burhan dan antek-anteknya dikabarkan tertangkap dalam keadaan bernyawa dan tidak bernyawa. Dadaa Rossa terasa sesak, tidak bisa membayangkan seperti apa Tristan. “Ros…tidak, jangan melakukan hal bodoh. Pagi akan segera tiba dan media akan meliput berita besar ini. Kita juga harus bergegas pergi dari sini jika tidak ingin kena masalah.” “Tidak, aku harus pergi kesana. Aku mohon, Hen, tolong antar aku kesana.” Hendrix menarik nafas panjang dan menatap Jake yang sama kacaunya. Jake ingin menuju
Tristan POV Situasi di dalam kapal tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah sekian lama aku hidup, baru ini aku mempertaruhkan nyawaku secara langsung. Terdengar tembakan dari arah belakang, itu dia, Emilio baru saja melepas peluru terakhirnya. Menghabisi nyawa awak kapal yang menyerang kami beberapa saat lalu. Lampu sudah padam, hanya penerangan samar-samar yang membantuku melihat kemana arah kami berjalan. Hampir 30 menit terjebak di dalam lika-liku menuju inti kapal. Dari percakapan Emilio, kami menuju ruang rahasia tempat dimana Burhan bersembunyi. Kedatangan kami sepertinya sudah diketahui oleh mereka. Sebelum sosok itu menembakku, aku menarik leher bagian belakangnya. Mengarahkan senjata ke arah kepalanya. “Sir, kami suruhan Tn.Lio.” Anggukan Emilio membuatku melepas sosok itu. Dia mengenakan simbol yang sama seperti Emilio. Sejak awal hal itu sudah menarik perhatianku. Entah itu simbol apa, tapi cukup menarik perhatian. “Tris, masuk duluan.” Bergegas aku memasuki sa
Hampir 30 menit Zaman menunggu di mobil, namun tak kunjung melihat kedatangan Tristan. Satria mengawasi sekitar, mereka berada di posisi awal seperti perjanjian. “Zaman, bagaimana ini. Kita sebaiknya bergerak saja, bagaimana jika nanti ada yang mengikuti kita dan habis sudah. Kita berdua bukan petarung jarang dekat yang handal, tadi saja nyawa kita hampir melayang. Selain itu, langit sudah gelap. Burhan tidak kunjung muncul, bisa jadi mereka sudah merencanakan hal ini dari awal.” “Tidak,” Tolak Zaman dengan tegas, “aku yakin Tristan sebentar lagi akan tiba. Dia cukup tangguh.” “Tapi…” “Lihat, itu mereka. Cepat, putar arah mobilnya.” Satria ikut melihat kebelakang dan melihat dua seseorang berjalan tertatih-tatih. Secepat kilat dia berbalik. Ternyata benar bahwa itu adalah Tristan. Mobil mereka melesat sesuai dengan kontrol Rossa ke titik yang sudah ditentukan. Keadaan Tristan cukup parah, pendarahan di perutnya tidak kunjung berhenti. Untungnya Zaman pernah mengikuti komunitas