Tidak ada malam yang tenang bagi Tristan. Karena setiap gelap menghampirinya, dia akan dihantui bayang-bayang gadis yang dia tiduri di club malam itu. Bisa-bisanya, setelah dia bangun pagi dan berniat membersihkan tubuh sebentar. Gadis yang dia cium paginya itu mendadak menghilang. Tidak hanya itu saudaraku, gadis itu juga menyisipkan beberapa lembar uang seratus ribu di atas ranjang yang mereka gunakan untuk bermain malam itu. Jumlahnya sekitar 5, dan itu artinya lima ratus ribu.
Bagaimana tidak terhantui. Harga diri seorang Tristan, lelaki yang sudah diambil keperjakaannya malam itu melayang hingga ke bawah-bawah sekali. Padahal rencananya, dia akan melamar wanita itu langsung, karena sudah mengambil keperjakaannya. Sebenarnya mereka itu fair, karena Tristan juga mengambil keperawanan gadis itu.
Tapi. Demi neptunus, dan demi martabat laki-laki. Itu sungguh menyesakkan baginya. Harga diri Tristan hanya lima ratus ribu? Jadi begitu? Sejak saat itu, Tristan bersumpah akan mencari gadis itu.
Sialnya, selama 5 tahun dia mencari hingga ke pelosok kota Jakarta, tidak ada wujud gadis itu. Tristan hafal betul bagaimana wajah itu, bahkan ukuran branya juga dia hafal. Jangan diragukan lagi seorang Tristan. Dia tidak akan lupa, sampai kapanpun.
“Woi, lo gak kerja apa? Hari ini ada rapat anjir.”
Suara melengking dari luar kamarnya membuat pagi Tristan membuka kedua matanya. Paginya langsung suram. Dia menatap langit-langit kamarnya, dan semuanya kosong. Dia memilih sendiri sejak kejadian di club. Tidak ada wanita yang mampu menarik perhatiannya. Jadi sudah biasa bagi Tristan untuk sendiri. Baginya, sendiri itu sudah mendarah daging.
Dia tidur sendiri, tapi yang bangun berdua.Decakan terdengar jelas di kamarnya saat mengintip adiknya yang juga bangun. Seolah mengatakan ‘hai, selamat pagi, beibeh’. Bukannya tidak ada gadis yang mau menenangkan adik kecilnya itu, tapi Tristan benar-benar kehilangan selera berhubungan dengan wanita.
“Sialan, kalo lo udah bangun, ngomong anjir.”
Pintunya terbuka lebar. Dan sesosok manusia muncul di ambang pintu.
Bahkan, karena tidak punya selera menatap lawan jenis. Tristan sampai menghire Jake—lelaki yang kini menatapnya di ambang pintu–sebagai sekretarisnya di kantor. Jake adalah temannya sejak kuliah, dan melihat wajahnya tiap hari, membuat Tristan ingin muntah.
“Hari ini rapat sama siapa?”
“Pak Wicak, lo lupa?”
“Hmmm…shit.Lo urus dulu dia. Pening kepala gue dengar dia ngomongin putrinya.”
Jake tahu betul hal itu. Pak Wicak memang tertarik dengan sang sahabat, untuk dijadikan menantu maksudnya. Bukan tertarik sesama lelaki. Gey dong kalo gitu. Dan setiap ada rapat, Pak Wicak pasti akan menawarkan putrinya yang lulusan luar negeri itu. Seolah tidak ada lelaki lain saja. Itu membuat putrinya terkesan murahan. Kayak barang di obral-obral.
“Lo masih kepikiran cewek itu?”
“Hmmm.”
“Makanya, itu azab buat lo. Makanya kalo cewek suka sama lo, tolak baik-baik. See? Sekarang lo yang dicampakkan seperti seonggok upil di pagi hari.”
“Sialan lo. Mau gaji lo gue potong?”
Jake terkekeh sambil membuat gerakan mengunci bibirnya. Lalu menghilang dari sana secepat kilat, sebelum bantal yang baru di lempar Tristan mengenai kepalanya.
Tristan menarik nafas dalam, menenangkan adiknya sebentar lalu segera menuju kamar mandi. Tidak menghabiskan banyak waktu, hingga akhirnya dia sudah sempurna dengan balutan jas biru dongker yang melekat sempurna di tubuhnya yang kekar. Berkaca sebentar, Tristan tersenyum lebar. Tidak lupa mengagumi ketampanan diri sendiri.
“Kayaknya, satu-satunya yang gue syukuri punya bokap adalah ketampanan ini. Lo sempurna Tristan, kaya, dan jago juga main di atas ranjang. Sekarang, mari kita jalani kehidupan yang membosankan ini.” Tristan menyemprotkan farfum pada bajunya, dan segera berjalan menuju meja makan.
Selain sekretaris di kantor, Jake ini juga merangkap sebagai babunya. Siap disuruh 24/7. Pintar pula memasak. Apalagi yang kurang kan?
“Makanannya sudah selesai, baginda Raja. Silahkan di santap.”
Masakan Jake memang tidak pernah salah. Waktu dulu mereka ngekos bareng, yang selalu memasak juga Jake. Tapi yang membeli semua kebutuhannya adalah Tristan. Sedikit tidak balance sebenarnya, tapi tidak apa-apa. Tristan tidak pernah kekurangan sumber daya keuangan. Setidaknya itu yang dia syukuri, walaupun tidak pernah merasakan hangatnya sebuah keluarga.
Ayah dan ibunya sudah lama bercerai, dan hidup sendiri-sendiri. Tristan tidak memilih satupun dari mereka. Dia hidup mandiri, tapi dengan dana yang selalu dia terima. Itu lebih menguntungkan, daripada harus melihat kedua orang tuanya yang hidup terpisah.
“Ini rekap data, dan juga investor pendatang di perusahaan. Semuanya udah gue kirim ke email lo.”
“Hmmm”
“Oh iya, hari ini accounting baru juga bakal datang buat interview terakhir. Kalo lo mau ngeliat pegawai baru lo. Ada 3 kandidat yang berhasil ke tahap ini, dua dari mereka bakal gugur. Kalo lo mau ikut ngetes mereka, setidaknya biar kejadian kayak dulu gak keulang lagi.”
Alasan mereka ngehire accounting baru di perusahaan, karena yang lama melakukan penggelapan dana. Padahal Tristan tidak pernah pelit soal kesejahteraan pegawai. Jika pegawainya benar-benar berprestasi, dia tidak segan-segan memberikan tiket liburan ke luar negeri. Atau sebuah kunci mobil baru. Tapi tetap saja namanya manusia, dimana-mana pasti ada saja yang tidak bisa melihat uang.
“Datanya dimana?” seru Tristan. Dia tidak tertarik sebenarnya, tapi kali ini dia tidak mau mengeluarkan uang lagi jika ternyata yang baru juga sama. Tristan butuh seseorang yang bisa dipercaya.
“Wait, gue ambil dulu.”
Tristan masih santai memasukkan sandwich itu ke dalam mulutnya sambil menatap lembaran CV kandidat baru. Tidak ada yang istimewa di lembaran itu. Semua menampilkan bakat, dan juga pengalaman bekerja di perusahaan bonafit sebelumnya.
Tidak sampai saat mata Tristan sampai di lembar ketiga. Dia bahkan terbatuk sambil melotot tidak percaya.
“Lo kenapa? Minum dulu, lo mati kan gak lucu. Ntar sumber keuangan gue ngilang.”
Mata Tristan makin melebar melihat bahwa nama kandidat itu tidak salah dengan ingatannya malam itu. Rosalina Hyunhen, dan nama panggilannya Rosa. Tristan langsung berdiri, mengambil kunci mobilnya.
“Lo kenapa, Tris?”
“Gue mau pergi ke kantor duluan, lo bawa keperluan yang lain.”
“Tumben anjir.”
Langkah Tristan berhenti. Dia berbalik dengan senyuman mengeringan, menatap Jake bangga.
“Akhirnya. Akhirnya Jake. Gue ketemu sama dia lagi. Setelah lima tahun, lo bayangin selama lima tahun gue nyari ke pelosok Jakarta tapi dia seolah di telan bumi. Sekarang, mari kita lihat, apakah sumbangan sperma gue berhasil atau tidak,”seru Tristan bersemangat.
Sedangkan Jake hanya diam, dengan kerutan di wajahnya. Dia mengambil kertas tadi, dan menatap kandidat ketiga yang membuat Tristan heboh di pagi hari. Bahkan mau ke kantor tanpa dia sopiri. Sejenak Jake diam, lalu meletakkan kertas itu. Dia bahkan tidak tahu wajah yang setiap malam disebutkan oleh Tristan saat mabuk. Yang dia tahu, sahabatnya itu sudah gila. Dan dia lebih gila karena mau berteman dengan orang gila. Membuatnya hampir gila juga.
Akhirnya hari ini Rosalina Hyunhe yang kerap dipanggil Rosa itu sudah siap dengan setelan kerjanya. Setelah lima tahun berlalu, dan setelah kejadian malam itu. Sebenarnya saat itu, usia Rosa masih sangat belia. Masih baru lulus kuliah. Untungnya, dia tidak hamil, karena Rosa membeli obat dari apotek usia malam itu.Gak kebayang kalo dia hamil, tapi gak punya suami. Apa kata orang nanti?Dua tahun Rosa jalani sebagai pekerja kasar di kantor yang embel-embelnya kekeluargaan. Lalu dua tahun Rosa mengambil S2nya. Sisa satu tahunnya? Ya benar. Rosa menjadi pengangguran, dan beralih menjadi seorang baby sitter. Meskipun yang dia jaga adalah anak dari saudara perempuannya sendiri.Panjang perjalanan kisah mbaknya. Mulai dari tangis yang tiada henti saat suami mbaknya itu meninggal. Hingga saat ini, mbaknya itu sudah bisa lebih tegar. Eva Hyunhe adalah sosok yang tegar di mata Rosa. Mbaknya itu adalah panutannya. Jadi selama 5 tahun, Rosa menghilang dari peradaban kota Jakarta.Lalu, setelah
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian dimana Rosa menendang aset atasannya itu. Tapi tidak ada surat pemecatan sama-sekali. Membuatnya bertanya-tanya dalam hati, kenapa tidak kunjung mendapat surat itu. Tapi entah apapun alasannya, Rosa tidak peduli. Dia sedang di apartemen sepupunya—Jemimah—sembari menunggu Rafael pulang sekolah, barulah nanti dia kembali.“Lo gak kerja, Ros? Perasaan kemarin lo bilang udah di terima deh,” Jemimah muncul. Keringat memenuhi seluruh wajah, hingga lehernya. Ada beberapa bekas cupang yang dibiarkan terekspos. Tanpa Rosa tanya pun, dia tahu apa yang baru saja dilakukan sepupu laknatnya itu.Seorang pria keluar dari kamar Jemimah terburu-buru.“Gue balik ya, Jem, Ros. Ntar malam jangan lupa mampir ke klub gue, ada party soalnya.”“Iya, babe. Gue datang,” Jemimah beranjak untuk mengantar lelaki bernama Luis itu. “Ajak Rosa juga.”“Iya.”Teriakan itu berakhir dengan pintu apartemen yang ditutup. Jemimah kembali duduk di sofa, merentangkan tangan sambil ter
Setelah insiden Tristan datang ke apartemennya. Rosa tidak lagi mendapatkan pesan serta gangguan. Sudah seminggu juga Rosa tidak bertemu dengan atasannya. Pagi ini dia sudah bekerja dengan tenang. Jake menjelaskan beberapa job desknya. Singkatnya, hari ini Rosa sedang di training.“Lo ada pertanyaan ga?”“Sejauh ini semua yang berkaitan dengan tugas, gue paham. But, kenapa ada beberapa bagian yang janggal ya?”Jake memang menyuruhnya untuk bicara informal saja. Kantor mereka memang menerapkannya. Tapi terkecuali dengan bos mereka. The one and only.Rosa kembali membalik halaman job desk-nya. Ada dua poin yang janggal. Yang pertama, dia harus membuatkan kopi setiap pagi untuk Tristan. Lalu wajib memberikan kabar, apakah dia masih hidup atau tidak. Ini bukan termasuk kerjaannya. Dia bukan OB atau sekretaris. Rosa itu menjabat untuk posisi supervisor, jadi ini sedikit aneh.“Gue juga udah nanya sama bos tadi soal poin ini. Tapi dia bilang itu peraturan baru. Jadi, gue gak punya hak buat
Tidak ada yang membuka percakapan sejak tadi. Rosa diam, menatap atasannya dengan kikuk. Dia memasuki ruangan Tristan sudah lebih dari 15 menit. Tapi tak juga diberi perintah apa-apa. Untungnya dia tidak sendiri. Ada Mbak Lis, salah satu teman se-divisi Rosa. Orangnya baik, tapi suka keceplosan. Padahal mereka baru beberapa kali bertemu, Rosa sudah tahu seperti apa kepribadian wanita beranak satu di sebelahnya itu.“Lis, gue udah ngecek laporannya. Semuanya oke kayak biasa. Gue ada laporan baru, trus nanti jam 12 kita bakal ketemu klien.”“Okey bos. Saya sudah bisa pergi?”Tanpa melihat, Tristan mengangguk. Lis langsung tersenyum sumringah. Tapi sebelum menginjakkan kaki keluar dari sana, Lis menatap ke arah Rosa lebih dulu.“Lo semangat ya, semoga mood-nya gak berubah.” Bisik Lis menyemangati Rosa. Barulah kabur dari ruangan itu.Kini tinggal Rosa. Suasananya mulai berubah aneh. Ada aura-aura menggelikan, sekaligus horor. Bahkan saking parnonya, bulu-bulu tangannya sudah berdiri. Ro
Rosa menarik kopernya, dan berhenti di depan pintu salah satu unit. Akhirnya setelah sekian purnama terlewati, hari demi hari, Rossa bisa juga meninggalkan tempat tinggal kumuhnya itu. Tidak ada acara sedih-sedihan, malah setelah mendapat izin, Rossa langsung mengepak barangnya yang tidak seberapa. Hanya ada 2 koper besar, dan 1 koper kecil. Sesimple itu kehidupan Rossa.Dia selalu menerapkan hidup minimalis.Padahal. Karena tidak ada modal saja untuk beli ini itu. Makan di mall aja cuman bisa sesekali. Lain lagi dengan kebutuhan skincare yang mahalnya makin tidak ngotak, dan kebutuhan wanita pada umumnya.Dengan kode pintu yang sudah Rossa dapatkan tadi, dia berhasil masuk. Hal pertama yang terlihat adalah gelap. Ruangannya sepi, tapi pemandangan kaca besar dengan view pemandangan kota langsung membuat Rossa tersenyum lebar.Untung bibirnya gak robek.Rossa mencari saklar, dan lampu besar yang ada di tengah-tengah langsung bersinar mengalahkan terangnya matahari.“Wah, ini bisa pembo
Tristan sudah berjam-jam menatap layar laptop di depannya tanpa mengetik apapun. Sampai-sampai lehernya pegal. Tidak pernah dia bergelut di kamarnya sendiri jika sendirian di malam hari, biasanya akan pergi ke klub, atau sekedar minum dengan temannya. Tapi khusus malam ini, dia betah di rumah karena sudah ada seseorang. SEORANG TRISTAN TIDAK KELUAR DI MALAM HARI. BAYANGKAN.Apa ini namanya, playboy sudah tobat ya?Perkara kolor tadi, Tristan tidak bisa berkutik karena Rossa mengamuk parah. Nyalinya menciut. Sejak tadi dia tidak mendengar apa-apa. Melirik ponselnya, ternyata sudah pukul 11 malam. Tristan sepertinya akan di rumah terus untuk beberapa hari ini. Dia harus mengatur strategi lagi untuk menjebak Rossa.Mangsa sudah di dalam kandang. Sekarang tinggal memikirkan strategi selanjutnya.Tristan hendak tidur, tapi mendengar suara pintu terbuka. Buru-buru dia melompat dari ranjang, bahkan hampir terjatuh saking hebohnya. Begitu pintunya terbuka, dan menatap sosok di depan, mulut T
“Tapi habis gue makan.”Tristan yang sudah bersiap ingin melancarkan aksinya langsung berhenti. Ditatapnya lagi wajah Rossa yang sudah memelas dan kasihan. Dia tidak setega itu. Pada akhirnya mereka makan bersama. Tristan makan sangat cepat, dan kini dia sudah kembali dari kamar mandi. Mulutnya sudah fress.Sambil menatap Rosa yang masih makan, Tristan sudah memikirkan akan memanfaatkan kesempatan ini dengan gaya apa. One kiss but it’s long. Bahkan otaknya sudah berkelana kemana-mana, sampai tidak sadar senyum-senyum sendiri. Rossa bergidik ngeri melihat Tristan yang senyum-senyum sendiri sambil melihatnya. Bulu kuduknya sampe berdiri. Tapi demi apapun, kini Rossa mulai memikirkan alasan untuk kabur dan tidak memberikan permintaan Tristan. Perutnya sudah kenyang, tapi Rossa sengaja berpura-pura masih makan. Setidaknya itu bisa mengulur waktu. “Gue mau ke toilet dulu.” Segera Rosa bangkit, tapi tangannya di cekat. Tristan menatapnya dengan tajam. “Jangan sekalipun lo mikir mau
Rapat berlangsung dengan suasana mencekam. Proposal yang diajukan mentah-mentah ditolak oleh Tristan, disuruh kerjakan ulang, revisi, dan tidak ada kerjasama di atas kertas. Jake sebagai sekretaris hanya bisa menghela nafas. Tidak bisa memukul kepala Tristan, karena sadar jabatan. Tidak berbeda jauh dari Jake. Keadaan Rossa pun terlihat mengenaskan. Sejak siang dia tidak bisa makan, disuruh ini dan di itu. Memang jadi budak corporate harus seperti ini ya? Rossa membantin. Dia benar-benar kesal setengah mati pada Tristan yang mukanya tidak bisa di ajak kerja sama. Kalo mau buat kerjaan, gak gini juga dong ceritanya. Rossa tau job desknya, dan ini bukan salah satunya. Bahkan saat matahari sudah tumbang ke peraduannya, disinilah Rossa masih mengumpati sosok yang sejak tadi membuatnya bekerja. Dia terjebak di kantor. Mengerjakan ulang laporan keuangan, dan revisi proposal yang jelas-jelas bukan kerjaannya. Gustin yang terakhir bersamanya. Itu pun dia sudah mengemasi barang-bar
Tristan POVJujur, aku sangat gugup. Sejak Rossa approved lamaranku, aku sungguh dilema. Awalnya dia memang menolak, dan itu sudah membuatku hampir gila. Sungguh. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga tiba-tiba pergi ke Bandung, ke rumah mbak Eva.Entah apa yang mereka sedang bicarakan di sana. Namun aku bersyukur karena Rossa berubah pikiran secara mendadak. Sebuah kemajuan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.“Kamu gugup, nak?”Suara mama membuyarkan lamunanku di depan cermin. Aku berbalik dan melihat siapa yang datang. Mama mengenakan baju putih lengan pendek, rambutnya sangat indah. Dia tampil berbeda hari ini. Benar-benar membuatku ingin memeluknya.“Anak mama sudah besar sekarang. Pastikan kau tidak membuat menantu mama menangis ya, atau gak, kamu bakal tau rasa. Udah, mama mau lihat calon menantu mama dulu. Dia pasti sangat cantik sekali.”“Tristan ikut mah.”“Eits, gak boleh. Kamu harus tetap disini, oh ya, papamu bakal datang sebentar lagi. Apapun yang sudah terja
Jake POVEntah sudah kesekian kalinya Rebecca tidak menjawab panggilanku. Luar biasa, malam setelah kami bertengkar, dia sangat enteng mengatakan tidak bersalah dan menghilang begitu saja. Hingga kini dia mengabaikan permintaan maafku.“Kau dengar apa yang aku katakan, Jake?”Suara bariton Tristan memecah lamunan. Aku mengangguk walau sebenarnya tidak tahu apa yang sejak tadi dia bicarakan.“Aku tidak ingin mengamuk karena kau salah memesan, Jake. Apa yang salah, aku tahu perhatianmu sedang tidak disini.”Aku menghela nafas, kali ini memilih untuk duduk di sofa dan merebahkan punggungku. Tristan memang atasanku di kantor, tapi dia juga sahabatku. Kami bertemu di kampus, sangat tidak berkesan sekali sebenarnya. Namun itu yang membuat kami dekat.Walaupun aku selalu berakhir menjadi babunya. Well, tidak masalah sebenarnya, karena Tristan itu manusia yang bertanggung jawab dan saling menghargai. Dia meletakkan botol dingin di atas meja dan ikut duduk.“Apa ini masalah keluargamu?”“Bukan
Rossa POVTerakhir, aku berfikir bahwa kehidupan anak yatim piatu sepertiku akan berakhir tragis. Namun tidak saat aku menuliskan bagian ini. Beberapa hari yang lalu, usai semua urusan diputuskan di pengadilan. Tristan dengan tidak sabaran langsung melamarku.Dan entah aku yang terlalu senang, tolakan itu aku TOLAK. Membuat Tristan uring-uringan dan sedih. Sejujurnya aku tidak tega melihat wajahnya, namun aku masih tidak siap untuk memulai kehidupan keluarga.Walaupun aku menginginkannya. Hari ini aku sedang pergi ke rumah kakakku, melihat bagaimana kondisinya. Jangan lupakan ponakanku yang sangat bawel dan merepet karena aku jarang berkunjung.“Jadi, kenapa kau menolaknya?”Eva meletakkan segelas coklat hangat, menemani pembicaraan sore kami. Apalagi di balik kaca, hujan sedang mengguyur kota Bogor. Dan karena apartemen Eva di lantai 5, pemandangan di bawah bisa terlihat jelas.Dia memutuskan pindah ke tempat yang lebih baik, setelah jabatannya naik. Aku memeluknya begitu dia duduk.
Jake menatap Tristan, keadaan di pengadilan sunyi, hanya ada beberapa orang. Keadaan Sasa cukup parah karena kejadian dimana wanita itu hampir kehilangan nyawanya karena Hendrix. Tidak berbeda jauh dengan Jake, Hendrix juga sedang menggenggam tangan Rossa yang jauh lebih diam dibanding tadi pagi. Dia khawatir jika kembarannya itu masih terbayang dengan kejadian menyeramkan itu. “Kau tidak apa?”Rossa menatap Hendrix, mengangguk singkat walau sebenarnya dia tengah berusaha meredam emosinya. Dia tidak bisa melihat Sasa masih bisa tersenyum mengejek padanya, seolah dia ingin mengatakan bahwa dia menang. Rasa dendam, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk menjadi satu, Rossa tidak bisa menjelaskannya. Namun, dia juga merasa sangat sedih. Dia tidak akan merasa puas sampai Sasa dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Juga khawatir yang akan terjadi pada Hendrix dan Tristan. Sebenarnya Rossa curiga, mengapa Sasa tidak menyebutkan dirinya atau Jake? “Semua akan berjalan baik-b
“Kita berpisah saja, Ros.”Rossa mengalihkan perhatian pada Hendrix yang berdiri diambang pintu. Kedua tangan kembarannya itu penuh dengan kantongan paper bag dan beberapa bucket buah. Wajahnya tidak usah dipertanyakan. Masam dan kesal melihat kelakuan kedua insan yang bisa jadi jika dia tidak datang, akan berakhir dengan adegan panas. Tristan menutupi Rossa dan tersenyum kikuk. “Maaf adik ipar, letakkan saja barang-barangnya disana.”Walau masih kesal, Hendrix memilih untuk menarik nafas dalam baru meletakkan semua barang-barang. Hingga beberapa menit kemudian, setelah posisi kedua manusia itu tidak lagi haram, barulah dia duduk dan melempar bag untuk Rossa. “Kita berpisah saja, aku tidak akan tahan melihat kelakuan laknat kalian berdua.”“Tapi situasi masih…”“Aku tidak peduli, tapi jangan hamil sampai dia menikahimu, Ros. Bisa jadi dia meninggalkanmu saat hamil. Aku tidak mau menjadi pelampiasan.”Tristan terpelongo, dia tidak akan pernah meninggalkan Rossa. Bahkan jika wanitany
Rossa berlari berhambur air mata, memeluk sosok yang berdiri penuh dengan luka di hadapannya. Tiada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Nafas Rossa tersengal-sengal, menghirup udara pun terasa sulit baginya. Pelukan erat membuatnya merasa nyaman. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, keinginan Rossa untuk melihat Tristan. Lelaki itu sudah berada di Rumah Sakit, bisa bertahan walau wajahnya dipenuhi dengan luka. “Maaf, kamu pasti sangat khawatir.” “Dia hampir ikut menyusulmu juga, Trist. Kamu benar-benar membuat kami semua khawatir.” Ujar Zaman, setelah pelukan kedua insan itu lepas. “Kau mencintai dan dicintai wanita yang tepat, Trist.” Ruangan kembali hening, Tristan menatap wajah Rossa dan baru menyadari jika kekasihnya itu terluka. Segera dia mengambil pergelangan tangannya, memeriksa setiap jengkal kulit halus itu. Jantungnya berdebar melihat luka-luka yang berusaha ditutupi. “Kamu terluka. Maaf.” Hampir saja Rossa menarik tangannya saat Tristan menciumnya dan kembali
Kabar bahwa Tristan tidak selamat dalam tragedi itu langsung terdengar di telinga Rossa lewat mikrofon yang baru saja tersambung dengan Zaman beberapa menit lalu. Tubuh Rossa hampir saja ambruk jika Hendrix tidak menahannya. Rasanya seperti tidak nyata. Sekeras apapun usaha Rossa bicara pada Jake dan Hendrix untuk mengantarnya, tidak satupun dari mereka yang bersedia. Keduanya diam, tidak mendengarkannya sama-sekali. Air mata Rossa berjatuhan. Ini adalah kabar yang tidak dia inginkan. Walau Burhan dan antek-anteknya dikabarkan tertangkap dalam keadaan bernyawa dan tidak bernyawa. Dadaa Rossa terasa sesak, tidak bisa membayangkan seperti apa Tristan. “Ros…tidak, jangan melakukan hal bodoh. Pagi akan segera tiba dan media akan meliput berita besar ini. Kita juga harus bergegas pergi dari sini jika tidak ingin kena masalah.” “Tidak, aku harus pergi kesana. Aku mohon, Hen, tolong antar aku kesana.” Hendrix menarik nafas panjang dan menatap Jake yang sama kacaunya. Jake ingin menuju
Tristan POV Situasi di dalam kapal tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah sekian lama aku hidup, baru ini aku mempertaruhkan nyawaku secara langsung. Terdengar tembakan dari arah belakang, itu dia, Emilio baru saja melepas peluru terakhirnya. Menghabisi nyawa awak kapal yang menyerang kami beberapa saat lalu. Lampu sudah padam, hanya penerangan samar-samar yang membantuku melihat kemana arah kami berjalan. Hampir 30 menit terjebak di dalam lika-liku menuju inti kapal. Dari percakapan Emilio, kami menuju ruang rahasia tempat dimana Burhan bersembunyi. Kedatangan kami sepertinya sudah diketahui oleh mereka. Sebelum sosok itu menembakku, aku menarik leher bagian belakangnya. Mengarahkan senjata ke arah kepalanya. “Sir, kami suruhan Tn.Lio.” Anggukan Emilio membuatku melepas sosok itu. Dia mengenakan simbol yang sama seperti Emilio. Sejak awal hal itu sudah menarik perhatianku. Entah itu simbol apa, tapi cukup menarik perhatian. “Tris, masuk duluan.” Bergegas aku memasuki sa
Hampir 30 menit Zaman menunggu di mobil, namun tak kunjung melihat kedatangan Tristan. Satria mengawasi sekitar, mereka berada di posisi awal seperti perjanjian. “Zaman, bagaimana ini. Kita sebaiknya bergerak saja, bagaimana jika nanti ada yang mengikuti kita dan habis sudah. Kita berdua bukan petarung jarang dekat yang handal, tadi saja nyawa kita hampir melayang. Selain itu, langit sudah gelap. Burhan tidak kunjung muncul, bisa jadi mereka sudah merencanakan hal ini dari awal.” “Tidak,” Tolak Zaman dengan tegas, “aku yakin Tristan sebentar lagi akan tiba. Dia cukup tangguh.” “Tapi…” “Lihat, itu mereka. Cepat, putar arah mobilnya.” Satria ikut melihat kebelakang dan melihat dua seseorang berjalan tertatih-tatih. Secepat kilat dia berbalik. Ternyata benar bahwa itu adalah Tristan. Mobil mereka melesat sesuai dengan kontrol Rossa ke titik yang sudah ditentukan. Keadaan Tristan cukup parah, pendarahan di perutnya tidak kunjung berhenti. Untungnya Zaman pernah mengikuti komunitas