"Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?"
Lama tidak bertemu, membuat Nindy hampir saja lupa bagaimana rupa pria yang pernah menjalin hubungan 3 tahun dengannya ini. Setelah setahun menahan keinginan mencaritahu kabar pria itu, Nindy sedikit pangling. Faiz yang dulu terlihat tampan, murah senyum, kini menjelma menjadi pria dingin. Belum lagi, keberadaan kantong mata pria itu yang sedikit menghitam, yang tidak pernah Nindy temukan dulu. Namun, teringat kembali keperluannya yang sudah mendesak… ia menolak untuk bernostalgia. "Aku tidak ingin berbasa-basi. Seperti yang sudah aku katakan padamu lewat handphone semalam, apa kamu sanggup?" Semalam, ketika berpamitan pada ibu untuk mencari pinjaman, Faiz lah orang yang Nindy tuju. Wanita itu juga telah berterus terang, jika ia bersedia menjadi pengasuh anak sang mantan, jika Faiz bisa langsung membayar gajinya di muka. Ia akan membayarnya dengan dicicil, dipotong dari setengah gajinya yang telah digelontorkan lebih dulu untuk biaya operasi sang ayah. "Aku sanggup. Bahkan aku bisa memberikan uang itu tanpa mengganggu gaji kamu setiap bulannya." Nindy hanya tersenyum tipis melihat keangkuhan Faiz. Uang ratusan juta ternyata tidak ada apa-apanya bagi orang kaya seperti pria itu. "Hidupmu pasti senang sekali. Uang ratusan juta, seperti ratusan ribu bagimu,” sindirnya. “Syukurlah jika pernikahanmu dengan wanita yang setara itu membawa kebahagiaan.” Senyum tipis, tak kalah sinis terbit dari bibir pria itu. “Jangan bawa-bawa pernikahanku.” Akan tetapi, tatapan pria itu kemudian berubah sedikit melembut. “Aku tau kamu terluka kala itu. Maaf, karena aku tidak bisa menolak keinginan orang tuaku.” Helaan napas terdengar dari Nindy. Dulu, mungkin ia mengidamkan kata itu terucap dari bibir Faiz. Namun kini, mendengar pria itu berujar maaf justru membuatnya kesal. Ditambah, nada bicara pria itu yang selah terpaksa mengatakannya… berbanding terbalik dengan ekspresi pria itu. "Tidak perlu minta maaf. Itu terjadi sudah satu tahun yang lalu. Rasanya sudah tidak pas jika minta maaf sekarang. Yang lalu biarlah berlalu." Ia melipat kedua tangannya di dada, lalu menatap mantap ke arah Faiz. “Kapan aku mulai bisa bekerja?" "Lebih cepat lebih baik. Sekarang aku akan transfer uang yang kamu butuhkan untuk operasi ayah." *** "Kamu masih belum menjawab pertanyaan ibu. Dari siapa kamu meminjam uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat? Yang kamu pinjam itu ratusan juta, Nin. Bukan hanya sekedar puluhan atau jutaan saja." Sejak Nindy pamit keluar untuk cari pinjaman yang ternyata membuahkan hasil, Lita tak henti memberondongnya pertanyaan. Meskipun sekarang suaminya sudah pindah ke ruang perawatan karena operasi berjalan lancar, Lita masih penasaran. "Ada, Bu. Teman kuliah aku yang sekarang jadi pengusaha. Makanya uang segitu bagi dia adalah uang kecil. Karena uang itu uang pinjaman, sekarang aku harus bekerja untuk melunasinya, Bu.” Kemudian, Nindy menunduk sejenak karena sedikit takut membayangkan reaksi sang ibu. “Sekaligus… aku mau bilang sama ibu kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan, menjadi pengasuh anak temanku itu.” Ekspresi terkejut terlihat dari wajah Lita. Namun, alih-alih marah… mata wanita tua itu justru berkaca-kaca. “Jadi, kamu rela jadi pengasuh bayi untuk biaya pengobatan Ayah, Nin?” “Maaf ya, Bu, kalau pekerjaanku belum sesuai seperti mau Ibu. Fokus aku sekarang untuk bayar hutang saja dulu. Anggaplah pekerjaan aku saat ini sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi nantinya." Menahan air matanya jatuh, Lita hanya bisa mengangguk. Yang terpenting bagi semua saat ini adalah kesehatan Roni. Keesokan harinya, Nindy sudah bersiap dan memesan taksi dari rumah. Semalam ia sudah berpamitan pada ibu dan adiknya yang berjaga di rumah sakit. Entah keputusannya salah atau benar, tetapi ia niatkan demi kesembuhan ayahnya. Meskipun harus membuka luka lama dengan kembali berhubungan dengan mantan kekasihnya. Nindy dengan sebuah tas tenteng yang terisi penuh, menunggu di depan pintu dengan penuh debar. Tak lama, suara langkah tegas terdengar dan pintu terbuka. Senyuman hangat pelayan wanita menyambut kedatangannya. “Silakan masuk, Mbak Nindy. Tuan Faiz sudah menunggu di kamar Arelia.” Nindy mengangguk sopan. “Terima kasih, Bi.” Rumah pria itu ternyata begitu megah. Bahkan, kamar ‘pembantu’ yang ia tempati kini, lebih mewah dan luas dibanding kamarnya di rumah. “Nah, ini kamar Mbak,” tunjuk pelayan wanita itu ke pintu kamar Nindy yang terbuka. “Yang di sebelah itu, kamarnya Non Arelia. Tuan Faiz sedang menidurinya.” Kembali, anggukan diberikan Nindy. Usai memasuki rumah mewah ini, ia merasakan hal aneh. “Rumah sebesar ini kenapa sepi sekali?” tanya Nindy pada pelayan. “Di sini hanya ada dua pelayan, yang saat ini sedang sibuk menyiapkan makanan menyambut Mbak.” Kening Nindy mengerut dalam. “Menyambut? Saya hanya pengasuh, seharusnya tidak perlu repot menyiapkan penyambutan, Bi.” Pelayan itu tersenyum, “Kami hanya menuruti perkataan Tuan, Mbak,” akunya yang semakin membuat Nindy bingung. “Lalu istri Tuan Faiz?” tanya Nindy lagi. “Nyonya Sela sedang tidak ada di rumah. Beliau sedang berlibur, karena sehabis melahirkan terkena baby blues.” Kini, bukan hanya satu pertanyaan yang terbersit di pikiran Nindy, tetapi… banyak. Sayang, belum sempat ia mengajukan tanya untuk menjawab rasa penasarannya… pelayan itu sudah keburu pergi karena kedatangan Faiz. “Kamu sudah datang?” sapa Faiz, terlihat berbasa-basi. Nindy mengangguk, lalu memindai penampilan Faiz. Sedikit banyak, ia mulai menarik Kesimpulan… jika kantung mata pria itu mungkin saja disebabkan karena ia kelelahan mengurus semua sendiri. Istrinya berlibur, sedangkan ada bayi yang harus mereka urus. Sedikitnya, Nindy mulai iba. Akan tetapi, sebelum perasaan itu semakin membesar, buru-buru ia tangkal perasaan kasihan itu. Pikirnya, setahun ini saja Faiz tidak mengasihani ia ‘yang terbuang’. Lantas, untuk apa ia mengasihani pria yang punya kehidupan jauh lebih baik darinya itu? Karena tidak ada kalimat lagi dari bibir Nindy, Faiz kembali berujar, “Anakku baru saja tidur. Jadi kamu bisa istirahat dulu." “Terima kasih.” Nindy bersiap memasuki kamarnya. Akan tetapi, ia berhenti lalu kembali menatap Faiz dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku tidak tau alasanmu menyuruh pelayan menyiapkan makanan penyambutan, tapi… kamu tidak perlu melakukannya. Aku hanya pengasuh, bukan orang penting yang harus kamu sambut kedatangannya.”Tidak terasa Nindy sudah bekerja sebagai pengasuh bayi dari mantan kekasihnya itu selama satu pekan.Hari ke hari terasa berat bagi Nindy. Sebab, setiap hari ia harus bertemu dengan Faiz, meskipun hanya di setiap pagi dan malam hari, ketika pria itu akan pergi dan pulang kerja saja. Seberapa pun Nindy menyiapkan tembok tinggi untuk membentengi hatinya, kenyataannya… hati dan perasaan memang tidak bisa berbohong. Ia selalu merindukan saat-saat bersama Faiz dulu. "Arel sudah tidur?" Nindy mengerjap, lamunannya langsung terputus ketika mendengar suara Faiz. "Baru saja tidur," sahutnya ketika dilihat pria yang baru saja pulang kerja itu sudah lebih dulu memasuki kamar sang anak."Dia tidak rewel, kan?" tanya pria itu, masih menatap ke arah Arelia yang tertidur lelap."Namanya juga bayi, kalau rewel pun itu hal biasa terjadi."Faiz tersenyum. Sebuah senyum yang menyiratkan perasaan aneh tersendiri untuk Nindy.Entahlah, mungkin karena pernah mengenal baik Faiz selama 3 tahun, Nindy ja
"Baik, Nyonya. Saya akan ingat semua pesan Nyonya."Nindy menutup perbincangan empat mata dengan ibu mertua Faiz dengan penuh hormat. Hampir tiga puluh menit ia mendapati ceramah dari wanita yang sangat perfeksionis itu.Namun, Nindy mencoba mengerti. Bagaimana pun, Arelia adalah cucu satu-satunya mereka. Dan kekhawatiran wanita itu pada cucunya adalah hal yang wajar."Kalian berbicara apa saja tadi?" tanya Faiz ketika Nindy kembali masuk ke dalam rumah setelah mengantar kepulangan dua mertuanya."Kekhawatiran ibu terhadap anak dan cucunya. Hal yang wajar," seloroh Nindy santai.Kening pria itu berkerut. "Tidak ada yang lain?" Ada setitik kekhawatiran yang terdengar dari kalimatnya."Yang lain?" Nindy mengangkat sebelah alisnya. "Jangan khawatir, tidak mungkin aku mengungkapkan siapa aku pada ibu mertuamu. Aku bekerja di sini karena aku punya hutang, bukan untuk merusak rumah tangga orang lain."Setelahnya, Nindy melangkah melewati Faiz, menuju kamarnya.Namun, tak menyerah begitu saj
Setelah cuti sehari, Nindy sudah kembali lagi ke rumah Faiz.Perasaannya yang mulai goyah kemarin, perlahan kuat kembali—meski tentu saja sikap dinginnya tak bisa seutuhnya balik lagi.Seperti saat ini, alih-alih masa bodoh karena Faiz dan Sela belum pulang kendati sudah lewat pukul 10 malam lewat, Nindy justru khawatir. Terlebih, pada Faiz yang tidak biasa pulang larut, berbeda dengan Sela.“Tidak biasanya dia tidak memberi kabar.”Tidak ada satu pun telepon atau pesan yang dikirimkan Faiz padanya membuat kekhawatiran wanita itu semakin besar.Sejak komunikasi mereka mencair lagi, Nindy memang sudah terbiasa menyambut kepulangan Faiz di kamar Arelia. Namun kali ini, ia menunggu kepulangan Faiz dengan perasaan gelisah.Bukan takut akan keduanya pergi bersama, tetapi takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Beruntung, ketika baru saja ia hendak menelepon pria itu, terdengar suara gerbang dan deru mobil memasuki rumah.Nindy segera keluar dari kamar untuk melihat."Lho, kamu belum tidur
Nindy menggelengkan kepalanya perlahan sambil tertunduk. Kesadaran masih bisa mengendalikan sesuatu yang menggebu dari rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya itu. Meski ada rasa takut, entah kenapa menolak dengan tegas pun tidak ingin dia lakukan."Jangan berbuat lebih jauh, aku takut.""Apa yang kamu takutkan? Sela tidak akan melihat kita."Faiz mencoba untuk kembali mendekat dan meraih bibir Nindy. Namun dengan cepat Nindy menahan tubuh Faiz yang sudah merangkulnya dalam pelukan."Jangan mengujiku, Iz. Aku hanya wanita biasa. Aku masih menaruh hati padamu, aku tidak ingin tergoda. Statusmu adalah suami dari wanita lain. Ikatan pernikahan itu suci, apalagi ada anak diantara kalian. Aku tidak bisa di posisi seperti ini. Kamu jangan menggoyahkanku.""Pernikahan itu suci jika keduanya saling mencintai. Kalau saling membenci, bagaimana bisa suci jika diantara kami hanyalah perasaan kebencian saat bersama. Ikutilah kata hati kamu, Nin. Jangan mengelak. Karena itu juga yang sekarang
Malam panas pun berlangsung, Nindy dan Faiz tenggelam dalam suasana syahdu yang mereka ciptakan untuk melepaskan kerinduan yang tertidur selama setahun lebih itu.Untuk kali pertamanya, Nindy melepaskan mahkota yang ia jaga hanya untuk suami masa depan. Meski begitu, ia tetap menyerahkannya pada Faiz karena memang Faiz lah yang ia inginkan untuk menjadi pasangan hidup selamanya.Sakit yang berlangsung beberapa menit itu, kini sudah tergantikan dengan rasa nikmat yang tidak bisa Nindy utarakan dengan kata-kata. Rasa yang hanya bisa dirasakan, bukan manis atau pahit yang bisa diungkapkan."Masih sakit?" tanya Faiz berbisik tanpa menghentikan aktivitasnya.Nindy menggelengkan kepalanya pelan. "Sekarang ..., tidak, tapi masih ada rasa perih ...." jawab Nindy dengan nafas yang tersengal-sengal.Tubuh keduanya begitu basah bak bermandikan air keringat karena aktivitas malam yang berlangsung lama. Nindy tidak menyangka jika akan selama itu, tetapi karena rasa kenikmatan itulah yang membuat N
Selepas liburan sendiri untuk menyenangkan diri setelah melahirkan dan mengalami baby blues. Sela dengan terpaksa, mau tidak mau harus kembali ke rumahnya bersama Faiz, sang suami, hasil dari perjodohan satu tahun yang lalu.Jauh dalam hatinya, ia sama sekali tidak ingin kembali ke rumah itu dan ingin melanjutkan hidupnya sendiri dengan fokus kuliah dan bermain bersama teman-teman sebayanya.Umurnya kini baru memasuki kepala dua, dimana egonya masih tinggi dan fokusnya hanya pada diri sendiri, menyayangi diri sendiri, mencoba hal baru dengan teman-teman kampusnya.Namun kenyataan malah membuatnya harus menjadi istri dari pria asing terpaut 6 tahun lebih tua, yang tidak ia kenal sebelumnya demi kehormatan dan nama baik juga bisnis keluarga.Meskipun sikap Faiz baik, tetapi ia tidak bisa membalas bentuk kebaikan itu. Malah Sela merasa selalu muak dan jijik jika bertemu dengan Faiz.Saat kembali masuk kuliah setelah cuti hamil dan melahirkan, Sela seolah kembali bak seorang perempuan mud
Namun sayangnya, meskipun Sela memohon agar bisa berbicara dengan Gery, tetapi Gery tetap pada pendiriannya dengan tidak mengabulkan keinginan Sela yang amat sederhana itu. Mungkin sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Nindy, yang tiba-tiba saja ditinggal menikah oleh sang kekasih. Bedanya Nindy karena perbedaan status ekonomi dengan Faiz, sedangkan dengan Gery bukan karena hal itu sebab Gery sendiri berasal dari keluarga berada sama seperti Sela, sehingga bisa dikatakan jika mereka masih setara. Itulah yang malah membuat Sela merasa tidak habis pikir sehingga ia lampiaskan dengan membenci Faiz.Akibat malu dengan penolakan dari Gery secara terang-terangan di depan semua teman-temannya, akhirnya Sela mengajak Amel dan Via untuk pergi dari tempat itu."Sel, udah lo nginep di apart gue aja," ucap Via pada Sela yang sedari perjalanan pulang hanya terus menangis dan meracau dengan kata-kata kasar. Seolah masih tidak percaya jika dia benar-benar tidak bisa lagi mendekat pada Gery.Ba
Dari lewat celah pintu yang terbuka, Nindy bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi dari dalam kamar Arelia. Nafasnya terasa sesak kala ia melihat Faiz tengah mengajarkan wanita lain dari apa yang sudah dia ajarkan.Cemburu?Jelas saja!Cemburu dan ketakutan bercampur menjadi satu saat melihat sepasang suami istri yang tengah bersama-sama mengasuh bayi mereka. Jika itu orang lain, mungkin Nindy akan merasa bahagia dan berdoa supaya kelak dia bisa memiliki keluarga yang harmonis, tetapi tidak dengan apa yang dia lihat saat itu.Tokk .... Tokk ....Tokk ....Tanpa berpikir panjang, Nindy langsung mengetuk pintu guna memberitahu jika dia ada di situ juga dan tidak ingin membiarkan mereka berduaan saja."Maaf, Tuan, Nyonya, saya telat untuk mengecek baby Arel," ucap Nindy sambil melihat Faiz dengan tatapan tajam.Sela langsung memberikan Arelia pada Nindy. "Nih, jaga lagi bayinya." Selepas itu dia keluar begitu saja tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Dia juga tidak berniat ingin mengasuh
"Bu, kalau misalkan rumah sama toko kita ada yang mau beli satu miliar, kira-kira ibu bakal jual nggak?" tanya Alika dihari ketiga ia diberikan waktu oleh Sela, baru kali itulah ia memberanikan diri berbicara pada ibunya.Lita tersenyum. "Jangan mengkhayal, gak akan sampai nilai jual rumah sama toko ini sampai satu miliar.""Ya, inikah cuma misal aja, Bu. Berharap sesuatu yang baik kan nggak ada salahnya. Jadi, gimana kalau ada yang mau beli satu miliar, ibu bakalan jual?""Kayanya semua orang gak ada yang gak suka uang. Ibu juga sama. Tapi gak semua hal bisa dinilai dengan uang meskipun nominal uang itu lebih besar dari nilai barangnya. Selain memang mustahil ada yang mau membeli rumah dan toko ini sebesar itu, semuanya terlalu berarti untuk ibu dan ayah. Mengingat dulu perjuangan kami berdua untuk memiliki rumah itu tidaklah mudah.""Tapi waktu itu pas kita lagi bener-bener butuh uang untuk biaya operasi ayah, ibu bilang mau gadaikan atau menjual rumah sama toko ini.""Itukan disaat
Malam tiba, Nindy sudah menunggu kepulangan Faiz sambil menggendong Arelia di depan. Sebelumnya Faiz mengirimi pesan singkat jika ia tidak akan lembur."Tuh, Papa pulang," ucap Nindy pada Arelia yang semakin hari semakin pintar merespon meski belum bisa berbicara. "Tumben gak lembur, Mas?" tanya Nindy pelan. Ia hanya ingin bermesraan tetapi harus tetap waspada agar tidak ada orang lain yang mendengarnya."Sekarang di rumah ini ada pria lain tinggal. Aku tidak tenang karena takut dia macam-macam sama kamu. Aku takut dia jatuh cinta sama kamu."Pipi Nindy merona karena tersipu malu. "Ish, Mas. Kayak anak ABG aja cemburunya. Lagian Rico kan sukanya sama Sela. Kalau aku gak akan mudah berpaling." "Tetap saja.""Ya sudah, ayo masuk. Mumpung Bi Lastri di belakang lagi sibuk nyiapin bahan masakan untuk dimasak buat makan malam. Kan porsinya jadi bertambah satu orang. Sela juga belum pulang, Rico baru berangkat tadi siang."Mereka berdua pun bersama-sama masuk ke dalam kamar Arelia."Tadi a
"Kita belum sempat berkenalan dengan serius," tanya Rico pada Nindy yang baru saja keluar dari kamar. Arelia sudah tidur siang, waktunya ia untuk beristirahat dan makan.Tadi pagi, ia tidak melihat Rico karena belum bangun. Pagi-pagi pula ia melihat Faiz dan Sela sudah berangkat bersama meski dengan mobil yang berbeda.'Tengah siang bolong begini baru bangun? Padahal yang punya rumah udah kerja dari pagi,' batin Nindy."Nama saya Nindy.""Kamu udah tau aku, kan?"Nindy hanya mengangguk saja tak merespon lagi. Dia tidak terlalu ingin berbincang panjang lebar dengan Rico yang sangat asing baginya. Apalagi Rico sudah jelas ada di pihak Sela."Arel tidur, kamu mau istirahat, kan? Ayo makan siang bareng. Aku juga mau makan, belum makan apa-apa dari pagi."'Gimana mau makan pagi, bangun aja siang!' batin Nindy lagi."Mas Rico silakan makan di meja makan saja, nanti Bi Lastri yang siapkan. Saya makannya di belakang, di dapur kotor.""Kenapa? Gak apa-apa, makan sama aku aja di meja makan. Nan
"Lo pikir, lo bisa ngerasa tenang karena Gery ngelindungi lo?" Sela dan kedua temannya, juga Alika yang ia incar, kini tengah berada di gedung aula serba guna di kampus mereka. Selama hidupnya, Alika belum pernah merasa yang namanya takut pada siapapun selagi ia tidak bersalah. Sehingga semasa sekolah Alika tidak pernah mengalami perundungan. Ia bahkan menjadi penyelamat teman-temannya yang bungkam tidak bisa mengadu pada guru atau orang tua.Lain hal dengan sekarang, dia lah yang mengalami langsung sebagai mahasiswi yang tengah dirundung atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Ia juga bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi korban yang tidak bisa mengungkapkan apa yang terjadi pada orang yang lebih dewasa atau pada pihak yang bisa melindunginya, karena sebuah ancaman yang mengganggu dan ketakutan jika ancaman itu menjadi kenyataan."Aku sudah pernah bilang beberapa kali, kalau aku gak suka sama Gery."Meski sudah berkali-kali Alika mengatakan itu, Sela tidak puas. Karena ia juga tah
Karena sudah terlalu lama diluar, Faiz dan Nindy pun pulang. Berharap kasur yang mereka pesan juga sudah terkirim dan sampai di rumah. Tentunya agar tidak menimbulkan kecurigaan karena mereka sudah pergi cukup lama dari rumah. Meskipun sebenarnya kecurigaan itu sudah timbul dalam diri Sela.Sesampainya di rumah, benar saja. Kasur yang di pesan sudah sampai di diletakan di dalam kamar Arelia. Juga barang-barang Nindy yang ternyata sudah dikeluarkan dari kamarnya oleh Bi Lastri atas perintah Sela sewaktu keduanya pergi."Bibi yang keluarin semua barang-baranya Nindy?" tanya Faiz disaat Nindy diam terpaku melihat barang-barangnya tergelatak di lantai depan kamar Arelia. Rasanya seperti terusir dengan paksa sebab ia seolah tidak diizinkan untuk membereskan barangnya sendiri."Nyonya Sela yang meminta, Tuan," jawab Bi Lastri sambil menggendong Arelia yang baru saja ia buatkan susu."Ini tidak sopan, Bi. Bagaimana pun Nindy juga mempunyai privasi sendiri. Jadi harusnya biarkan dia yang memb
"Terima kasih, Pak.""Tolong langsung di kirim sekarang kasurnya ke alamat itu. Saya mau sudah sampai sebelum malam. Karena kasurnya akan digunakan untuk tidur malam ini."Faiz memastikan bahwa kasur yang baru saja dipesan untuk Nindy agar segera dikirim ke alamat yang sudah dia berikan. Sementara itu dia dan Nindy akan mencari makan sebelum pulang."Mau sekalian beli yang lain? Ada yang ingin kamu beli?"Nindy sekilas tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, sekarang kita cari makan saja."Setelah mendapatkan tempat untuk makan, pesanan mereka juga langsung dibuatkan oleh pelayan."Kayanya aku butuh kepastian kamu, Mas. Secepatnya," ucap Nindy yang sudah menahan dari tadi ingin segera membahasnya dengan Faiz."Aku pasti akan kembali sama kamu. Memang secepatnya sedang aku usahakan, Sayang.""Kapan tepatnya? Ibu aku sudah tau semuanya, awalnya memang ibu marah dan gak mau sampai aku kembali sama kamu lagi. Tapi, aku meyakinkannya dengan menceritakan semuanya tentang pernika
"Yakin gak apa-apa kamu pulang sendiri bawa baby Arel? Mama sama Papa ikut, ya. Nanti kami pulang dengan sopir. Mama khawatir baby Arel sendirian di kursi belakang.""Selagi tidurnya di car seat, aku yakin aman. Aku juga gak akan ngebut, Mah. Aku pulang," ucap Faiz berpamitan pada kedua orang tuanya untuk pulang bersama Arelia saja.Pikiran Faiz tidak tenang jika ia hanya menunggu kabar dari Nindy yang tidak kunjung ada. Akhirnya ia putuskan untuk pulang, agar saat Nindy pulang nanti ia langsung bisa bertanya apa saja yang tejadi.Faiz berpikir jika di rumahnya hanya ada Bi Lastri karena Sela pergi entah ke mana dan dengan siapa. Dan kebiasaan Sela selalu pulang larut malam jika sudah keluar rumah disaat akhir pekan. Hal itu membuat Faiz ingin cepat pulang saja.Sesampainya di rumah, Faiz langsung menggendong Arelia yang tertidur saat di perjalanan. Beruntunglah Arelia tidak menangis karena itu pasti akan sangat merepotkan dirinya yang hanya seorang diri di dalam mobil.Baru saja menu
"Biar aku tanya, apa ibu bisa memaafkan laki-laki itu beserta keluarga setelah apa yang terjadi satu tahun yang lalu sama keluarga kita?" tanya Alika dengan tenang padahal dia sendiri memiliki permasalahan yang serius yang membuat dia tidak tenang setiap harinya, tetapi harus tetap bersikap biasa saja."Sebenarnya ibu hanya tidak suka dengan kesombongan keluarga, orang tua Faiz bukan dengan Faiznya. Kamu sendiri pasti setuju dengan ibu. Kita sudah kenal Faiz bertahun-tahun dan tau bagaimana baiknya dia selama ini pada kita. Tapi karena perbedaan diantara keluarga kita dengan keluarga dia, makanya orang tua Faiz tidak setuju anaknya menikah dengan kakakmu."Alika mengangguk. "Aku juga berpikiran yang sama seperti ibu. Tapi sebenarnya aku tidak bisa langsung mendukung keputusan kak Nin yang mau balik lagi sama kak Faiz. Meskipun kak Nin bilang dia percaya bisa kembali lagi sama-sama, tapi kita kan gak tau keluarganya apa bisa menerima atau menolak kita lagi untuk kedua kalinya. Ditambah
Rico mematung, ia seolah membeku disaat Sela meminta untuk mempraktekan apa yang sudah dia jelaskan.Lalu Sela tertawa kecil. "Bercanda, Kak. Aku cuman bercanda doang."Seketika Rico bisa bernafas dengan lega, ia sudah mencair karena ternyata Sela hanya bergurau saja. Padahal jika harus pun Rico mau melakukannya."Kak Rico ini tegang banget kaya belum pernah ciuman sama cewek aja," goda Sela yang merasa tidak puas dengan godaannya tadi.Sela memang orang yang cukup licik, ia akan memanfaatkan rasa suka Rico agar bisa tunduk dan membantu apapun yang dia perlukan. Padahal ia sama sekali tidak berniat untuk membalas rasa suka itu karena Rico bukanlah laki-laki tipe idealnya. Bahkan dengan Faiz saja, secara sadar Sela pasti lebih memilih Faiz dari fisik juga latar belakang keluarga, tentu juga dengan kekayaannya."Memang tidak pernah."Sela terkejut. "Bohong banget! Udah mau 27 tahun tapi belum pernah ciuman sama cewek? Kakak di Bali ngapain aja sih? Aku aja ciuman pertama itu pas SMA," u