Share

BAB 3 Pekerjaan Baru

"Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?"

Lama tidak bertemu, membuat Nindy hampir saja lupa bagaimana rupa pria yang pernah menjalin hubungan 3 tahun dengannya ini.

Setelah setahun menahan keinginan mencaritahu kabar pria itu, Nindy sedikit pangling. Faiz yang dulu terlihat tampan, murah senyum, kini menjelma menjadi pria dingin. Belum lagi, keberadaan kantong mata pria itu yang sedikit menghitam, yang tidak pernah Nindy temukan dulu.

Namun, teringat kembali keperluannya yang sudah mendesak… ia menolak untuk bernostalgia.

"Aku tidak ingin berbasa-basi. Seperti yang sudah aku katakan padamu lewat handphone semalam, apa kamu sanggup?"

Semalam, ketika berpamitan pada ibu untuk mencari pinjaman, Faiz lah orang yang Nindy tuju. Wanita itu juga telah berterus terang, jika ia bersedia menjadi pengasuh anak sang mantan, jika Faiz bisa langsung membayar gajinya di muka.

Ia akan membayarnya dengan dicicil, dipotong dari setengah gajinya yang telah digelontorkan lebih dulu untuk biaya operasi sang ayah.

"Aku sanggup. Bahkan aku bisa memberikan uang itu tanpa mengganggu gaji kamu setiap bulannya."

Nindy hanya tersenyum tipis melihat keangkuhan Faiz. Uang ratusan juta ternyata tidak ada apa-apanya bagi orang kaya seperti pria itu.

"Hidupmu pasti senang sekali. Uang ratusan juta, seperti ratusan ribu bagimu,” sindirnya. “Syukurlah jika pernikahanmu dengan wanita yang setara itu membawa kebahagiaan.”

Senyum tipis, tak kalah sinis terbit dari bibir pria itu. “Jangan bawa-bawa pernikahanku.” Akan tetapi, tatapan pria itu kemudian berubah sedikit melembut. “Aku tau kamu terluka kala itu. Maaf, karena aku tidak bisa menolak keinginan orang tuaku.”

Helaan napas terdengar dari Nindy. Dulu, mungkin ia mengidamkan kata itu terucap dari bibir Faiz.

Namun kini, mendengar pria itu berujar maaf justru membuatnya kesal. Ditambah, nada bicara pria itu yang selah terpaksa mengatakannya… berbanding terbalik dengan ekspresi pria itu.

"Tidak perlu minta maaf. Itu terjadi sudah satu tahun yang lalu. Rasanya sudah tidak pas jika minta maaf sekarang. Yang lalu biarlah berlalu." Ia melipat kedua tangannya di dada, lalu menatap mantap ke arah Faiz. “Kapan aku mulai bisa bekerja?"

"Lebih cepat lebih baik. Sekarang aku akan transfer uang yang kamu butuhkan untuk operasi ayah."

***

"Kamu masih belum menjawab pertanyaan ibu. Dari siapa kamu meminjam uang sebanyak itu dalam waktu yang singkat? Yang kamu pinjam itu ratusan juta, Nin. Bukan hanya sekedar puluhan atau jutaan saja."

Sejak Nindy pamit keluar untuk cari pinjaman yang ternyata membuahkan hasil, Lita tak henti memberondongnya pertanyaan.

Meskipun sekarang suaminya sudah pindah ke ruang perawatan karena operasi berjalan lancar, Lita masih penasaran.

"Ada, Bu. Teman kuliah aku yang sekarang jadi pengusaha. Makanya uang segitu bagi dia adalah uang kecil. Karena uang itu uang pinjaman, sekarang aku harus bekerja untuk melunasinya, Bu.”

Kemudian, Nindy menunduk sejenak karena sedikit takut membayangkan reaksi sang ibu. “Sekaligus… aku mau bilang sama ibu kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan, menjadi pengasuh anak temanku itu.”

Ekspresi terkejut terlihat dari wajah Lita. Namun, alih-alih marah… mata wanita tua itu justru berkaca-kaca. “Jadi, kamu rela jadi pengasuh bayi untuk biaya pengobatan Ayah, Nin?”

“Maaf ya, Bu, kalau pekerjaanku belum sesuai seperti mau Ibu. Fokus aku sekarang untuk bayar hutang saja dulu. Anggaplah pekerjaan aku saat ini sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi nantinya."

Menahan air matanya jatuh, Lita hanya bisa mengangguk. Yang terpenting bagi semua saat ini adalah kesehatan Roni.

Keesokan harinya, Nindy sudah bersiap dan memesan taksi dari rumah.

Semalam ia sudah berpamitan pada ibu dan adiknya yang berjaga di rumah sakit.

Entah keputusannya salah atau benar, tetapi ia niatkan demi kesembuhan ayahnya. Meskipun harus membuka luka lama dengan kembali berhubungan dengan mantan kekasihnya.

Nindy dengan sebuah tas tenteng yang terisi penuh, menunggu di depan pintu dengan penuh debar. Tak lama, suara langkah tegas terdengar dan pintu terbuka.

Senyuman hangat pelayan wanita menyambut kedatangannya. “Silakan masuk, Mbak Nindy. Tuan Faiz sudah menunggu di kamar Arelia.”

Nindy mengangguk sopan. “Terima kasih, Bi.”

Rumah pria itu ternyata begitu megah. Bahkan, kamar ‘pembantu’ yang ia tempati kini, lebih mewah dan luas dibanding kamarnya di rumah.

“Nah, ini kamar Mbak,” tunjuk pelayan wanita itu ke pintu kamar Nindy yang terbuka. “Yang di sebelah itu, kamarnya Non Arelia. Tuan Faiz sedang menidurinya.”

Kembali, anggukan diberikan Nindy. Usai memasuki rumah mewah ini, ia merasakan hal aneh.

“Rumah sebesar ini kenapa sepi sekali?” tanya Nindy pada pelayan.

“Di sini hanya ada dua pelayan, yang saat ini sedang sibuk menyiapkan makanan menyambut Mbak.”

Kening Nindy mengerut dalam. “Menyambut? Saya hanya pengasuh, seharusnya tidak perlu repot menyiapkan penyambutan, Bi.”

Pelayan itu tersenyum, “Kami hanya menuruti perkataan Tuan, Mbak,” akunya yang semakin membuat Nindy bingung.

“Lalu istri Tuan Faiz?” tanya Nindy lagi.

“Nyonya Sela sedang tidak ada di rumah. Beliau sedang berlibur, karena sehabis melahirkan terkena baby blues.”

Kini, bukan hanya satu pertanyaan yang terbersit di pikiran Nindy, tetapi… banyak. Sayang, belum sempat ia mengajukan tanya untuk menjawab rasa penasarannya… pelayan itu sudah keburu pergi karena kedatangan Faiz.

“Kamu sudah datang?” sapa Faiz, terlihat berbasa-basi.

Nindy mengangguk, lalu memindai penampilan Faiz.

Sedikit banyak, ia mulai menarik Kesimpulan… jika kantung mata pria itu mungkin saja disebabkan karena ia kelelahan mengurus semua sendiri.

Istrinya berlibur, sedangkan ada bayi yang harus mereka urus. Sedikitnya, Nindy mulai iba. Akan tetapi, sebelum perasaan itu semakin membesar, buru-buru ia tangkal perasaan kasihan itu.

Pikirnya, setahun ini saja Faiz tidak mengasihani ia ‘yang terbuang’. Lantas, untuk apa ia mengasihani pria yang punya kehidupan jauh lebih baik darinya itu?

Karena tidak ada kalimat lagi dari bibir Nindy, Faiz kembali berujar, “Anakku baru saja tidur. Jadi kamu bisa istirahat dulu."

“Terima kasih.” Nindy bersiap memasuki kamarnya. Akan tetapi, ia berhenti lalu kembali menatap Faiz dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku tidak tau alasanmu menyuruh pelayan menyiapkan makanan penyambutan, tapi… kamu tidak perlu melakukannya. Aku hanya pengasuh, bukan orang penting yang harus kamu sambut kedatangannya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status