Tidak terasa Nindy sudah bekerja sebagai pengasuh bayi dari mantan kekasihnya itu selama satu pekan.
Hari ke hari terasa berat bagi Nindy. Sebab, setiap hari ia harus bertemu dengan Faiz, meskipun hanya di setiap pagi dan malam hari, ketika pria itu akan pergi dan pulang kerja saja. Seberapa pun Nindy menyiapkan tembok tinggi untuk membentengi hatinya, kenyataannya… hati dan perasaan memang tidak bisa berbohong. Ia selalu merindukan saat-saat bersama Faiz dulu. "Arel sudah tidur?" Nindy mengerjap, lamunannya langsung terputus ketika mendengar suara Faiz. "Baru saja tidur," sahutnya ketika dilihat pria yang baru saja pulang kerja itu sudah lebih dulu memasuki kamar sang anak. "Dia tidak rewel, kan?" tanya pria itu, masih menatap ke arah Arelia yang tertidur lelap. "Namanya juga bayi, kalau rewel pun itu hal biasa terjadi." Faiz tersenyum. Sebuah senyum yang menyiratkan perasaan aneh tersendiri untuk Nindy. Entahlah, mungkin karena pernah mengenal baik Faiz selama 3 tahun, Nindy jadi berpikir jika Faiz bagai buku terbuka yang mudah ia baca. Dan saat ini, bagi Nindy, Faiz terlihat seolah tengah berusaha menunjukkan penderitaan di balik senyumnya. “Terima kasih sudah menjaga Arel dengan baik,” ungkap Faiz sambil menatap Nindy. “Semoga kamu betah bekerja di sini.” Nindy tersenyum. “Tidak perlu berterima kasih. Hubungan kita sekarang adalah murni profesional,” sahutnya dengan santai. Sepersekian detik, tatapan Faiz pada Nindy berubah. Lagi, yang Nindy lihat dari tatapan itu adalah sebuah perasaan terluka. Namun, Nindy sendiri tidak tahu pasti, kenapa pria itu harus terluka? Perkataannya barusan adalah kebenaran. Dan lagi… tidak mungkin Faiz berharap lebih dari hubungan pekerjaan ini, kan? Pria itu, bagaimana pun telah terikat pernikahan dan telah memiliki anak. Jika itu sampai terjadi, Nindy tidak bisa membayangkan penolakan keras seperti apa yang akan mereka terima. Dulu, mungkin hanya perkara restu akibat kasta yang berbeda. Dan jika kisah mereka terulang… bukan tidak mungkin menyeret hal yang lebih besar, mengingat ikatan pernikahan yang dimiliki pria itu sekarang. “Aku tau, tidak mudah untukmu bekerja di sini, maafkan aku. Aku hanya tidak ingin—” Tokk .... Tokk .... Tokk .... Tiba-tiba ketukan pintu terdengar sehingga Faiz tidak bisa melanjutkan pembicaraannya. "Tuan, Nyonya Sela sudah pulang diantar sama orang tuanya dan sekarang sudah naik ke kamar," ucap Bi Lastri yang memberitahukan kedatangan kembali istri Faiz. Embusan napas lega keluar dari bibir Nindy. Atmosfer menyesakkan yang tadi sempat ia rasa, kini berubah karena kedatangan Bi Lastri. Mata Nindy menyipit, dengan dua tangan yang masih terlipat di depan dadanya. "Dengar, Tuan? Nyonya Sela sudah pulang. Lebih baik dilihat dulu istrinya." Mau tidak mau, Faiz akhirnya keluar dari kamar. Baru saja pria itu berjalan menuju lantai atas, kedua orang tua Sela sudah menuruni tangga. Nindy yang masih berada di dalam kamar Arel dengan pintu terbuka masih bisa mendengar jelas percakapan menantu dan mertua itu. "Mah, Pah, kalian tidak bilang akan mengantarkan Sela malam ini. Padahal, Faiz bisa jemput ke bandara." "Tidak apa-apa, kami sudah sampai tadi pagi. Hanya saja karena butuh usaha untuk membujuk Sela biar mau ke sini, makanya kita antar saja saat dia mau. Sekarang biarkan dulu saja dia tidur. Kamu juga baru pulang kerja, kan? Kamu harus istirahat juga." Suara pria yang merupakan ayah Sela terdengar begitu perhatian. Faiz menurut. "Baiklah, Pah. Kalian tidak mau menginap?" "Tidak, Iz. Mama sama Papa langsung pulang saja.” Kali ini, giliran mamanya Sela yang buka suara. “Oh ya, perihal pengasuh untuk baby Arel, Mama sudah cari yayasan yang terpercaya. Kalau mau nanti besok Mama ke sini lagi." "Mm .... Mah, kalau masalah itu jangan khawatir. Faiz sudah dapat pengasuh untuk Arel. Dia sudah bekerja satu minggu, beberapa hari setelah Sela pergi liburan," jawab Faiz. Mendengar pekerjaannya disinggung-singgung, degup jantung Nindy langsung meningkat. Entahlah, ia hanya takut menerima penolakan. "Oh iya, kah? Dari yayasan mana? Mama bukannya tidak percaya sama pilihan kamu, tapi ini kan untuk anak kalian, anak pertama kalian dan cucu pertama buat Mama. Mama mau yang terbaik, berpengalaman dan profesional." "Pokoknya bagus, Mah. Faiz tenang kalau Arel diasuh sama dia. Orangnya telaten dan sangat perhatian." "Begitu? Coba kenalkan dulu sama Mama dan Papa sebentar sebelum kami pulang." "Mm .... Dia sedang menidurkan Arel, Mah, Pah." "Panggil saja sebentar, Mama mau bicara dulu sama orangnya langsung. Ini cucu pertama Mama, Mama harus tau dan kenal siapa pengasuhnya." Tidak menahan diri lagi, Nindy pun keluar dari kamar Arelia. Lagi pula, bayi itu sudah tidur, dan pintu yang dibiarkan terbuka bukanlah cara tepat menjaganya tetap lelap. "Itu pengasuh Arel, Mah, Pah." Faiz melambaikan tangan mengisyaratkan agar Nindy mendekat. Ia membungkuk hormat. "Selamat malam, Tuan, Nyonya. Saya Nindy, pengasuh baby Arel." Dua pasang mata orang tua Sela itu kini menatap penampilan Nindy dengan saksama. "Bisa kita bicara empat mata di ruang tamu?”"Baik, Nyonya. Saya akan ingat semua pesan Nyonya."Nindy menutup perbincangan empat mata dengan ibu mertua Faiz dengan penuh hormat. Hampir tiga puluh menit ia mendapati ceramah dari wanita yang sangat perfeksionis itu.Namun, Nindy mencoba mengerti. Bagaimana pun, Arelia adalah cucu satu-satunya mereka. Dan kekhawatiran wanita itu pada cucunya adalah hal yang wajar."Kalian berbicara apa saja tadi?" tanya Faiz ketika Nindy kembali masuk ke dalam rumah setelah mengantar kepulangan dua mertuanya."Kekhawatiran ibu terhadap anak dan cucunya. Hal yang wajar," seloroh Nindy santai.Kening pria itu berkerut. "Tidak ada yang lain?" Ada setitik kekhawatiran yang terdengar dari kalimatnya."Yang lain?" Nindy mengangkat sebelah alisnya. "Jangan khawatir, tidak mungkin aku mengungkapkan siapa aku pada ibu mertuamu. Aku bekerja di sini karena aku punya hutang, bukan untuk merusak rumah tangga orang lain."Setelahnya, Nindy melangkah melewati Faiz, menuju kamarnya.Namun, tak menyerah begitu saj
Setelah cuti sehari, Nindy sudah kembali lagi ke rumah Faiz.Perasaannya yang mulai goyah kemarin, perlahan kuat kembali—meski tentu saja sikap dinginnya tak bisa seutuhnya balik lagi.Seperti saat ini, alih-alih masa bodoh karena Faiz dan Sela belum pulang kendati sudah lewat pukul 10 malam lewat, Nindy justru khawatir. Terlebih, pada Faiz yang tidak biasa pulang larut, berbeda dengan Sela.“Tidak biasanya dia tidak memberi kabar.”Tidak ada satu pun telepon atau pesan yang dikirimkan Faiz padanya membuat kekhawatiran wanita itu semakin besar.Sejak komunikasi mereka mencair lagi, Nindy memang sudah terbiasa menyambut kepulangan Faiz di kamar Arelia. Namun kali ini, ia menunggu kepulangan Faiz dengan perasaan gelisah.Bukan takut akan keduanya pergi bersama, tetapi takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Beruntung, ketika baru saja ia hendak menelepon pria itu, terdengar suara gerbang dan deru mobil memasuki rumah.Nindy segera keluar dari kamar untuk melihat."Lho, kamu belum tidur
Nindy menggelengkan kepalanya perlahan sambil tertunduk. Kesadaran masih bisa mengendalikan sesuatu yang menggebu dari rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya itu. Meski ada rasa takut, entah kenapa menolak dengan tegas pun tidak ingin dia lakukan."Jangan berbuat lebih jauh, aku takut.""Apa yang kamu takutkan? Sela tidak akan melihat kita."Faiz mencoba untuk kembali mendekat dan meraih bibir Nindy. Namun dengan cepat Nindy menahan tubuh Faiz yang sudah merangkulnya dalam pelukan."Jangan mengujiku, Iz. Aku hanya wanita biasa. Aku masih menaruh hati padamu, aku tidak ingin tergoda. Statusmu adalah suami dari wanita lain. Ikatan pernikahan itu suci, apalagi ada anak diantara kalian. Aku tidak bisa di posisi seperti ini. Kamu jangan menggoyahkanku.""Pernikahan itu suci jika keduanya saling mencintai. Kalau saling membenci, bagaimana bisa suci jika diantara kami hanyalah perasaan kebencian saat bersama. Ikutilah kata hati kamu, Nin. Jangan mengelak. Karena itu juga yang sekarang
Malam panas pun berlangsung, Nindy dan Faiz tenggelam dalam suasana syahdu yang mereka ciptakan untuk melepaskan kerinduan yang tertidur selama setahun lebih itu.Untuk kali pertamanya, Nindy melepaskan mahkota yang ia jaga hanya untuk suami masa depan. Meski begitu, ia tetap menyerahkannya pada Faiz karena memang Faiz lah yang ia inginkan untuk menjadi pasangan hidup selamanya.Sakit yang berlangsung beberapa menit itu, kini sudah tergantikan dengan rasa nikmat yang tidak bisa Nindy utarakan dengan kata-kata. Rasa yang hanya bisa dirasakan, bukan manis atau pahit yang bisa diungkapkan."Masih sakit?" tanya Faiz berbisik tanpa menghentikan aktivitasnya.Nindy menggelengkan kepalanya pelan. "Sekarang ..., tidak, tapi masih ada rasa perih ...." jawab Nindy dengan nafas yang tersengal-sengal.Tubuh keduanya begitu basah bak bermandikan air keringat karena aktivitas malam yang berlangsung lama. Nindy tidak menyangka jika akan selama itu, tetapi karena rasa kenikmatan itulah yang membuat N
Selepas liburan sendiri untuk menyenangkan diri setelah melahirkan dan mengalami baby blues. Sela dengan terpaksa, mau tidak mau harus kembali ke rumahnya bersama Faiz, sang suami, hasil dari perjodohan satu tahun yang lalu.Jauh dalam hatinya, ia sama sekali tidak ingin kembali ke rumah itu dan ingin melanjutkan hidupnya sendiri dengan fokus kuliah dan bermain bersama teman-teman sebayanya.Umurnya kini baru memasuki kepala dua, dimana egonya masih tinggi dan fokusnya hanya pada diri sendiri, menyayangi diri sendiri, mencoba hal baru dengan teman-teman kampusnya.Namun kenyataan malah membuatnya harus menjadi istri dari pria asing terpaut 6 tahun lebih tua, yang tidak ia kenal sebelumnya demi kehormatan dan nama baik juga bisnis keluarga.Meskipun sikap Faiz baik, tetapi ia tidak bisa membalas bentuk kebaikan itu. Malah Sela merasa selalu muak dan jijik jika bertemu dengan Faiz.Saat kembali masuk kuliah setelah cuti hamil dan melahirkan, Sela seolah kembali bak seorang perempuan mud
Namun sayangnya, meskipun Sela memohon agar bisa berbicara dengan Gery, tetapi Gery tetap pada pendiriannya dengan tidak mengabulkan keinginan Sela yang amat sederhana itu. Mungkin sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Nindy, yang tiba-tiba saja ditinggal menikah oleh sang kekasih. Bedanya Nindy karena perbedaan status ekonomi dengan Faiz, sedangkan dengan Gery bukan karena hal itu sebab Gery sendiri berasal dari keluarga berada sama seperti Sela, sehingga bisa dikatakan jika mereka masih setara. Itulah yang malah membuat Sela merasa tidak habis pikir sehingga ia lampiaskan dengan membenci Faiz.Akibat malu dengan penolakan dari Gery secara terang-terangan di depan semua teman-temannya, akhirnya Sela mengajak Amel dan Via untuk pergi dari tempat itu."Sel, udah lo nginep di apart gue aja," ucap Via pada Sela yang sedari perjalanan pulang hanya terus menangis dan meracau dengan kata-kata kasar. Seolah masih tidak percaya jika dia benar-benar tidak bisa lagi mendekat pada Gery.Ba
Dari lewat celah pintu yang terbuka, Nindy bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi dari dalam kamar Arelia. Nafasnya terasa sesak kala ia melihat Faiz tengah mengajarkan wanita lain dari apa yang sudah dia ajarkan.Cemburu?Jelas saja!Cemburu dan ketakutan bercampur menjadi satu saat melihat sepasang suami istri yang tengah bersama-sama mengasuh bayi mereka. Jika itu orang lain, mungkin Nindy akan merasa bahagia dan berdoa supaya kelak dia bisa memiliki keluarga yang harmonis, tetapi tidak dengan apa yang dia lihat saat itu.Tokk .... Tokk ....Tokk ....Tanpa berpikir panjang, Nindy langsung mengetuk pintu guna memberitahu jika dia ada di situ juga dan tidak ingin membiarkan mereka berduaan saja."Maaf, Tuan, Nyonya, saya telat untuk mengecek baby Arel," ucap Nindy sambil melihat Faiz dengan tatapan tajam.Sela langsung memberikan Arelia pada Nindy. "Nih, jaga lagi bayinya." Selepas itu dia keluar begitu saja tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Dia juga tidak berniat ingin mengasuh
Karena terlalu dimabuk asmara, semalam Nindy tidak sampai berpikiran jika di rumah itu tidak hanya ada Sela saja, melainkan Bi Lastri pun ada setiap harinya. Hanya sedikit tidak menyangka saja kalau semalam ternyata Bi Lastri mengetuk kamar hanya untuk memberikan makanan."Lewat dari jam 11 aku sudah tidur, Bi. Semalam kan Tuan Faiz pulang malam, karena aku mau ambil minum sekalian saja aku siapkan makan malamnya aku antar ke kamar dia. Kayanya pas Bi Lastri kembali ke belakang, aku baru turun dari atas," jelas Nindy dengan mencoba bersikap santai."Oh pantas saja kalau begitu. Lain kali gak apa-apa bangunkan Bibi aja, Mbak Nin. Kasihan kan itu tugas Bibi, tugas Mbak Nindy hanya mengasuh Non Arel."Nindy mengangguk sambil terus meneruskan makannya tanpa ingin memperpanjang topik yang mereka bahas tentang semalam."Bi Lastri kerja di rumah ini dari awal Tuan Faiz dan Nyonya Sela menikah?" tanya Nindy sekalian saja ia ingin tahu lebih jauh tentang Sela dan keluarganya, juga bagaimana ke