Karena terlalu dimabuk asmara, semalam Nindy tidak sampai berpikiran jika di rumah itu tidak hanya ada Sela saja, melainkan Bi Lastri pun ada setiap harinya. Hanya sedikit tidak menyangka saja kalau semalam ternyata Bi Lastri mengetuk kamar hanya untuk memberikan makanan."Lewat dari jam 11 aku sudah tidur, Bi. Semalam kan Tuan Faiz pulang malam, karena aku mau ambil minum sekalian saja aku siapkan makan malamnya aku antar ke kamar dia. Kayanya pas Bi Lastri kembali ke belakang, aku baru turun dari atas," jelas Nindy dengan mencoba bersikap santai."Oh pantas saja kalau begitu. Lain kali gak apa-apa bangunkan Bibi aja, Mbak Nin. Kasihan kan itu tugas Bibi, tugas Mbak Nindy hanya mengasuh Non Arel."Nindy mengangguk sambil terus meneruskan makannya tanpa ingin memperpanjang topik yang mereka bahas tentang semalam."Bi Lastri kerja di rumah ini dari awal Tuan Faiz dan Nyonya Sela menikah?" tanya Nindy sekalian saja ia ingin tahu lebih jauh tentang Sela dan keluarganya, juga bagaimana ke
"Dibandingkan kamu ditolak kerja terus, lebih baik kamu ibu jodohkan saja, lah."Langkah Nindy yang menuju kamarnya kembali terhenti usai mendengar kalimat sinis sang ibu, Lita.Sudah setahun ini memang ia mencari pekerjaan yang sesuai, akan tetapi selalu berakhir sia-sia. Semua ini pun tidak lepas dari permintaan ibunya. Karena ia adalah sarjana pertama di keluarga, Lita ingin Nindy hanya bekerja kantoran. Padahal, Nindy sendiri tidak mempermasalahkannya. Baginya, berpenghasilan jauh lebih penting, daripada menuruti gengsi.Terakhir, Nindy sebetulnya sudah diterima bekerja. Hanya saja, ketika akan tanda tangan kontrak, pihak HRD membatalkannya karena posisi yang akan diisi Nindy telah diisi orang lain, bawaan orang dalam."Bu, apa sih? Nindy masih muda, masih belum mau menikah. Kenapa harus dijodoh-jodohin?" protes Nindy langsung. “Aku mau bekerja dan berkarir dulu. Aku mau mendapatkan penghasilan dari keringat aku sendiri.""Kerja apa?” tantang Lita, ibu dari Nindy, sembari menatap
"Kak! Kak Nin, aku mau pinjam dress yang warna putih itu, lho. Aku ada acara—" Ucapan Alika, adik Nindy yang terhenti ketika melihat kakaknya tengah mematung dengan mata berkaca-kaca. "Kakak kenapa? Sakit? Aku panggil Ibu dulu.""Lika ....""Ya?" Alika mengurungkan niatnya untuk mengadu.Nindy menunjuk pada ponselnya yang jatuh. "I--itu ....""Oh, HP Kakak jatuh? Ish, ish, kan bisa diambil." Alika pun berjongkok dan mengambil ponsel kakaknya.Layar ponsel itu yang masih menyala dan memperlihatkan isi pesan dari Faiz sontak terlihat oleh Alika.Setelah membaca empat pesan dari nomor yang tak disimpan, Alika menjadi marah dan sangat emosi."Ngapain cowok ini hubungin Kakak? Kapan Kakak buka blokiran nomor cowok brengsek ini?” tanyanya tak sabaran. “Jawab, Kak! Atau aku akan kasih tau ini sama Ayah dan Ibu!"Untuk sesaat, Nindy tak bisa menjawab. Ia hanya terus menangis, menunjukkan ketidaktahuannya atas alasan pria itu kembali menghubunginya.Melihat kakaknya terpuruk untuk kedua kali k
"Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?"Lama tidak bertemu, membuat Nindy hampir saja lupa bagaimana rupa pria yang pernah menjalin hubungan 3 tahun dengannya ini.Setelah setahun menahan keinginan mencaritahu kabar pria itu, Nindy sedikit pangling. Faiz yang dulu terlihat tampan, murah senyum, kini menjelma menjadi pria dingin. Belum lagi, keberadaan kantong mata pria itu yang sedikit menghitam, yang tidak pernah Nindy temukan dulu.Namun, teringat kembali keperluannya yang sudah mendesak… ia menolak untuk bernostalgia."Aku tidak ingin berbasa-basi. Seperti yang sudah aku katakan padamu lewat handphone semalam, apa kamu sanggup?"Semalam, ketika berpamitan pada ibu untuk mencari pinjaman, Faiz lah orang yang Nindy tuju. Wanita itu juga telah berterus terang, jika ia bersedia menjadi pengasuh anak sang mantan, jika Faiz bisa langsung membayar gajinya di muka.Ia akan membayarnya dengan dicicil, dipotong dari setengah gajinya yang telah digelontorkan lebih dulu untuk biaya operasi sa
Tidak terasa Nindy sudah bekerja sebagai pengasuh bayi dari mantan kekasihnya itu selama satu pekan.Hari ke hari terasa berat bagi Nindy. Sebab, setiap hari ia harus bertemu dengan Faiz, meskipun hanya di setiap pagi dan malam hari, ketika pria itu akan pergi dan pulang kerja saja. Seberapa pun Nindy menyiapkan tembok tinggi untuk membentengi hatinya, kenyataannya… hati dan perasaan memang tidak bisa berbohong. Ia selalu merindukan saat-saat bersama Faiz dulu. "Arel sudah tidur?" Nindy mengerjap, lamunannya langsung terputus ketika mendengar suara Faiz. "Baru saja tidur," sahutnya ketika dilihat pria yang baru saja pulang kerja itu sudah lebih dulu memasuki kamar sang anak."Dia tidak rewel, kan?" tanya pria itu, masih menatap ke arah Arelia yang tertidur lelap."Namanya juga bayi, kalau rewel pun itu hal biasa terjadi."Faiz tersenyum. Sebuah senyum yang menyiratkan perasaan aneh tersendiri untuk Nindy.Entahlah, mungkin karena pernah mengenal baik Faiz selama 3 tahun, Nindy ja
"Baik, Nyonya. Saya akan ingat semua pesan Nyonya."Nindy menutup perbincangan empat mata dengan ibu mertua Faiz dengan penuh hormat. Hampir tiga puluh menit ia mendapati ceramah dari wanita yang sangat perfeksionis itu.Namun, Nindy mencoba mengerti. Bagaimana pun, Arelia adalah cucu satu-satunya mereka. Dan kekhawatiran wanita itu pada cucunya adalah hal yang wajar."Kalian berbicara apa saja tadi?" tanya Faiz ketika Nindy kembali masuk ke dalam rumah setelah mengantar kepulangan dua mertuanya."Kekhawatiran ibu terhadap anak dan cucunya. Hal yang wajar," seloroh Nindy santai.Kening pria itu berkerut. "Tidak ada yang lain?" Ada setitik kekhawatiran yang terdengar dari kalimatnya."Yang lain?" Nindy mengangkat sebelah alisnya. "Jangan khawatir, tidak mungkin aku mengungkapkan siapa aku pada ibu mertuamu. Aku bekerja di sini karena aku punya hutang, bukan untuk merusak rumah tangga orang lain."Setelahnya, Nindy melangkah melewati Faiz, menuju kamarnya.Namun, tak menyerah begitu saj
Setelah cuti sehari, Nindy sudah kembali lagi ke rumah Faiz.Perasaannya yang mulai goyah kemarin, perlahan kuat kembali—meski tentu saja sikap dinginnya tak bisa seutuhnya balik lagi.Seperti saat ini, alih-alih masa bodoh karena Faiz dan Sela belum pulang kendati sudah lewat pukul 10 malam lewat, Nindy justru khawatir. Terlebih, pada Faiz yang tidak biasa pulang larut, berbeda dengan Sela.“Tidak biasanya dia tidak memberi kabar.”Tidak ada satu pun telepon atau pesan yang dikirimkan Faiz padanya membuat kekhawatiran wanita itu semakin besar.Sejak komunikasi mereka mencair lagi, Nindy memang sudah terbiasa menyambut kepulangan Faiz di kamar Arelia. Namun kali ini, ia menunggu kepulangan Faiz dengan perasaan gelisah.Bukan takut akan keduanya pergi bersama, tetapi takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Beruntung, ketika baru saja ia hendak menelepon pria itu, terdengar suara gerbang dan deru mobil memasuki rumah.Nindy segera keluar dari kamar untuk melihat."Lho, kamu belum tidur
Nindy menggelengkan kepalanya perlahan sambil tertunduk. Kesadaran masih bisa mengendalikan sesuatu yang menggebu dari rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya itu. Meski ada rasa takut, entah kenapa menolak dengan tegas pun tidak ingin dia lakukan."Jangan berbuat lebih jauh, aku takut.""Apa yang kamu takutkan? Sela tidak akan melihat kita."Faiz mencoba untuk kembali mendekat dan meraih bibir Nindy. Namun dengan cepat Nindy menahan tubuh Faiz yang sudah merangkulnya dalam pelukan."Jangan mengujiku, Iz. Aku hanya wanita biasa. Aku masih menaruh hati padamu, aku tidak ingin tergoda. Statusmu adalah suami dari wanita lain. Ikatan pernikahan itu suci, apalagi ada anak diantara kalian. Aku tidak bisa di posisi seperti ini. Kamu jangan menggoyahkanku.""Pernikahan itu suci jika keduanya saling mencintai. Kalau saling membenci, bagaimana bisa suci jika diantara kami hanyalah perasaan kebencian saat bersama. Ikutilah kata hati kamu, Nin. Jangan mengelak. Karena itu juga yang sekarang