Share

BAB 5 Mengistirahatkan Hati

"Baik, Nyonya. Saya akan ingat semua pesan Nyonya."

Nindy menutup perbincangan empat mata dengan ibu mertua Faiz dengan penuh hormat. Hampir tiga puluh menit ia mendapati ceramah dari wanita yang sangat perfeksionis itu.

Namun, Nindy mencoba mengerti. Bagaimana pun, Arelia adalah cucu satu-satunya mereka. Dan kekhawatiran wanita itu pada cucunya adalah hal yang wajar.

"Kalian berbicara apa saja tadi?" tanya Faiz ketika Nindy kembali masuk ke dalam rumah setelah mengantar kepulangan dua mertuanya.

"Kekhawatiran ibu terhadap anak dan cucunya. Hal yang wajar," seloroh Nindy santai.

Kening pria itu berkerut. "Tidak ada yang lain?" Ada setitik kekhawatiran yang terdengar dari kalimatnya.

"Yang lain?" Nindy mengangkat sebelah alisnya. "Jangan khawatir, tidak mungkin aku mengungkapkan siapa aku pada ibu mertuamu. Aku bekerja di sini karena aku punya hutang, bukan untuk merusak rumah tangga orang lain."

Setelahnya, Nindy melangkah melewati Faiz, menuju kamarnya.

Namun, tak menyerah begitu saja, pria itu mengejarnya dan menahan tangan Nindy yang sudah membuka pintu kamarnya. "Nin, kenapa begitu ngomongnya? A—"

"Aku mau istirahat. Permisi.

***

Pagi itu, sambil menggendong Arelia yang sudah selesai dimandikan, Nindy membawa si bayi ke ruang makan.

Sebuah ritual tiap pagi, setiap ayah bayi itu akan berangkat kerja. Namun, pagi itu terlihat berbeda, sebab kepulangan Sela.

"Sel, sarapan dulu," ucap Faiz pada Sela yang sudah rapi untuk pergi ke kampus.

Sebelumnya, Bi Lastri sudah menyampaikan pada Faiz, jika Sela menolak sarapan bersama seperti permintaan pria itu.

"Jangan sok perhatian kamu! Jijik tau gak!" Sela pergi begitu saja, bahkan ia sama sekali tidak ingin menoleh pada bayinya.

Baru Nindy menyadari jika pernikahan Faiz dan Sela tidaklah membawa kebahagiaan seperti apa yang ia bayangkan. Selama setahun, ia berasumsi jika ia adalah orang yang paling menderita karena ditinggal menikah.

Nyatanya Faiz pun menderita hidup dengan wanita yang tidak ia cinta juga tidak bisa menghargai dirinya. Tanpa sadar, sebuah celah dari rasa prihatin dan empatinya pada Faiz, membuat benteng yang dibangun Nindy goyah.

Sikap dingin Nindy perlahan mencair. Ia tidak lagi buang muka atau menghindar tiap kali Faiz mengajaknya bicara. Hingga suatu hari, menyadari dirinya mulai goyah dan lemah, Nindy meminta izin pada Faiz untuk pulang sehari saja.

Ia berdalih belum menengok sang ayah yang sudah pulang dari rumah sakit dan kondisinya sudah jauh lebih baik.

"Aku antar, ya."

"Kamu gila? Kamu mau antar aku ke rumah, kalau orang tua aku melihat kamu gimana?”

"Baiklah, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertemu dan meminta maaf. Kalau begitu, hati-hati."

Sesampainya di rumah, Nindy menatap toko yang sudah buka kembali seperti biasa. Dari seberang saja terlihat sang ayah sedang duduk di meja kasir dan sang ibu tengah menata barang.

"Aku pulang, Bu, Yah." Nindy menyapa ayah dan ibunya yang langsung menghampiri ketika melihatnya pulang.

"Kenapa gak kasih kabar kalau mau pulang? Nanti kan ibu bisa masakin makanan kesukaan kamu," ucap Lita.

"Gak apa-apa, Bu. Aku pulang mau nengok ayah aja, besok juga sudah berangkat lagi."

"Kamu cuma pulang sehari?" tanya Roni. Raut wajah ayahnya itu tiba-tiba berubah sendu. "Maafkan ayah, ayah sudah tau ceritanya dari ibu kalau kamu yang mengusahakan uang operasi untuk ayah. Sekarang kamu bekerja mengasuh bayi orang lain hanya untuk melunasi hutang. Maafkan ayah."

"Jangan gitu, Yah. Aku gak apa-apa, kok. Yang penting ayah sudah sembuh sekarang. Kita juga gak perlu sampai jual rumah dan jual toko ini. Terus adek juga gak harus putus kuliah. Aku beneran gak apa-apa.” Ia tersenyum lebar, menatap pada ayahnya yang masih merasa bersalah. “Siapa tau ini bisa jadi batu loncatan untuk aku supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dari sekarang, itu kan yang selalu ayah bilang."

Kepulangannya ke rumah, utamanya memang untuk melihat kondisi sang ayah. Namun di sisi lain ia juga ingin mengistirahatkan hatinya sendiri.

Berada di sekitar pria yang masih merajai hatinya, ternyata menyiksa Nindy. Apalagi, setelah tahu sedingin apa pernikahan pria itu.

Di titik itulah, perasaan iba melemahkan Nindy. Ia jadi mulai sering merindukan masa-masa ketika ia dan Faiz masih menjalin hubungan.

"Ihh, Kak Nin pulang kok gak bilang-bilang. Kalau bilang kan aku mau titip beliin sesuatu dulu," ucap Alika yang baru saja pulang. Ia sudah diberitahu oleh orang tuanya jika Nindy pulang.

"Itulah kenapa Kakak gak bilang kalau mau pulang."

"Huuu, dasar!” Alika mencebik, tetapi kemudian tersenyum. “Gimana kerjaan Kakak?"

"Ya begitulah, yang namanya mengasuh bayi, pasti ada aja yang terjadi. Harus bisa ngikutin mood-nya."

"Iya bener sih, Kak. Semangat, ya!” Alika mengepalkan tangannya ke udara.

Nindy mengikuti Alika, meski tidak berkata apa-apa.

“Awalnya aku kaget tau, Kak. Pas ibu bilang Kakak mau jadi pengasuh bayi untuk bayar hutang.”

“Kaget kenapa?” sahut Nindy, masih biasa.

Namun, ketika adiknya itu melanjutkan perkataannya… ia tiba-tiba tertohok.

“Aku tiba-tiba aja keinget sama cowok brengsek yang minta Kakak jadi pengasuh bayi. Konyol memang, mana mungkin Kakak mau berhubungan lagi sama cowok itu, kan?"

Saat Alika menatapnya, Nindy hanya tersenyum tipis dan langsung mengalihkan pembicaraan mereka.

“Bagaimana jika mereka tau, kalau aku masih berhubungan dengan pria yang mereka benci?” batin Nindy.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status