"Baik, Nyonya. Saya akan ingat semua pesan Nyonya."
Nindy menutup perbincangan empat mata dengan ibu mertua Faiz dengan penuh hormat. Hampir tiga puluh menit ia mendapati ceramah dari wanita yang sangat perfeksionis itu. Namun, Nindy mencoba mengerti. Bagaimana pun, Arelia adalah cucu satu-satunya mereka. Dan kekhawatiran wanita itu pada cucunya adalah hal yang wajar. "Kalian berbicara apa saja tadi?" tanya Faiz ketika Nindy kembali masuk ke dalam rumah setelah mengantar kepulangan dua mertuanya. "Kekhawatiran ibu terhadap anak dan cucunya. Hal yang wajar," seloroh Nindy santai. Kening pria itu berkerut. "Tidak ada yang lain?" Ada setitik kekhawatiran yang terdengar dari kalimatnya. "Yang lain?" Nindy mengangkat sebelah alisnya. "Jangan khawatir, tidak mungkin aku mengungkapkan siapa aku pada ibu mertuamu. Aku bekerja di sini karena aku punya hutang, bukan untuk merusak rumah tangga orang lain." Setelahnya, Nindy melangkah melewati Faiz, menuju kamarnya. Namun, tak menyerah begitu saja, pria itu mengejarnya dan menahan tangan Nindy yang sudah membuka pintu kamarnya. "Nin, kenapa begitu ngomongnya? A—" "Aku mau istirahat. Permisi. *** Pagi itu, sambil menggendong Arelia yang sudah selesai dimandikan, Nindy membawa si bayi ke ruang makan. Sebuah ritual tiap pagi, setiap ayah bayi itu akan berangkat kerja. Namun, pagi itu terlihat berbeda, sebab kepulangan Sela. "Sel, sarapan dulu," ucap Faiz pada Sela yang sudah rapi untuk pergi ke kampus. Sebelumnya, Bi Lastri sudah menyampaikan pada Faiz, jika Sela menolak sarapan bersama seperti permintaan pria itu. "Jangan sok perhatian kamu! Jijik tau gak!" Sela pergi begitu saja, bahkan ia sama sekali tidak ingin menoleh pada bayinya. Baru Nindy menyadari jika pernikahan Faiz dan Sela tidaklah membawa kebahagiaan seperti apa yang ia bayangkan. Selama setahun, ia berasumsi jika ia adalah orang yang paling menderita karena ditinggal menikah. Nyatanya Faiz pun menderita hidup dengan wanita yang tidak ia cinta juga tidak bisa menghargai dirinya. Tanpa sadar, sebuah celah dari rasa prihatin dan empatinya pada Faiz, membuat benteng yang dibangun Nindy goyah. Sikap dingin Nindy perlahan mencair. Ia tidak lagi buang muka atau menghindar tiap kali Faiz mengajaknya bicara. Hingga suatu hari, menyadari dirinya mulai goyah dan lemah, Nindy meminta izin pada Faiz untuk pulang sehari saja. Ia berdalih belum menengok sang ayah yang sudah pulang dari rumah sakit dan kondisinya sudah jauh lebih baik. "Aku antar, ya." "Kamu gila? Kamu mau antar aku ke rumah, kalau orang tua aku melihat kamu gimana?” "Baiklah, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertemu dan meminta maaf. Kalau begitu, hati-hati." Sesampainya di rumah, Nindy menatap toko yang sudah buka kembali seperti biasa. Dari seberang saja terlihat sang ayah sedang duduk di meja kasir dan sang ibu tengah menata barang. "Aku pulang, Bu, Yah." Nindy menyapa ayah dan ibunya yang langsung menghampiri ketika melihatnya pulang. "Kenapa gak kasih kabar kalau mau pulang? Nanti kan ibu bisa masakin makanan kesukaan kamu," ucap Lita. "Gak apa-apa, Bu. Aku pulang mau nengok ayah aja, besok juga sudah berangkat lagi." "Kamu cuma pulang sehari?" tanya Roni. Raut wajah ayahnya itu tiba-tiba berubah sendu. "Maafkan ayah, ayah sudah tau ceritanya dari ibu kalau kamu yang mengusahakan uang operasi untuk ayah. Sekarang kamu bekerja mengasuh bayi orang lain hanya untuk melunasi hutang. Maafkan ayah." "Jangan gitu, Yah. Aku gak apa-apa, kok. Yang penting ayah sudah sembuh sekarang. Kita juga gak perlu sampai jual rumah dan jual toko ini. Terus adek juga gak harus putus kuliah. Aku beneran gak apa-apa.” Ia tersenyum lebar, menatap pada ayahnya yang masih merasa bersalah. “Siapa tau ini bisa jadi batu loncatan untuk aku supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dari sekarang, itu kan yang selalu ayah bilang." Kepulangannya ke rumah, utamanya memang untuk melihat kondisi sang ayah. Namun di sisi lain ia juga ingin mengistirahatkan hatinya sendiri. Berada di sekitar pria yang masih merajai hatinya, ternyata menyiksa Nindy. Apalagi, setelah tahu sedingin apa pernikahan pria itu. Di titik itulah, perasaan iba melemahkan Nindy. Ia jadi mulai sering merindukan masa-masa ketika ia dan Faiz masih menjalin hubungan. "Ihh, Kak Nin pulang kok gak bilang-bilang. Kalau bilang kan aku mau titip beliin sesuatu dulu," ucap Alika yang baru saja pulang. Ia sudah diberitahu oleh orang tuanya jika Nindy pulang. "Itulah kenapa Kakak gak bilang kalau mau pulang." "Huuu, dasar!” Alika mencebik, tetapi kemudian tersenyum. “Gimana kerjaan Kakak?" "Ya begitulah, yang namanya mengasuh bayi, pasti ada aja yang terjadi. Harus bisa ngikutin mood-nya." "Iya bener sih, Kak. Semangat, ya!” Alika mengepalkan tangannya ke udara. Nindy mengikuti Alika, meski tidak berkata apa-apa. “Awalnya aku kaget tau, Kak. Pas ibu bilang Kakak mau jadi pengasuh bayi untuk bayar hutang.” “Kaget kenapa?” sahut Nindy, masih biasa. Namun, ketika adiknya itu melanjutkan perkataannya… ia tiba-tiba tertohok. “Aku tiba-tiba aja keinget sama cowok brengsek yang minta Kakak jadi pengasuh bayi. Konyol memang, mana mungkin Kakak mau berhubungan lagi sama cowok itu, kan?" Saat Alika menatapnya, Nindy hanya tersenyum tipis dan langsung mengalihkan pembicaraan mereka. “Bagaimana jika mereka tau, kalau aku masih berhubungan dengan pria yang mereka benci?” batin Nindy.Setelah cuti sehari, Nindy sudah kembali lagi ke rumah Faiz.Perasaannya yang mulai goyah kemarin, perlahan kuat kembali—meski tentu saja sikap dinginnya tak bisa seutuhnya balik lagi.Seperti saat ini, alih-alih masa bodoh karena Faiz dan Sela belum pulang kendati sudah lewat pukul 10 malam lewat, Nindy justru khawatir. Terlebih, pada Faiz yang tidak biasa pulang larut, berbeda dengan Sela.“Tidak biasanya dia tidak memberi kabar.”Tidak ada satu pun telepon atau pesan yang dikirimkan Faiz padanya membuat kekhawatiran wanita itu semakin besar.Sejak komunikasi mereka mencair lagi, Nindy memang sudah terbiasa menyambut kepulangan Faiz di kamar Arelia. Namun kali ini, ia menunggu kepulangan Faiz dengan perasaan gelisah.Bukan takut akan keduanya pergi bersama, tetapi takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Beruntung, ketika baru saja ia hendak menelepon pria itu, terdengar suara gerbang dan deru mobil memasuki rumah.Nindy segera keluar dari kamar untuk melihat."Lho, kamu belum tidur
Nindy menggelengkan kepalanya perlahan sambil tertunduk. Kesadaran masih bisa mengendalikan sesuatu yang menggebu dari rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya itu. Meski ada rasa takut, entah kenapa menolak dengan tegas pun tidak ingin dia lakukan."Jangan berbuat lebih jauh, aku takut.""Apa yang kamu takutkan? Sela tidak akan melihat kita."Faiz mencoba untuk kembali mendekat dan meraih bibir Nindy. Namun dengan cepat Nindy menahan tubuh Faiz yang sudah merangkulnya dalam pelukan."Jangan mengujiku, Iz. Aku hanya wanita biasa. Aku masih menaruh hati padamu, aku tidak ingin tergoda. Statusmu adalah suami dari wanita lain. Ikatan pernikahan itu suci, apalagi ada anak diantara kalian. Aku tidak bisa di posisi seperti ini. Kamu jangan menggoyahkanku.""Pernikahan itu suci jika keduanya saling mencintai. Kalau saling membenci, bagaimana bisa suci jika diantara kami hanyalah perasaan kebencian saat bersama. Ikutilah kata hati kamu, Nin. Jangan mengelak. Karena itu juga yang sekarang
Malam panas pun berlangsung, Nindy dan Faiz tenggelam dalam suasana syahdu yang mereka ciptakan untuk melepaskan kerinduan yang tertidur selama setahun lebih itu.Untuk kali pertamanya, Nindy melepaskan mahkota yang ia jaga hanya untuk suami masa depan. Meski begitu, ia tetap menyerahkannya pada Faiz karena memang Faiz lah yang ia inginkan untuk menjadi pasangan hidup selamanya.Sakit yang berlangsung beberapa menit itu, kini sudah tergantikan dengan rasa nikmat yang tidak bisa Nindy utarakan dengan kata-kata. Rasa yang hanya bisa dirasakan, bukan manis atau pahit yang bisa diungkapkan."Masih sakit?" tanya Faiz berbisik tanpa menghentikan aktivitasnya.Nindy menggelengkan kepalanya pelan. "Sekarang ..., tidak, tapi masih ada rasa perih ...." jawab Nindy dengan nafas yang tersengal-sengal.Tubuh keduanya begitu basah bak bermandikan air keringat karena aktivitas malam yang berlangsung lama. Nindy tidak menyangka jika akan selama itu, tetapi karena rasa kenikmatan itulah yang membuat N
Selepas liburan sendiri untuk menyenangkan diri setelah melahirkan dan mengalami baby blues. Sela dengan terpaksa, mau tidak mau harus kembali ke rumahnya bersama Faiz, sang suami, hasil dari perjodohan satu tahun yang lalu.Jauh dalam hatinya, ia sama sekali tidak ingin kembali ke rumah itu dan ingin melanjutkan hidupnya sendiri dengan fokus kuliah dan bermain bersama teman-teman sebayanya.Umurnya kini baru memasuki kepala dua, dimana egonya masih tinggi dan fokusnya hanya pada diri sendiri, menyayangi diri sendiri, mencoba hal baru dengan teman-teman kampusnya.Namun kenyataan malah membuatnya harus menjadi istri dari pria asing terpaut 6 tahun lebih tua, yang tidak ia kenal sebelumnya demi kehormatan dan nama baik juga bisnis keluarga.Meskipun sikap Faiz baik, tetapi ia tidak bisa membalas bentuk kebaikan itu. Malah Sela merasa selalu muak dan jijik jika bertemu dengan Faiz.Saat kembali masuk kuliah setelah cuti hamil dan melahirkan, Sela seolah kembali bak seorang perempuan mud
Namun sayangnya, meskipun Sela memohon agar bisa berbicara dengan Gery, tetapi Gery tetap pada pendiriannya dengan tidak mengabulkan keinginan Sela yang amat sederhana itu. Mungkin sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Nindy, yang tiba-tiba saja ditinggal menikah oleh sang kekasih. Bedanya Nindy karena perbedaan status ekonomi dengan Faiz, sedangkan dengan Gery bukan karena hal itu sebab Gery sendiri berasal dari keluarga berada sama seperti Sela, sehingga bisa dikatakan jika mereka masih setara. Itulah yang malah membuat Sela merasa tidak habis pikir sehingga ia lampiaskan dengan membenci Faiz.Akibat malu dengan penolakan dari Gery secara terang-terangan di depan semua teman-temannya, akhirnya Sela mengajak Amel dan Via untuk pergi dari tempat itu."Sel, udah lo nginep di apart gue aja," ucap Via pada Sela yang sedari perjalanan pulang hanya terus menangis dan meracau dengan kata-kata kasar. Seolah masih tidak percaya jika dia benar-benar tidak bisa lagi mendekat pada Gery.Ba
Dari lewat celah pintu yang terbuka, Nindy bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi dari dalam kamar Arelia. Nafasnya terasa sesak kala ia melihat Faiz tengah mengajarkan wanita lain dari apa yang sudah dia ajarkan.Cemburu?Jelas saja!Cemburu dan ketakutan bercampur menjadi satu saat melihat sepasang suami istri yang tengah bersama-sama mengasuh bayi mereka. Jika itu orang lain, mungkin Nindy akan merasa bahagia dan berdoa supaya kelak dia bisa memiliki keluarga yang harmonis, tetapi tidak dengan apa yang dia lihat saat itu.Tokk .... Tokk ....Tokk ....Tanpa berpikir panjang, Nindy langsung mengetuk pintu guna memberitahu jika dia ada di situ juga dan tidak ingin membiarkan mereka berduaan saja."Maaf, Tuan, Nyonya, saya telat untuk mengecek baby Arel," ucap Nindy sambil melihat Faiz dengan tatapan tajam.Sela langsung memberikan Arelia pada Nindy. "Nih, jaga lagi bayinya." Selepas itu dia keluar begitu saja tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Dia juga tidak berniat ingin mengasuh
Karena terlalu dimabuk asmara, semalam Nindy tidak sampai berpikiran jika di rumah itu tidak hanya ada Sela saja, melainkan Bi Lastri pun ada setiap harinya. Hanya sedikit tidak menyangka saja kalau semalam ternyata Bi Lastri mengetuk kamar hanya untuk memberikan makanan."Lewat dari jam 11 aku sudah tidur, Bi. Semalam kan Tuan Faiz pulang malam, karena aku mau ambil minum sekalian saja aku siapkan makan malamnya aku antar ke kamar dia. Kayanya pas Bi Lastri kembali ke belakang, aku baru turun dari atas," jelas Nindy dengan mencoba bersikap santai."Oh pantas saja kalau begitu. Lain kali gak apa-apa bangunkan Bibi aja, Mbak Nin. Kasihan kan itu tugas Bibi, tugas Mbak Nindy hanya mengasuh Non Arel."Nindy mengangguk sambil terus meneruskan makannya tanpa ingin memperpanjang topik yang mereka bahas tentang semalam."Bi Lastri kerja di rumah ini dari awal Tuan Faiz dan Nyonya Sela menikah?" tanya Nindy sekalian saja ia ingin tahu lebih jauh tentang Sela dan keluarganya, juga bagaimana ke
"Dibandingkan kamu ditolak kerja terus, lebih baik kamu ibu jodohkan saja, lah."Langkah Nindy yang menuju kamarnya kembali terhenti usai mendengar kalimat sinis sang ibu, Lita.Sudah setahun ini memang ia mencari pekerjaan yang sesuai, akan tetapi selalu berakhir sia-sia. Semua ini pun tidak lepas dari permintaan ibunya. Karena ia adalah sarjana pertama di keluarga, Lita ingin Nindy hanya bekerja kantoran. Padahal, Nindy sendiri tidak mempermasalahkannya. Baginya, berpenghasilan jauh lebih penting, daripada menuruti gengsi.Terakhir, Nindy sebetulnya sudah diterima bekerja. Hanya saja, ketika akan tanda tangan kontrak, pihak HRD membatalkannya karena posisi yang akan diisi Nindy telah diisi orang lain, bawaan orang dalam."Bu, apa sih? Nindy masih muda, masih belum mau menikah. Kenapa harus dijodoh-jodohin?" protes Nindy langsung. “Aku mau bekerja dan berkarir dulu. Aku mau mendapatkan penghasilan dari keringat aku sendiri.""Kerja apa?” tantang Lita, ibu dari Nindy, sembari menatap