Setelah cuti sehari, Nindy sudah kembali lagi ke rumah Faiz.
Perasaannya yang mulai goyah kemarin, perlahan kuat kembali—meski tentu saja sikap dinginnya tak bisa seutuhnya balik lagi. Seperti saat ini, alih-alih masa bodoh karena Faiz dan Sela belum pulang kendati sudah lewat pukul 10 malam lewat, Nindy justru khawatir. Terlebih, pada Faiz yang tidak biasa pulang larut, berbeda dengan Sela. “Tidak biasanya dia tidak memberi kabar.” Tidak ada satu pun telepon atau pesan yang dikirimkan Faiz padanya membuat kekhawatiran wanita itu semakin besar. Sejak komunikasi mereka mencair lagi, Nindy memang sudah terbiasa menyambut kepulangan Faiz di kamar Arelia. Namun kali ini, ia menunggu kepulangan Faiz dengan perasaan gelisah. Bukan takut akan keduanya pergi bersama, tetapi takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Beruntung, ketika baru saja ia hendak menelepon pria itu, terdengar suara gerbang dan deru mobil memasuki rumah. Nindy segera keluar dari kamar untuk melihat. "Lho, kamu belum tidur?" tanya Faiz baru saja masuk ke dalam rumah dan melihat Nindy menghampirinya. Padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul 11 malam, tetapi Nindy belum tidur. "Kamu lembur sampai selarut ini? Biasanya jam 8 atau 9 paling malam. Kerjaan di kantor banyak? Apa harus selesai malam ini juga? Kalau kamu sesibuk itu biasanya kamu selalu lupa makan, kamu sudah makan?" Tanpa sadar, Nindy mengatakan banyak hal yang menjadi kekhawatirannya sedari tadi. Faiz yang tadinya lesu, bahkan penampilannya sudah tidak karuan karena lelah bekerja dari pagi, mendadak tersenyum. Perhatian itulah yang ia butuhkan, tetapi tidak ia dapatkan dari sang istri. "Boleh aku memelukmu?" Nindy tidak mengatakan iya, tetapi ia juga tidak menolaknya. Akhirnya Faiz mendekat dan memeluk Nindy begitu eratnya. Sekuat tenaga Nindy mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh, berusaha keras untuk tidak membalas pelukan itu. Ia sadar hal itu adalah salah, sehingga ia tidak ingin menambah kesalahan dengan tidak menjaga sikapnya. "Tadi ada masalah di kantor. Aku harus bereskan malam ini juga.” Faiz menjelaskan apa yang sudah dilalui olehnya dihari itu dengan tidak melepaskan pelukannya untuk Nindy. Namun, karena berpikir pria pekerja keras itu pasti melewatkan makan malam, Nindy pun melepas pelukan Faiz. "Aku akan siapkan makan malam. Kamu pasti belum makan, kan?” tanyanya yang dijawab Faiz dengan senyuman. “Sementara aku siapin makan, kamu mandi dulu pakai air hangat." Dua orang itu pun memasuki rumah. Nindy bersiap di dapur, sementara Faiz langsung naik ke lantai 2, di mana kamarnya berada. Makanan yang disiapkan Nindy sudah ada, tetapi sudah sepuluh menit pria itu tidak kunjung turun. Khawatir Faiz tidur dengan perut kosong, ia pun berinisiatif membawa makanannya ke atas. Tokk .... Tokk .... Tokk .... "Masuk," sahut Faiz, terdengar kurang bersemangat. "Aku bawa makanannya ke sini, karena kamu belum juga turun." Faiz tersenyum. "Aku kehabisan tenaga untuk jalan ke bawah," jawabnya yang sudah duduk dan bersandar di atas tempat tidurnya. "Aku mengerti, kalau begitu ini habiskan dulu. Aku bawa makannya sedikit, kok." Nindy menaruh piring di nakas samping tempat tidur Faiz dan bersiap untuk langsung keluar dari kamar. "Nin ...." Nindy berhenti tanpa berbalik badan. "Kenapa?" "Tidak bisakah kamu menemaniku di sini?" Nindy merasa iba. Ia kasihan dengan Faiz yang bekerja keras, setiap hari selalu pulang malam, dan rindu perhatian istri yang tidak ia dapatkan. Meski begitu, Nindy mencoba tidak termakan kalimat pria itu. Ia berbalik badan dan mendekat pada Faiz. "Sebentar lagi istri kamu pasti akan pulang. Tidak baik jika aku ada di sini satu kamar denganmu. Dia akan salah paham." “Dia tidak akan mungkin masuk ke kamar ini.” Nindy tahu itu benar. Sebab, sebulan lebih berada di rumah ini, tidak sekali pun ia melihat Sela memasuki kamar Faiz, meski kamar mereka bersebelahan. Mendengar itu, Nindy termenung. Bisikan di telinganya begitu kuat menyuruh ia untuk tetap di sini dan menuruti Faiz. Melihat Nindy terdiam, Faiz pun mengulurkan tangannya dan menyentuh jemari Nindy. Ia menarik lembut tangan gadis itu, dan menyuruhnya duduk di atas ranjang, tepat di sampingnya. “Aku merindukanmu.” Pria itu langsung menyandarkan kepala di pundak Nindy. Wanita itu terdiam sempurna, dengan debaran jantung yang menggila. Faiz kemudian bercerita tentang perasaannya yang juga tersiksa dengan pernikahan ini, dan perasaannya yang masih tidak berubah pada Nindy. Akan tetapi, Nindy hanya mendengarkan ocehan pria itu saja, tanpa berniat menyahut apa-apa. "Aku tau, kamu juga merasakan hal yang sama," ucap pria itu lagi, memancing Nindy menjawab. "Kalau pun iya, kita tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi.” Perlahan, Nindy menggeser sedikit tubuhnya. Kepala Faiz pun tak lagi menempel di bahunya. “Jangan mempermainkan pernikahan. Ingat, kalau kamu sudah memiliki anak bersama istri kamu." "Kamu sudah menyaksikan sendiri bagaimana rumah tanggaku.” Nada pria itu terdengar frustrasi. Ia lalu duduk tegak dan menatap pada Nindy dengan serius. “Jika aku berpisah dari Sela, apa kamu mau menerimaku, juga Arelia?" Sesaat, Nindy terhenyak. Akan tetapi, ia tak mau berharap lagi. Sehingga, ia menjawab sekadarnya. "Entahlah." "Kali ini, aku akan mengusahakan segalanya, Nin.” Nindy memejamkan matanya. Sungguh pilihan berat. Di satu sisi, ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri jika ia masih menginginkan Faiz. Tidak sulit juga rasanya menerima Arelia, karena bayi itu sudah dekat padanya. Nindy pun sudah jatuh cinta pada bayi cantik itu. Namun di sisi lain, ia tahu ia tidak bisa membuka celah itu semakin melebar. Keterdiaman Nindy itu, rupanya membuat Faiz semakin berani. Dengan perlahan, pria itu mendekat, dan merangkum wajah Nindy. Sebuah kecupan singkat yang tidak ditolak Nindy itu perlahan tapi pasti berubah menjadi pagutan penuh hasrat. Adrenalin keduanya memacu, seiring perasaan kerinduan, juga memori indah masa lalu. Ini memang bukan ciuman pertama mereka. Akan tetapi, inilah ciuman mereka yang paling berhasrat. Dan malam itu, Faiz menginginkan lebih. Namun, tepat saat tangan Faiz mencoba untuk meraba bagian sensitif ditubuh Nindy, mata terpejam wanita itu tiba-tiba terbuka. "Jangan, Iz! Ini tidak benar," kata Nindy dengan suara parau. Tatapan dua insan yang telah terbawa hasrat itu kini bertubrukan. Lalu, karena hasrat sama-sama telah terlihat menguasai keduanya, Faiz kembali memberanikan diri. "Aku akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi malam ini.”Nindy menggelengkan kepalanya perlahan sambil tertunduk. Kesadaran masih bisa mengendalikan sesuatu yang menggebu dari rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya itu. Meski ada rasa takut, entah kenapa menolak dengan tegas pun tidak ingin dia lakukan."Jangan berbuat lebih jauh, aku takut.""Apa yang kamu takutkan? Sela tidak akan melihat kita."Faiz mencoba untuk kembali mendekat dan meraih bibir Nindy. Namun dengan cepat Nindy menahan tubuh Faiz yang sudah merangkulnya dalam pelukan."Jangan mengujiku, Iz. Aku hanya wanita biasa. Aku masih menaruh hati padamu, aku tidak ingin tergoda. Statusmu adalah suami dari wanita lain. Ikatan pernikahan itu suci, apalagi ada anak diantara kalian. Aku tidak bisa di posisi seperti ini. Kamu jangan menggoyahkanku.""Pernikahan itu suci jika keduanya saling mencintai. Kalau saling membenci, bagaimana bisa suci jika diantara kami hanyalah perasaan kebencian saat bersama. Ikutilah kata hati kamu, Nin. Jangan mengelak. Karena itu juga yang sekarang
Malam panas pun berlangsung, Nindy dan Faiz tenggelam dalam suasana syahdu yang mereka ciptakan untuk melepaskan kerinduan yang tertidur selama setahun lebih itu.Untuk kali pertamanya, Nindy melepaskan mahkota yang ia jaga hanya untuk suami masa depan. Meski begitu, ia tetap menyerahkannya pada Faiz karena memang Faiz lah yang ia inginkan untuk menjadi pasangan hidup selamanya.Sakit yang berlangsung beberapa menit itu, kini sudah tergantikan dengan rasa nikmat yang tidak bisa Nindy utarakan dengan kata-kata. Rasa yang hanya bisa dirasakan, bukan manis atau pahit yang bisa diungkapkan."Masih sakit?" tanya Faiz berbisik tanpa menghentikan aktivitasnya.Nindy menggelengkan kepalanya pelan. "Sekarang ..., tidak, tapi masih ada rasa perih ...." jawab Nindy dengan nafas yang tersengal-sengal.Tubuh keduanya begitu basah bak bermandikan air keringat karena aktivitas malam yang berlangsung lama. Nindy tidak menyangka jika akan selama itu, tetapi karena rasa kenikmatan itulah yang membuat N
Selepas liburan sendiri untuk menyenangkan diri setelah melahirkan dan mengalami baby blues. Sela dengan terpaksa, mau tidak mau harus kembali ke rumahnya bersama Faiz, sang suami, hasil dari perjodohan satu tahun yang lalu.Jauh dalam hatinya, ia sama sekali tidak ingin kembali ke rumah itu dan ingin melanjutkan hidupnya sendiri dengan fokus kuliah dan bermain bersama teman-teman sebayanya.Umurnya kini baru memasuki kepala dua, dimana egonya masih tinggi dan fokusnya hanya pada diri sendiri, menyayangi diri sendiri, mencoba hal baru dengan teman-teman kampusnya.Namun kenyataan malah membuatnya harus menjadi istri dari pria asing terpaut 6 tahun lebih tua, yang tidak ia kenal sebelumnya demi kehormatan dan nama baik juga bisnis keluarga.Meskipun sikap Faiz baik, tetapi ia tidak bisa membalas bentuk kebaikan itu. Malah Sela merasa selalu muak dan jijik jika bertemu dengan Faiz.Saat kembali masuk kuliah setelah cuti hamil dan melahirkan, Sela seolah kembali bak seorang perempuan mud
Namun sayangnya, meskipun Sela memohon agar bisa berbicara dengan Gery, tetapi Gery tetap pada pendiriannya dengan tidak mengabulkan keinginan Sela yang amat sederhana itu. Mungkin sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Nindy, yang tiba-tiba saja ditinggal menikah oleh sang kekasih. Bedanya Nindy karena perbedaan status ekonomi dengan Faiz, sedangkan dengan Gery bukan karena hal itu sebab Gery sendiri berasal dari keluarga berada sama seperti Sela, sehingga bisa dikatakan jika mereka masih setara. Itulah yang malah membuat Sela merasa tidak habis pikir sehingga ia lampiaskan dengan membenci Faiz.Akibat malu dengan penolakan dari Gery secara terang-terangan di depan semua teman-temannya, akhirnya Sela mengajak Amel dan Via untuk pergi dari tempat itu."Sel, udah lo nginep di apart gue aja," ucap Via pada Sela yang sedari perjalanan pulang hanya terus menangis dan meracau dengan kata-kata kasar. Seolah masih tidak percaya jika dia benar-benar tidak bisa lagi mendekat pada Gery.Ba
Dari lewat celah pintu yang terbuka, Nindy bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi dari dalam kamar Arelia. Nafasnya terasa sesak kala ia melihat Faiz tengah mengajarkan wanita lain dari apa yang sudah dia ajarkan.Cemburu?Jelas saja!Cemburu dan ketakutan bercampur menjadi satu saat melihat sepasang suami istri yang tengah bersama-sama mengasuh bayi mereka. Jika itu orang lain, mungkin Nindy akan merasa bahagia dan berdoa supaya kelak dia bisa memiliki keluarga yang harmonis, tetapi tidak dengan apa yang dia lihat saat itu.Tokk .... Tokk ....Tokk ....Tanpa berpikir panjang, Nindy langsung mengetuk pintu guna memberitahu jika dia ada di situ juga dan tidak ingin membiarkan mereka berduaan saja."Maaf, Tuan, Nyonya, saya telat untuk mengecek baby Arel," ucap Nindy sambil melihat Faiz dengan tatapan tajam.Sela langsung memberikan Arelia pada Nindy. "Nih, jaga lagi bayinya." Selepas itu dia keluar begitu saja tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Dia juga tidak berniat ingin mengasuh
Karena terlalu dimabuk asmara, semalam Nindy tidak sampai berpikiran jika di rumah itu tidak hanya ada Sela saja, melainkan Bi Lastri pun ada setiap harinya. Hanya sedikit tidak menyangka saja kalau semalam ternyata Bi Lastri mengetuk kamar hanya untuk memberikan makanan."Lewat dari jam 11 aku sudah tidur, Bi. Semalam kan Tuan Faiz pulang malam, karena aku mau ambil minum sekalian saja aku siapkan makan malamnya aku antar ke kamar dia. Kayanya pas Bi Lastri kembali ke belakang, aku baru turun dari atas," jelas Nindy dengan mencoba bersikap santai."Oh pantas saja kalau begitu. Lain kali gak apa-apa bangunkan Bibi aja, Mbak Nin. Kasihan kan itu tugas Bibi, tugas Mbak Nindy hanya mengasuh Non Arel."Nindy mengangguk sambil terus meneruskan makannya tanpa ingin memperpanjang topik yang mereka bahas tentang semalam."Bi Lastri kerja di rumah ini dari awal Tuan Faiz dan Nyonya Sela menikah?" tanya Nindy sekalian saja ia ingin tahu lebih jauh tentang Sela dan keluarganya, juga bagaimana ke
"Dibandingkan kamu ditolak kerja terus, lebih baik kamu ibu jodohkan saja, lah."Langkah Nindy yang menuju kamarnya kembali terhenti usai mendengar kalimat sinis sang ibu, Lita.Sudah setahun ini memang ia mencari pekerjaan yang sesuai, akan tetapi selalu berakhir sia-sia. Semua ini pun tidak lepas dari permintaan ibunya. Karena ia adalah sarjana pertama di keluarga, Lita ingin Nindy hanya bekerja kantoran. Padahal, Nindy sendiri tidak mempermasalahkannya. Baginya, berpenghasilan jauh lebih penting, daripada menuruti gengsi.Terakhir, Nindy sebetulnya sudah diterima bekerja. Hanya saja, ketika akan tanda tangan kontrak, pihak HRD membatalkannya karena posisi yang akan diisi Nindy telah diisi orang lain, bawaan orang dalam."Bu, apa sih? Nindy masih muda, masih belum mau menikah. Kenapa harus dijodoh-jodohin?" protes Nindy langsung. “Aku mau bekerja dan berkarir dulu. Aku mau mendapatkan penghasilan dari keringat aku sendiri.""Kerja apa?” tantang Lita, ibu dari Nindy, sembari menatap
"Kak! Kak Nin, aku mau pinjam dress yang warna putih itu, lho. Aku ada acara—" Ucapan Alika, adik Nindy yang terhenti ketika melihat kakaknya tengah mematung dengan mata berkaca-kaca. "Kakak kenapa? Sakit? Aku panggil Ibu dulu.""Lika ....""Ya?" Alika mengurungkan niatnya untuk mengadu.Nindy menunjuk pada ponselnya yang jatuh. "I--itu ....""Oh, HP Kakak jatuh? Ish, ish, kan bisa diambil." Alika pun berjongkok dan mengambil ponsel kakaknya.Layar ponsel itu yang masih menyala dan memperlihatkan isi pesan dari Faiz sontak terlihat oleh Alika.Setelah membaca empat pesan dari nomor yang tak disimpan, Alika menjadi marah dan sangat emosi."Ngapain cowok ini hubungin Kakak? Kapan Kakak buka blokiran nomor cowok brengsek ini?” tanyanya tak sabaran. “Jawab, Kak! Atau aku akan kasih tau ini sama Ayah dan Ibu!"Untuk sesaat, Nindy tak bisa menjawab. Ia hanya terus menangis, menunjukkan ketidaktahuannya atas alasan pria itu kembali menghubunginya.Melihat kakaknya terpuruk untuk kedua kali k