Share

BAB 6 Malam Itu

Setelah cuti sehari, Nindy sudah kembali lagi ke rumah Faiz.

Perasaannya yang mulai goyah kemarin, perlahan kuat kembali—meski tentu saja sikap dinginnya tak bisa seutuhnya balik lagi.

Seperti saat ini, alih-alih masa bodoh karena Faiz dan Sela belum pulang kendati sudah lewat pukul 10 malam lewat, Nindy justru khawatir. Terlebih, pada Faiz yang tidak biasa pulang larut, berbeda dengan Sela.

“Tidak biasanya dia tidak memberi kabar.”

Tidak ada satu pun telepon atau pesan yang dikirimkan Faiz padanya membuat kekhawatiran wanita itu semakin besar.

Sejak komunikasi mereka mencair lagi, Nindy memang sudah terbiasa menyambut kepulangan Faiz di kamar Arelia. Namun kali ini, ia menunggu kepulangan Faiz dengan perasaan gelisah.

Bukan takut akan keduanya pergi bersama, tetapi takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Beruntung, ketika baru saja ia hendak menelepon pria itu, terdengar suara gerbang dan deru mobil memasuki rumah.

Nindy segera keluar dari kamar untuk melihat.

"Lho, kamu belum tidur?" tanya Faiz baru saja masuk ke dalam rumah dan melihat Nindy menghampirinya.

Padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul 11 malam, tetapi Nindy belum tidur.

"Kamu lembur sampai selarut ini? Biasanya jam 8 atau 9 paling malam. Kerjaan di kantor banyak? Apa harus selesai malam ini juga? Kalau kamu sesibuk itu biasanya kamu selalu lupa makan, kamu sudah makan?"

Tanpa sadar, Nindy mengatakan banyak hal yang menjadi kekhawatirannya sedari tadi.

Faiz yang tadinya lesu, bahkan penampilannya sudah tidak karuan karena lelah bekerja dari pagi, mendadak tersenyum.

Perhatian itulah yang ia butuhkan, tetapi tidak ia dapatkan dari sang istri.

"Boleh aku memelukmu?"

Nindy tidak mengatakan iya, tetapi ia juga tidak menolaknya.

Akhirnya Faiz mendekat dan memeluk Nindy begitu eratnya.

Sekuat tenaga Nindy mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh, berusaha keras untuk tidak membalas pelukan itu.

Ia sadar hal itu adalah salah, sehingga ia tidak ingin menambah kesalahan dengan tidak menjaga sikapnya.

"Tadi ada masalah di kantor. Aku harus bereskan malam ini juga.”

Faiz menjelaskan apa yang sudah dilalui olehnya dihari itu dengan tidak melepaskan pelukannya untuk Nindy.

Namun, karena berpikir pria pekerja keras itu pasti melewatkan makan malam, Nindy pun melepas pelukan Faiz.

"Aku akan siapkan makan malam. Kamu pasti belum makan, kan?” tanyanya yang dijawab Faiz dengan senyuman. “Sementara aku siapin makan, kamu mandi dulu pakai air hangat."

Dua orang itu pun memasuki rumah. Nindy bersiap di dapur, sementara Faiz langsung naik ke lantai 2, di mana kamarnya berada.

Makanan yang disiapkan Nindy sudah ada, tetapi sudah sepuluh menit pria itu tidak kunjung turun. Khawatir Faiz tidur dengan perut kosong, ia pun berinisiatif membawa makanannya ke atas.

Tokk ....

Tokk ....

Tokk ....

"Masuk," sahut Faiz, terdengar kurang bersemangat.

"Aku bawa makanannya ke sini, karena kamu belum juga turun."

Faiz tersenyum. "Aku kehabisan tenaga untuk jalan ke bawah," jawabnya yang sudah duduk dan bersandar di atas tempat tidurnya.

"Aku mengerti, kalau begitu ini habiskan dulu. Aku bawa makannya sedikit, kok." Nindy menaruh piring di nakas samping tempat tidur Faiz dan bersiap untuk langsung keluar dari kamar.

"Nin ...."

Nindy berhenti tanpa berbalik badan. "Kenapa?"

"Tidak bisakah kamu menemaniku di sini?"

Nindy merasa iba. Ia kasihan dengan Faiz yang bekerja keras, setiap hari selalu pulang malam, dan rindu perhatian istri yang tidak ia dapatkan.

Meski begitu, Nindy mencoba tidak termakan kalimat pria itu. Ia berbalik badan dan mendekat pada Faiz.

"Sebentar lagi istri kamu pasti akan pulang. Tidak baik jika aku ada di sini satu kamar denganmu. Dia akan salah paham."

“Dia tidak akan mungkin masuk ke kamar ini.”

Nindy tahu itu benar. Sebab, sebulan lebih berada di rumah ini, tidak sekali pun ia melihat Sela memasuki kamar Faiz, meski kamar mereka bersebelahan.

Mendengar itu, Nindy termenung. Bisikan di telinganya begitu kuat menyuruh ia untuk tetap di sini dan menuruti Faiz.

Melihat Nindy terdiam, Faiz pun mengulurkan tangannya dan menyentuh jemari Nindy.

Ia menarik lembut tangan gadis itu, dan menyuruhnya duduk di atas ranjang, tepat di sampingnya.

“Aku merindukanmu.” Pria itu langsung menyandarkan kepala di pundak Nindy.

Wanita itu terdiam sempurna, dengan debaran jantung yang menggila. Faiz kemudian bercerita tentang perasaannya yang juga tersiksa dengan pernikahan ini, dan perasaannya yang masih tidak berubah pada Nindy.

Akan tetapi, Nindy hanya mendengarkan ocehan pria itu saja, tanpa berniat menyahut apa-apa.

"Aku tau, kamu juga merasakan hal yang sama," ucap pria itu lagi, memancing Nindy menjawab.

"Kalau pun iya, kita tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi.” Perlahan, Nindy menggeser sedikit tubuhnya. Kepala Faiz pun tak lagi menempel di bahunya. “Jangan mempermainkan pernikahan. Ingat, kalau kamu sudah memiliki anak bersama istri kamu."

"Kamu sudah menyaksikan sendiri bagaimana rumah tanggaku.” Nada pria itu terdengar frustrasi. Ia lalu duduk tegak dan menatap pada Nindy dengan serius. “Jika aku berpisah dari Sela, apa kamu mau menerimaku, juga Arelia?"

Sesaat, Nindy terhenyak. Akan tetapi, ia tak mau berharap lagi. Sehingga, ia menjawab sekadarnya. "Entahlah."

"Kali ini, aku akan mengusahakan segalanya, Nin.”

Nindy memejamkan matanya. Sungguh pilihan berat.

Di satu sisi, ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri jika ia masih menginginkan Faiz. Tidak sulit juga rasanya menerima Arelia, karena bayi itu sudah dekat padanya. Nindy pun sudah jatuh cinta pada bayi cantik itu.

Namun di sisi lain, ia tahu ia tidak bisa membuka celah itu semakin melebar.

Keterdiaman Nindy itu, rupanya membuat Faiz semakin berani. Dengan perlahan, pria itu mendekat, dan merangkum wajah Nindy.

Sebuah kecupan singkat yang tidak ditolak Nindy itu perlahan tapi pasti berubah menjadi pagutan penuh hasrat. Adrenalin keduanya memacu, seiring perasaan kerinduan, juga memori indah masa lalu.

Ini memang bukan ciuman pertama mereka. Akan tetapi, inilah ciuman mereka yang paling berhasrat. Dan malam itu, Faiz menginginkan lebih.

Namun, tepat saat tangan Faiz mencoba untuk meraba bagian sensitif ditubuh Nindy, mata terpejam wanita itu tiba-tiba terbuka.

"Jangan, Iz! Ini tidak benar," kata Nindy dengan suara parau.

Tatapan dua insan yang telah terbawa hasrat itu kini bertubrukan. Lalu, karena hasrat sama-sama telah terlihat menguasai keduanya, Faiz kembali memberanikan diri.

"Aku akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi malam ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status