Share

BAB 2 Tak Ada Pilihan

"Kak! Kak Nin, aku mau pinjam dress yang warna putih itu, lho. Aku ada acara—" Ucapan Alika, adik Nindy yang terhenti ketika melihat kakaknya tengah mematung dengan mata berkaca-kaca. "Kakak kenapa? Sakit? Aku panggil Ibu dulu."

"Lika ...."

"Ya?" Alika mengurungkan niatnya untuk mengadu.

Nindy menunjuk pada ponselnya yang jatuh. "I--itu ...."

"Oh, HP Kakak jatuh? Ish, ish, kan bisa diambil." Alika pun berjongkok dan mengambil ponsel kakaknya.

Layar ponsel itu yang masih menyala dan memperlihatkan isi pesan dari Faiz sontak terlihat oleh Alika.

Setelah membaca empat pesan dari nomor yang tak disimpan, Alika menjadi marah dan sangat emosi.

"Ngapain cowok ini hubungin Kakak? Kapan Kakak buka blokiran nomor cowok brengsek ini?” tanyanya tak sabaran. “Jawab, Kak! Atau aku akan kasih tau ini sama Ayah dan Ibu!"

Untuk sesaat, Nindy tak bisa menjawab. Ia hanya terus menangis, menunjukkan ketidaktahuannya atas alasan pria itu kembali menghubunginya.

Melihat kakaknya terpuruk untuk kedua kali karena orang yang sama, Alika terlihat melunak.

"Kenapa Kakak buka blokiran cowok itu?"

"Tujuan Kakak blok nomor dia dulu, hanya untuk mencegah Kakak menghubunginya duluan. Tapi setelah satu bulan putus, Kakak membukanya lagi. Berharap dia menghubungi Kakak meski kenyataannya tidak. Jadi Kakak berpikir kalau dibuka blokir pun tidak apa-apa karena selama ini juga dia tidak pernah hubungin Kakak lagi."

Alika seketika mendengus. "Setelah satu tahun lebih, dia berani ngirim pesan itu sama Kakak?” Emosi gadis itu kembali menggebu-gebu. “Tidak tau malu! Jangan pernah Kakak respon pesan itu atau aku akan bilang sama Ayah. Kakak gak mau kan bikin penyakit Ayah kambuh kalau sampai tau kejadian ini?"

Dengan mata berkaca-kaca, Nindy menggeleng. "Tolong kamu rahasiakan. Kakak juga tidak mungkin mau bertemu sama dia. Luka hati Kakak baru saja sembuh, bodoh kalau Kakak mau diajak bertemu begitu saja."

"Baguslah kalau Kakak berpikir seperti itu."

Setelah kepergian Alika, Nindy terus memandangi ponselnya. Ia menimbang-nimbang, harus ia apakan pesan dari pria itu?

Akan tetapi, teringat luka yang ditorehkan pria itu padanya… Nindy pun akhirnya memutuskan untuk kembali memblokir nomor pria itu.

“Rasakan! Kamu pikir, aku akan luluh!!” sungutnya sembari menenggelamkan wajah ke bantal.

Berjam-jam berlalu, rupanya Faiz tidak kunjung menyerah. Nindy yang kini tengah berselancar di sosial media guna mengusir penat dari sulitnya mencari kerja, kembali mendapatkan pesan dari pria itu.

[Nin, ternyata kamu blokir nomorku?]

[Istriku sudah melahirkan, tapi dia sama sekali tidak ingin menyentuh bayinya sendiri]

[Apa kamu mau bekerja sebagai pengasuh anakku?]

Gemuruh di dada Nindy kembali merangkak naik.

"Dasar cowok brengsek! Bisa-bisanya dia nawarin mantan yang dia tinggal nikah buat jadi pengasuh bayinya. Bener-bener gak punya hati! Gak tau malu!"

Nindy jadi menyesal karena sampai detik ini ia tidak bisa lepas dari bayang-bayang Faiz. Pria itu ternyata begitu brengsek!

Menghilang selama setahun, lalu datang-datang membawa pesan untuk menjadikan Nindy seorang baby sitter.

Kesal, Nindy pun membalas pesan Faiz dengan ketus. Ia menolak dengan tegas, tidak lupa mengatai pria itu brengsek dan tidak tahu malu. Setelahnya, ia pun memblokir akun Faiz di seluruh media sosial yang ia punya.

Hingga pada suatu titik, penyakit jantung yang diderita Roni kambuh dan membutuhkan banyak uang untuk bisa segera dioperasi. Seluruh keluarganya panik. Nindy masih pengangguran, Alika masih berkuliah, sedang ibu dan ayahnya hanyalah pedagang di kios sederhana mereka.

"Di mana kita dapatkan uang ratusan juta dalam waktu seminggu?" ucap Lita frustasi setelah mendengar biaya yang harus dikeluarkan untuk suaminya.

"Bu, apa kita jual saja tokonya? Atau Alika berhenti kuliah dulu? Dan Alika cari kerja buat bantu-bantu."

"Kalau dijual, kita mau usaha apa?” keluh ibunya. “Apa ibu perlu menggadaikan rumah dan toko? Tapi bagaimana kalau nanti tidak bisa melunasinya dan kita tidak punya tempat tinggal?”

Nindy terdiam mendengarkan obrolan kegelisahan Lita dan Alika. Mendengar adik dan ibunya bicara seperti tadi malah membuatnya merasa sedih karena belum bisa berbuat banyak untuk membantu masalah keluarganya sendiri.

Hingga kemudian, sebuah jalan keluar terbersit di benaknya. Nindy yang semula duduk, kini berdiri. "Aku mau keluar sebentar, Bu. Mau nyari pinjaman.”

"Pinjaman dari mana sebesar itu, Nin?" tanya Lita, heran sekaligus penasaran.

"Ya dari mana saja, Bu. Aku coba hubungin temen-temen aku. Dan aku juga bakal kerja apa saja buat bayar hutangnya.” Dengan berani, Nindy melirik ibunya, lalu kembali berbicara, “Jadi, semoga ibu tidak melarang aku untuk kerja biarpun tidak kerja kantoran. Sekarang kita harus pikirkan ayah. Dan Alika… kamu harus tetap kuliah."

Setelah mengatakan itu Nindy langsung keluar. Hanya ada satu orang dalam benaknya yang bisa dimintai pertolongan uang yang tidak sedikit itu.

Dengan degup jantung yang bergemuruh, Nindy membuka ponselnya. Ia menekan sebuah kontak yang ia blokir, kemudian membuka blokirannya sebelum menekan tombol panggil.

Ketika pria itu mengangkat dalam waktu singkat, Nindy langsung berujar, “Aku setuju dengan penawaranmu, tapi dengan satu syarat….”

dalam hati Nindy merapalkan doa, ‘Ya Tuhan, semoga langkahku tidak salah.’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status